NovelToon NovelToon

Lelaki Pengganti

Bab 1 | Pengakuan

Keheningan terjadi di sela percakapan antara ibu dan anak di ruang tamu keluarga. Lily tak mampu untuk sekedar menatap wajah sang ibu yang masih nampak terkejut dengan pengakuannya.

"Apa kamu tadi bilang?"____" Hamil?" tanya Rani dengan lirih setelah keheningan yang cukup panjang. Bibirnya sedikit bergetar ketika mengatakan kata hamil.

Tetesan air mata terus mengalir dari pelupuk mata Lily. Lalu ia menganggukkan kepalanya lemah. Membuat sekujur tubuh Rani melemas dan terduduk di atas sofa. Dadanya terasa sesak hingga napasnya tercekat di tenggorokan. Matanya mengembun, menatap langit-langit dan berusaha meraup udara yang terasa panas untuknya.

"Maafin Lily, bu." Lily semakin terisak kala ia melihat pemandangan wajah ibunya yang menyedihkan.

"Ya Allah.. apa salah dan dosaku hingga anakku berani berbuat zina," lirih Rani berucap. Betapa hancur hatinya mendengar anak semata wayang yang amat ia sayangi, hamil di luar nikah. Anak yang sangat ia banggakan, anak yang begitu ia jaga dan rawat sebaik-baiknya, anak yang menjadi satu-satunya tempat semua harapan dan mimpinya. Kini pupus sudah angan-angan yang sudah ia rancang untuk masa depan putrinya.

Lily memberanikan diri untuk bersimpuh di depan ibunya, meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ia juga mengusap air mata yang mengalir deras di pipi ibunya. Batinnya menyesali semua kebodohan yang sudah diperbuatnya. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Hal yang sia-sia untuk menyesali semua yang sudah terjadi. Anak yang berada di kandungannya tak bersalah. Yang salah adalah dirinya yang terlalu naif dan bodoh. Seharusnya dia tahu, tubuhnya ini bukanlah hanya miliknya seorang. Tapi juga milik ibunya yang selalu menganggap dirinya berharga.

***

Kurang lebih dua bulan yang lalu, malam petaka yang membuat Lily hamil terjadi dengan sang kekasih bernama Surya. Malam dimana Lily menangis tersedu dan nekat mendatangi Surya di apartemennya. Berharap mendapatkan kejelasan akan statusnya yang masih menjadi kekasihnya. Karena esok harinya, Surya akan menikah dengan wanita lain pilihan kedua orang tuanya.

Ya, cinta mereka terhalang oleh restu. Kedua orang tua Surya adalah orang Jawa yang masih ada keturunan abdi keraton. Pikiran mereka masih kental akan budaya Jawa. Dari awal kedua orangtuanya memang terlihat tak suka saat Surya mengenalkan Lily di kediamannya.

"Surya, mencari pasangan hidup itu harus berdasarkan bibit, bebet, dan bobotnya. Jelas-jelas gadis yang kamu bawa itu bukan keturunan Jawa seperti kita. Itu saja sudah salah, apalagi tentang hal lainnya?" Lily teringat betul akan ucapan bapaknya Surya disaat dirinya tak sengaja menguping. Dan Lily tahu, bahwa kedua orang tuanya tak suka kepadanya yang keturunan Chinese.

"Tapi Lily itu gadis yang baik bu, pak. Kami sudah menjalin hubungan setahun lamanya. Dan aku sudah mencintai dirinya," jawab Surya mencoba menjelaskan.

"Modal cinta tak tentu bisa membuatmu bahagia. Lihat ibu sama bapak, dulu menikah tanpa pacaran dan hanya dijodohkan. Tapi apa? Langgeng dan bahagia sampai sekarang kan? Itu karena kedua orang tua kita dulu sudah memilihkan jodoh berdasarkan bibit, bebet, dan bobotnya." Kali ini ibunya Surya yang berbicara, tak ingin kalah.

Itulah awal mula Surya mulai menjauhinya, tapi tak ada kejelasan perihal hubungan mereka. Lily tahu, Surya adalah lelaki yang patuh pada perintah kedua orangtuanya apapun itu. Jadi sebesar apapun cinta Surya pada Lily, pasti lelaki itu lebih memilih untuk patuh pada kedua orangtuanya.

Lalu Lily mendengar desas desus pernikahan Surya di berbagai media, keluarga mereka termasuk keluarga yang berpengaruh. Selain keturunan keraton Jawa, bapak Surya merupakan pewaris generasi ketiga perusahaan properti terbesar kedua di Indonesia. Dan ibunya pemilik butik kebaya yang sering didatangi oleh artis serta ibu para pejabat. Namun saat itu Lily tak percaya jika bukan Surya sendiri yang mengatakannya. Berkali-kali Lily menghubungi Surya namun tiada jawaban.

Hingga suatu hari muncul undangan yang dikirim untuk Lily, tertulis nama Surya dengan wanita lain. Dan tanggal pernikahan itu tertera akan dilaksanakan esok harinya. Hancur hati Lily ketika menerima undangan tersebut. Tanpa berpikir panjang, Lily mendatangi apartemen milik Surya di malam hari.

"Siapa... siapa ayahnya?" Kewarasan Rani sudah kembali, setelah sebelumnya hanya tangisan yang dapat keluar dari bibirnya. Tatapannya tajam, seolah ingin menerkam tubuh putrinya yang sudah membuatnya kecewa.

Lidah Lily kelu untuk sekedar mengucap satu nama yang seharusnya mudah untuk diucapkan.

"Siapa!" bentak Rani dengan mengguncang kedua bahu Lily karena tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Mas Surya, bu." jawab Lily dengan lirih. Ia memejamkan matanya ketika bibir tipisnya melontarkan nama mantannya. Jika dulu, nama itu yang selalu membuat hatinya bahagia. Kini nama itu sudah menjadi sebuah kesedihan untuknya.

Mata Rani terbelalak kaget. Jelas dia tahu siapa itu Surya. Lelaki berusia 27 tahun itu memang tampan dan memikat dengan segala bujuk rayunya. Karir yang menanjak di dunia hiburan membuat siapapun tahu siapa dirinya, belum keluarganya yang memiliki kekayaan yang tak akan habis hingga tujuh turunan. Hampir satu tahun lamanya putrinya itu berpacaran dengan Surya tanpa diketahui awak media. Sudah sedari awal Rani mengatakan pada Lily bahwa dirinya tak terlalu menyukai Surya dan mengusulkan agar mereka mengakhiri hubungan keduanya. Rani mempunyai firasat tak baik pada hubungan keduanya, status sosial mereka berada di level yang berbeda. Namun Lily tetap kekeh untuk meneruskan hubungannya dengan Surya.

Lalu muncul berita pernikahan Surya dengan wanita lain. Rani merasa lega mendengarnya karena dia berharap putrinya bisa mendapatkan pria lain yang lebih baik dari Surya. Tapi apa yang terjadi sekarang? Putrinya malah hamil? Bagaimana mungkin Rani akan meminta pertanggungjawaban Surya disaat pria itu sudah menikah dengan wanita lain?

"Ya Allah.. berilah hamba mu ini kesabaran." Dada Rani serasa sesak kembali. Berita ini lebih mengejutkan dibanding ia mengetahui Lily hamil. Karena bagaimanapun, Rani tak akan bisa membuat Surya untuk bertanggung jawab. Rani yakin, keluarga Surya hanya akan berkelit dan mempersulit supaya Surya enggan untuk bertanggung jawab.

"Tunggu! Sudah berapa minggu kamu hamil?" tanya Rani teringat sesuatu.

"A, e.. 16 minggu kalau tidak salah." Lily tergagap menjawab pertanyaan ibunya yang tak terduga.

"Hampir dua bulan, bukankah Surya juga menikah sudah dua bulan yang lalu? Apa kamu menjadi selingkuhannya?" tuduh Rani pada Lily.

Lily tak percaya ibunya menganggap dia menjadi selingkuhan Surya. "Ti-tidak, ibu. Aku melakukannya sebelum mas Surya menikah. Kebetulan waktu itu aku baru selesai haid, mungkin saja waktu itu adalah masa suburku."

Rani terdiam, namun air mata masih terus mengalir. Lily yang melihatnya semakin pedih, belum pernah ia melihat ibunya sesedih ini bahkan saat ayahnya pergi meninggalkan mereka selamanya.

Bab 2 | Lelaki Pilihan Ibu

Sudah hampir dua hari lamanya Lily tak bertegur sapa dengan ibunya. Padahal mereka tinggal satu atap, Lily merasa mungkin ibunya masih diselimuti perasaan kecewa dan amarah padanya.

Hingga matahari sudah meninggi namun Lily masih enggan untuk membuka matanya. Dirinya tampak kacau dengan semalaman menangis terus menerus karena menyesali perbuatannya. Tak ada semangat hidup yang seperti biasa ia tampakkan.

Suara pintu kamar terbuka. Rani menghela napas ketika melihat keadaan putrinya yang begitu menyedihkan. Tangannya membawa nampan berisi bubur dan segelas susu. Dirinya tahu sedari pagi putrinya itu sama sekali belum makan. Rani menaruh nampan tersebut di meja dan menghampiri Lily yang terbaring memunggunginya. Tangannya mengguncangkan bahu Lily dengan pelan. "Lily, makan dulu yuk," ucapnya lembut.

Saat tubuh Lily ia balikkan. Terlihat wajah Lily yang begitu berantakan. Matanya bengkak karena sudah dua hari terus menangis, lingkaran hitam pun menghiasi bawah matanya akibat jam tidur yang terganggu selama dua hari lamanya. Bahkan masih terlihat sisa air mata yang mengering di pipinya.

"Lily," panggil Rani dengan lirih.

Lily yang mendengar suara ibunya perlahan membuka matanya yang terasa berat. "Ibu?" Suaranya pun sama lirihnya. Badannya nampak lemah tak bertenaga, sorot mata yang selalu hidup kini nampak seperti kosong.

"Iya, ini ibu. Makan dulu yuk... sudah dua hari ini kamu susah sekali disuruh makan. Kasihan janin yang berada di perutmu itu." Rani berusaha mengesampingkan ego demi putrinya.

"Ibu... gak marah?" tanya Lily dengan hati-hati. Ia masih mengira kalau ibunya tak menemuinya karena marah.

Diusapnya tangan Lily dan ia merapikan anak rambut Lily yang nampak berantakan di depan kening. "Ibu sudah gak marah. Dua hari ini ibu sering keluar rumah karena ada keperluan dengan kawan lama."

"Makasih karena ibu gak marah sama aku." Lily tersenyum dengan tetesan air mata yang berlinang.

"Kamu sayang kan sama ibu?" tanya Rani.

Kening Lily mengernyit tiba-tiba mendengar pertanyaan ibunya. "Lily jelas sayang sama ibu."

"Kalau gitu kamu makan dulu ya. Ibu gak mau terjadi sesuatu pada kamu.. dan calon cucu ibu." Tangan Rani mengelus lembut perut putrinya yang masih rata.

Hati Lily merasa terenyuh mendengar kata 'calon cucu' dari mulut ibunya. Pertanda memang benar ibunya sudah tidak marah dan menerima keadaan dirinya yang berbadan dua. Padahal sebelumnya dia sempat berpikir untuk mengakhiri hidup.

***

Saat ini keadaan Lily sudah nampak lebih baik karena ibunya dengan telaten menyuapinya makan dan menyuruhnya untuk membersihkan diri. Dan sekarang Rani tengah menyisir rambut panjang hitam milik putrinya, lalu menguncir kuda. Rani benar-benar memperlakukan Lily seperti anak kecil yang rapuh.

"Sekarang, ada hal yang mau ibu sampaikan sama kamu."

"Apa bu?" Setengah fokus Lily terpaku pada kaca yang menampilkan wajahnya yang sekarang sudah nampak lebih baik.

"Ibu tadi bilang selama dua hari bertemu dengan kawan lama kan?"

"Ya."

"Kawan lama ibu itu mempunyai anak lelaki berstatus duda."

Fokus Lily langsung terpaku sepenuhnya pada sang ibu saat mendengar kata duda.

"Setelah berbincang lama dengan kawan lama ibu itu, akhirnya di sepakati bahwa anaknya bersedia menikahimu," lanjutnya.

Mata Lily terbelalak mendengar ucapan ibunya. "Apa? Menikah? Apa maksud ibu?"

"Dengerin ibu ya. Sekarang kamu hamil tanpa suami, seiring berjalannya waktu kehamilanmu akan membesar dan orang-orang akan segera tahu perihal itu. Mau ditaruh mana muka ibu kalau teman-teman ibu tahu kamu hamil di luar nikah? Apalagi belum tentu ada lelaki lain yang mau menerima keadaanmu yang seperti ini." jelas Rani berusaha meyakinkan Lily. Sedari dulu Rani selalu merancang masa depan untuk anaknya dengan hati-hati. Saat ia mendengar Lily hamil di luar nikah tanpa adanya pertanggung jawaban, Rani segera memikirkan solusi untuk permasalahan tersebut.

"Tapi bu, ini terlalu mendadak. Lagipula, Lily sama sekali gak mengenal lelaki itu dan Lily masih belum siap." Ini terlalu mendadak bagi Lily yang baru saja menerima serentetan peristiwa mengejutkan dalam hidupnya. Terlebih menikah dengan pria yang sama sekali belum dikenalnya, sudah pasti hal itu akan menambah daftar rentetan peristiwa yang mengejutkan.

"Kamu akan mengenal dia secepatnya. Kalau kamu memang sayang ibu, kamu harus terima perintah ibu. Sudah berkali-kali ibu membiarkanmu memilih jalan hidupmu sendiri, tapi apa yang terjadi? Kamu berakhir dengan hamil tanpa suami."

Kalimat terakhir dari ibunya benar-benar menusuk relung hatinya yang terdalam. Namun Lily bisa berbuat apa? Kenyataannya dia memang sedang hamil tanpa suami disisinya. Kenyataan yang memalukan bagi ibunya tersayang.

"Sudahlah, kamu tak usah bersedih hati lagi. Lelaki yang akan ibu kenalkan denganmu bukan sembarang lelaki tak beradab seperti Surya." Kebencian Rani terhadap Surya semakin menjadi-jadi. Meskipun memang pria itu tak mengetahui ada benihnya yang tertanam di rahim Lily, tetap bagi Rani, Surya adalah pria brengsek yang merusak masa depan putrinya.

Sedang Lily tak berani bersuara. Ia tak sanggup untuk mengelak. Kesalahan yang sudah diperbuat memang sudah fatal. Dia memilih membiarkan ibunya mengatur semuanya. Mungkin dengan cara itu, kekecewaan sang ibu bisa sedikit mereda.

"Dia akan menemuimu nanti malam, jadi bersiaplah. Persiapkan dirimu sebaik mungkin, kali ini ibu tak ingin kamu mengecewakan ibu lagi!" titah ibunya yang sudah beranjak bersiap untuk meninggalkan kamar.

Netra hitam Lily membulat sempurna. "Secepat itu?"

"Lebih cepat lebih baik untuk menutupi berita kehamilanmu dari orang-orang."

Lily tahu benar maksud ucapan ibunya. Secepat mungkin berkenalan lalu menikah untuk menutupi kehamilannya yang lambat laun pasti akan membesar. Andai dia bisa menolak, tapi tak mungkin karena dia tahu kesalahan ada pada dirinya sendiri.

Setelah kepergian Rani dari kamarnya, Lily teringat akan benda pipih yang sudah lama ia abaikan. Ia berusaha mencari-cari benda tersebut yang ternyata masih berada di dalam tas jinjing berwarna merah muda. Lily mencoba menyalakannya namun tak bisa. Ia segera mencari charger dan menancapkannya pada ponsel. Saat ponsel sudah berhasil menyala sepenuhnya, deretan pesan dan panggilan tak terjawab muncul seketika.

Mata sipitnya membaca satu persatu pesan dari aplikasi hijau yang belum terbaca. Matanya langsung tertuju pada satu pesan dari nama yang sudah membuat hidupnya berantakan.

["Hai, Ly. Apa kabar?]

Tangannya bergetar hebat, dadanya bergejolak panas. Perasaannya menjadi campur aduk, antara sedih dan marah yang luar biasa. Dengan cepat Lily menghapus pesan tersebut tanpa membacanya terlebih dahulu. Setelah itu ia membanting ponselnya di atas kasur dan merebahkan tubuhnya. Air mata kembali menetes, ingin rasanya Lily memberitahu perihal kehamilannya pada Surya. Namun ia takut, jika kehamilannya ini akan membuat rumah tangga Surya hancur. Lily menutup matanya, berpikir lebih baik hidupnya yang hancur dibanding melihat kehidupan orang lain yang hancur karena kebodohannya.

Bab 3 | Balas Budi

"Apa?!" Suara yang menggelegar terdengar di seluruh ruangan tengah rumah milik Aminah. Bahkan 2 pembantu yang bekerja di rumah pun menunda tugasnya, memilih untuk mengintip dari pintu dapur. Hal yang asing bagi mereka mendengar majikan muda mereka bersuara dengan nada tinggi.

"Tenanglah, Nak. Duduk dulu, biar ibu jelaskan apa yang sedang terjadi." Raut wajah Aminah terlihat masih tenang dan lembut, berusaha menenangkan putranya yang sedang marah.

Azril mengikuti arahan sang ibu untuk duduk terlebih dahulu. Rasa terkejut sekaligus amarah masih menyelimuti nya. "Gimana gak tenang bu? Tiba-tiba aja ibu nyuruh aku untuk nikah."

"Ibu ada alasan mengapa kali ini memaksamu untuk menikah. Kamu ingat keluarga Salim yang dulu pernah membantu keluarga kita berkali-kali?"

Kening Azril mengernyit. Otaknya mencoba mencari-cari nama 'Salim' dalam kumpulan memorinya. Beberapa detik kemudian dia teringat nama Abdul Salim, seorang mualaf keturunan chinese yang dulunya bernama Johannes Salim. "Apa maksud ibu pak Abdul Salim teman ayah yang beberapa kali telah membantu keluarga kita?"

Aminah tersenyum senang karena putranya masih mengingat tentang keluarga itu."Ya. Kini anak dan istrinya yang giliran perlu bantuan dari kita."

Satu alis kanan Azril terangkat tinggi. "Maksud ibu menikahi anaknya? Tapi kenapa harus aku yang menikahinya?"

Tatapan Aminah terlihat serius, helaan napas yang panjang keluar dari bibir tipisnya. "Anaknya sedang hamil di luar nikah. Dan ibu mau kamu menikahinya untuk balas budi."

"Apa?! Ibu udah gila?" Suara Azril kembali menggelegar. Tak pernah sebelumnya dia mengeraskan suara di depan ibunya bahkan menampakkan amarah yang besar. Tapi kali ini Azril sudah merasa di luar kendali. Berpikir ibunya mungkin sedang tidak waras. Bagaimana tidak? Ibunya memintanya menikahi seorang wanita yang sedang hamil di luar nikah? Terlebih bukan dirinya yang menghamili wanita tersebut. Tentu saja Azril berpikir mungkin ibunya memang sedang tak waras.

Safira yang mendengar suara Azril pun datang ke ruang tamu. Dirinya penasaran setelah mendengar suara kakaknya yang sudah dua kali berteriak-teriak. "Kak, ada apa sih? Kok teriak-teriak di depan ibu?"

"Ibu merasa kasihan dengan Rani, Azril. Istri pak Salim itu kemarin datang dengan menangis tersedu bercerita mengenai permasalahan putrinya. Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena merasa gagal mendidik anak semata wayangnya itu," jelas Aminah dengan sorot mata sendu. Baginya permasalahan yang sedang dialami Rani adalah permasalahannya juga. Sudah bertahun-tahun lamanya dirinya tak tahu tentang kabar keluarga Salim, sekarang kabar yang datang malah sebuah masalah yang besar.

"Harusnya pria yang menghamilinya lah yang tanggung jawab, Bu. Bukannya malah orang lain yang harus tanggung jawab," jelas penolakan diutarakan oleh Azril. Dirinya baru setahun ditinggal oleh istrinya ke pangkuan Yang Maha Esa dan kini ibunya memaksa untuk menikah lagi terlebih bukan dengan wanita yang ia cintai.

"Bu, kalian lagi ngobrolin apa sih?" tanya Safira dengan penasaran. Tak mengerti sama sekali dengan apa yang tengah diperdebatkan oleh kakak dan ibunya.

"Bukan apa-apa, Sayang. Kamu masuk ke kamar dulu ya. Masih ada hal penting yang mau ibu obrolin dengan kakakmu," ujar Aminah dengan lembut.

Meski Safira begitu penasaran dengan pembicaraan yang membuat kakaknya begitu marah tapi akhirnya ia menurut perkataan ibunya untuk tidak ikut campur.

"Pria yang menghamili anak Rani sudah menikah dengan wanita lain, tak mungkin baginya untuk meminta pertanggungjawaban."

Tangan Azril mengepal erat. Ia menutup matanya sebentar dan memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Mengapa permasalahan rumit yang dialami oleh orang lain seolah-olah juga ikut di bebankan pada keluarganya? Sebenarnya Azril sudah lelah melihat ibunya yang selalu berbuat baik ke orang lain tanpa mempedulikan dirinya sendiri. Bahkan kini dirinyalah yang harus menjadi korban. Tapi jika mengingat jasa Abdul Salim yang sudah di lakukan untuk keluarganya sudah pasti membuat ibunya iba atas permasalahan yang sedang terjadi di keluarga Salim. Pak Abdul Salim adalah orang yang baik, dia selalu membantu orang lain tanpa pamrih, persis seperti ibunya.

"Kamu pikirkan dulu baik-baik, Nak. Tapi ibu mau nya sih kamu bersedia untuk membantu. Sudah giliran kita untuk membantu keluarga pak Salim."

***

Meski masih ada penolakan dalam diri Azril, namun akhirnya ia memilih untuk mengikuti permintaan ibunya. Berkali-kali ibunya memohon dengan wajah sendu, sungguh keluarga Salim benar-benar memberi dampak besar pada keluarganya hingga ibunya bersikukuh untuk membantu permasalahan anak Salim. Apa mau dikata lagi? Entah sekarang atau nanti Azril menolak, pasti sang ibu akan tetap memintanya untuk menikahi putri Salim.

Dengan ditemani ibunya, Azril datang berkunjung ke rumah keluarga Salim. Disinilah akhirnya ia duduk di ruang tamu mengenakan kemeja polos berwarna biru laut dan celana slim fit navy. Meskipun wajahnya menampilkan ekspresi masam dan tak ceria, tapi itu tak merubah rupa wajahnya yang tampan khas timur tengah.

Sedang ibunya seperti biasa mengenakan gamis panjang beserta khimar.

Setelah menunggu beberapa saat, Rani muncul dengan mengenakan abaya hitam beserta pashmina warna senada. Wajahnya terlihat sembab namun berusaha menampilkan senyuman terbaik untuk menyambut tamu spesialnya.

"Maaf mbak Minah kalau menunggu lama," ucapnya ketika cipika cipiki dengan Aminah.

"Gak apa-apa, Rani. Kita gak menunggu lama kok."___ "Oh iya, kenalkan ini putra sulungku yang aku bicarakan kemarin. Namanya Azril." Aminah memperkenalkan Azril, sedang Azril hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Rani menatap pria berusia yang berbadan tegap disamping Aminah dengan pandangan kagum. "Maa Syaa Allah, anakmu tampan sekali mbak. Sebentar, aku panggilkan dulu anakku. Dia baru selesai sarapan tadi."

Rani bergegas pergi untuk memanggil putrinya di dalam kamar. Sedang Azril nampak cuek, sengaja enggan menunjukkan ketertarikannya.

Aminah menangkap raut menyebalkan dari wajah putranya. Tangannya menyenggol sikut Azril dan berbisik, "Jangan tunjukkan wajah menyebalkan itu, Azril. Ibu ingin kamu setidaknya tampil biasa-biasa saja."

Namun Azril hanya diam, tak berminat untuk merubah ekspresi dari wajahnya.

"Azril!"

Azril berdecak dan menghela napas kasar. "Iya,iya."

Tak pernah terpikirkan dalam benak Azril sebelumnya bahwa diusianya yang sudah menginjak kepala tiga masih harus menuruti perjodohan dari sang ibu yang menurutnya konyol. Mendadak terlintas ide dalam benak Azril untuk calon istrinya. Setidaknya, calonnya itu harus membayar sepadan dengan apa yang sudah ia korbankan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!