NovelToon NovelToon

Putri Sang Duda : Single Daddy'S Daughter

Pengumuman Pembaruan

Hai semuanya~ Ini Roziey, penulis “Putri Sang Duda”, (PSD).

Sebelum kulanjutkan aku mau minta maaf untuk semua pembaca tercinta, khususnya pembaca lama. Ada kendala novelis amatir sehingga aku memilih untuk menghapus PSD sebelumnya.

Banyak problem lain yang terjadi. Mulai dari jadwal yang padat, outline cerita yang kacau di pertengahan, sampai masalah ponsel yang merengek minta dipensiunkan.

Cukup mengejutkan sebenarnya untukku karena banyak yang mau membaca PSD. Bahkan lebih banyak daripada followers sosmed-ku, hahaha.

Sayang sekali harus memulainya dari awal. Tapi dengan ‘bertapa’ berbulan-bulan sambil merapikan outline-nya, aku memilih untuk mengambil langkah ekstrim ini.

...Highlight yang perlu diperhatikan khususnya untuk pembaca lama:...

Pertama, chapter 1 dan chapter 2 dipadatkan dengan chapter 1 kuubah menjadi prolog; dan

Kedua, ada beberapa perubahan minor di setiap chapter. Tenang, tidak banyak perubahan. Hanya beberapa detail yang aku retouch.

Ketiga, bagi yang mau langsung lanjut, chapter baru ada di #15 Kesan untuk Dunia Luar

Mohon pengertian dan dukungan semua supaya ke depannya tidak ada kesalahan teknis lagi. Aku usahakan mengunggah satu kali seminggu. Tentu aku akan langsung mengejar ketertinggalanku, jadi akan ada 14 chapter + 1 chapter baru di awal.

Terima kasih untuk semuanya~

Sebagai hadiah, aku persembahkan Rasyi kecil versi tangan Roziey!

Selamat menikmati keseharian Rasyi dan papa tampan~

Prolog

“Putriku yang manis… selalulah bahagia….”

Rintihan tangis yang melemah selagi pelukannya merenggang. Terakhir kali aku mendengar merdu suara itu. Sampai sekarang aku hanya bisa berteori kalau beliau adalah ibu kandungku.

Demi harapan beliau, nyawanya sendiri dipertaruhkan. Beliau seharusnya tahu, tidak akan ada dampak menyenangkan. Khususnya untuk papa. Masih terpampang jelas cinta beliau pada istrinya, di balik ekspresi datar papa. Alasan itu juga yang mempertahankan beliau untuk menduda sampai sekarang.

Wajar kalau papa bisa membenciku. Namun tidak, papa lebih mendukung setiap pilihanku. Sudah semestinya aku pun mengabulkan permintaan beliau sebisa mungkin. Apalagi setiap permintaannya kembali lagi untukku.

“Rasyiqa, bisa langsung ke kelas,” guru dengan kacamata rendah masih mengatur administrasi dengan papa, “Tolong sebentar ya pak. Saya siapkan berkas sisanya,” beliau pergi meninggalkan kami.

“Ayo, Rasyi,” lelaki akrab berseragam rapi putih biru itu mendekat.

Iiih!! Tidak sepeka itu kah para laki-laki? Ke kelasnya bisa nanti-nanti saja kan? Jantungku belum kuat! Selesaikan saja administrasinya. Aku bisa menunggu kok. Jangan usir aku!

Tunggu. Ada yang sedang lari ya? Dia semakin kencang. Mengejutkan, lelaki lain yang akrab pula dengan mataku muncul dengan nafas kelelahan.

“Kenapa kamu disini?” lelaki berbadan tinggi itu selalu tampak marah.

“Paman kan meminta bantuan kita berdua. Lagi pula aku teman sekelas Rasyi sekarang,” lelaki rapi tadi membalas bersama senyum polos yang mendamaikan raut wajahnya.

“Ada aku kok, itu sudah cukup. Kamu fokus saja belajar untuk lomba sana.”

“Aku hanya ingin sedikit memperingan pekerjaan…,” pria rapi itu batuk sekilas, “... kakak. Jadi senior di OSIS kan sudah sangat melelahkan.”

Kalian sedang memperdebatkan apa lagi kali ini?! Papa kan hanya minta kalian menemaniku di sekolah. Tidak perlu ada acara ribut-ribut dengan rangkaian kalimat indah. Ingat-ingat! Ini ruang guru!

Mataku memandang wajah papa. Berharap beliau akan melakukan sesuatu. Ah. Jangan ekspresi itu. Tidak. Maksudku, seharusnya papa mengeluarkan ekspresi selain wajah datar yang sehari-hari itu. Sebesar itukah rasa tidak pedulian papa?! Tolong bantu aku!

Ibu tersayang… kalau anda ingin sekali membuatku bahagia, lebih baik tidak perlu repot-repot melahirkanku. Saya tidak membutuhkan kehidupan kedua. Apalagi penuh dengan permasalahan hidup seperti ini. Bahkan, biarkan saja aku beristirahat dengan tenang~ Kenapa mama meninggalkan aku sendiri menghadapi semua ini?!

Kenapa begini banget sih?!

#1 Terbawa Masalah

Jemariku yang lentik biasanya kugunakan untuk merespon tuts keyboard. Mata hitamku seharusnya melihat apa yang mau dan harus dilihat. Untaian rambut kecoklatanku terkadang berguna untuk menghipnotis otakku kalau aku tidak bisa mendengar apa yang tak kuinginkan. Namun….

Pria gagah nan lembut ini mengulurkan sebuah kertas hias cantik di tengah senyumnya, “Jangan lupa datang ya.”

Jawab, Sekar! Malaikat sedang bicara denganmu! “I⏤iya kak.”

“Kalau gitu aku duluan. Sekar juga cepat pulang, apalagi Sekar habis jatuh kan? Istirahat yang banyak,” Ia masih tersenyum manis di sela langkah pergi, “Sampai jumpa minggu depan.”

Mungkin ini yang dirasakan katak sehabis hujan? Rasanya mau bernyanyi sekeras mungkin. walaupun buta nada dan sering kali menjengkelkan untuk didengar.

Harus sekejam inikah dunia memperlakukanku? Aku sudah besar tanpa orang tua, bukan berarti aku harus menua tanpa pasangan dong! Kak Aldi, yang kutaksir sejak SMA, akan menikah dengan orang lain minggu depan?! Undangannya saja sudah ada di tangaku!

Suara wanita mendekat dengan heels uniknya, “Relakan. Dari awal memang sudah tidak ada harapan.”

Berusaha menunjukkan wajahku yang kesal, ditambah bibir merahku yang dimajukan, “Aku tahu!” kursiku menahan badanku yang kehabisan tenaga.

“Ya sudah~” dia mengaitkan tote bag ke pundaknya, “Pulang duluan ya. Aku mau beli kue. Di rumah nanti kita rayakan kecil-kecilan. Mau rasa apa?”

Oh iya. Hari ini ulang tahunku. Kesibukan dan kesedihan yang menumpuk membuat aku melupakan itu. Manisnya, teman satu kos ini bahkan ingin membelikan roti untuk ultahku.

Aku menyandarkan kepalaku manja ke wanita bernama Nita itu, “Coklat~”

Dia mencubiti pipiku gemas, “Benar nih tidak mau di jemput? Kaki kamu kan masih luka. Mending lemburnya besok saja.”

“Aku capek jawabnya, tahu.”

“Iya… Sekar itu superwoman,” heelsnya mulai mengambil jalan pulangnya, “Semangat lemburnya, sayang~”

Hiks! Aku akan berusaha….

...)( )( )( )( )( )( )( )( )( )( )(...

Tubuhku menggeliat selagi melewati pintu gedung di belakangku. Jalur sepi di sela petak-petak perkantoran menengah ke bawah menjadi tujuanku selanjutnya. Lampu hangat di ujung lahan parkir yang tak luas memperlihatkan berapa kosongnya tempat ini.

Sangat ingin aku bersantai dengan kue ultah untukku sendiri. Benar, aku tidak perlu lagi berbagi dengan anak-anak panti yang bertambah umur di bulan yang sama. Hanya ada aku yang meniup lilinnya. Cepat! Pulang!

Langkahku yang semangat melambat, “Hmm?”

Gemericik pancur air mengalihkan perhatianku. Sesosok pria menggunakan fasilitas kran air di pinggiran jalan aspal. Ia mencuci muka sampai rambutnya. Aku masih mengamati siapa itu selagi ia menengadahkan kepalanya yang awalnya menunduk.

Pemandangan apa ini? Kenapa aku baru pertama kali melihatnya?! Dia dua⏤tidak, sepuluh kali lipat lebih silau dari pada si gebetan! Wajah tampan begitu, dia bisa jadi model yang di cinta seluruh negeri!

Aa! Mata kami bertemu…. Kenapa dia?!

Tanpa memperdulikan mataku yang melebar karena terkejut, ia malah pergi. Menaikkan hoodie yang ia gunakan menutupi kepalanya.

Dia mau kemana dengan luka seperti itu? “Tunggu!” berusaha kususul langkahnya, “Biar aku bantu obati dulu lukamu sedikit.”

“Tidak. Silahkan pergi,” kecepatan kakinya ditinggikan daripada kakiku. Padahal aku baru saja menyamakannya.

Ih! Apaan sih?! Kutub utara saja tidak sedingin itu. Tidak bisakah dia menangkap kebaikan hatiku yang tulus ingin melindungi wajah itu? Kalau kamu tidak tampan, aku sudah menendangmu ke gorong-gorong.

“Jangan begitu! Nanti lukanya membekas loh.”

Orang bisa salah mengira kalau keringatku karena ikut lomba lari. Berjalan biasa saja dia bisa cepat sekali! Pura-pura tuli juga! Membujuknya sampai mulut berbusa pun sepertinya dia tidak akan menoleh.

Tidak boleh! Lukanya itu di wajah! Mahakarya! Nanti bisa rusak permanen! Pokoknya selama dia tidak peduli dengan lukanya, aku tetap akan mengekor!

Beberapa lama aku membawa kerja rodi bagi kakiku yang masih luka ini. Aku tidak akan bohong, aku capek! Rasanya bisa bernyanyi syukur saat kakinya memberikan waktu untuk istirahat sejenak. He? Apa akhirnya api bisa kupadamkan dengan api?

“Kamu tersesat ya?” tanyanya⏤apa dia bilang?!

“Tidak. Aku mau membantumu, tahu.”

“Dan aku akan percaya?”

Nih anak dah! Tahu kok, kalau yang lebih mudah dipercaya itu, kepalamu yang baru saja kemasukan air setelah cuci muka tadi! Wahai kakak tampan, aku sangat ingin menjatuhkan batu besar ke kakimu.

Sabar. Lebih menjengkelkan kalau wajahnya masih penuh luka begitu, “Aku tidak akan pergi sebelum mengobatimu.”

Mata kecoklatannya tampak kebingungan. Rambut basah yang hitam gelap itu mengkilap bersamaan dengan helaan nafasnya, “Tapi yang cepat.”

Kenapa tidak dari tadi saja sih? Senyumanku puas dan mengeluarkan beberapa peralatan obat yang sengaja dibawakan Nita untuk luka kakiku. Aku harus berterima kasih padanya karena sudah mengomel untuk membawa ini.

Pas sekali ada kursi taman, “Ayo kita duduk disana⏤” heh? Tangan siapa yang ada di pundakku?

Kepalaku memutar mencari tahu… ah… siapa dia? Wajahnya yang tersamarkan karena topi. Pembawaan yang dia sebarkan layaknya mencekik. Hampir tak bisa bernafas. Merinding di sekujur tubuhku. Dibuat takut sampai ke tulangku.

“Ketemu,” pria kekar di belakangku mencengkram pundakku keras, “Anak ini berani-beraninya cari teman baru.”

Tak sadar, tahu-tahu gerombolan orang sudah menyebar mengelilingi aku dan pria di depanku. Ah. Pria tampan tadi, dia tampak kesal tapi… ketakutan. Jangan bilang dia mengenal mereka. Masalah apa yang dia bawa sampai mengundang gerombolan preman seperti in. Apa mungkin mereka yang memberi luka di wajah pria ini?

Auw! Pundakku sakit sekali. Rasa takut mengunci kepalaku untuk tidak menoleh ke arahnya lagi. Suaraku saja tidak berani keluar di tekanan ini. Lalu aku harus bagaimana?

Pria tampan itu membuka topi hoodie-nya, “Aku tidak akan melawan. Sekarang bisa lepaskan wanita itu?”

Terdengar tawaan kecil, “Masih saja nego. Anak bodoh,” hawa yang lebih mencekik semakin kental, “Mati saja sana.”

Percakapan apa ini? Bukannya ini terlalu tidak manusiawi?

Bagaimana ini? Aku tidak berani bergerak. Minta tolong juga ke siapa? Tempat ini terlalu sepi apalagi di hampir tengah malam begini.

Ah! “Awas!”

Entah seberapa gilanya aku. Bergerak begitu saja tanpa takut. Tubuhku langsung terbawa menghalangi jalur senjata api yang tak tahu menahu sudah ditodong ke arah pria tadi. Kulihat jari dari penodong itu menarik pemantiknya.

Nafasku sangat berat. Mataku sayup-sayup tak terlihat jelas. Telingaku mendengung sekejap saat suara kencang melewati gendang telingaku. Apa itu yang membuatku tidak bisa merasakan tubuhku?

Padahal aku ingin meniup kue pemberian teman-temanku. Aku belum bilang terima kasih pada mereka.

Aku mengantuk…

“Waaaa!!” apa itu… suara tangisan bayi?

Tenggorokanku kering. Sangat tidak nyaman. Darimana juga suara bayi itu? Seseorang tolong tenangkan dia.

“Bu, adiknya bangun!” siapa lagi itu?

Mataku yang terasa berair akhirnya menangkap sesuatu. Hah? Ini dimana? Siapa orang-orang ini? Tubuhku berat sekali. Bisakah dia menolongku untuk bangun? Aku mencoba meraih mereka dengan tanganku memberi isyarat untuk membantuku berdiri⏤tunggu! Kenapa tanganku kecil sekali?

Sebuah tangan memaksa mulutku untuk memasukkan sesuatu. Hmm. Apa ini susu? Susu?!

“Anak pintar.” seorang wanita mengelus kepalaku.

Tunggu… sebentar. Aku mencoba untuk mencerna setiap kode-kode yang kudapat. Salah satunya kode berupa sebotol susu yang masih saja aku minum. Jangan bilang aku….

Situasi macam apa ini?!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!