Hahahaha
Suara tawa menggelegar memenuhi salah satu ruangan yang ada di lantai dua. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Artinya waktu seluruh pegawai pulang. Namun, ada sebuah kejadian aneh yang membuat beberapa pegawai menjeda pulangnya.
Renata Nicholas, gadis yang berumur dua puluh dua tahun dan berprofesi sebagai cleaning service tertangkap basah menyembunyikan foto Bagas Ankara, CEO di tempatnya bekerja. Berawal dari sebuah iseng menyimpan foto yang ditemukan di gudang, kini malah membuatnya menjadi bahan ejekan bagi mereka yang memang sudah membencinya.
Sekujur tubuh Renata gemetar menahan rasa takut, dadanya sesak hingga beberapa kali ia harus mensuplai oksigen untuk bernapas. Ruangan yang dingin itu mendadak panas saat olokan demi olokan menghiasi telinganya.
"Mukanya doang yang sok polos, diam-diam naksir sama bos," ucap karyawan yang bernama Fina dengan nada sinis. Ia mengangkat foto Bagas tepat di depan rekan kerja yang lainnya. Mempermalukan Renata hingga tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan.
Renata yang bersifat pemalu itu menundukkan kepalanya, cairan bening terus menetes membasahi pipinya, tak ada keberanian sedikit pun untuk membela diri. Ia bagaikan kelinci yang terperangkap dan tak bisa menghindar dari cemooh itu.
"Sadar dong, siapa kamu dan siapa pak Bagas. Aku yakin, kalau sampai pak Bagas tahu, kamu pasti dipecat. Dasar pencuri," kata yang lainnya tak kalah ketus.
Renata menggelengkan kepala, ia tak mau itu semua terjadi. Sudah pasti jika dirinya tak mendapat pekerjaan, akan diusir oleh bibinya dan sepupunya.
"Aku menemukannya di gudang, aku tidak mencuri, kalian harus percaya padaku." Renata menangkup kedua tangannya, matanya menatap satu persatu karyawan yang berada di depannya. Memohon pada mereka untuk mendengarkan ucapannya.
"Kamu pikir kami percaya begitu saja," tukas Roy, pria yang menyukai Fina.
Akhirnya Renata memilih diam. Di mata mereka, ia adalah seonggok sampah yang tak ada harganya. Sebaik apapun dirinya, pasti tak akan ada artinya juga.
Aku harus bilang apa pada mereka, aku sadar diri, tidak mungkin aku berani menyukai pak Bagas.
"Menjijikkan."
Kata itu bagaikan tombak yang menancap menembus ke ulu hati. Seluruh organ tubuhnya seakan tak berfungsi hingga ia tak mengindahkan suara-suara yang menggema.
Setelah semua pergi, Renata menumpahkan air matanya. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia merosot, menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya. Ini bukan kali pertama Renata diperlakukan seperti itu, akan tetapi mereka sudah keterlaluan dan menuduhnya dengan apa yang tidak pernah ia lakukan.
"Ibu, Ayah, seandainya kalian masih hidup, pasti hidupku tidak akan seperti ini," gumam Renata di sela-sela tangisnya.
Bayangan kedua orang tuanya yang sudah meninggal kini melintasi otaknya, meskipun tinggal dengan bibinya, ia merasa hidup sebatang kara, karena bibinya sedikit pun tak menyayanginya.
Tak hanya kasih sayang yang lebur, cita-citanya ingin menjadi pelukis pun kini tak akan pernah tercapai. Renata hanya bisa berangan-angan tiada ujung.
"Kapan semua ini akan berakhir." Renata mengusap sisa air matanya, tangannya perlahan mengulur, memungut beberapa isi tasnya yang ditumpahkan Fina.
Setelah keadaannya sedikit tenang, Renata bangkit, merapikan penampilannya dan keluar dari ruangan itu.
Matanya menyapu lorong, hanya ada beberapa orang yang masih di sana, mereka menatap Renata dengan tatapan aneh, meskipun tak menyapa, dari sudut pandangnya menunjukkan kebencian padanya.
Tak ada bedanya di lantai atas, di lantai bawah Renata pun menjadi pusat perhatian penghuni kantor, ia bagaikan badut yang lewat hingga membuat mereka terus menertawakannya.
"Mimpi dulu, Re. Baru boleh menyukai pak Bagas," celetuk Rani yang diiringi dengan tawa mengejek.
Anggap saja itu adalah suara burung berkicau, Re.
Akhirnya Renata menguatkan hatinya sendiri untuk tidak terpancing dengan omongan mereka.
"Mbak Renata sudah mau pulang?" tanya satpam yang berjaga.
"Iya, Pak. Terima kasih karena sudah menjaga motor saya," ucap Renata dengan sopan.
Satpam itu hanya membungkuk ramah. Meskipun semua orang membencinya, tidak untuk satpam itu yang pernah mendapat bantuan dari Renata saat anaknya sakit.
Satpam itu kembali membungkuk saat Renata menekan klakson motornya dari arah gerbang.
Kasihan mbak Renata, dia terus menjadi bulan-bulanan semua pegawai di sini. Padahal dia itu baik.
Setibanya di ujung jalan, Renata menghentikan motornya di sebuah toko peralatan melukis, seperti biasa ia membeli bahan yang sudah habis.
Renata turun dari motor, senyumnya mengembang saat ia melihat seseorang yang ia kagumi, bahkan ia tak bisa mengalihkan pandangannya saat melihat orang itu berjalan ke arahnya.
"Mas Derya," sapa Renata.
Pria yang bernama Derya itu pun menghentikan langkahnya, lagi-lagi menatap penampilan Renata dari atas sampai bawah.
Tak ada yang aneh dengan penampilan Renata, Namun Derya merasa enggan untuk mendekatinya, hingga ia tetap berdiri dengan jarak dua meter dari Renata.
"Mas Derya beli apa?" tanya Renata.
Derya tak peduli, ia membuka pintu mobilnya dan masuk lalu keluar dari tempat parkir itu.
Mau sampai kapan semua orang mengabaikan aku seperti ini?
Setelah membeli peralatan yang ia cari, Renata langsung pulang, ia tak mau mampir lagi karena waktu yang sudah terlalu sempit.
Setibanya di depan rumah Renata langsung berlari masuk. Semburat senja sudah nampak dengan jelas, itu artinya sudah tiba tugas yang dijadwalkan bibi padanya.
Renata melempar tas dari pintu kamarnya lalu dapur.
"Masak apa ya, malam Ini. " Renata membongkar isi lemari pendingin. Mencari bahan makanan yang akan di masak.
Hanya ada kangkung dan daging ayam, terpaksa itu yang ia masak.
"Dari mana saja kamu, kenapa pulangnya terlambat?" tanya suara yang sangat familiar itu dari belakang.
Renata meletakkan pisaunya dan membalikkan tubuhnya, menatap wajah datar bibinya yang mematung di ambang pintu.
"Tadi aku beli peralatan melukis, Bi," jawab Renata takut. Beberapa kali bibinya merusak lukisan yang ia buat, dan kali ini Renata takut bibi akan mengulanginya lagi.
"Awas saja kalau gaji bulan ini bolong, aku tidak akan mengizinkan kamu tinggal di sini lagi," ujar bibi mengingatkan.
Renata hanya mengangguk tanpa suara.
"Ibu," teriak seorang gadis dari arah depan. Dengan sigap Renata membuat teh hangat untuk menyambut kedatangan gadis itu. Dia adalah Karin, sepupu Renata, putri satu-satunya bibi.
"Kamu baru pulang, Nak. Bibi menghampiri putrinya yang sudah duduk selonjoran di ruang tamu.
"Iya, hari ini capek banget, Bu," keluh Karin mengelus tengkuk lehernya.
Pekerjaan Karin lebih mapan. Meskipun gadis itu hanya lulusan SMA, Karin bisa bekerja di pabrik yang bayarannya lumayan tinggi, sedangkan Renata harus menerima nasib sebagai cleaning service, karena penampilannya dan wajahnya yang pas-pasan membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan.
"Ini Kak tehnya." Renata menyodorkan secangkir teh hangat di depan Karin.
Baru saja Karin meneguknya, ia kembali memuntahkannya.
"Kenapa, Nak?" tanya Bibi penasaran.
Tak menjawab, Karin beranjak dan menyiram sisa teh itu tepat di kepala Renata yang membuat gadis itu berlonjak kaget.
Renata bagaikan patung hidup, rasa hangat yang menyentuh pori-pori kepalanya hingga wajah itu masih terasa. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima perlakuan sepupunya yang sangat keji. Beberapa kali mencoba untuk menghindar, justru Karin semakin kejam dan tak memberinya ampun.
"Berapa kali aku bilang, kalau membuat teh yang manis," ucap Karin ketus.
Gadis yang masih memakai seragam berwarna putih dengan rok hitam pendek itu seketika menarik rambut Renata hingga sang empu meringis.
"Lepas kak, sakit," keluh Renata menahan tangan Karin yang semakin mencengkeram erat helai demi helai rambutnya.
Tak ada pembelaan, bibi nampak tenang dengan apa yang terjadi di depannya. Rasa sakit yang dialami Renata seakan tontonan bagi mereka.
Seketika Karin mendorong Renata hingga terhuyung dan jatuh. Punggungnya mengenai dinding, hingga rasa linu menjalar di sekujur tubuhnya.
Renata terisak sembari mengelus lututnya yang lecet. Sepertinya Karin memang tak puas jika belum melihat dirinya terluka.
Ibu, tolong aku.
Karin mendekat dan berjongkok di depan Renata, mengangkat dagu gadis itu dengan jari telunjuknya. Tatapannya tajam bak busur panah yang siap meluncur.
"Ini belum seberapa dibandingkan dengan apa yang kamu lakukan. Gara-gara kamu ayah meninggal, dan gara-gara kamu aku tidak bisa melanjutkan kuliah."
Renata sesenggukan, bayangan sang paman melintas, karena menyelamatkannya paman harus tertabrak motor dan meninggal. Itu yang membuat bibi dan Karin sangat membencinya. Itu pula yang membuat Renata tak bisa meninggalkan mereka.
"Maafkan aku, Kak. Aku pun tidak mau paman meninggal," ucap Renata mengiba.
Mata bibi berkaca, bukan karena kasihan pada Renata, akan tetapi mengingat almarhum suaminya mati dengan cara yang tragis.
"Maaf saja tidak akan bisa mengembalikan pamanmu, sekarang kamu masak!" titah Bibi.
Bibi mengusap air matanya dan berlalu menuju kamar. Karin menyusul dari belakang. Meskipun kejadian itu sudah lama, Bibi dan Karin tetap tak bisa melupakan kejadian itu begitu saja, dan terus menyiksa Renata sebagai bentuk balas dendam.
Aku memang tidak bisa mengembalikan paman, tapi aku sudah menjadi tulang punggung rumah ini bertahun-tahun, apa semua ini masih kurang?
Baru saja berdiri, Suara ketukan pintu membuat Renata membalikkan tubuhnya. Dengan jalan tertatih-tatih ia membuka pintu depan.
Betapa terkejutnya saat melihat laki-laki yang tak asing baginya.
"Kamu!"
Renata maupun pria yang mematung di depan pintu itu saling menunjuk.
"Ngapain kamu tinggal di rumah Karin?" Wajah pria itu tampak pucat dan gugup. Sesekali ia mengelus tengkuk lehernya. Bertemu Renata, wanita yang pernah dilecehkan di rumah pacarnya ternyata lebih menakutkan daripada bertemu singa betina di hutan.
"Kamu ngapain kesini?" tanya Renata balik.
Mencengkeram bajunya yang ada di bagian dada, masih teringat dalam benaknya saat pria itu melakukan sesuatu yang tak senonoh padanya.
"Aku mau ketemu Karin, dia pacarku." Mulai gugup dan salah tingkah.
Renata mengernyitkan dahinya dan menggeleng. Ia tak percaya dengan ucapan pria tersebut.
"Toni, kok nggak masuk." Suara Karin menyahut dari belakang.
Seketika Renata menoleh, menatap Karin yang ada di depan pintu kamarnya.
Gawat, kalau sampai Renata cerita, pasti Karin bakalan putusin aku.
"Kakak kenal sama dia?" tanya Renata sembari menunjuk pria yang bernama Toni.
Karin menghampiri Toni dan meraih tangannya.
"Kamu iri aku punya pacar setampan dia," ucap Karin menyeringai.
Sepertinya Karin sangat membencinya, itu artinya aku lebih mudah membungkam mulut gadis cupu ini.
Karin menarik tangan Toni dan mengajaknya masuk. Sedikit pun tak memberi kesempatan pada Renata untuk menjelaskan semuanya.
Apa kak Karin tahu kelakuan pria itu.
Renata kembali ke dapur, ia tak mau melihat kemarahan Karin lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kok kita ke sini?" tanya Karin saat mobil Toni masuk di halaman klub malam.
"Kenapa? Di sini lebih asyik," jawab Toni dengan santainya.
Ini bukan pertama kali mereka kencan, namun ini adalah kali pertama Toni mengajaknya ke tempat itu.
Keringat dingin mulai bercucuran, meskipun ia sangat galak pada Renata, Karin bukan tipe wanita yang suka berkeliaran, apalagi ke klub malam.
"Tenang saja, Sayang. Kamu cukup temani aku minum, tidak lebih," jelas Toni saat melihat ketakutan di wajah Karin.
Terpaksa Karin mengangguk dan melepas seat belt nya. Ia membuang jauh-jauh rasa takut yang mengendap, demi apapun ia percaya pada Toni yang tidak akan berbuat macam-macam padanya.
Suasana sangat meriah, dari depan saja lantunan musik dj sudah terdengar, para pengunjung keluar masuk dari tempat itu. Karin berhenti sejenak menahan jantungnya yang berdegup kencang melihat beberapa orang yang berjalan sempoyongan, bahkan dari mereka sudah meracau dengan kata-kata yang sangat aneh. Matanya terus menyisir setiap pengunjung yang berlalu lalang di sana.
"Ton, aku takut, sebaiknya kita cari tempat lain saja," Karin menarik tangan Toni. Bulu halusnya berdiri saat menyenggol seseorang dengan tatapan yang tak dimengerti.
"Kamu tenang saja, aku akan menjaga kamu."
"Baiklah, aku ikut."
Karin menggenggam erat tangan Toni, mereka membelah pengunjung yang berkerumun di bawah lampu remang-remang.
"Hai Ton, tumben kamu ke sini?" sapa seseorang yang duduk di samping Toni.
Matanya melirik ke arah Karin sekilas.
"Siapa nih?" tanya pria itu.
"Dia Karin, pacarku." Karin menundukkan kepalanya, antara takut dan malu, ia sudah berani masuk ke tempat itu dan melanggar janjinya pada sang ayah.
***
Sudah hampir jam sepuluh malam. Namun, Renata tak bisa memejamkan matanya. Ia masih ingat dengan kejadian yang hampir merenggut kehormatannya waktu itu.
"Mudah-mudahan Toni tidak berbuat macam-macam pada kak Karin."
Renata terbangun dan duduk di tepi ranjang, menatap beberapa lukisan yang masih berantakan.
"Seandainya aku bisa menjual lukisan itu, pasti hidupku tidak akan sengsara seperti ini," gumam Karin.
Bukan menyesal akan takdir Tuhan, tapi Renata merasa semua sia-sia, perjuangannya yang dulu sempat melambung tinggi seakan tenggelam di dasar laut dalam yang membuatnya tak bisa bangkit lagi.
Renata keluar dari kamarnya dan mengetuk pintu kamar bibi.
"Bi, apa Kak Karin sudah pulang?" teriak Renata.
Ceklek
Pintu terbuka lebar
Bibi tak menjawab, namun wajahnya nampak gelisah.
Matanya menatap makanan yang ada di meja, semua masih sama seperti saat ia tidur.
"Bi, aku kenal siapa Toni, dia bukan laki-laki yang baik untuk kak Karin."
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipi Renata dengan kerasnya.
"Lalu kamu mau bilang, kalau Toni adalah laki-laki brengsek."
Itu memang benar, Bi. Tapi bagaimana caraku menjelaskannya.
Nyatanya, Renata hanya bisa mengucap dalam hati, ketakutannya lebih besar daripada mengungkap sebuah fakta yang sebenarnya.
Pintu terbuka dengan kerasnya. Suara Karin yang baru saja tiba menggema memenuhi ruangan rumah yang sederhana itu. Renata membuka mata dan menatap ke arah pintu saat samar-samar namanya dipanggil, dengan sigap gadis itu terbangun dan keluar. Ditatapnya Karin yang sedang mematung di ruang tamu. Wajahnya nampak pias dengan kedua tangan saling berkacak pinggang.
"Kakak memanggilku?" tanya Renata tanpa rasa takut.
Tak ada jawaban. Namun, tatapan Karin sangat tajam yang membuat Renata menciut.
Karin melempar tasnya dan berjalan menghampiri Renata yang mematung di depan pintu kamarnya.
Keduanya hanya berjarak beberapa centi saja. Seketika Karin menarik rambut panjang Renata hingga gadis itu mendongak.
"Apa yang kamu katakan pada Toni?" tanya Karin dengan gigi mengerat.
Renata menggeleng, "Aku tidak pernah mengatakan apa-apa, Kak," ucap Renata dengan suara bergetar, menahan dadanya yang ikut nyeri.
"Jangan bohong!" ucap Karin menekankan.
"Aku serius, Kak. Aku tidak pernah mengatakan apa-apa," ulang Renata meyakinkan.
Karin melepas jambakannya dengan kasar hingga membuat Renata tersentak.
"Apa kamu pikir aku percaya dengan ucapan kamu itu," cetus Karin. Wajahnya semakin merah padam kala mengingat cerita dari Toni yang mengatakan jika Renata pernah menggodanya.
"Terserah kakak mau percaya sama siapa, tapi perlu kakak tahu, kalau aku tidak bohong."
Baru saja membalikkan tubuhnya, Karin mendorong tubuh Renata hingga jatuh tersungkur. Kakinya yang lecet kini semakin parah hingga gadis itu meringis kesakitan.
Tak puas begitu saja, Karin berjalan mendekati beberapa lukisan yang berjejer rapi. Tangannya mengulur mengambil lukisan indah yang terpajang di dinding.
Mengetahui itu, Renata bangun dan berjalan tertatih-tatih mendekati Karin.
"Ini mau diapain, Kak?" tanya Renata di sela-sela tangisnya.
Karin mengangkat lukisan itu hingga Renata yang lebih pendek tak bisa menjangkaunya.
Renata terus maranggeh tangan Karin yang menjulur ke atas. Namun sia-sia, Karin menjatuhkannya tepat di belakang Renata hingga bingkai yang terbuat dari kaca itu pecah seketika.
Renata menatap lukisannya yang kini teronggok di lantai dengan tatapan nanar. Berhari-hari, bahkan hampir satu bulan ia memolesnya, namun sedikit pun tak hargai.
"Kenapa Kakak tega merusak lukisanku?" Renata berjongkok memungut serpihan kaca yang berserakan.
Karin maju satu langkah dan menginjak tangan Renata yang ada di atas kaca.
Aawww, ringis Renata saat noda merah pekat mulai menghiasi jari lentiknya.
"Sekali lagi kamu berani menggoda Toni, aku tidak akan mengampunimu," ancam Karin.
Setelah Karin keluar dari kamar itu, Renata bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap air matanya yang masih tersisa lalu mengepalkan tangannya.
"Aku sudah berkorban banyak demi Kalian. Aku sudah rela diinjak-injak semua orang hanya untuk membuat kalian bahagia, tapi apa yang aku dapat, hanya siksaan yang tiada akhir. Aku berjanji pada diriku sendiri. Mulai hari ini tidak akan ada yang bisa merendahkanku lagi, termasuk kalian berdua.''
Renata beranjak dan berjalan menuju ke arah laci, ia membalut tangannya dengan perban dan beralih ke arah lemari, dengan sigap ia membongkar semua bajunya, meraih tas ransel dan membukanya.
"Aku harus pergi dari sini, aku tidak mau kak Karin dan bibi menyiksaku lagi, aku harus bisa seperti mereka, aku harus bisa mengubah diriku menjadi lebih baik lagi.''
Tanpa pikir panjang, Renata keluar dari rumah Bibi.
Malam sudah mulai larut, jalanan sangat sepi, namun Renata tak menghentikan langkahnya yang mulai sempoyongan. Ia terus menyusuri ruas jalan. Hanya dengan bantuan lampu penerang ia bisa terus melangkah tanpa tujuan.
Tanpa sadar, Renata tiba di depan perusahaan tempatnya bekerja. Lututnya yang terluka semakin terasa perih hingga terpaksa mencari tempat untuk berhenti.
Renata berdiri di depan gerbang yang sudah terkunci. Cuaca mendung, hingga beberapa kali mengeluarkan suara petir yang menggelegar.
Renata menggunakan tasnya sebagai payung dan berlari ke arah gazebo yang ada di samping jalan.
Bingung melanda, Renata hanya bisa menatap mobil yang melintas. Is tak tahu arah dan tujuan, yang ada di dalam otaknya saat ini harus menjauh dari orang-orang yang membencinya.
"Aku tidak mau kembali ke rumah bibi, aku tidak mau mereka menyakitiku lagi."
Gerimis menghilang, Renata beranjak dan mematung di bibir jalan. Baru saja ingin menyeberang, sorot lampu yang menyilaukan membuat Renata mundur. Namun nahas, kakinya menginjak sebuah batu hingga membuatnya terjatuh.
Mobil berhenti tepat di samping Renata, gadis itu meringis tanpa berdiri. Mengelus bagian bawah pinggang yang terasa linu karena menghantam aspal.
Seorang pria yang memakai jas berwarna hitam pekat turun dari mobil dan menghampirinya, tanpa kata pria itu mengulurkan tangannya ke arah Renata yang nampak ketakutan.
Setelah hening tercipta beberapa menit. Renata mendengar deheman pria itu.
"Aku bukan orang jahat." Suara berat itu menyapa.
Perlahan Renata mendongak menatap pria gagah yang berdiri di depannya.
"Jangan takut, aku akan membantumu," ucap orang itu.
Renata menerima uluran tangan itu dan berdiri. Betapa terkejutnya saat melihat wajah yang tak asing baginya.
Dia kan pak Bagas, kenapa dia tidak jijik padaku?
"Kenalkan, namaku Bagas Ankara, pemilik perusahan ini." Menunjuk gedung tempatnya bekerja.
Renata menundukkan kepalanya, ia malu berhadapan dengan tokoh yang digadang-gadang ketampanannya, mereka bagaikan langit dan bumi yang tidak akan bisa menyatu.
Renata meraih tasnya dan kembali duduk, sedangkan Bagas mengikuti langkah Renata dan ikut duduk di sampingnya.
"Siapa nama kamu? Kenapa malam-malam seperti ini kamu masih ada di luar?" Bagas melirik tas milik Renata yang ada di sampingnya.
"Aku ingin pergi dari rumah, aku tidak sanggup lagi menerima perlakuan bibi dan kak Karin. Mereka terus menyakitiku, padahal selama ini aku selalu menuruti kemauan mereka." Tanpa disadari Renata mengadu pada Bagas dengan nasibnya yang sangat memilukan.
Bagas mengulas senyum.
"Aku bisa membantumu, dan aku yakin mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi."
"Sekarang kita kenalan dulu." Bagas mengulurkan tangannya ke arah Renata.
Hampir saja Renata menerima uluran tangan Bagas, sebuah mobil kembali berhenti di belakang mobil Bagas hingga Renata menarik tangannya kembali.
Pria yang tak asing pun turun menghampiri Renata.
"Mas Derya, seru Renata. Jantungnya berdegup dengan kencang melihat orang yang ia kagumi itu tersenyum ke arahnya.
"Ikut aku!"
Derya meraih tangan Renata, merasa dipedulikan, Renata pun mengikuti langkah Derya menuju mobil.
Ternyata pak Bagas baik juga, aku kira dia CEO yang sangat dingin seperti cerita orang-orang.
Setelah puas menatap Bagas yang masih mematung di pinggir jalan, Renata menoleh menatap Derya yang sibuk dengan setirnya.
Kenapa mas Derya peduli padaku, padahal selama ini dia selalu cuek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!