NovelToon NovelToon

Transmigrasi Ilona

Ilona dan Ayyara

Seorang gadis berlarian mengejar dua orang preman yang mencuri tas milik seorang Ibu. Larinya begitu cepat, hingga tak disadari dua preman tersebut, jika dia sudah berada dua meter di belakang mereka.

"Mau kemana, lo?" Ujar gadis itu saat berhasil meraih kaos yang di pakai salah satu preman. Terpaksa, kedua preman tersebut berhenti dan meladeninya.

"Kembaliin tasnya!" Tangannya terulur meminta tas yang di pegang salah satu preman.

"Ngga akan. Kita udah susah-susah dapatnya, lu suruh kembaliin. Jangan mimpi!" Jawab preman yang membawa tas hasil copetnya.

"Oh, mau gue patahin tangan temen lo?"

"Akhhh..." Teriak preman tersebut, saat gadis itu benar-benar melakukan sesuatu pada tangannya.

"Kak Ilona, hajar aja kak, biar kapok." Teriak seorang anak laki-laki. Tubuh kecilnya membuat kaos yang ia kenakan terlihat besar dan melambai-lambai saat diterpa angin.

Preman yang melihat Ilona menoleh pada anak tersebut pun mengambil kesempatan. Ia mengeluarkan pisau dan berusaha menyerang Ilona. Namun, Ilona cukup peka atas apa yang akan preman itu lakukan. Ia menendang dengan keras tepat di dadanya. Membuat preman itu tersungkur, dan tas yang di pegangnya terjatuh.

"Reka, ambil tasnya!" Anak kecil itu segera berlari saat Ilona menyebut namanya. Dia memungut tas tersebut dengan cepat.

Preman tersebut terbangun dan berlari menjauh. Meninggalkan temannya yang masih ditahan Ilona.

"Woy, tungguin gue." Teriaknya pada temannya yang sudah menjauh.

"Bisa diam gak lo?!"

"Eh, cewek sialan. Lepasin gue!"

"Gak akan!"

Ibu pemilik tas pun tiba di tempat tersebut. Reka menyerahkan tas padanya, membuat Ibu itu tersenyum.

"Terima kasih, nak. Kalian udah mau nolongin Ibu."

"Sama-sama, Bu." Jawab keduanya bersamaan.

"Oh ya, Bu. Tolong telponin polisi biar dibawa ke penjara ni preman." Ucap Ilona.

"Iya, neng." Ibu tersebut menuruti permintaan Ilona. Ia benar-benar menelpon polisi. Karena keberadaan pos polisi yang tak jauh, membuat seorang polisi bisa tiba dengan segera. Polisi tersebut memborgol dan membawa preman itu pergi.

"Sekali lagi, terima kasih ya, neng, dek? Ibu nggak tau lagi harus gimana kalau tas ini benar-benar hilang. Ada uang yang harus Ibu bayarkan ke pihak rumah sakit untuk pengobatan anak Ibu."

"Sama-sama, Bu. Yang terpenting ibu ngga pa-pa, dan tas Ibu aman."

"Iya, neng. Oh ya, ini ada sedikit buat kalian." Ibu tersebut memberikan selembar uang seratus ribu pada Ilona. Namun, gadis itu dengan cepat menolaknya.

"Nggak perlu, Bu. Simpan aja buat nambah-nambah bayar rumah sakit."

"Tapi, neng?"

"Nggak papa. Ibu pegang aja. Ibu lebih membutuhkan daripada kami."

"Terima kasih ya, neng. Kalau begitu saya permisi dulu."

"Sama-sama, Bu. Salam buat anak Ibu. Semoga cepat sembuh."

Setelah kepergian si Ibu, Ilona dan Reka kembali ke tempat istirahat mereka. Warung kecil yang menjual nasi bungkus menjadi tempat istirahat mereka.

"Mau makan disini, apa di rumah?" Tanyanya pada Reka.

"Di rumah, kak."

"Ya, sudah. Bu, nasi bungkusnya 3 ya? Yang sepuluh ribuan."

"Siap, neng."

Reka menatap Ilona, heran. Ia hanya ingin membeli nasi bungkus sebungkus. Itupun yang harganya lima ribuan.

"Kak, aku kan cuman beli satu yang lima ribuan. Kok, kak Ilona belinya 3? Yang sepuluh ribuan lagi. Uangku cuman lima ribu."

"Reka sayang, 3 itu bukan buat kamu semua. Satu buat Reka, satu buat Ibu dan satu lagi buat kakak. Soal bayarnya, jangan khawatir. Kakak punya uang."

Reka hanya manut apa kata Ilona. Gadis itu mengelus kepalanya lalu membayar nasi bungkus.

"Ayo, kakak anterin kamu pulang. Hampir gelap. Gak aman bocil pulang sendirian."

"Makasih kak. Nanti kalau Reka besar, Reka yang bakal jagain kak Ilona."

"Iya. Makanya, makan yang banyak, biar cepat besar. Bisa cari banyak uang buat Ibu."

"Siap, kak." Balas Reka sambil memberikan hormat pada Ilona. Membuat mereka terkekeh bersamaan. Hingga tak terasa, mereka hampir tiba di depan rumah kecil milik Reka dan Ibunya.

"Ini buat kamu sama Ibu." Ilona mengulurkan selembar lima puluh ribu pada Reka.

"Untuk apa kak? Ini uang kakak, kenapa dikasiin ke Reka?"

"Udah, ambil aja." Ilona meletakkan uang tersebut ke tangan Reka dan membuat anak itu menggenggam kuat uang tersebut. "Kamu sama Ibu lebih membutuhkannya. Kakak bisa cari lagi besok."

"Tapi, kak?"

"Nggak ada tapi-tapian! Udah sana masuk. Salam buat Ibu, ya?"

"Iya, terima kasih, kak."

Ilona membalasnya dengan tersenyum manis. Reka segera menuju rumahnya. Dari kejauhan, dapat Ilona lihat, seorang wanita mendekat pada Reka yang sedang berusaha membuka pintu. Ia mencium kening Reka dengan penuh kasih sayang. Ilona yakin, wanita yang merupakan Ibu Reka itu baru saja kembali dari melakukan pekerjaannya sebagai tukang cuci keliling.

"Seandainya aku punya orang tua, atau salah satu dari mereka hidup bersamaku, pasti aku akan sangat bahagia." Lirihnya tersenyum getir.

***

Satu persatu siswa SMA Jati Negara berlari memasuki kerumunan di koridor sekolah. Seorang gadis cupu sedang dibully habis-habisan oleh sekelompok siswi yang di sebut-sebut sebagai siswi tercantik di sekolah itu.

"Lo pasti gak mandikan dari rumah? Nih gue mandiin." Siswi tersebut menumpahkan segelas minuman di kepala gadis tersebut, diikuti beberapa siswi lagi yang juga menuangkan minuman mereka di tubuh gadis itu.

"Va-vanya, a-apa sa-salah aku?" Tanya gadis tersebut gagap sambil mengusap tumpahan minuman di wajahnya. Kacamatanya sudah tidak tahu berada dimana.

"Salah lo? Salah lo, karena lo cewek culun, jelek, gagap dan sok pintar." Jawabnya. Vanya sedikit menundukkan badannya dan menarik kasar rambut gadis tersebut. "Ayyara Thalia, gue benci lo yang cari perhatian sama kak Deon dan kak Gian. Dan gue semakin benci lo karena lo terus-terusan cari muka sama kak Kenzo."

"Va-vanya, ka-kak De-Deon sama ka-kak Gi-Gian kan ka-kak aku."

"Heh, gagap! Gak usah ngomong deh lo! Capek tau nggak dengerin lo ngomong ngulang-ngulang terus." Bentak Elen.

"Ka-kalian ja-jahat sa..."

Plak

Ucapan Ayyara terhenti oleh tamparan yang Vanya berikan. Pipinya memerah dengan bekas jari-jari Vanya.

"Lo bilang jahat, hah?! Lo cewek culun, gagap dan jelek gak usah sok baik." Vanya menarik rambut Ayyara. Ia menariknya kuat, membuat Ayyara mendongak sambil meringis menahan sakit.

"Dengar! Cewek kayak lo seharusnya gak disini. Lo juga gak pantas untuk hidup!" Bisiknya.

"Lihat! Gak ada seorang pun disini yang mau nolongin lo. Lo dibenci seisi sekolah." Teriak Vanya lantang.

Vanya melirik ke arah kanan koridor sekolah. Tanpa sengaja matanya melihat Kenzo, Deon dan Gian berjalan ke arah merka. Saat ketiga cowok itu hampir dekat, Vanya menjatuhkan dirinya di dekat Ayyara dan meringis kesakitan.

"Aww, lo kok narik gue sih, Ayyara?" Seru Vanya, berpura-pura.

Kenzo, Deon dan Gian yang sudah memasuki kerumunan merasa kesal melihat Vanya terjatuh. Dengan penuh amarah, mereka mendekati Ayyara. Deon menarik kasar tangan Ayyara untuk berdiri. Sementara Kenzo dan Gian, mereka membantu Vanya berdiri.

"Lo gak papa?" Tanya Kenzo pada Vanya.

"Jangan ditanya lagi. Ayo kita bawa ke UKS!" Sahut Gian.

Kenzo langsung menggendong Vanya menuju UKS, diikuti Elen. Sementara Gian, ia tetap di tempat tersebut. Dia ingin memberi pelajaran pada sepupunya yang selalu membuat onar tersebut.

"Lo liat kan?! Vanya jatoh karena lo. Bisa nggak sih, lo gak cari masalah? Hah?!" Kata Gian sambil menunjuk wajah Ayyara.

"Ka..."

Plak.

"Nggak usah panggil kakak! Lo gak pantas manggil gue atu Gian kakak." Ucap Deon setelah memberikan satu tamparan untuk Ayyara.

"Kalo sampai terjadi sesuatu sama Vanya, gue bakal kasi pelajaran buat lo." Sambung Deon, lalu berjalan menjauh.

"Gue tau lo iri sama kecantikan Vanya. Kalo lo berusaha nyakitin Vanya atau Elen, lo bakal berurusan sama gue." Peringat Gian. "Gue benar-benar sial punya sepupu kayak lo!" Lanjutnya, kemudian pergi dari tempat itu.

"Benar-benar menyedihkan. Dua kakaknya juga gak peduli sama dia." Bisik seorang murid dengan nada mengejek.

"Ya. Dia benar-benar gak berguna." sambung seorang lagi.

"Eh eh, kalian ngapain ngumpul disini? Gak dengar kalian udah bel masuk?" Teriak seorang guru, membuat siswa-siswi yang sedang berkumpul tersebut berlarian menuju kelas masing-masing. Tapi tidak dengan Ayyara. Gadis itu masih berdiri, menundukkan kepalanya.

"Ayyara! Kamu kenapa masih berdiri? Di bully lagi sama teman-teman kamu?"

Gadis itu mengangguk pelan. "I-iya, pa-pak." Ia tidak yakin, pak guru ini akan peduli padanya. Mereka hanya peduli pada uang yang orang tuanya berikan pada pihak sekolah.

"Ck. Kau ini pintar. Tapi kenapa begitu bodoh untuk menghidari mereka? Dasar! Udah sana, masuk kelas!" Ucapnya lalu pergi meninggalkan Ayyara sendiri.

Gadis itu hanya bisa menarik nafas beratnya. Sungguh melelahkan hari-harinya. Ia berjalan mengitari tempat itu. Mencari kacamatanya yang sudah tak bertengger lagi di hidungnya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamatanya.

Setelah menemukannya, Ayyara segera menuju kelasnya. Berjalan menunduk, menghindari tatapan siswa-siswi yang terlihat sinis padanya.

Kecelakaan

Ilona terduduk di pinggiran toko sambil mengunyah roti yang dibelinya. Tanpa sengaja, ia melihat seorang gadis yang sedang merengek manja pada Ibu dan Ayahnya. Seketika, wajahnya berubah sendu. Ia ingin merasakan, bagaimana rasanya memiliki orang tua.

"Kenape wajah lu? Pengen kayak dia?"

Mendengar suara tersebut, Ilona langsung melirik tajam. Dia kenal, siapa pemilik suara tersebut. Seorang preman dan seorang temannya lagi yang sering mengganggunya.

"Bukan urusan lo berdua!" Jawabnya ketus.

"Idih, ketus amat. Bilang aja lo pengen kayak dia. Jangan mimpi lu! Orang tua lu udah buang lu ke jalanan. Jangan harap mereka bakal pungut lu lagi!"

Ilona mengepalkan tangannya saat kedua preman tersebut menyinggung orang tuanya. Bagaimana pun, entah mereka masih hidup atau sudah mati, baik atau jahat, tetap saja mereka adalah orang tuanya. Ia rasa, mereka memiliki alasan sehingga dia dibiarkan tinggal di jalanan seorang diri seperti ini.

"Lo berdua bisa diam, gak?! Gue gak butuh ceramah lo berdua!" Ilona mencengkram kuat kaos yang digunakan preman tersebut.

"Hehehe... Lo gak bisa diajak becanda. Lepasin gue, ya?" Ujar preman tersebut. Ia sudah merasakan bagaimana Ilona menghajarnya. Ia tidak ingin merasakannya lagi.

"Sekali lagi lo nyingung orang tua gue, gue habisin lo! Pergi sana!" Ilona mendorong preman itu dengan kasar. Membuatnya tergopoh bangun dan berlari menjauh bersama temannya.

Ilona kembali terduduk di tempat sebelumnya. Mengabaikan tatapan beberapa orang yang mendatangi toko. Ia menatap setengah roti yang dimakannya tadi. Tak ada niat untuk memakannya lagi.

***

Ayyara menutup bukunya dengan cepat, lalu memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak sempat menyiapkan bukunya semalam. Deon dan Gian membuatnya begadang meringkas materi pelajaran keduanya.

"Heh, ngapain lo duduk disini?" Deon terlihat kesal saat Ayyara ikut duduk sarapan bersamanya dan Gian.

"Ka-kak..."

"Lo gak dengar Deon bilang apa kemarin? Gak usah manggil kita kakak! Lo gak pantas!" Ucap Gian.

"Udah sana! Untuk satu minggu kedepan lo gak usah sarapan di rumah. Kalo mau sarapan di rumah, lo tunggu kita berdua ke sekolah dulu baru lo boleh sarapan. Itu hukuman buat lo karena udah nyakitin Vanya." Tegas Deon.

"Satu lagi. Seminggu kedepan juga, lo gak dibolehin minta anter supir. Naik kendaraan umum aja." Timpal Gian.

Ayyara hanya menunduk mendengar ucapan kedua kakaknya. Benar-benar menyakitkan. Kedua kakaknya malah membela orang lain dari pada dirinya. Ditambah, dialah korbannya bukan Vanya.

"Ngapain masih disini? Sana pergi!"

Ayyara segera bangun dan kembali menenteng tasnya. "A-aku be-berangkat dulu."

Ayyara segera keluar rumah. Ia bertemu supir yang sudah bersiap untuk mengantarnya. Ia mendekati supir tersebut. "P-pak. Ng-ngak usah an-anterin A-Ayya. A-Ayya naik a-angkot."

"Aduh neng, gimana ya? Saya di suruh tuan sama nyonya buat jagain eneng. Masa saya ngelanggar, neng?"

"G-gak papa, p-pak."

"Tapi neng," Ayyara menggeleng kepalanya. Membuat pak Tanto menghela nafas pasrah.

"Ya sudah, neng. Neng Ayyara hati-hati!" Ayyara mengangguk mengiyakan perkataan pak Tanto. Ia berjalan kaki menuju jalanan yang biasa dilewati angkot.

Cukup lama ia menunggunya, ia mendapatkan angkot dan segera menumpangnya menuju sekolah. Karena jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh dan mengalami kemacetan, Ayyara pun terlamabat. Pintu gerbang sekolah sudah di tutup.

"Eh, eneng telat ya? Maaf ya, neng gak dibolehin masuk."

"Ta-tapi, p-pak?"

"Ayyara!" Suara pak Bagus terdengar. Ia menghampiri Ayyara yang berada di luar pagar. Ia berdiri sejajar dengan satpam sekolah sambil menatap tajam Ayyara.

"Buka pintunya, pak!" Perintah pak Bagus yang langsung dilaksanakan.

"Kamu kenapa terlambat?!"

"Sa-saya ke-kesiangan, p-pak." Bohongnya. Ia tidak mungkin memeberitahu gurunya mengenai hal sebenarnya. Dan belum tentu juga pak Bagus itu peduli padanya.

"Cepat ke kelas! Simpan tasmu, lalu bersihkan toilet yang ada di lantai dua. Itu hukuman buat kamu."

"I-iya, p-pak."

Ayyara segera ke kelasnya, memberitahukan guru mata pelajaran yang sedang mengajar di kelasnya, lalu bergegas menuju toilet yang berada di lantai yang sama dengan kelasnya.

Ayyara mulai membersihkan toilet. Begitu hukumannya hampir selesai, Vanya dan Elen masuk menggunakan sepatu yang kotor. Membuat lantai yang sudah Ayyara bersihkan menjadi kotor kembali. Ayyara yang melihatnya pun menatap keduanya.

"Apa lo? Mau marah?" Vanya melotot ke arah Ayyara. Gadis itu hanya menggeleng dan kembali membersihkan lantai yang kotor.

Namun, air yang digunakannya tak sengaja tumpah dan malah mengenai sepatu Vanya dan Elen.

"Aaa... Jijik jijik," Teriak keduanya berusaha menghindari aliran air tersebut.

"Heh, lo sengaja ya numpahin?" Bentak Elen.

"E-enggak."

"Kurang ajar emang lo ya," Vanya maju dan langaung menampar Ayyara.

Plak.

"Ayo, Elen! Gue udah gak tahan disini." Vanya dan Elen segera keluar sambil menahan rasa jijik karena sepatu yang mereka kenakan basah oleh air sisa bersih-bersih toilet.

Ayyara hanya bisa membersihkan kembali tempat itu sembari menahan air matanya. Pipinya terasa panas oleh tamparan Vanya.

Setelah selesai, Ayyara hendak keluar. Namun, ia malah bertemu Kenzo yang masuk dan langsung mencengkram kuat rahangnya.

"Ka-kak,"

"Apa lo? Lo apain Vanya? Gue udah sabar buat gak nyakitin lo karena masalah kemarin. Tapi, gue gak terima kelakuan lo hari ini."

"Gue muak tau gak, liat lo yang selalu buat keributan. Lo sadar gak, lo itu jelek?! Nggak usah cari muka sama orang-orang." Kenzo melepaskan cengkramnya dengan kasar.

Dia lalu beralih menarik rambut Ayyara. "Lo dengar! Gak usah ngejar-ngejar gue! Gak usah cari perhatian gue! Karena lo, cewek culun, gagap juga jelek gak pantas buat gue! Bukan. Bukan cuman gue. Tapi, semua cowok gak pantas buat lo. Salah. Lo yang gak pantas buat cowok manapun." Kenzo melepas tarikannya kemudian meninggalkan Ayyara.

Maafin Ayyara, kak. Ayyara udah buat kak Kenzo gak nyaman. Batin Ayyara.

Gadis itu mengusap air matanya lalu keluar dari tempat itu. Karena kelelahan dan merasa gerah, Ayyara berdiri di balkon sekolah. Menghirup udara segar yang berhembus pelan.

Tiba-tiba saja, sepasang tangan dengan teganya mendorong Ayyara. Membuat gadis itu terlempar dari balkon. Ayyara sempat berpegang pada pembatas balkon dan melihat pelaku yang mendorongnya. Berharap dia berbaik hati dan menolongnya kembali.

Namun ia salah. Orang itu malah tersenyum ke arahnya, dan melambaikan tangannya seolah mengucapkan selamat tinggal. Lalu ia menginjak tangan Ayyara yang berpegangan pada pembatas balkon. Membuat pegangannya melemah dan terjatuh.

Maafin Ayyara, Ma, Pa. Batinnya.

Brukkk...

Suara itu terdengar saat tubuh Ayyara menyentuh lapangan futsal. Seluruh siswa dan guru segera melihat dan menghampirinya. Menyaksikan tubuh Ayyara yang sudah berlumur darah.

***

Ilona baru selesai mengamen dan kembali berdiri di pinggir jalan ketika lampu merah berpindah menjadi hijau. Sambil memegang alat untuk mengamennya, Ilona menunggu lampu merah selanjutnya.

"Ilona!" Dua orang preman yang mengganggunya tadi kembali menemuinya. Kali ini mereka tidak sendirian. Keduanya membawa komplotannya. Termasuk dua preman yang mengambil tas milik ibu-ibu tempo hari.

"Gak ada kerjaan lo berdua? Gangguin gue terus." Ujarnya. "Lo semua juga. Ngapain ikut ni bocah dua? Mau ngeroyok gue?"

"Ternyata lu benar. Ni cewek ngeselin." Ucap seorang preman yang dibawa dua preman tersebut.

"Udah sana pada pulang! Gue males ladenin kalian."

"Kita bakal balik. Tapi, lu serahin dulu uang lu buat kita."

"Coba lo ulang! Gue gak dengar!" Ucap Ilona. Ia begitu kesal mendengar ucapan preman tersebut. Enak saja dia. Mengambil hasil kerja keras orang.

"Serahin uang lu!"

"Cih. Enak benar lo. Gak akan gue kasih."

"Lu tau nggak kenapa kita terus gangguin lu?"

"Bodo amat. Gak mau tau gue."

"Lu nyari uang di wilayah gue!"

"Bodo! Emang warisan moyang lo apa, ngatain wilayah lo?"

Si preman yang sudah tidak bisa menahan emosi langsung mendorong Ilona. Membuat gadis itu bergerak masuk ke jalan. Tanpa ia sadari, sebuah mobil melaju kencang dari arah kanannya. Hingga,

Brakkk...

Tubuh Ilona terlempar bebarapa meter dari tempat semula. Semua yang melihatnya terkejut, termasuk Reka. Anak itu berlari menghampiri Ilona.

"Kak. Kak Ilona. Bangun, kak! Jangan nakutin Reka, kak." Ucap anak itu, mulai menangis. Ia terus menggoyangkan tubuh Ilona yang sudah dibasahi oleh darah gadis itu sendiri.

Siapa Ayyara? Aku Ilona!

Suasana rumah sakit terlihat cukup lenggang. Seorang wanita duduk di samping brankar sambil terus memegang tangan putrinya. Sementara seorang lelaki berdiri di luar ruangan sambil menatap kedalam. Memerhatikan putrinya yang terbaring koma dengan alat-alat medis yang menancap di tubuhnya.

"Sayang, cepat bangun ya? Maafin Mama sama Papa yang terlalu sibuk kerja." Ujar wanita tersebut, yang tak lain adalah Bu Mala, Mama Ayyara.

Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki berusia 40 tahun. Dia Pak Abima, Papa Ayyara. Dia mendekati Mala dan menepuk pelan pundaknya.

"Mama istirahat, ya? Biar Papa yang gantiin jagain Ayyara."

Wanita itu menggeleng. "Enggak Pa. Mama yang bakal jagain Ayyara."

Lelaki itu hanya bisa menarik nafas pasrah. Sejak kecelakaan yang menimpa Ayyara sebulan lalu, istrinya hanya sedikit beristirahat. Dia memilih menghabiskan waktunya menjaga Ayyara.

"Pa, Mama takut Pa. Mama takut Ayya gak bakal bangun. Mama gak mau kehilangan Ayya, Pa."

Abima yang melihat istrinya sedih, menarik istrinya ke pelukannya. "Tidak akan terjadi apa-apa sama Ayya, Ma. Putri kita gadis kuat. Ayyara pasti bisa melewati masa kritisnya dan sadar dari komanya."

Suasana menjadi hening sejenak. Tapi tak lama, suasana berubah menjadi sedikit gaduh, ketika tiba-tiba sepasang suami istri itu melihat jari tangan Ayyara bergerak.

"Pa, cepat Pa panggil dokter!" Ucap Mala sambil terus mengusap kepala Ayyara.

Abima segera berlari keluar. Kebetulan sekali, ia bertemu dokter dan seorang suster yang juga akan ke ruangan Ayyara, memeriksa kembali keadaan Ayyara.

Mereka bersama-sama memasuki ruangan. Dokter langsung saja memeriksa keadaan gadis itu.

"Bagaimana, dok?"

"Pasien sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu pasien sadar."

Baru saja dokter selesai mengatakannya, jari tangan Ayyara kembali bergerak. Kali ini bukan hanya jari tangannya. Tangan dan kakinya juga ikut bergerak. Keningnya mengerut, matanya sedikit demi sedikit mulai terbuka.

Kenapa semuanya putih? Apa ini di rumah sakit? Atau di surga? Batinnya.

Gadis itu mengerjabkan matanya. Ia berusaha menyesuaikan matanya dengan pencahayaan di ruangan itu. Samar-samar ia melihat seorang perempuan dan laki-laki yang terus menatapnya.

Apa gue udah mati? Itu Ayah sama Ibu gue?

"Shhh..." Ringis gadis itu, memegang kepalanya.

"Jangan bergerak terlalu banyak dulu, ya. Saya akan memeriksamu lagi."

Dokter mulai memeriksanya kembali. Setelah selesai, dia bersama suster meninggalkan ruangan tersebut.

"Ayyara sayang, syukurlah kamu sudah sadar, nak. Mama sangat khawatir padamu." Bu Mala memeluk gadis itu dengan erat.

Ayyara? Mama? Kenapa dia memanggilku Ayyara? Siapa Ayyara? Aku Ilona!

"Maafin Papa sama Mama, Ayya. Mama sama papa janji akan meluangkan waktu untuk Ayya."

Ada apa ini sebenarnya? Aku tidak mengerti. Kenapa mereka terus memanggilku dengan nama asing.

"Minum." Gumam gadis itu pelan.

Mala dengan cepat mengambil minum, sementara Abima, dia membantu gadis itu bangun lalu membantunya meminum.

Tidak ada pembicaraan setelah gadis itu menghabiskan setengah gelas air. Ia masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah dua orang lelaki.

Saat melihat dua orang tersebut yang tak lain adalah Deon dan Gian, gadis itu merasakan sakit yang amat di kepalanya.

"Shhh... Akkhhh." Dia memegang kepalanya. Berbagai bayangan peristiwa yang terjadi terputar di otaknya.

Dasar culun, jelek, gagap!

Lo gak pantas manggil gue sama Gian kakak!

Gue muak tau gak, liat lo yang selalu buat keributan. Lo sadar gak, lo itu jelek?! Nggak usah cari muka sama orang-orang.

Dengar! Cewek kayak lo seharusnya gak disini. Lo juga gak pantas untuk hidup!"

Lo gak dengar Deon bilang apa kemarin? Gak usah manggil kita kakak! Lo gak pantas!

Lo dengar! Gak usah ngejar-ngejar gue! Gak usah cari perhatian gue! Karena lo, cewek culun, gagap juga jelek gak pantas buat gue!

Kata-kata hinaan dan bayang-bayang perbutan jahat pada Ayyara terus berputar dikepalanya. Bahkan tubuhnya mulai berkeringat karena menahan sakit.

"Ayya sayang, kamu kenapa nak? Pa, panggilin dokter Pa!"

"Jangan!" Potong gadis tersebut. Rasa sakitnya perlahan menghilang. Ia mendongak menatap Bu Mala." Boleh aku pinjam hpnya, Ma." Ujarnya.

Bu Mala memberikan hpnya, tanpa menyadari ada yang bebeda dari anaknya itu. Gadis itu meraih handphone tersebut lalu menatap wajahnya melalui layar handphone.

Wajah gue berubah. Ini bukan wajah gue, Ilona. Ini wajah orang lain. Apa yang sebenarnya terjadi sama gue? Bayang-bayang tadi, apa semua itu bayangan kehidupan pemilik tubuh ini sebelumnya? Tapi, kenapa gue bisa ada di tubuh ini? Gimana caranya?

"Wajah lo udah jelek dari dulu! Gak usah pake kaget segala." Ujar Deon, membuat gadis yang mereka anggap Ayyara itu menurunkan hp dan menatapnya.

"Deon, jangan gitu ah sama adek!" Ujar Mala.

"Emang benar kan, jelek Ma." Sambung Gian.

"Giaan,"

Jadi, dua cowok ini abangnya Ayyara? Sepertinya mereka gak suka sama Ayyara ini. Gue ngerti sekarang, kenapa bayang-bayang itu muncul. Mungkin cewek itu nggak mau kehidupannya terulang.

Tenang aja! Gue sekarang pemilik tubuh lo. Gue gak akan biarin tubuh lo ngerasain hal yang sama. Gue akan mastiin, semua penderitaan lo akan terbayar. Sekarang, Ilona adalah Ayyara. Dan Ayyara adalah Ilona. Mereka akan tau, bagaimana Ayyara yang sebanarnya.

"Kenapa lo liat gue, jelek!" Ujar Gian.

Ayyara menyunggingkan senyum misteriusnya. Kemudian ia menatap Mama dan Papanya. "Ma, Pa, Ayya mau makan." Ujarnya.

Bukannya merespon perkataan Ayyara, mereka malah menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. Ayyara adalah cewek gagap. Kenapa dia bisa berbicara lancar. Dan kenapa mereka baru menyadarinya sekarang.

"Ma, Pa, Ayya laper."

"Oh iya, nak. Maaf, Mama melamun. Soalnya kamu ngomongnya lancar, gak gagap lagi."

"Iya, nak. Kami sangat bersyukur." Timpal pak Abima. Sementara Deon dan Gian, tidak ada komentar dari keduanya.

"Ya udah, kamu mau makan apa, sayang?"

"Bubur Ma. Tapi bang Deon sama bang Gian yang beliin."

Lagi-lagi mereka terdiam. Deon dan Gian melotot ke arah gadis itu. Ayyara seakan memberi kejutan besar untuk mereka. Tidak biasanya dia memanggil Deon atau Gian dengen sebutan abang. Yang sering mereka dengar adalah kakak.

"Gue gak mau!" Bantah Deon.

"Gue juga enggak!" Timpal Gian.

"Ma, abangnya gak mau," Rengeknya.

"Deon! Gian!" Seru Abima.

"Iya, Pa." Jawab keduanya serentak. Dengan wajah di tekuk, Deon dan Gian segera menuju tempat dimana bubur yang diminta Ayyara di jual.

Hahaha rasain lo berdua!

Setelah 15 menit kedua cowok itu kembali dengan menenteng bubur untuk Ayyara. Mereka menyerahkannya pada Mala.

"Ayo, Mama suapin."

"Ayya maunya di suapin bang Deon."

"Ogah! Gue gak mau."

"Tapi, Ayya mau. Gimana dong?"

"Deon, apa salahnya kamu suapin adek kamu. Kamu selalu saja kasarin dia. Sesekali nurutin adek kamu lah."

"Pa..."

"Deon. Gak baik bantah orang tua."

"Iya-iya." Wajah Deon begitu masam sambil mendekati brankar Ayyara. Dalam hatinya, ia tak henti-hentinya menyumpah serapahi Ayyara.

Awas aja lo! Gue bakal kasi perhitungan buat lo. Batin Deon.

Lelaki itu segera menyuapi Ayyara. Wajah masamnya semakin terlihat masam saat Ayyara tersenyum padanya sambil menaikkan alisnya. Seolah sedang meledek Deon.

Ni Ayyara kok beda gini? Ngeselin lagi. Batin Gian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!