Empat tahun berlalu begitu cepat. Semua anak anak Mario dan Val telah tumbuh menjadi pemuda yang hebat. Ved di usianya yang masih muda sudah mampu memimpin perusahaan Opanya. Begitu juga dengan Veer, Ia memimpin perusahaan menggantikan Mario yang sudah pensiun awal. Anak gadis satu satunya di keluarga, si cantik Van yang cerdas itu kini sudah sukses menjadi Dokter. Kalau Ladit, Pemuda itu juga memimpin perusahaannya sendiri. Papa Ladit memiliki saham di perusahaan Mario. Karena ingin mandiri. Ia memisahkan saham Papanya dan mendirikan perusahaan sendiri. Meskipun tidak terlalu besar. Namun berkat kegigihannya. Ia berhasil menjadikan perusahaan kecil itu berkembang pesat saat ini.
"Assalamualaikum." Van memasuki rumah.
"Waalaikumsalam."
"Mommy mana Dad?" Tanyanya.
"Lagi pergi ke rumah Mami."
"Ih. Kok nggak kasih kabar ke Van. Kok Daddy nggak ikut?"
"Nggak boleh."
"Kasihan. Kak Ved, Kak Veer sama Kak Ladit belum pulang dari kantor?"
"Belum." Jawab Mario dengan malas sambil melanjutkan membaca.
"Dad."
"Haish...Kamu tanya mulu. Daddy lagi baca."
"Iya maaf. Daddy makin galak aja. Kalo gitu Van ke kamar dulu."
"Hm." Jawab Mario tanpa mengalihkan pandangannya.
Sampai di kamar Van langsung membersihkan diri kemudian duduk di balkon kamar sambil menikmati susu kaleng dingin yang dibawanya dari bawah. Suara ketukan pintu membuat gadis itu beranjak dari duduknya untuk melihat siapa yang datang.
"Kak Ladit."
"Van. Ayo makan. Mom sudah nunggu di bawah."
"Mom sudah pulang?"
"Sudah. Tadi sekalian aku jemput."
"Oh. Ayo kalo gitu."
"Iya." Ladit menyusul Van yang sudah berjalan mendahuluinya.
"Mom." Van mencium pipi Mommynya.
"Hy. Ayo duduk. Makan siang."
"Iya."
"Mom tadi ke rumah Oma ngapain?"
"Oma kangen. Makannya suruh Mom kesana."
"Kakak juga?"
"Nggak. Kita ke kantor." Jawab Ved.
"Van. Nanti bisa temani kakak nggak?"
"Kemana?"
"Beli kemeja."
"Izin aja sama Mom."
"Mom." Ladit ingin meminta izin.
"Boleh. Kalian itu sudah dewasa ya. Bisa ambil keputusan sendiri."
"Iya Mom."
"Dad. Kamu nggak pergi ke rumah Pak RT?"
"Kenapa memang?"
"Kemarin dia kan suruh kamu kesana."
"Nggak ah. Aku males. Kalo dia butuh biar kesini aja."
"Kamu. Kebiasaan deh."Kesal Val pada suaminya.
Van dan Ladit sudah berada di mall. Keduanya berjalan santai sambil melihat lihat.
"Kamu mau beli apa Van?"
"Nggak. Lagi nggak pengen apa apa. Kakak aja yang beli."
"Kita langsung ke toko pakaian ya."
"Iya."
Sampai disana Ladit sibuk memilih kemeja sedangkan Van hanya menunggu sambil duduk.
"Van. Ini bagus yang mana?" Tanyanya meminta pendapat.
"Semuanya bagus. Ambil aja semuanya. Tiap hari dipakai juga kan."
"Iya sih." Kata Ladit kemudian mengambil beberapa kemeja dengan warna yang berbeda beda.
"Kita langsung pulang atau kemana dulu Van?"
"Beli dimsum dulu buat Mom yuk."
"Ayo." Ladit menggandeng tangan gadis itu untuk segera pergi.
Dalam perjalanan pulang. Ladit tak berhenti mencuri pandang pada gadis yang tengah duduk sambil memejamkan mata di sampingnya. Ia ingin sekali memperistri Van. Namun Ia takut sekaligus bingung bagaimana cara menyampaikannya pada Mommy dan Daddynya. Rasanya sangat aneh. Hubungan adik kakak yang sudah terjalin dengan baik harus seperti ini. Meskipun mereka tidak ada hubungan darah. Namun tetap saja aneh rasanya.
"Van."
"Ya kak."
"Kamu lagi dekat sama seseorang?"
"Maksud kakak?"
"Kamu sudah punya laki laki idaman?"
"Belum. Memangnya kenapa?"
"Nggak. Aneh aja cewek cantik dan baik kaya kamu belum punya calon."
"Em...Van belum mikir sampai ke situ."
"Kamu ngantuk?"
"Nggak."
"Kalo ngantuk tidur aja. Nanti kalau sampai aku bangunin."
"Nggak kok. Aku nggak ngantuk. Cuman pengen merem aja."
Keduanya baru sampai di rumah sore hari.
"Aku taro ini di kamar dulu ya. Kamu langsung kesana. Nanti aku susulin."
"Iya." Kata Van langsung meninggalkan Ladit menuju ke teras belakang karena Mommy dan para saudaranya berada disana.
"Nah ini yang diomongin baru datang."
"Ada apa memang?"
"Nggak papa. Kak Ladit mana?"
"Lagi di kamar taro belanjaannya."
"Oh..."
"Mom. Aku beliin dimsum buat Mom."
"Makasih. Ngerti aja kamu."
"Sama sama Mom." Van langsung memeluk Mommynya.
Ladit datang langsung duduk di sebelah Van.
"Dit."
"Ya Dad."
"Kamu sudah punya calon? umur kamu sudah 25 lo."
"Belum Dad. Umur segitu juga masih muda."
"Yah. Masa belum kenal cewek sama sekali."
"Halah. Kaya kalian udah pada ada aja."
"Kita kan masih muda banget. Belum mikirin ke arah situ."
"Apa bedanya? Umur kita cuman terpaut 4 tahun."
"Ya beda dong. Kita masih muda banget."
"Van."
"Ya Dad."
"Kalo Daddy suruh kamu nikah gimana?"
tanya Mario membuat semua yang berada di situ melongo tidak percaya.
"Ntar dulu Dad. Van belum punya calon. Lagian umur Van juga baru 18. Van belum siap."
Mario mengamati wajah Ladit yang tampak berbeda. Pemuda itu memaksakan senyum mendengar penuturannya barusan.
"Hari ini pada kenapa sih ngomongin nikah mulu sih." Heran Val.
"Tau tuh si Daddy."
Mario mengajak istrinya duduk berdua di balkon kamar. Dari gelagatnya pria itu akan menyampaikan sesuatu yang serius.
"By." Panggilnya pada sang istri.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Ngomong apa?"
"Ini penting."
"Yasudah ngomong aja."
"Begini. Sebenarnya isi wasiat itu masih ada kelanjutannya."
"Apa?"
"Frans minta kita menjodohkan Ladit sama Van."
"Hah?" Val menutup mulutnya karena terkejut.
"Iya. Gimana aku nyampaikannya ke Van ya."
"Kamu kok baru ngomong sekarang sih."
"Ya Maaf. Aku tunggu waktu yang tepat dulu. Aku khawatir Ladit seperti Papanya. Aku juga ragu untuk menjalankan wasiat ini. Aku takut nantinya Van tidak bahagia sama dia. Bagaimanapun juga aku orang tuanya. Aku mau yang terbaik untuk anak anakku."
"Hm. Iya juga. Tapi apa Ladit sudah tau tentang ini?"
"Belum ada yang tau kecuali aku sama kamu."
"Lebih baik kita ngomong aja. Kedepannya gimana biar waktu yang menjawab."
"By."
"Hm."
"Kamu nggak khawatir sama masa depan Van kalau wasiat ini kita jalankan?"
"Ladit anak baik kok. Aku tau itu. Tapi lagi lagi mereka yang menjalankan. Ah gimana ya. Aku juga bingung. Kamu yang ngomong."
"Kamu dong. Mereka kalo kamu yang ngomong kan pasti di dengerin."
"Nanti kita berdua yang ngomong." Putusnya.
"Kalau mereka nolak. Ah bukan. Kalau Van menolak gimana?"
"Maksud kamu? Kok Van?"
"Kamu belum tau kalau Ladit itu sebenarnya suka sama Van."
"Dari tingkah lakunya sih kayanya iya. Tapi aku nggak ambil pusing."
"Dia suka sama Van sudah lama."
"Tau banget kamu."
"Iya lah. Dia kaya Papanya. Kalo beneran suka sama orang tingkahnya aku pasti tau. Kaya dulu Frans suka sama kamu."
"Jangan di bahas lagi."
"By." Mario langsung menyusul istirnya pergi.
Van baru saja sampai di rumah sakit. Ia langsung masuk ke dalam setelah memarkirkan mobilnya di basment.
"Selamat pagi dokter."
"Pagi." Jawab Van dengan senyumnya yang ramah.
Kerumunan orang membuat langkah Van membelok. Ia menghampiri beberapa orang yang ada disana.
"Tolong anak saya." Kata Seorang wanita sambil menggendong anaknya.
"Maaf Ibu. Kami harus cek tanda pengenal Ibu terlebih dahulu."
"Saya lupa tidak bawa suster. Saya tidak sempat bawa."
"Mari ikut saya Bu." Kata Van membuat semuanya diam. Mereka tak mungkin jika harus menentang cucu dari pemilik rumah sakit.
"Dokter. Dia tidak mempunyai tanda pengenal."
"Tidak masalah. Mari ikut saya." Kata Van langsung menggandeng tangan Ibu itu untuk mengikutinya.
Van sampai di ruangan langsung membaringkan anak berusia lima tahun itu ke ranjang. Dengan sigap dokter cantik itu memeriksa dan memandang infus.
"Ibu. Anak Ibu panasnya sudah berapa hari?"
"Sekitar dua hari dok. Panasnya belum turun juga. Saya sudah beri obat dari apotik tapi tetap tidak ada perubahan."
"Gejala lain seperti diare, muntah dan pusing? apa anak Ibu mengalami?"
"Iya dok. Itu juga terjadi."
"Anak ibu terkena tipes. Harus dirawat."
"Tapi dokter..." Katanya sambil menunduk.
"Apa tidak bisa obat jalan saja?"
"Ibu jangan khawatir masalah biaya. Jangan pikirkan tentang itu. Saya akan mengatasinya. Yang penting anak ibu sembuh."
"Terimakasih banyak dokter."
"Sama sama."
"Boleh saya peluk dokter."
"Tentu."
"Dokter sangat baik." Kata wanita itu sambil memeluk Van.
"Untuk obatnya akan diantarkan oleh suster sebentar lagi. Mohon ibu tunggu ya."
"Iya Dok. Sekali lagi terimakasih banyak."
"Sama sama Ibu. Saya permisi."
"Iya dok."
Van duduk di kursinya. Ia begitu lelah karena baru saja melakukan operasi. Memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari. Namun tetap saja. Pekerjaannya yang padat membuat dirinya kelelahan juga.
"Kakak." Van terkejut ketika Veer menerobos masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Heh. Kaget begitu. Memangnya kakakmu ini hantu."
"Aku kaget aja. Ada apa?"
"Makan siang dari Mom." Kata Veer sambil menyerahkan paper bag di atas meja kerja adiknya.
"Makasih. Mom memang sangat pengertian." Van langsung membukanya dengan semangat.
"Kakak sudah makan?"
"Sudah tadi."
"Oh."
"Kirimin makan segala. Padahal aku mau beberes buat pulang."
"Kamu sudah selesai?"
"Sudah. Tinggal cek satu pasien lagi aku pulang."
"Halah. Percuma aku dateng."
"Nggak juga. Aku emang nahan laper dari tadi. Untung kakakku yang ganteng ini datang."
"Kamu kalo aku lagi begini aja di baik baikin."
"Iya dong. Em...kak Ved mana?"
"Di rumah."
"Oh. Kirain belum pulang."
"Dia enak. Kerjanya fleksibel kaya Daddy dulu. Lah aku. Pegang perusahaan Daddy dapat kontrol penuh. Sering di marah marahin sama Daddy lagi." Keluh Veer.
"Sabar. Udah jodohnya emang kamu sama Dad. Sikap kalian aja sama."
"Enggak. Aku kaya Mom."
"Enggak. Kakak tuh 100 persen mirip Daddy. Meskipun kalian sering debat tapi kalian itu sama. Sama sama keras kepala, arogan dan sombong."
"Enggak."
"Terserah deh." kata Van menyerah.
Seorang pemuda tengah mondar mandir di depan jendela kaca kamarnya yang besar. Ia berhenti sejenak sambil menatap pantulan dirinya yang terlihat samar. Sudah lama Ia mengumpulkan niat namun tak kunjung berani juga. Perlahan Ladit menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan perlahan melalui mulut. "Aku akan bicara. Sudah sangat lama aku ingin menyampaikan namun selalu saja gagal. Kali ini akan aku lakukan." Katanya kemudian pergi.
Ladit menghampiri Val dan Mario yang mengobrol serius di ruang keluarga.
"Mom. Dad." Sapanya sambil duduk di samping Val.
"Ada apa sayang?"
"Em...Ladit mau bicara sesuatu." Katanya dengan tidak enak.
"Katakan saja."
"Ladit bingung Mom. Ladit harus mulai darimana."
"Katakan saja, Mom akan dengarkan."
"Maaf sebelumnya karena Ladit telah lancang. Mom Ladit sempat menolak perasaan ini. Ladit juga sudah berusaha menguburnya dalam dalam tapi Ladit tetap tidak bisa. Mom pernah mengatakan jika Ladit suka dengan seseorang Ladit boleh bercerita sama Mom."
"Iya Mom memang pernah bicara seperti itu."
"Mom. Ladit cinta sama Van." Katanya dalam satu tarikan nafas membuat Mario terkejut. Ia tak menyangka anak almarhum sahabat bar barnya itu berani mengatakan hal seperti ini.
"Mom. Ladit salah ya kalau Ladit suka sama Van?"
"Enggak sayang. Van kan bukan adik kandung Ladit. Tidak ada ikatan darah diantara kalian. Jadi perasaan itu adalah wajar."
"Mom tidak marah?"
"Kenapa Mom harus marah karena kamu mencintai Van. Tidak masalah. Semua orang berhak jatuh cinta."
"Terimakasih Mom."
"Iya."
"Berhubung kamu mengatakan itu. Daddy juga akan mengatakan sesuatu sama kamu."
"Apa Dad?"
"Wasiat Papa kamu mengatakan jika dia mau menjodohkan kamu dengan Van."
"Lalu?"
"Van belum mengetahui tentang ini. Daddy sama Mom lagi cari waktu yang tepat buat ngomong sama dia."
"Ladit. Daddy mau tanya sama kamu."
"Apa Dad?"
"Apa kamu benar benar mencintai Van?"
"Iya Dad. Ladit sudah dewasa. Jadi nggak mungkin perasaan Ladit salah. Ladit sudah mencoba melupakan karena sejak Van kecil sudah bersama sama dengan Ladit. Sudah seperti adik Ladit sendiri. Namun Ladit menyerah. Ladit nggak bisa melupakannya."
"Kamu serius dengan anak Daddy?"
"Iya Dad. Ladit serius. Ladit akan menikahi Van. Seperti yang telah Mommy katakan. Jika Ladit suka sama seseorang maka Ladit harus melamar ke orang tuanya. Ladit sekarang minta izin sama Mom dan Dad untuk menjadikan Van istri Ladit."
"Ladit."
"Dad. Ladit tau Ladit anak dari orang tua seperti apa. Tapi Ladit janji nggak akan sakiti Van nantinya."
"Ladit. Daddy sama Mom juga belum tahu Van nanti bagaimana. Kami akan ngomong sama dia dulu. Kami akan menyampaikan isi wasiat itu sama Van."
"Iya Dad. Ladit akan tunggu." Katanya sambil tersenyum pada Mario.
Suasana makan malam tampak heboh. Veer tak berhenti berdebat dengan Mario.
"Duh. Kalian bisa berhenti nggak sih. Mom pusing."
"Daddy yang mulai Mom."
"Terserah siapa yang mulai dulu, sekarang makan dengan tenang."
"Iya Mom."
"Iya By." Jawab keduanya bersamaan.
"Mom. Tadi kasihan deh ada Ibu ibu bawa anaknya yang sakit tapi nggak ada yang tangani."
"Bukannya rumah sakit layani pengobatan gratis juga?"
"Iya. Tapi dia lagi nggak bawa identitas."
"Oh. Terus gimana? anaknya sakit apa?"
"Sudah aku suruh rawat inap Mom. Anaknya sakit tipes."
"Kasihan."
"Em..Nggak enak banget itu." Sahut Ladit yang pernah mengalami.
"Ah iya. Dulu Kak Ladit pernah tipes ya."
"Iya. Jangan sampai terulang lagi."
"Makannya jaga kebersihan."
"Iya."
"Mom. Besok kan libur. Kita jalan yuk...."
"Nggak. Mom udah ada janji sama Daddy."
"Janji apa?" Tanya Val kebingungan.
"Ada pokoknya. Kamu selalu lupa begitu." Kesal Mario pada istrinya yang tidak bisa diajak berkompromi.
Dua orang tengah berbincang dengan serius di sebuah taman yang tak jauh dari rumah sakit.
"Jadi bagaimana Van?" Tanya sosok laki laki yang duduk di sampingnya.
"Aku tidak berpacaran Kak. Aku akan langsung menikah. Jika kakak serius denganku. Kakak harus melamarku pada orang tuaku."
"Baiklah. Aku akan melamarmu." Kata pria itu membuat Val terkejut dan menatapnya.
"Aku serius. Hari ini aku akan pergi melamarmu."
"Baiklah. Malam nanti datanglah ke rumah. Alamatnya akan aku kirimkan ke kakak."
"Baik."
"Kalau begitu aku kembali bekerja dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawabnya sambil memandangi Van yang sudah melangkah pergi.
Sosok gadis memasuki ruangan.
"Dokter." Sapanya dengan ceria.
"Halo Ilham bagaimana keadaannya?"
"Baik dok. Terimakasih banyak sudah menolong Ilham."
"Sama sama. Ayo di periksa dulu. Setelah itu baru boleh pulang."
"Dokter. Ilham boleh pulang hari ini?"
"Iya Ibu. Tapi sebelumnya saya akan periksa dulu."
"Baik Dok."
Van langsung memeriksa keadaan anak itu.
"Semuanya sudah baik. Selamat ya. Ilham sudah boleh pulang."
"Iya dok." Katanya dengan wajah sedih.
"Kenapa sedih begitu?"
"Nanti Ilham nggak ketemu dokter lagi."
"Lain kali kita akan ketemu. Jangan sedih ya." Van memeluknya.
"Terimakasih banyak dokter. Saya berhutang budi sama dokter."
"Sama sama Ibu. Sudah sepatutnya saling menolong sesama. Saya permisi dulu ya."
"Iya Dok. Semoga semua yang dokter inginkan berjalan dengan lancar."
"Terimakasih doa baiknya." Jawab Van sambil tersenyum ramah.
Van baru saja sampai di rumah sore hari. Ia langsung berjalan pelan di taman belakang dan memeluk Mommynya yang sedang menyiram tanaman.
"Haish anak ini. Bikin kaget saja. Bukannya ucapkan salam."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Mandi sana."
"Iya Mom. Em....Mom. Nanti teman Van mau kesini."
"Iya."
"Daddy mana Mom?"
"Daddy lagi pergi sebentar. Tau tuh mau beli pakannya Pisces kayanya."
"Tumben nggak minta di temenin."
"Tadi minta. Mom ogah."
"Yasudah kalo gitu Van mandi dulu ya Mom."
"Iya."
Gadis itu langsung berlari setelah berhasil mengecup pipi Mommynya.
Semuanya tengah berkumpul di teras belakang.
"Van."
"Ya Dad."
"Daddy mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Van juga."
"Yasudah. Kamu duluan saja."
"Begini Dad. Hari ini senior Van mau datang untuk melamar Van malam ini." Kata Gadis itu membuat napas Ladit tercekat.
"Van."
"Boleh kan Mom? Kata Mommy aku boleh langsung menikah."
"Siapa dia?" Tanya Mario untuk mengatasi kesulitan istrinya.
"Namanya Levin Armando Setyaji."
"Seorang dokter juga?"
"Iya. Tapi beda rumah sakit dengan Van."
"Sebelum itu. Daddy akan cari tahu dulu profilnya."
"Kamu katanya nggak mau nikah dulu dek?"
"Berubah pikiran aku Kak."
"Secepat itu?"
"Iya."
"Kapan dia bilang mau lamar kamu?"
"Tadi siang."
"Kamu sudah tau dia orangnya bagaimana?"
"Selama aku kenal dia orangnya baik. Nggak neko neko."
Val menggenggam tangan Ladit.
Malam hari Val memasuki kamar Ladit untuk memanggilnya makan malam.
"Sayang. Ayo makan malam dulu."
"Ladit nggak lapar Mom. Ladit disini saja."
Val tau pemuda itu tak mau sakit hati yang terlalu jauh.
"Baiklah. Kamu yang sabar ya. Jika memang berjodoh kamu dan Van akan di persatuan."
Katanya sambil memeluk Ladit.
"Iya Mom. Terimakasih."
Val kembali lagi ke ruang makan. Semuanya sudah berkumpul disana termasuk dengan Levin juga. Kesan pertama yang Val dapat simpulkan dari pemuda itu adalah pemuda yang sopan. Ia cukup tau dari tingkah laku dan bagaimana caranya menyapa.
"Mari makan." Kata Val memulai acara makan malam.
"Kak Ladit mana Mom?"
"Dia nggak enak badan. Makannya nggak bisa ikut gabung." Bohongnya.
"Oh."
"Levin. Kamu dokter juga?"
"Iya Om."
"Di rumah sakit mana?"
"Di rumah sakit A dekat Mall."
"Oh."
"Gimana masakan Mom. Enak?"
"Enak. Sangat enak." Jawabnya sambil tersenyum.
Suasana hening sesaat. Mereka sedang berbincang setelah melangsungkan makan malam.
"Om dan Tante serta Kakak kakak sekalian. Maksud kedatangan saya kesini adalah untuk melamar Van. Mohon memberi izin pada saya untuk menjadikan Van sebagai istri saya."
"Kalau kami terserah pada Van. Jika dia bersedia akan kami dukung."
"Bagaimana Van?"
"Iya." Jawabnya sambil mengangguk.
"Om harap kamu akan serius dalam hubungan ini. Saya tidak mau kamu menyakiti putri saya. Kamu harus menjaganya dengan baik seperti kami menjaga Van."
"Baik Om."
"Selain itu. Saya dan Van juga sudah sepakat untuk membicarakan tanggal pernikahan kami juga hari ini Om."
"Baiklah. Terserah kalian berdua."
"Bagaimana jika dua bulan lagi? Tepatnya tanggal 9 dan bulan 9."
"Tanggal yang bagus." Kata Van menyetujui.
Val memeluk anak gadisnya. Ia tak menyangka Van akan menikah secepat ini.
"Mom. Untuk semua perlengkapan pernikahan besok Van akan urus sama Kak Levin. Jadi Van izin sama Mom ya."
"Iya."
"Kamu mau undang berapa orang?"
"Banyak. Tapi Van nanti akan tulis inisial nama aja di undangannya. Biar mereka penasaran."
"Kamu ada ada aja. Yaudah Mom ke kamar kakak kamu dulu ya."
"Kak Ladit beneran sakit?"
"Katanya sih begitu."
"Aku lihat dulu."
Van bergegas menuju kamar Ladit.
"Kakak." Panggilnya sambil membuka pintu.
"Kakak sakit?"
"Iya. Agak kurang enak badan." Jawabnya sambil mendudukkan diri.
"Van bawa vitamin buat kakak."
"Makasih ya."
"Iya."
"Van."
"Iya."
"Kamu beneran mau nikah?"
"Iya. Dua bulan lagi. Kakak nyusul habis Van ya."Kata gadis itu hanya ditanggapi senyuman.
"Kakak cepat sembuh. Van mau ke kamar dulu."
"Iya. Makasih."
"Sama sama."
"Mom." Van terkejut saat berpapasan dengan Mommynya di pintu.
"Mom mau ke dalam?"
"Iya. Mau antar makan."
"Oh. Van ke kamar ya."
"Iya." Jawabnya sambil mendorong pintu agar terbuka.
Mario menyusul istrinya di kamar Ladit. Wanita itu tengah membujuk Ladit agar mau makan.
"Makan dulu ya. Mom suapi. Di umur kamu yang sudah 25 ini Mom masih suapi lo." Ladit tersenyum kemudian mengangguk.
"Nggak malu apa kamu. Kalo karyawan kamu tau bosnya seperti ini."
"Halah. Daddy sekarang aja masih minta di suapi sama Mom. Bukannya yang malu harusnya Daddy."
"Kamu itu. Bisa aja jawabnya."
"Ladit...."
"Kata Mom kalo memang jodoh pasti akan di persatukan." Potong Ladit sebelum Val melanjutkan kalimatnya.
"Kamu gampang nyerah ya ternyata." sindir Mario.
"Mau bagaimana lagi Dad. Bukannya Ladit nyerah. Tapi kebahagiaan Van lebih penting. Buat apa Ladit sama Van tapi hatinya milik orang lain."
"Good boy. Daddy bangga sama kamu. Kamu seperti Frans. Dia tidak egois."
"Karna Ladit anaknya."
"Papa kamu pasti bangga melihat kamu sekarang."
"Ini berkat Mom sama Dad. Makasih sudah didik Ladit dengan baik."
"Sama sama Sayang. Kamu anak Mom. Mom bangga sama kamu." Kata Val langsung mendapat pelukan hangat dari pemuda itu. Ladit sebenarnya hancur. Tapi Ia sebisa mungkin akan terlihat tegar menghadapi semua ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!