NovelToon NovelToon

Secret Love

New Life

Kiana menatap langit biru yang melukis keindahan dengan senyum yang mewakili paginya. Hamparan bunga bermekaran menggambarkan suasana hatinya yang tengah berbahagia. Entah itu karena apa. Terlepas Kiana hanya merasakan hal yang berbeda dari dirinya semenjak hampir 2 bulan yang lalu dirinya berhasil mendapatkan pekerjaan untuk pertama kalinya saat merantau ke kota besar.

Beruntung memang. Itu yang selalu dia ucapkan, serta rasa syukur saat ada segelintir orang yang masih peduli padanya.

Peduli? Ralat!

Mungkin bisa lebih mengarah pada mengasihani pada dirinya saat itu. Akan tetapi, Kiana tak henti-hentinya bermunajat pada sang Ilahi atas rasa syukur dan nikmat yang telah di berikan padanya. Terhindar dari kejamnya dunia yang tak berkasih, Kiana sangat berhutang budi pada seorang sosok yang telah sudi mengulurkan tangan untuknya.

Sosok itu yang telah membantu banyak, saat Kiana tak tahu arah dan tujuan saat tiba di kota itu.

"Ya Tuhan... anak jaman sekarang loh ya ga ada sopan santunnya sama sekali! Pendidikan sebagus apapun akan kalah kalau tidak punya etika dan tata krama!" ucap seorang wanita paruh baya terlihat kesal atas apa yang menimpa dirinya sehingga barang-barang yang dibawanya berjatuhan begitu saja.

Kiana hanya tersenyum mendengar kekesalan yang diluapkan oleh wanita itu. Tangannya bergerak dengan cekatan membantu membereskan barang-barang yang berjatuhan.

"Ada anak muda seperti itu, benar-benar tidak punya rasa bersalah sekali. Loh ini orang tua yang dia tabrak!" masih dengan kekesalannya, wanita paruh baya itu terus bersuara tindak dari kekecewaannya pada anak muda yang sudah menabraknya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan rasa bersalah sama sekali.

Hingga tatapannya kini tertuju pada sosok gadis muda cantik yang tengah membantunya dengan tanpa bersuara. Seulas senyum terbit melihat gadis tersebut yang rela membantunya.

"Makasih ya, sudah repot-repot membantu saya." ucap terima kasihnya pada Kiana.

"Sama-sama Bu, senang bila bisa saling membantu." jawab Kiana, tak lupa dengan senyuman ramahnya.

"Walah... sudah cantik, baik, peduli terhadap orang lain. Beruntung sekali kedua orang tuamu, Nak!"

Tiba-tiba senyum ramah tersebut sirna begitu saja saat Kiana diingatkan kembali pada sosok kedua orang tuanya. Namun dengan cepat kiana mengalihkan rasa sedihnya itu dengan wajah yang ramah kembali.

"Sudah selesai, hati-hati Bu. Biar saya bantu ya bawa barang-barang nya," tawar Kiana yang melihat kesusahan dari wanita tersebut.

"Tidak perlu, terima kasih. Kamu memang gadis cantik yang baik." pujinya terhadap Kiana tulus dalam hati. "Oh ya, siapa namamu, Nak?"

Diam sejenak tampak ragu untuk menjawab, namun akhirnya dia pun bersuara, "Kiana," jawabnya dengan malu-malu.

"Nama yang cantik seperti orangnya." kembali pujian diberikan oleh wanita paruh baya itu kepada Kiana, yang membuat semburat rona merah di pipi gadis itu terlihat jelas.

"Saya Bu Ajeng, senang berkenalan dengan kamu." ramahnya kembali tak dibuat-buat. Justru membuat Kiana seolah kagum dengan sosok yang kini ada dihadapannya. "Ngomong-ngomong, kamu dari mana dan mau kemana?" tanya Bu Ajeng yang penasaran saat melihat Kiana membawa tas besar seperti hendak akan pergi ke suatu tempat.

"Eh, ini... saya juga bingung mau kemana Bu." jawabnya penuh kebingungan sembari diselingi dengan kekehan kecil karena memang Kiana tak tahu arah dan tujuan di kota itu. Tak ada sanak keluarga hanya bermodal nekad saja dia datang dengan keberanian yang tak seberapa.

"Loh, memangnya kamu dari mana? Dan mau apa datang ke kota ini jika tidak ada tempat yang kamu tuju?" tanya Bu Ajeng kembali dengan wajah yang serius.

"Saya dari desa, sengaja datang kemari untuk mencari pekerjaan, Bu." jelasnya tanpa harus menutup-nutupi.

"Oalah... begitu rupanya, anak gadis datang ke kota sendirian tanpa ada kenalan satupun, itu bahaya sekali loh." mencoba mengingatkan akan bahaya yang mungkin terjadi sewaktu-waktu pada Kiana.

Kiana hanya mampu tersenyum, tak bisa menjawab karena itu pun yang dia takutkan selama menginjakkan kaki di sana. Namun, sudah menjadi konsekuensinya atas tekad bulat yang dia miliki.

Melihat kebingungan Kiana, Bu Ajeng pun kembali bersuara.

"Begini saja, bagaimana kalau kamu ikut dengan saya." ajaknya membuat Kiana mendongak untuk menatap Bu Ajeng.

"Maksudnya gimana, Bu?" tanya Kiana penuh selidik.

"Kamu butuh pekerjaan bukan? Nah, kamu bisa ikut ke rumah saya untuk bantu-bantu pekerjaan rumah. Bagaimana, kamu mau?"

Kiana bingung harus menjawab apa. Di sisi lain dirinya merasa senang karena tetiba saja ada tawaran pekerjaan dengan begitu mudah padanya. Di sisi lain pula Kiana merasa khawatir atas tawaran yang diberikan oleh orang yang baru saja di temui dan tak pernah Kiana kenal.

"Kenapa? Kamu takut?" tanya Bu Ajeng saat melihat diamnya Kiana. "Sudah, jangan yang berpikir tidak-tidak. Saya bukan orang jahat dan tidak akan macam-macam terhadap gadis sebaik kamu. Saya tulus dan ikhlas ingin membantu." jelasnya, mengurai keraguan dari wajah Kiana.

"Entah kenapa, saya suka pribadi kamu meski kita baru saja bertemu." jujurnya seraya melihat arloji dipergelangan tangannya. "Saya akan senang bila kamu bisa bekerja di rumah saya. Jadi, ayo tunggu apa lagi. Apa kamu mau tinggal di sini sendirian tanpa tahu apa yang harus kamu lakukan?"

"Bagaimana jika ada se--" belum sempat Bu Ajeng melanjutkan perkataannya, Kiana dengan cepat menganggukkan kepalanya.

"I-iya, Bu. Saya mau!"

Dengan senyum kemenangan, Bu Ajeng mengajak Kiana untuk segera menaiki mobilnya yang tengah menunggu sedari tadi bersama supir yang berada di dalamnya.

"Ayo, Mbok Sarmi pasti senang jika ada teman di rumah." ajaknya dengan tangan yang kesusahan menenteng barang belanjaannya.

"Saya bantu bawa ya, Bu." Bu Ajeng hanya tersenyum melihat tingkah polos gadis cantik yang begitu bersemangat meski dirinya terlihat kesusahan dengan barang-barang yang ada di tangannya.

Tersadar atas lamunannya, Kiana bergegas kembali masuk ke dalam rumah, dia menghampiri Mbok Sarmi yang tengah bergelut di dapur menciptakan hidangan pagi bagi seluruh penghuni rumah yang mereka tempati untuk mencari nafkah. Wanita paruh baya itu sibuk dengan pekerjaannya, selalu cekatan dan telaten kiana memperhatikannya sepintas dari kejauhan.

"Selesai Ki?" tanya Mbok yang melihat Kiana menghampirinya setelah menyimpan alat kebersihan yang baru saja dia pakai untuk membersihkan bagian belakang rumah.

"Sudah Mbok," jawab Kiana dengan senyuman manis. "Ini sudah di cuci?" tunjuk kiana pada sayuran terlihat sudah dipotong-potong.

"Belum, tolong bersihkan ya. Tanggung ini sebentar lagi matang." jawab Mbok Sarmi tanpa menoleh pada Kiana yang langsung mengerjakan perintah Si Mbok.

"Gimana? Pas belum?" ujar Mbok yang meminta pendapat pada Kiana setelah kembali memperhatikan keahliannya.

"Selalu enak, apapun masakan Mbok mah enggak perlu di ragukan lagi." puji Kiana dengan acungan dua jempol yang membuat Mbok Sarmi tersenyum.

"Bisa saja kamu." Mbok Sarmi terkekeh pelan.

Semenjak ada Kiana datang ke rumah yang sudah memberikannya nafkah selama kurang lebih 30 tahun itu. Dia merasa seperti mempunyai teman saat mengerjakan pekerjaan. Selain cepat selesai, Mbok Sarmi merasa Kiana seperti anaknya sendiri yang masih perlu tuntunan dan arahan dari sosok orang tua seperti dirinya. Terlebih dirinya cukup mengetahui latar belakang kehidupan Kiana saat gadis kecil itu dengan suka rela menceritakan padanya.

Dia sangat prihatin atas nasib yang menimpa gadis sebaik Kiana. Dan keputusan Bu Ajeng untuk membawa Kiana masuk ke dalam rumah ini adalah keputusan yang tepat menurutnya. Karena dia sendiri tahu bagaimana pribadi keluarga di rumah itu, terutama Bu Ajeng yang memiliki hati yang tulus.

"Kamu harus belajar banyak menu makanan yang di sukai orang-orang di rumah ini, Ki." tuturnya saat Kiana dengan serius memperhatikannya.

"Kalau yang ngajarin Mbok mah pastinya aku seneng banget," timpalnya sembari menggoda.

"Ishh, kamu ini."

"Sekarang pindahkan ke piring dan tata di meja makan, sebentar lagi ibu dan bapak pasti turun untuk sarapan."

"Siap, Mbok!" sahutnya bersemangat. Bagai seorang anak yang patuh terhadap ibunya, Kiana dengan senang hati mengerjakan itu semua. Walau bagaimana pun Kiana telah menganggap Mbok Sarmi sebagai sosok seorang Ibu yang patut dia hormati dan patuhi terlepas dari posisi mereka seperti apa di rumah besar itu.

***

Hai, teman-teman readers. Senang bisa menyapa dan berkenalan dengan kalian semua lewat karya pertama aku, novel receh yang mudah-mudahan bisa menghibur para readers di waktu luangnya saat membaca.

Yuk, kenalan dengan tokoh-tokoh dalam cerita "Secret Love" yang akan membawa kalian merasa penuh emosi saat membacanya.

Jangan lupa terus dukung ya!!!

Salam hangat, dan peluk cium jauh dari Othor 😘😘😘

Aura

Saat tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan, Kiana melihat sosok yang selama ini dia kagumi berjalan menghampiri dirinya berada. Sontak saja membuat gadis itu dengan cepat segera menyelesaikan apa yang ditugaskan Mbok kepadanya.

"Pagi, Ki..." sapa Bu Ajeng pada Kiana yang terlihat sudah rapih dan tentunya sangat cantik di usianya kini.

Jika sekilas Kiana selalu merasa Bu Ajeng adalah wanita yang masih muda berbalik dengan kenyataan bahwa wanita cantik dengan tinggi semampai itu pada kenyataannya hampir memasuki usia kepala lima.

"Pagi Bu," jawab Kiana dengan anggukan kepala tanda hormat pada orang yang lebih tua.

"Wah... sudah siap semua ya. Enak-enak pastinya ini." ujarnya seraya melihat lauk pauk yang ada di atas meja makan, dan mengambil duduk di tempat yang seperti biasanya.

"Ayo dong Pah, keburu siang ini. Belum nunggu lama kalau Papa sarapan!" celetuknya saat menyadari suaminya Pak Hardi datang menghampiri.

"Kebiasaan Mama ini, sukanya mau buru-buru." ujarnya dan mengambil duduk di kursi utama.

"Papa mau sarapan apa? Inget, jangan dulu minum kopi kalau itu perut belum di isi sama makanan. Papa kan suka ngeyel orangnya kalau di kasih tahu!" ingatnya pada kebiasaan buruk sang suami.

"Iya, deh iya... Mama mah selalu yang paling bener. Papa bisa apa kalau begini," jawab Pak Hardi tak mau berkepanjangan yang ujung-ujungnya akan selalu ada perdebatan kecil diantara mereka. Dirinya selalu merasa teristimewakan atas perhatian-perhatian yang selalu istrinya berikan.

Kiana hanya tersenyum melihat tingkah kedua majikannya itu. Di rasa sudah tak ada lagi yang perlu dia siapkan, Kiana pamit untuk kembali ke dapur membantu Mbok yang mungkin sedang kewalahan.

"Saya permisi Pak, Bu." ucap Kiana. Hampir saja kakinya melangkah namun suara Bu Ajeng seketika menghentikan langkahnya.

"Kamu gak sarapan dulu, Ki?" tawar Bu Ajeng pada Kiana yang terasa sudah tidak aneh lagi kala setiap kali mereka makan Kiana akan selalu mendapatkan tawaran yang sama.

"Makasih Bu, nanti saya bisa makan di belakang sama Mbok." jawab Kiana yang merasa tak enak.

"Oh, ya sudah." Bu Ajeng kembali melayani suaminya mengambilkan makanan.

"Ki, tolong nanti bersihkan kamar atas dan ganti spreinya ya. Kamarnya Bian, hari ini dia pulang. Jadi jangan lupa ya, saya bisa pusing kalau dia ngomel-ngomel kalau kamarnya nggak bersih dan rapih."

"Iya, Bu." Kiana pun pergi setelah mendapat tugas tambahan untuk membersihkan kembali kamar anak majikannya yang tak pernah sekalipun Kiana lihat rupanya selama tinggal di rumah itu.

"Bian jadi pulang hari ini, Ma?" tanya Pak Hardi yang sibuk menyendokkan makanannya.

"Bilangnya gitu, tapi nggak tahu juga." jawab santai Bu Ajeng.

"Loh, gimana Mamah ini. Anaknya mau pulang tapi nggak tahu pasti,"

"Papah yang nggak tahu Bian gimana aja," matanya mendelik ke arah suaminya sembari melanjutkan perkataannya, "Sifatnya yang satu itu kan menurun dari Papah, pura-pura gak tahu kayak gimana watak anaknya aja."

Pak Hardi terkekeh pelan, tangannya mencolek bahu istrinya yang langsung mendapat pukulan pelan pada punggung tangan Pak Hardi.

"Kebiasaan!"

"Hehe, mumpung kita berdua di sini Ma, mumpung anak-anak pada belum pulang. Papa kangen tahu kita bisa berduaan gini kayak dulu. Romantis, Ma..."

"Udah, ah! Mama merinding kalau Papa udah begini. Malu udah tua kalau ketahuan sama anak!" ingat Bu Ajeng yang merasa perlakuan romantis suaminya tak pernah berkurang dari masa ke masa.

"Halah, tapi suka kan meski udah berumur tetap romantis kayak Papa." goda Pak Hardi tak henti-hentinya yang membuat rona pipi Bu Ajeng terlihat jelas.

"Tuh kan..." tunjuknya pada pipi istrinya.

"Papa, ih... udah ah!" Pak Hardi terus tertawa melihat kelakuan istrinya di pagi itu.

Tak sadar ada sebuah senyuman tertarik di bibir seorang gadis yang melihat keharmonisan keluarga tersebut. Dia menunduk malu, dan segera berjalan menuju lantai dimana tugas penting sudah menunggunya.

***

Kiana dengan sigap bergegas melanjutkan pekerjaan setelah sarapan paginya. Lantai atas adalah tujuannya dimana letak kamar anak majikannya itu berada.

Tak pernah sekalipun Kiana menjejakkan kaki di ruangan tersebut meski sudah 2 bulan lamanya dia bekerja.

Membuka pintu, seketika Kiana menghirup aroma maskulin yang khas dari ruangan tersebut yang memenuhi indra penciumannya. Sangat harum, dan tentu saja terlihat sangat rapih dan bersih.

Tunggu! Rapih?

Kiana mengerutkan dahinya dalam. Langkah kakinya entah kenapa begitu ringan dan secara tak sadar membawanya untuk masuk lebih dalam.

Kiana mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang ada. Tak terlihat sedikitpun barang-barang yang mesti dia rapihkan dan memang tersimpan di tempat yang seharusnya.

Dan ini juga, lantainya pun terlihat bersih. Jadi, apa yang harus Kiana kerjakan di tempat itu? Dia bingung harus memulai dari mana, tak nampak satu pun kekhawatiran yang dia perhatikan dari wajah Bu Ajeng saat memerintahkannya untuk membereskan kamar ini.

Kiana menghela napasnya pelan. Sejenak dia melihat pantulan dirinya di depan kaca yang pagi ini memakai kaos O Neck lengan pendek biru telur asin dan sebuah rok pendek selutut bermotif bunga berwarna coklat muda. Rambutnya terkuncir satu rapi yang mana memperlihatkan lekukan lehernya yang jenjang dan putih, dia mematut penampilannya sesaat.

Menghampiri lemari yang berukuran besar dengan desain minimalis yang cocok sekali untuk seorang laki-laki di kamarnya. Kiana merogoh sesuatu dari dalam sana dengan tangan susah payah.

Mengeluarkan sprei dan selimut baru, Kiana mulai melucuti dan mengganti sprei kasur yang terlihat empuk itu dengan hati-hati.

Digelarnya balutan sprei yang terasa sangat halus dan lembut tersebut. Kiana dapat membayangkan jika tidur beralaskan kasur empuk, sprei dan selimut yang lembut. Tidurnya pasti akan sangat nyaman dan tentu saja menghangatkan.

Sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri untuk melihat keadaan. Terheran karena tak ada satu bingkai photo pun dari sang empunya kamar tersebut.

Dirinya menjadi penasaran pada sosok Bian, yang pernah dia dengar dari cerita si Mbok beberapa waktu lalu. Si Tuan muda tampan yang baik hati, dan tentunya menjadi bintang utama di rumah besar itu.

"Siapa kamu?" tiba-tiba terdengar suara khas laki-laki dengan begitu jelas saat Kiana tengah merapihkan tempat tidur yang baru saja dia pasang dengan sprei yang baru.

Sontak saja membuat Kiana terkejut, dan sesaat kemudian menoleh pada arah suara yang pasti itu tertuju untuknya.

"Maaf, Pak. Saya diperintahkan ibu untuk merapihkan kamar ini." ucap Kiana pelan dengan lembut, kepalanya menunduk tak berani melihat wajah yang kini ada dihadapannya.

"Oh," ujarnya singkat dengan nada dingin tak peduli. "Sudah selesai, bukan?" tanyanya kembali sembari melepas jaket yang membalut tubuhnya.

"S-sudah Pak," jawab Kiana gugup merasa tak nyaman, kakinya dengan tak tahu malu enggan untuk melangkah pergi dari sana.

Merasa heran, laki-laki itu berdeham kecil dan menghampiri Kiana yang diam mematung.

Jari tangan Kiana saling menaut seolah mengurangi rasa gugup bercampur rasa takut yang mulai menjalari dirinya.

"Jadi, masih betah kamu diam disini?" ucapnya mendengus pelan memancarkan senyuman sinis saat menatap gadis polos dihadapannya.

Menyadari kebodohannya, Kiana tersadar dan berniat segera pergi sembari menundukkan kepala yang ingin cepat berlalu dari tempat itu.

"Heh, tunggu!" panggilnya saat Kiana belum sampai di bibir pintu kamar. Gadis itu pun menoleh, dan tanpa disengaja dia melihat wajah dari laki-laki tuan muda rumah itu. Kekaguman terpancar begitu saja merasuk dalam hati Kiana. Entah mengapa aura dingin yang menakutkan saat menatap wajah berkharisma itu, tetiba seluruh permukaan kulitnya serasa meremang begitu saja.

"Tutup pintunya!" perintahnya dengan nada setengah menyentak yang membuat Kiana terlonjak. Dengan cepat Kiana menutup pintu tersebut segera ingin berlalu dari sana.

*****

Yuk dukung terus novel baru ini, ada salam nih dari Kiana, tokoh dari cerita "Secret Love". Tetap semangat ya untuk hari-hari nya, jaga kesehatan karena cuaca akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat. Jaga diri kalian baik-baik ya 🥰

Salam hangat dari author,

Risih!

Pagi siang menjelang, suasana rumah besar itu begitu lenggang dan tenang. Bagaikan rumah tak bertuan, semua penghuni tak terlihat batang hidungnya satu pun.

Tak terkecuali satu orang. Dia Bian. Laki-laki dewasa itu kembali turun dari peraduannya setelah menghabiskan beberapa jam di kamarnya untuk beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh untuk sampai ke tanah air tercinta.

Suara derap langkahnya tak terdengar meski perawakannya tinggi tegap. Bagai semilir angin yang menghembus pelan, kini laki-laki jangkung itu tiba di bagian dapur untuk mengambil sesuatu yang dapat mengganjal perutnya yang tetiba berbunyi minta untuk diisi.

Bian tak sempat atau lebih tepatnya merasa malas saat pagi tadi ditawari sarapan bersama oleh kedua orang tuanya ketika baru saja dia pulang.

"Ma, Pa, Bian pulang nih!" ucapnya saat memasuki ruang makan dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan.

Sontak saja membuat Pak Hardi dan Bu Ajeng menoleh pada suara yang begitu mereka kenali seraya menarik senyum merekah saat melihat putra kesayangan mereka kembali pulang.

Tapi, baru saja...

"Masuk ke dalam rumah itu ngucap salam, bukan teriak-teriak gak jelas! Kebiasaan kamu, Bi!" omel Bu Ajeng pada Bian.

Yang di omeli hanya memasang wajah datar, merasa tak berdosa sedikit pun.

"Kok udah dateng aja? Katanya--" ucap Pak Hardi tak selesai, karena Bian cepat menyanggah perkataan Papanya.

"Pulang salah, nggak pulang apalagi! Makin salah aja Bian makin gede." rutuknya, dia mengambil posisi duduk berdampingan dengan Mamanya. Wajahnya terlihat lelah karena sehabis melakukan perjalanan jauh.

"Liat tuh anak Mamah, makin gede makin pinter aja jawab perkataan orang tua." tukas Pak Hardi.

"Anak Papah juga itu," jawab Bu Ajeng santai menimpali suaminya.

Bian hanya terdiam melihat perdebatan kecil kedua orang tuanya. Tubuhnya sangat lelah pagi ini, rasanya ingin saja terbang untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai atas karena dirinya terlalu malas untuk sekedar melangkahkan kakinya yang sudah terlanjur nyaman dengan duduknya.

"Pekerjaan lancar?" tanya Pak Hardi yang melihat wajah kusut anaknya. "Papa harap selama di sana kamu memang benar-benar melakukan apa yang harus semestinya dilakukan, Bian." ungkapnya melirik sejenak ke arah anaknya kemudian kembali pada sarapannya.

"Maksud Papah apa?" tanya Bian menjurus pada hal yang Pak Hardi bicarakan. Dia sudah tahu apa yang dimaksud dari ungkapan ayahnya padanya.

"Kamu pastinya lebih tahu apa yang Papah maksud barusan, bukan?"

"Pah, jangan sekarang. Kasian Bian baru pulang, pasti capek." sergah Bu Ajeng menengahi pembicaraan yang sudah dipastikan berujung perdebatan antara ayah dan anak itu.

"Memangnya Bian melakukan apa sampai Papa berfikir seperti itu?" terpancing dengan perkataan ayahnya, Bian mendengus kesal memasang tampang datar meski apa yang dikatakan Papanya memang benar adanya. Tak berani menatap mata lelaki paruh baya yang ada dihadapannya karena Bian yakin dengan sorot mata ayahnya itu akan tahu apa yang sudah Bian lakukan.

Selama ini, Bian selalu menurut pada apa perintah kedua orang tuanya yang selalu di tetapkan padanya. Tak pernah sekalipun Bian menolak bahkan mengecewakan atas apa yang ditanggung jawabkan padanya.

Tapi, dari semua yang sudah menjadi kewajiban terhadap kedua orang tuanya dan juga perusahaan, di usianya yang kini menginjak 27 tahun. Bian merasa sudah merasa cukup dewasa atas apa yang akan dia putuskan untuk masa depannya nanti di luar dari mengurus perusahaan keluarganya.

Masalah percintaan menjadi hambatannya. Sering kali Bian mendapatkan ketidakadilan dari sisi hidupnya itu.

Entah mengapa dan alasan apa kedua orang tuanya itu tak pernah menyukai bahkan secara terang-terangan tidak merestui hubungannya dengan seorang wanita yang dia rasa cukup dia cintai setelah menjalin hubungan selama 1 tahun lebih itu.

Dan disinilah Bian memberontak. Merasa apa yang seharusnya dia pertahankan untuk hubungannya, sehingga dia memperlihatkan sisi kenakalannya bentuk untuk mendapat perhatian.

"Papah sudah katakan berulang kali dan tegaskan sama kamu, Papa nggak--"

"Bian cepek, mau istirahat!" selanya cepat menghindari Papahnya yang dia tahu pasti akan membahas mengenai hubungan bersama kekasihnya.

"Bi... makan dulu, nanti kamu sakit," rayu Bu Ajeng menengahi. Melihat putranya mulai menjauh naik ke lantai atas menghiraukan perkataannya. "Papah sih ah, apa gak bisa kita bahas dilain waktu!" rutuknya pada Pak Hardi.

"Biarkan saja dulu, Mah. Suatu hari nanti Bian pasti akan mengerti apa yang Papah lakukan itu untuk kebaikannya." jawabnya santai melirik sekilas istrinya yang mendengus kesal.

Dan kini beberapa jam berada di kamar hanya berbaring tanpa tertidur membuat perutnya kian meronta terasa perih. Menghindari bertatap muka dengan kedua orang tuanya adalah pilihan Bian pagi itu meski rasa rindu dia rasakan.

Tapi rasa kesalnya pada sang ayah, membuat dia terus berpikir dalam dengan perkataan Papahnya selama ini terhadap hubungannya bersama kekasihnya.

Dan Bian mulai sadar akan hal itu. Dia mulai mengurai benang kusut yang selama ini dia anggap hanya sebatas omong kosong belaka.

Bian pusing dan merasa stres bila menyangkut pautkan itu semua dengan kenyataan yang dia lihat oleh mata kepalanya sendiri tempo hari sebelum jadwal kepulangannya.

Tak tahan dengan perutnya yang semakin dirasa semakin terasa perih.

"Laper banget..." gumamnya pelan seraya melihat-lihat isi kulkas dengan begitu teliti.

Tak cukup lama, akhirnya Bian pun mendapatkan sesuatu untuk dia makan. Mengambil sebuah puding mangga bersaus fla lezat, kini laki-laki itu menyuapkan makanannya dengan begitu lahap ke dalam mulutnya.

"Enak juga, si Mbok tumben pinter masak yang kayak ginian." ucapnya pelan dengan mulut yang penuh memuji makanan yang tengah dia santap.

"Hemm... ini sih nggak ada duanya. Enak, persis sama rasanya yang sering dijual di cafe." Gumamnya seraya menghabiskan satu loyang penuh puding mangga yang sangat dia sukai.

Satu masalah yang dia hadapi kini telah sedikit berkurang. Perutnya kini terisi makanan meski belum sepenuhnya.

Tidak sengaja melihat seseorang datang, Bian memperhatikan gerak dan gesturnya. Kiana berjalan santai sembari membawa teko dan sebuah nampan yang berisi cangkir ditangannya.

Terkejut, sudah pasti saat melihat sosok yang sedang berada di dalam ruangan tersebut. Bian dengan aura dinginnya dan menatap menyelidik seolah sedang menguliti Kiana dengan tatapan tajamnya.

Kiana risih diperlakukan seperti itu oleh anak majikannya, sekaligus takut jika khawatir dia akan mendapatkan lagi omelan dengan nada yang sedikit membuat hati Kiana sakit.

Kepalanya terus menunduk tak berani menatap wajah yang sepertinya terus mengikuti arah geraknya. Mungkin apa yang dia lakukan di dapur tersebut tak luput dari pandangan Bian yang terus memperhatikannya.

"Anak baru kamu?" tanya Bian tiba-tiba dalam keheningan diantara mereka.

Kiana pun menoleh pada Bian yang bertanya pada dirinya. Masih dengan rasa kekhawatirannya, Kiana menjawab dengan terbata, "I-iya, Pak." jawabnya singkat.

"Pantes nggak pernah liat," ucapnya ketus seraya memindai kembali penampilan Kiana yang dinilainya kampungan itu.

Norak! Mungkin itu yang terlintas dipikiran nya saat melihat Kiana.

Entahlah, Bian tak pernah seusil itu pada seseorang. Merasa tertarik pada sosok gadis yang ada dihadapannya untuk dia usili dengan menunjukan sikap arogannya dan menakutinya.

"Dari mana?" tidak disangka Bian kembali melayangkan pertanyaan pada Kiana yang sudah mengambil langkah seribu untuk membangun tembok pertahanannya.

"S-sukabumi, dari desa." jawabnya hati-hati tidak mau melakukan hal bodoh lagi yang membuat dirinya akan mendapat masalah dengan si tuan muda.

Bian menyeringai tersenyum sinis, melihat kembali penampilan Kiana dari ujung kepala sampai ujung kakinya.

"Mbok mana? Saya laper mau makan!" tanyanya ketus seraya menyimpan sendok yang dia pakai untuk memakan puding. Dan anehnya meski sudah memakan begitu banyak, perutnya masih terasa lapar saja.

"Pagi tadi izin pergi keluar menemui keluarganya, Pak." melihat sekilas pada Bian, "Saya siapkan agar Bapak bisa cepat makan," tawarnya dengan cekatan mulai memanaskan makanan yang ada.

"Cepet, saya nggak suka kalau harus nunggu lama!" tukasnya dan bangkit meninggalkan Kiana yang tengah berperang di dapur dengan ketakutannya untuk menyiapkan makanan si tuan muda.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!