Di balik gaun berwarna putih bertabur ratusan swarovski, Wulandari Iskhan melangkah menuju seorang pria yang sudah berdiri di atas altar. Dengan di gandeng oleh sang kakek, hati nya mantap menatap bayangan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
Sedangkan Briandy Susanto sang pria menatap tak sabar ke arah pengantinnya.
Sang kakek dan cucu itu seakan sedang menjaga langkah, sangat hati hati, satu demi satu kaki tua renta sang kakek bergerak mengantar sang cucu tercinta ke atas peraduannya.
Alunan Weding march mengiring setiap langkah hingga mereka berada di barisan bangku terdepan.
Kaki sang kakek tergelincir kecil, Wulan tidak sempat menahan sang kakek, tangannya sedang kewalahan menahan gaun panjang nya serta buket bunga yang akhirnya lepas dari tangan kanan Wulan.
“Kakek?” ucap Wulan panik.
Tangan cepat seorang pria dengan sigap menopang tubuh sang kakek. Belum sempat terjatuh, sang kakek diangkat agar berdiri tegap.
“Kakek baik baik saja,” ucap sang kakek bersahaja dengan senyuman kebahagiaan yang senantiasa tersungging di kedua sudut bibirnya.
“Terimakasih,” ucap kakek kepada pria muda yang baru saja menolongnya.
Pria itu mengambil buket yang terjatuh kemudian menyerahkannya kepada si pengantin wanita.
“Terimaksih,” ucap Wulan menatap wajah pria itu.
“Saya anter sampai depan ya kek,” ucap pria itu ramah kepada sang kakek.
“Nggak usah, tinggal beberapa langkah lagi,” tolak sang kakek namun pria itu tetap berjalan di samping kakek menggiring sang pengantin wanita.
Tangan wulandari di sambut oleh pria yang sudah menunggunya di altar.
Seketika weding march berhenti bergema berganti dengan suara seorang pria yang menjadi MC pernikahan saat itu.
Wulan menunduk menatap lantai di hadapannya. Bagaimana pun juga pernikahan itu harus di lakukannya atas permintaan sang kakek dan untuk menyelamatkan lahan perkebunan milik kakeknya. Ia tak peduli dengan pria yang berdiri di sampingnya.
Setengah jam berlalu, Wulan tersadar saat pria disampingnya itu menarik tubuhnya agar berdiri saling berhadapan.
Veil yang menutup wajahnya terangkat di ikuti kecupan ringan di bibirnya.
Tatapan tatapan bahagia terpancar dari setiap yang hadir disitu. Aula luas yang di hadiri ratusan orang itu menatap ke arahnya dengan senyuman.
Terlebih wajah sang kakek, ia bahkan meneteskan air mata menyambut kebahagiaan Wulan cucunya.
Usai dari aula luas itu, mereka menuju ke halaman samping Aula. Sebuah pesta taman yang sangat meriah dengan hiasan taman yang di dekor sedemikian cantik.
“Selamat pak Brian,” ucap wanita wanita yang menghampiri Wulan dan suaminya kini.
Brian, nama yang sulit di ingat. Batin Wulan.
“Selamat menempuh hidup baru pak, nanti sore jangan lupa telpon ya,” ucap seorang wanita lainnya dan di balas senyuman oleh Brian.
Pesta taman itu berlangsung cukup lama, sudah memasuki pukul 8 malam namun tamu tamu tak berhenti datang dan pergi. Keluarga Susanto memang termasuk keluarga terpandang di kota itu, rekan bisnis dari penjuru negri pasti menyempatkan diri hadir memberi ucapan selamat sekaligus mencari keuntungan bisnis di situ.
Gaun putih yang indah namun sangat berat, sudah lima jam Wulan berdiri menopang gaun berat itu. Pinggang nya terasa hampir patah. Ditambah stiletto yang semakin membuat tubuhnya remuk.
“Mas,” Wulan mencoba memanggil pria disampingnya.
Brian menatap Wulan. “Ada apa?” tanya nya datar.
“Pinggang ku rasanya pegal, apa acaranya masih lama?” Pandangan Wulan kemudian tertuju pada pria tua yang masih duduk di meja bundar. “Dan kakek harus nya sudah masuk istirahat jam segini,” ucap Wulan.
Brian tersenyum simpul. “Farel bawa wanita dan kakek nya itu kembali ke rumah,” perintah Brian pada seorang pria yang terus berdiri tak jauh darinya.
“Baik pak,” jawab pria itu.
“Terimakasih mas, saya akan masuk duluan,” pamit Wulan dengan ramah.
Brian tak menghiraukan wanita yang kini sedang menghampiri kakeknya. Bagi Brian pernikahannya itu adalah sebuah perjanjian antara dia dan kedua orang tuanya. Setelah ia menikah maka perusahan Wina Graha akan menjadi miliknya. Jabatan direktur yang di incarnya selama bertahun tahun akan menjadi miliknya. Hanya menikahi gadis kampung itu, kemudian ia bisa melakukan apa saja dengan perusahan yang sudah di bangun kakek nya sejak puluhan tahu lalu.
Wulan dengan di bantu Farel membawa sang kakek kembali ke kediaman Brian. Kediaman yang baru saja di bangun kedua orang tua Brian sebagai hadiah pernikahan mereka.
Wulan dan kakek Hendy tiba di kediaman luas dan megah. Di depan pintu masuk mereka sudah di sambut oleh seorang wanita tua.
“Selamat malam nyonya Wulan dan kakek Hendy, selamat datang,” sapa wanita itu ramah.
“Nyonya, saya bi Narsih. Nyonya bisa panggil saya begitu,” ucap bi Narsih.
“Bi siap kan kamar untuk kakek,” ucap Wulan.
“Sudah siap Nya, silahkan ikut saya,” ajak bi Narsih.
Wulan berjalan perlahan membopong sang kakek menuju kamarnya. Kamar yang lumayan besar itu berada di lantai satu.
“Karena kakek nggak bisa naik tangga, ini kamar yang paling cocok untuk kakek,” ucap bi Narsih.
“Makasih bik,” ucap Wulan.
“Oh ya, itu koper kakek. Tadi sore di antar orang hotel ke sini,” ucap bi Narsih menunjuk sebuah koper.
“Kakek ganti baju dulu ya sebelum tidur,” ucap Wulan.
“Sudah kamu istirahat sana, kakek masih bisa sendiri,” ucap kakek Hendy.
Namun Wulan tetap melakukan apa yang harus di lakukannya. Menyiapkan pakaian kakek, menyiapkan obat, memastikan kakek sudah meminum obat kemudian keluar dari kamar itu.
Bi Narsih membawa Wulan menuju kamar utama yang terletak di lantai dua. Kamar super luas dan megah. Dua kali lipat luasnya dari kamar sang kakek.
“Ini kamar nyonya, koper nyonya ada di dalam lemari. Bibi ga tau kode koper jadi bibi ga bisa bantu membereskan pakaian nyonya,” ucap bi Narsih.
“Nggak apa, makasih bi,” ucap Wulan, ia terlihat kesulitan membuka kancing baju pengantin di badannya itu.
“Bibi bantu ya nya,” ucap bi Narsih.
Wulan berbalik punggung nya kepada bi Narsih.
“Makasih bi, bibi bisa turun sekarang. Sisanya biar saya lakukan sendiri,” ucap Wulan.
“Baik, jika butuh apa apa, nyonya pencet bel saja. Bibi akan langsung ke sini.” ucap bi Narsih kemudian pergi dari situ.
Gaun pengantin telah lepas dari badannya, ia mencari koper hitam miliknya dari dalam lemari kemudian mengambil daster biru dari dalam koper tersebut. Ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lelah.
Wulan keluar dari kamar mandi kemudian membaringkan tubuhnya di atas pembaringan. Harum aroma mawar semerbak menerpa hidungnya. Tak seberapa lama Wulan langsung terlelap.
…ooOoo..
Seperti sedang bermimpi wulan merasakan hal aneh disekitarnya. Suara ******* pelan dari seorang wanita tertangkap oleh telinga wulan.
“Pak Brian, jika istri bapak bangun gimana?” ucap wanita itu seperti hampir berbisik.
“Shhht, dia sedang terlelap. Nggak mungkin bangun,” ucap pria di sampingnya yang tak lain adalah Brian suaminya.
Di dalam gelapnya ruangan kamar, Wulan menyaksikan perselingkuhan suaminya di malam pertamanya sebagai pengantin baru. Seolah tak menganggap Wulan berada di situ, Brian meniduri wanita lain. Suara keduanya terdengar sedang mengejar sesuatu yang sedang ingin mereka raih.
Wulan kembali memejamkan mata. Apa yang mereka lakukan di atas ranjangnya. Sambil menitikan air mata Wulan berusaha tak bergerak, padahal tubuhnya sangat ingin pergi meninggalkan ruangan itu. Ia ingin sekali berlari meninggalka pria dan wanita tercela yang sedang berburu naf su di sampingnya.
Setelah erangan panjang, seketika ranjang menjadi tenang. Dalam diam Wulan bertanya dalam hatinya.
Kemana mereka apa sudah selesai?
Ia tak berani membuka kedua matanya, hanya berharap neraka tersebut segera berakhir.
"Aku harus pulang sebelum istri bapak bangun, jika bapak butuh hubungi Nindy kapan saja," ucap Wanita yang akhirnya pergi meninggalkan euangan itu.
.
.
.
TBC…
#jangan lupa tinggalkan like, vote, rate, serta pesan dan kesan kalian. Like gratisan ga bayar loh, tinggal pencet doang. Kuy biar author semangat update.
Saat pantulan cahaya mentari mulai menerpa masuk melalui cela cela tirai jendela. Wulan bangkit dari pembaringannya. Ia menatap Pria yang sedang terlelap di atas ranjang yang kini terlihat berantakan. Dengan suara ngorok yang tak beraturan.
Ia bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga menuju kamar sang kakek. Di jam jam seperti itu, kakek Hendy pasti sudah bangun.
“Kakek.”
Tok tok tok.
“Kakek sudah bangun?” tanya nya.
Kakek membuka pintu. “Ada apa pagi pagi begini sudah bangun? Kenapa nggak tidur lagi lebih lama? Kamu pasti butuh istirahat lebih,” ujar sang kakek.
“Wulan sudah terbiasa bangun pagi, mau se capek apa pun pasti bangun pagi. Kakek kan tau sendiri,” ujar Wulan.
“Haha, tapi di sini bukan di kampung, nggak ada yang bisa kamu lakukan saat pagi seperti ini,” ujar kakek.
“Wulan akan buatkan kopi untuk kakek, dan masak makanan kesukaan kakek.” ucap Wulan bersemangat.
“Ya sudah sana, kakek akan keliling keling dulu,” ujar kakek Hendy.
“Awas nyasar kek, disini bukan di kampung,” canda Wulan.
“Nyasar di halaman rumah? Kamu pikir kakek sudah terlalu pikun haha,” jawab sang kakek gembira.
Saat itu Wulan langsung menuju ke dapur. Bi Narsih bersama seorang pelayan wanita tua lainnya sedang memotong motong wortel dan mengupas kentang.
“Pagi bi,” sapa Wulan ramah.
“Pagi nyonya, ada yang bisa bi Narsih bantu Nyah?” tanya bi Narsih seketika, jika saja nyonya rumah nya itu butuh sesuatu.
“Bi justru saya yang ingin tanya, ada yang bisa saya bantu?” tanya Wulan.
“Maksud nyonya mau bantu pekerjaan kami? Kalau itu nggak usah Nyah, kami bisa sendiri. Lagian kami hanya sedang mempersiapkan bahan untuk makan siang nanti. Pagi ini nyonya Wulan dan tuan akan sungkeman ke rumah mertua pukul sembilan pagi,” ujar bi Narsih mengingatkan.
“Loh bukannya pas jam makan siang?” tanya Wulan.
“Pagi ini Nyah, karena kedua orang tua Tuan Brian akan ke Belgia sore nanti. Jadi sungkeman di majukan pagi ini Nyah,” ujar Wulan.
Wulan berjalan mengitari dapur luas itu mencari teh, gula, dan kopi.
“Nyonya cari apa?” tanya bi Narsih.
“Tempat kopi di mana bi?” tanya nya.
“Itu Nyah,” bi Narsih menujuk sebuah mesin coffee maker di atas nakas.
“Mana?” tanya Wulan masih mencari di arah yang di tunjuk bi Narsih.
“Ini Nyah. Mau bibi buat kan?” tanya bi Narsih.
“Boleh bi, tiga sendok kopi dan setengah sendok gula,” ucap Wulan.
“Kalau gitu, bibi buatkan manual ya,” ucap bi Narsih.
Ia mulai membuat kopi seperti takaran yang di ucapkan Wulan barusan. Wulan terus memperhatikan mesin kopi itu, yang menurutnya agak ribet dan lama.
“Bi buatkan satu lagi,” pinta Wulan karena aroma yang keluar tercium sangat harum di hidungnya.
“Yang normal ya Nyah atau takaran yang sama seperti tadi?”
“Normal aja bi, agak manis juga boleh,” ucap Wulan.
Bi Narsih mulai menyeduh kopi seperti yang di inginkan Wulan.
“Ini Nyah.”
“Makasih bi.”
Wulan membawa dua gelas kopi itu ke teras samping rumah dimana terdapat sebuah meja dan kursi menghadap ke arah taman. Ia berkeliling beberapa putaran di halaman kaya itu mencari sang kakek.
“Kakek,” panggilnya.
“Kek. Jangan jauh jauh kek,” lanjut Wulan.
Kakek Hendy berdiri dari balik bunga bersama seorang pekerja.
“Wulan, coba sini lihat. Pak Mun ini sangat ahli. Dia lah yang mengurus taman di sini,” ujar kakek Hendy antusias.
“Oh ya?”
Wulan melangkah mendekati kakek dan si tukang kebun. Di tempat kakek dan pak Mun berdiri, berbagai macam bunga yang di stek cangkok tumbuh dengan indah. Bermacam macam warna dan bentuk.
“Nyonya Wulan, suka bunga juga?” tanya pak Mun.
“Haha, jangan di tanya. Halaman rumah kami di kampung isinya bunga semua,” jawab kakek Hendy senang.
“Wah pak Mun ternyata sangat ahli,” puji Wulan sembari memegang tangkai Kamboja yang telah berbunga lebat.
“Nanti saya belajar sama pak Mun gimana caranya stek ya?” tanya Wulan.
“Boleh Nyah, setiap pagi jika nyonya mau nyonya bisa praktek langsung di sini,” ujar pak Mun sopan.
“Baiklah pak Mun. Oh ya pak Mun, saya ijin mau bawa kakek saya.” Pamit Wulan.
“Oh Silahkan Nyah,”
“Kek ayo, Wulan sudah siap kan kopi untuk kakek di teras samping,” ujar Wulan.
Sementara Wulan dan sang kakek menikmati secangkir kopi mereka, sebuah suara terdengar dari dalam rumah.
“Bi Narsih?” teriak kencang seorang pria yang tak lain adalah Brian.
“Ya tuan,” jawab bi Narsih samar.
“Mana wanita itu, suruh dia ke sini siapkan pakaianku sekarang,” ucap Brian penuh tekanan.
“Tapi tuan, baju tuan sudah bibi siap kan di dalam ruangan pakaian tuan. Beberapa pasang sudah bibi setrika rapih di sana. Bisa tuan pilih sendiri yang ingin tuan pakai,” ucap Bi Narsih.
“Aku mau wanita itu yang melayani ku,” bentak Brian.
“Masuk lah Wulan, suami kamu membutuhkan kamu,” ucap kakek Hendi lembut.
“Wulan masuk dulu kek, nanti kakek langsung siap siap ya kita akan ke rumah mertua Wulan.”
“Iya iya. Kakek juga akan mandi sekarang,” jawab sang kakek.
Wulan meninggalkan kakeknya menuju lantai dua dimana Brian berada.
“Pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya Wulan seraya menundukkan kepalanya. Ia tak berani menatap wajah Brian. Ditambah saat itu Brian hanya mengenakan handuk yang menutupi separuh badan nya.
Brian menatap risih terhadap penampilan Wulan.
“Apa yang kamu pakai itu? Bahkan bi Narsih tidak mengenakan pakaian yang seperti itu. Cepat lepaskan pakaian buruk itu, pakaian mu lebih buruk daripada kain pel lantai di rumah ini!” Bentak Brian.
Wulan meremas daster biru yang di kenakan nya. “Baik Mas, akan saya ganti sekarang,” sambil berlalu di samping Brian.
Tiba tiba tangan kokoh Brian menarik lengan Wulan dengan kasar. Tangan kanannya langsung mengerat pada rahang Wulan. “Mas? Mas katamu? Cuiihhh.” Diikuti gerakan seolah sedang meludah ke kiri. “Mulut kampungan mu tidak layak menyebut ku seperti itu!” Tutur kasar Brian penuh amarah.
Ia menarik wajah Wulan mendekat hingga hanya mengikis jarak beberapa centi meter dari wajahnya. “Panggil aku tuan Brian. Tentu saja kamu harus memanggilku My Love saat berada di hadapan kedua orang tua ku nanti,” ucap Brian kemudian mendorong wajah Wulan dengan kasar.
“Ehm,” dehem seorang pria dari arah tangga.
“Sudah selesai? Aku datang ke sini bukan untuk menonton drama kalian. Tolong tanda tangani berkas ini,” ucap pria itu tegas.
“Mana Farel? Kenapa bukan dia yang datang ke sini?” tanya Brian lantang.
“Mulai saat ini aku adalah akuntan perusahan yang akan memantau langsung management perusahan atas kesepakatan kedua orang tua kita,” jelas Pria yang tak lain adalah sepupu Brian bernama Arkan.
Sementara tak jauh dari keberadaan kedua pria itu, Wulan mundur perlahan kemudian pergi dari situ. Mata Arkan sesaat tertuju pada Wulan yang kemudian menghilang di balik pintu.
“Arkan, sejak kapan kamu peduli dengan perusahan? Kenapa kamu tidak urus saja pabrik mu itu? Saat ini perusahan sudah menjadi milik ku. Kamu tidak memiliki wewenang apa pun di dalam perusahan. Dan jangan sekali kali kamu mencoba mencampuri urusan perusahan!” ucap Brian dengan nada berat dan rendah.
“Ini adalah keputusan kedua orang tua kita. Karena paman tidak akan kembali ke Belgia sebelum kamu menanda tangani berkas ini. Aku tak akan mengganggu masalah perusahan. Aku hanya di tugaskan memberikan laporan rinci mengenai uang keluar dan uang masuk ke dalam rekening perusahan,” jelas Arkan.
Brian memukul tembok di dekatnya. “Bukan kah itu sama saja kamu mencampuri urusan perusahan?” Bentak Brian.
Arkan menyerahkan map yang dibawanya kepada Brian. “Paman dan bibi meminta mu menyerahkan surat ini ke tangan mereka jam sembilan nanti. Atau paman akan mengambil alih perusahan sebagai dewan komisaris, paman hanya ingin memantau kinerja anaknya hingga beberapa bulan kedepan hingga perusahan stabil di tangan anaknya,” tegas Arkan kemudian berbalik badan meninggalkan Brian yang masih terlihat emosi.
Brian mengepal kedua telapak tangannya bersamaan dengan map yang sedang di pegang nya.
“Sialan, bukankah syarat nya sudah aku lakukan, aku sudah menikahi wanita kampung itu? Kenapa mereka masih turut campur masalah perusahan kakek. Para orang tua tidak tau di untung,” umpat Brian.
.
.
.
TBC…
Wulan keluar dari kamar mandi dengan dress putih panjang semata kaki. Rambut panjang nya yang masih lembab di biarkan tergerai begitu saja. Langkahnya terhenti seketika saat Brian memasuki ruangan kamar itu. Pria itu berdiri menatap dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Apa lagi yang kamu kenakan itu?” tanya Brian seraya menatap Wulan dengan risih.
Dengan cepat Brian melangkah mendekati Wulan. Tangan kanan nya langusng menarik kerah baju yang di kenakan Wulan.
“Lepaskan pakaian ini, aneh sekali! Kenapa nggak sekalian memakai jilbab dan cadar saja?!” Bentak Brian sekaligus menarik kasar kancing gaun panjang itu.
Empat buah kancing lepas dari baju yang di kenakan Wulan, semua nya jatuh berserakan ke atas lantai. Wulan yang sangat ketakutan langusng memegang kerah bajunya yang kini rusak.
“Ada masalah apa dengan baju saya? Kenapa di rusak seperti ini?” ucap Wulan. Wajahnya hampir saja menangis akibat perlakuan kasar Brian. Namun ia masih berusaha berdiri tegap.
“Kenapa? Kamu pikir kita akan ke acara amal atau akan ke acara panti jompo? Haha dasar wanita kuno.” Brian menatap remeh Wulan. Wulan terus menggenggam kancing baju yang sobek. “Saya akan mengajari kamu bagaimana sikap seorang wanita sesungguhnya,” lanjut Brian seraya memasang senyum di salah satu sisi bibirnya.
Saat itu juga Brian langsung mengambil ponselnya dan langsung menghubungi seseorang.
“Raya, aku punya tugas untuk mu,” ucap Brian pada seorang wanita dari ponselnya.
“Tugas seperti apa Darling? Tugas nya menguntungkan gak?” tanya Raya.
“Tentu saja, saya akan memberikan kemewahan dan kenyamanan untuk mu.”
“Baik lah Darling, saya akan ke Jakarta sekarang,” jawab Raya.
“Sore ini langsung ke rumahku!” ucap Brian kemudian menutup panggilan telponnya.
Mata Brian mencari sosok berbaju putih kuno yang sedang berdiri di belakangnya. Ternyata wanita itu tengah berjongkok di bawah nakas meraup beberapa kancing yang sedang bertebaran di atas lantai.
“Apa yang kamu lakukan? Cepat ganti pakaian itu!” bentak Brian.
Wulan langsung berlari menuju ruangan ganti.
Air mata yang hampir berderai, berusaha di tahan sekuat kungkin.
“Jangan menangis. Kamu nggak boleh menangis Wulan. Ini hanyalah kancing, kita pasti bisa memperbaiki ini.” Batin Wulan sambil menatap beberapa kancing dalam genggamannya.
Ia menyimpan kancing baju itu dalam koper miliknya kemudian mengambil sebuah dress lagi dari sana.
Dress yang terlihat lebih trendi jauh dari kesan kuno.
Ia kini sedang membolak balikkan tubuhnya di hadapan cermin.
“Apa kah ini bisa? Aku tidak membawa banyak baju yang seperti ini,” batinnya.
“Apakamu sedang bertapa di dalam sana?” Lagi lagi teriakan Brian membuatnya panik.
Wulan pun bergegas keluar dari ruangan pakaian.
“Mas saya-“ ucap Wulan begitu tiba di hadapan Brian yang hanya Mengenakan handuk menutupi badanya.
“Kamu hanya bisa memanggilku mesra saat berada di hadapan orang tuaku. Selain itu panggil aku tuan,” ucap Brian pelan sambil berjalan mendekati Wulan. “Dan tugas kamu adalah melayani keperluanku selama aku berada di rumah. Jangan pernah mencampuri urusan yang lain atau!”
“Baik tuan, Wulan akan patuh.”
“Haha, bagus. Sekarang kamu ambil pakaian ku dan bawa ke sini,” ucap Brian dengan nada lebih ramah.
“Ini tuan,” ucap Wulan.
“Pakaikan,” perintah Brian.
“Semuanya tuan?”
“Ya semuanya,” Brian langsung melepas handuk yang melingkar di tubuhnya.
Wulan hanya bisa menunduk, ia tak berani menatap tubuh tela njang pria di hadapannya. Ia mulai mengenakan ****** ***** terlebih dahulu.
“Haha, jangan harap kamu mendapat kenik matan dari ku. Di lihat dari segi mana pun aku nggak bisa berbagi tubuhku ini untuk mu. Walaupun kamu adalah istriku, kamu hanya akan melayani ku seperti seorang pembantu,” ucap Brian sombong.
“Kamu pikir aku tertarik dengan mu tuan Brian. Nikmatilah wanita mu, tubuhku nggak sudi di sentuh tubuh kotor mu.”
Setelah selesai memasang semua pakaian ke tubuh Brian, Wulan mengambil dasi dari gantungan.
“Tuan, aku nggak tau cara memasangkan dasi. Aku-“ Tubuh Wulan terdorong beberapa Meter ke belakang hingga terhantuk pada sebuah meja. “Aughh,” pekiknya kesakitan.
“Nggak becus!”
Brian langsung menghadap cermin kemudian memasang sendiri dasi ke badannya.
“Kamu dan kakek mu itu di antar Deon, saya akan memakai mobil sendiri.”
Wulan masih menunduk di ruangan itu menunggu aba aba selanjutnya dari Brian. Namun sudah beberapa lama ia berdiri tak ada satu katapun untuknya. Bahkan setelah selesai merapihkan rambut, brian langsung pergi dari ruangan itu.
“Uuggghh,”
Wulan melenguh akibat rasa sakit yang masih terasa di pinggangnya. Belum hilang pegal pada punggung nya kini harus di tambah dengan benturan yang membuat pinggangnya kesakitan.
Ia pun berjalan keluar dari ruangan itu. Bi Narsih sudah menunggu wulan di dekat tangga.
“Nyah, Deon sudah menunggu nyonya di luar.” ucap bi Narsih ramah.
“Tuan Brian?” tanya Wulan.
“Tuan sudah berangkat lebih dahulu,” jawab bi Narsih.
“Bik, kakek di mana?” tanya Wulan.
“Kakek juga sudah di depan menunggu nyonya.”
“Ya sudah Wulan kedepan, makasih bik,” ucap Wulan sambil berjalan cepat menuju teras.
“Kek, kenapa nggak duduk di dalam?” tanya Wulan.
“Kakek juga barusan keluar. Nggak apa Lan, kakek kuat kok,” ujar kakek Hendy.
“Tapi kaki kakek kan belum kuat.”
Bi Narsih langsung membantu memegang lengan kakek Hendy masuk ke dalam mobil. “Nyah, Deon ini putra sulung bibi. Nyonya bisa aman bersama nya.” ucap Bi Narsih.
“Biak bi, makasih,”
“Deon, kamu jaga nyonya dan kakek Hendy dengan baik. Hati hati di jalan, dan jangan lupa papah kakek dengan baik Deon,” perintah bi Narsih pada putranya.
“Iya bu, Deon mengerti.”
“Nyonyah belum tau jalanan di kota, kamu harus ikut terus di mana nyonyah berada ya,” lanjut bi Narsih.
“Iya bu, Deon sudah paham,” sahut Deon.
Mendengar ucapan bi Narsih dan Deon, Wulan tersenyum.
“Bi, kami jalan dulu.”
…\=_\=…
Wulan dan kakek hendy tiba di sebuah rumah megah lainnya. Mereka berjalan bergandengan masuk ke dalam ruangan besar bergaya modern. Sang kakek tersenyum kecil menatap sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding.
“Alan, setelah dua puluh tahun akhirnya aku kembali ke rumah mu,” gumam kakek.
“Tuan, silahkan masuk,” sambut seorang wanita.
Kemudian beberapa orang kekuarga Brian datang menghampiri Kakek Hendy dan Wulan.
“Paman Hendy, mari,” ajak seorang pria yang tak lain adalah ayah mertua Wulan.
“Johan,” sapa kakek.
“Maaf paman, kemaren Johan ada urusan mendadak. Jadi langsung meninggalkan acara lebih awal,” ucap Johan.
“Iya iya nggak apa apa,” ucap kakek ramah.
“Paman mari masuk, kita akan langsung ke meja makan,” ajak Rosita ibu Brian.
Di meja makan, Jenny adik Johan sudah berdiri di sana.
“Paman,” sambut jenny ramah.
“Jenny duduklah,” ucap kakek.
Arkan menarik sebuah kursi untuk kakek Hendy duduk. “Kakek silahkan duduk,”
“Terimakasih Arkan,” ucap kakek Hendy pada putra Jenny.
“Paman, kami sudah tidak terbiasa dengan tradisi lama. Acara sungkeman kami ganti dengan makan bersama seperti ini. Seperti ini kita bisa saling mengenal dan lebih akrab seperti keluarga,” ucap Johan.
“Paman mengerti, kalian semua tumbuh dan besar di luar negri. Paman maklum. Terakhir paman bertemu kalian saat ulang tahun pernikahan orang tua kalian. Bahkan sekarang anak anak kalian sudah tumbuh besar semua, paman bangga dengan kalian. Pencapaian yang luar biasa. Kalian anak anak yang hebat,” ucap kakek.
“Kemaren di acara pernikahan kakek banyak berbincang dengan Jenny dan Arkan. Melihat kalian bisa sukses semua kakek senang,” lanjut kakek Hendy.
“Paman jangan ngobrol terus , ayo makan dulu,” ujar jenny akrab.
“Ayo ayo, kalian juga makan,” ucap kakek.
Usai makan bersama pagi itu, Johan mulai membahas masalah pekerjaan.
Brian yang sedari tadi hanya duduk diam sambil asik memainkan ponselnya langsung ikut angkat bicara begitu jabatan GM perusahan di berikan kepada Arkan.
“Trus yang urus pabrik siapa?” tanya Brian.
“Haha, pabrik. Tante kamu Jenny juga masih bisa handle kalau cuma pabrik,” ujar Johan.
“Johan, Wulan juga bisa di andalkan, dia juga seorang sarjana. Walaupun hanya lulusan dari universitas kecil tapi dia pasti bisa membantu Jenny di pabrik.” ucap kakek Hendy.
“Oh ya? Wulan kuliah jurusan apa?” tanya Johan.
“Teknologi industri paman,” jawab Wulan.
“Wulan, panggil paman Johan papa. Sekarang beliau adalah papa kamu,” ujar Rosita lembut.
“Baik tante,” jawab Wulan.
“Loh, kamu panggil aku mama dong,” ucap Rosita setengah menahan tawa.
“Haha, Wulan belum terbiasa. Maklum lah kak,” ujar Jenny memberi pembelaan.
Semua orang ikut tertawa. Bahkan Arkan si pria dingin dan cuek itu pun ikut tertawa melihat tingkah Wulan.
Di sisi lain dari meja makan, Brian dengan wajah datarnya terus menatap pada ponsel dalam genggamannya. Ia muak dan bosan dengan acara ramah tamah keluarga seperti itu. Baginya, semua ucapan yang keluar dari mulut mereka hanyalah basa basi.
“Huffftttt kapan acara membosankan ini berakhir,” batin Brian.
Tanpa sadar lenguhan nafas panjangnya terdengar oleh sang papa yang saat itu duduk persis di sampingnya.
“Brian!” tegur tegas sang papa. “Ingat, kamu sudah beristri. Kurangi hidup hura hura mu itu. Atur perusahan dengan baik dan jaga istrimu. Awas jika papa dengar kamu macam macam apalagi jika sampai berimbas pada perusahan. Arkan, awasi terus sepupu mu ini dan lapor kepada paman. Begitu juga Wulan, jika ada apa apa kamu telpon papa, papa akan pulang ke sini dan menghukum anak papa ini,” tegas Johan.
Wulan menatap arkan yang saat itu duduk tepat di hadapan nya. Pria itu terlihat tenang, tidak tersenyum ataupun berucap sepatah kata untuk menanggapi Johan.
Sedangkan Brian, ia tersenyum kecil seolah tak peduli dengan ucapan sang papa. Ia bangkit dari kursinya kemudian pamit dari situ.
“Jika sudah selesai acaranya, saya undur diri. Siang ini saya ada meeting dengan perusahan Artha. Permisi!” Tanpa aba aba Brian langsung meninggalkan ruangan itu.
Johan menggeleng geleng kan kepalanya.
“Ambisi anak itu terlalu besar. Semoga dia bisa membuat perusahan semakin maju dan berkembang,” ujar Johan dengan sejuta harapan pada wajahnya.
.
.
.
TBC…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!