🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Seno melihat sekali lagi pada alat pengecek kehamilan itu, kemudian matanya beralih ke perut rata sang wanita yang telah di nikahi nya selama lima tahun.
"Disini, akhirnya ada calon anak kita," ucap antusias pria tampan, berusia sekitar 31 tahun itu sambil menyentuh perut , lalu tangannya yang memang tanpa rem mulai merambat ke atas.
Susi senang sekali melihat wajah bahagia suami nya itu, karena pada akhirnya ia bisa juga memberikan keturunan padanya.
"Iya, Mas. Pantas saja, sudah seminggu ini aku mual," ucap Susi yang mulai menikmati sentuhan nakal dari Seno.
Meski harapannya musnah, karena ia berpikir Seno akan terkejut dan melakukan hal romantis padanya.
Terima saja, memang sifat suaminya seperti itu, kurang ekspresif kecuali untuk urusan yang satu ini, yang sedang Seno lakukan. Bahkan, bisa di bilang suami nya adalah lelaki rakus di atas ranjang.
"Terima kasih, berjuanglah dan jaga anak kita." ucap Seno sembari melabuhkan kecupan di kening mulus itu.
Namun, lama kelamaan kecupan lelaki bertubuh tinggi dengan kulit putih itu, beralih ke bibir merah muda Susi. Wanita bertubuh semampai dengan wajah natural polos tanpa make up.
Ciuman yang tadinya hangat, berubah menjadi semakin menuntut, membuat tubuh mereka berdua mulai memanas.
Tiba-tiba,
"Ehmmm..., maaf, Mas." Susi pun membekap mulutnya dan langsung lari ke kamar mandi.
"Hueeekkk!"
Ia mengeluarkan seluruh isi dalam perutnya, termasuk makan malam barusan.
Seno menghampirinya dan memijat tengkuk perlahan, peluh sudah membasahi seluruh wajah hingga punggung wanita berusia 27 tahun itu.
"Tolong, antar aku ke tempat tidur, Mas," pintanya dengan suara lemah. Seno memapahnya sampai ke depan ranjang, lalu Susi segera merebahkan tubuh nya, yang terasa lemas macam tak bertulang. Kepalanya sangat sakit dan perutnya seperti di aduk.
Seno pun ikut rebahan, dengan posisi miring menghadap ke arah wanita hamil yang sedang menarik napasnya. Seraya merapikan rambut yang menutupi wajah yang agak sedikit pucat itu.
Susi pun memejamkan mata nya, merasakan dan menikmati setiap sentuhan lembut dari suaminya.
Pikirnya, Seno ternyata perhatian juga melihat keadaannya yang seperti ini.
Namun, lama kelamaan sentuhan itu menjalar kemana-mana. Hingga, baju tidur tipis yang menempel sudah melorot entah kemana. Menampilkan tubuh putih mulus dengan lekukan indah yang membakar hasrat lelaki berlibido tinggi itu setiap saat.
"Mas, aku lemas banget ini," ucap Susi lemah, berharap sang suami mengerti keadaan nya saat ini.
"Kamu cukup diam aja sayang, biar Mas yang bekerja," ucap Seno tanpa memperdulikan keluhan sang istri, yang mata nya tetap terpejam karena tubuh nya benar-benar tak bertenaga.
Seno tetap melakukannya, meski ia berjanji akan perlahan karena ada calon bayi mereka.
Janji hanya tinggal janji, di pertengahan Seno melanggarnya. Menyisakan rasa sakit di bawah perut, karena ia menggoncang begitu buas.
Karena keadaan yang lemah, Susi pun tidak berdaya hingga keesokan harinya.
*****
Susi yang sudah merasa baikan, turun dari ranjang dan membersihkan diri.
Wanita yang hanya memakai dress rumahan selutut itu memutuskan untuk turun ke bawah, karena ia merasakan lapar yang begitu hebat.
Di meja makan sudah ada Ibu mertua dan juga kakak ipar.
"Cakep bener ya, laki berangkat kerja istri baru bangun!" seloroh Easy, Ibu dari Seno. Seorang wanita bertubuh pendek berisi dengan rambut di cepol rapih.
"Maaf, Bu. Susi lagi gak enak badan," jawab Susi jujur.
"Alasan, semalam kamu sehat-sehat aja. Makan juga banyak gitu, gimana bisa bilang kurang sehat!" protes Easy tak percaya.
Susi hanya diam tak menjawab lagi, mana mungkin juga ia mengatakan kejadian yang sebenarnya.
Susi menarik kursi pelan dan mulai duduk, lebih baik sarapan agar tenaga kembali pulih, begitu pikirnya.
Baru saja ia akan menyendok nasi goreng yang memanggil untuk di cicipi itu, sang kakak ipar mengambil alih piring yang sudah di pegang nya.
" Enak aja tinggal makan! Situ bukan tuan puteri!" hardik Daia, wanita cantik berusia dua tahun di atas Seno. Anak kuliahan tapi malas bekerja, kerjanya hanya keluyuran dan bersenang-senang.
Gaji sang adik kan besar, dia hanya perlu mencari mangsa lelaki kaya, jadi untuk apa bekerja? Begitu pikirnya.
" Tapi aku lapar, Kak. Aku janji habis ini aku yang cuci piring ya," pinta Susi memelas, karena ia sudah sangat lapar.
"Enak aja cuma nyuci piring, baju juga sekalian," ketus Daia sambil melempar piring ke depan sang adik ipar.
Susi hanya mengangguk saja, yang penting bisa isi perut.
(Sepertinya mas Seno belum memberi tahu mereka akan kehamilan ku?) batin Susi sambil menikmati sarapannya dengan cepat.
****
Easy dan Daia yang sudah mengetahui kehamilannya, tetap tak merubah sedikit pun sikap mereka. Justru, seperti semakin menjadi saja.
Hingga Susi melewati masa mengidam dengan tersiksa, dan setiap sore ia hanya bisa menangis. Lalu, malamnya akan berpura-pura tak terjadi apapun di hadapan Seno, suami nya.
Karena percuma juga mengadu, karena akan berakhir menyalahkan Susi yang tak bisa mengambil hati Ibu dan juga Kakaknya.
Perilaku Seno juga semakin menjadi, lelaki itu bahkan membelikan begitu banyak lingeri untuk sang istri. Sedangkan yang Susi butuhkan sebenarnya adalah daster longgar. Entahlah, menurut nya Susi semakin seksi dan menggoda karena kehamilannya yang semakin membesar.
Susi mengalami sakit pada kewanitaannya dan juga pinggang, membuat langkah nya begitu susah.
Setiap malam Seno selalu meminta haknya, mungkin bagi wanita hamil lainnya itu biasa saja.
Namun, Seno suaminya memiliki hasrat tinggi, dan takkan cukup bila di beri jatah sekali. Belum lagi, Easy sang ibu mertua yang begitu tega menyuruh ini dan itu pada wanita hamil yang nampak sudah mulai kesulitan membawa perutnya.
Hingga hari na'as itu bermula, ketika Susi di perintahkan untuk mengepel seluruh area rumah besar dua lantai tersebut.
Dengan alasan agar persalinannya lancar.
Insiden kecelakaan itu pun tak terelakkan.
Susi yang merasakan keram pada perut, juga kaku pada salah satu kaki nya.
Membuatnya tergelincir, hingga menggelinding bebas dari atas tangga ke lantai bawah. Mulut mungilnya sempat memekik sambil mencoba berpegangan, namun gagal.
Susi terlihat mengerang merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama pada perut bagian bawah.
Hingga darah segar terlihat mengalir di sela kedua kakinya. Kemudian, ia pun tak sadarkan diri.
****
Wanita dengan wajah pucat itu terlihat mengerjapkan matanya perlahan. Mengkondisikan penglihatannya di ruangan yang terang dan serba putih, berbau khas obat dan desinfektan.
Ketika kedua mata nya membuka utuh, omelan Ibu lah yang pertama kali terdengar.
Kemudian wajah marah dari Seno, yang membuat ia menyadari bahwa ada hal menyakitkan yang telah terjadi.
"A-apa yang terjadi Mas, Bu?" tanya Susi dengan wajah pucat dan bibir yang bergetar. Ia mengingat kejadian itu, kemudian meraba perutnya.
Kedua matanya membola, menyadari ada sesuatu yang aneh pada dirinya.
"Perutku, kenapa perutku rata? Di-di mana bayi kita, Mas?" tanya nya sekali lagi kerena kedua orang di hadapannya hanya memasang wajah kesal dan menatapnya tajam.
"Anakmu mati, dasar wanita bodoh!"
"Menjaga kandungan saja tidak becus!"
"Kau sudah menghilangkan calon keturunan Pradipta!" pekik Easy kencang di depan wajah pucat Susi, sampai ludahnya muncrat ke raut yang menciut takut itu.
"Ti-tidak mungkin! Ini tidak mungkin!" Susi menggeleng kuat sambil meremas rambut dengan kedua tangannya.
"Kau, memang tidak berguna! Apa susahnya menjaga anak yang masih di dalam perutmu, hah!" hardik Seno, membuat hati nya seakan tertusuk benda tumpul ngilu sekali.
Belum pernah ia di bentak Seno hingga seperti ini.
Susi masih mencerna kejadian yang menimpanya, semua terjadi begitu cepat.
Ia menangis kencang meratapi kehilangan calon bayi nya.
Yang selama ini di tunggu dan di perjuangkan olehnya, namun ternyata takdir berkata lain.
Di saat dirinya masih sedih dan terpuruk, vonis dokter membuat dunia nya seakan runtuh seketika.
Hingga hari-hari nya ia jalani dengan keterpurukan, dan penyesalan. Dialah satu-satunya yang paling kehilangan. Ketika semua orang rumah mencibirnya sebagai wanita bodoh, yang akan susah hamil lagi karena ada jaringan yang rusak pada rahimnya.
Membuat Susi semakin membenci dan menyalahkan dirinya.
Kejadian itu malah membuat Seno semakin menjadi dan gila dalam menggempurnya, meski Susi belum selesai masa nifas.
Seno tak mau tau, ia tak mau dirinya tersiksa setiap kali menahan hasratnya. Ia tak memperdulikan jerit dan tangis dari wanita yang berada di bawah kungkungan nya.
"Mas, sadarlah. Ini dosa Mas! Ini, juga bisa membahayakan ku," Susi memohon di sela isak tangisnya, ia takut darahnya masih banyak keluar tapi Seno tetap menghujam nya tanpa ampun.
Lelaki itu malah menghardiknya, membuatnya merasa terhina.
"Diam lah! Aku berhak melakukan apapun padamu, ingat! Kau istri ku!"
"Tapi, Mas...Akkhhh!"
"Emmpphhh...,"
Seno akhirnya menyumpal mulut sang istri dengan kain segitiga miliknya. Susi akhirnya terkapar tak berdaya, mungkin pingsan. Setelah lelaki itu menghujam nya beberapa kali.
Esok paginya, Susi hanya bisa menangisi nasib dan juga rasa sakit di bagian apem nya. Ia tak bisa mengadu pada siapapun, karena Seno membatasi seluruh aksesnya. Hingga, ia tak memiliki ponsel dan tak bisa bebas keluar rumah.
Ketika sakit di daerah sensitif yang masih mengeluarkan darah, Easy dengan tega menyuruhnya mengantar loundrian dengan berjalan kaki. Padahal, di rumah itu ada mobil dan juga motor matic yang biasa di gunakan Susi untuk berbelanja ke pasar.
Di pertengahan jalan menuju pulang, wanita dengan paras seputih kapas itu limbung dan darah merembes deras membuat dress putihnya berubah warna.
Lagi-lagi, ia terbangun di ruangan dengan bau yang di benci nya.
Yang pertama di lihatnya adalah wajah keras dari Seno suaminya.
"Kau, memang menyusahkan! Dasar wanita mandul!" Hardik Seno tanpa perasaan.
Kedua mata Susi terbelalak ketika ia membaca hasil pemeriksaan dirinya.
"Ini, tidak mungkin Mas!"
****
Susi semakin terpuruk, dokter mengatakan rahimnya rusak parah hingga tidak ada harapan lagi baginya untuk hamil. Hingga pada akhirnya, ia tak lagi memikirkan penampilan dan tubuhnya.
Seno mulai menghina dan terus menyindir kejadian itu . Mengatakan bahwa dia tidak berguna lagi, menyusahkan dan sebutan menyakitkan lainnya.
Selera makan yang berkurang membuat berat badan turun drastis. Hingga, kini tubuhnya rata tak berisi. Keseringan menangis membuat wajahnya kusam dan terdapat kantung mata akibat susah tidur karena selalu bermimpi buruk.
*****
Semakin lama perhatian Seno berubah, ia hanya akan menggauli Susi bila sudah sangat butuh, dan itupun dalam keadaan mabuk.
Uang jajan yang berkurang, hingga Susi hanya dapat membeli pembalut dan beberapa camilan saja. Tak ada lagi skin care dan perawatan tubuh lainnya. Bahkan, Easy hanya menganggapnya sebagai pembantu di rumah itu.
Menjatah makan dan waktu istirahatnya, bila Susi menolak ia akan di pulangkan ke kampung halamannya.
Susi mengerjakan pekerjaan rumah sambil terus terisak, beberapa hari ini ia curiga karena di kemeja Seno terdapat wangi parfum wanita. Bila di tanya, Seno akan memukul dan menghina dirinya.
Tetapi, penemuan bukti kali ini benar-benar menghujam langsung ke jantungnya.
Sebuah nota penginapan hotel selama dua hari dan sebungkus alat kontrasepsi, telah berhasil meruntuhkan pertahanan dirinya. Ia meraung di ruangan khusus mencuci baju itu.
"Kurang apa aku, mas! Bahkan, setiap malam aku kau pakai sampai rasanya seluruh tulang ku lepas! Kenapa, kau tetap meniduri wanita lain,mas...,"
Susi yang gelap mata, tanpa sadar membuka penutup botol cairan penghilang noda berwarna pink. Setelah nya, ia hanya mendengar Daia memanggil namanya.
Ia merasakan panas pada kerongkongan dan rasa terbakar pada perutnya, kemudian semuanya gelap.
Dan, ketiga kalinya ia terbangun di ruangan yang sama. Kali ini bukan hardikan dan amarah lagi yang ia dapat, lebih dari itu. Sebuah surat dari pengadilan agama mendarat di pangkuannya.
Inikah akhirnya?
Kenapa?.
Justru,seakan dia yang salah?
"Mas!"
"Pergilah! Aku kabulkan keinginanmu!"
"Tak ada harta gono gini sepeserpun! Karena, kau telah menghabiskan uangku! Perempuan Sial!"
Deg.
Kata-kata terakhir dari mulut pria yang ia cintai itu, sukses menghancurkan hatinya.
Tak ada air mata, tak ada suara. Susi membisu dengan pikiran kosong.
Di saat perawat lengah, wanita bertubuh kurus dan lemah itu keluar menuju balkon.
"Bunda..., tunggu aku di alam baka."
Swingg.
Ia merasa tubuhnya ringan tertampar angin, lantai ini cukup tinggi dan ia pasti langsung mati kali ini.
Namun, ketika kakinya sudah tidak memijak lagi, ia merasakan ada yang menangkap salah satu lengan nya. Menariknya kuat ke atas.
"Lepaskan!!"
"Aku mau mati! Aku mau mati!"
Susi terus meraung sambil memukuli dada bidang seorang pria dewasa.
"BODOH!"
"Kenapa kau ini, hah!"
"Semua orang yang di rawat di sini ingin hidup, kenapa kau malah mau mati!" pekik pria dewasa berbadan tegap dengan jambang halus di sekitar rahangnya.
"Tubuh dan wajah mu ini masih bisa kau gunakan,"
"Datanglah ke perusahaan ku, setelah kau keluar dari rumah sakit ini," ucap pria itu lebih lembut ketika di lihatnya Susi sudah lebih tenang. Karena Susi sempat bercerita pada pria itu sambil menangis hingga seluruh pakaiannya basah dengan air mata dan ingus.
Pria itu merogoh kantung celananya. Setelah ia mengantar Susi kembali ke kamarnya.
"Ini kartu nama ku,"
"Hargai usia mu, dan berguna lah untuk dirimu." Kemudian pria itu berlalu dengan cepat.
"Arjuna Satria. CEO. ARSA MANDIRI." gumam Susi membaca nama di secarik kartu.
Bersambung>>>>
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
...Happy reading.....
...Silahkan tinggalkan jejak kalian......
...Love u my readers...😘...
******
Wanita bertubuh kurus dan lusuh itu berjalan dengan gontai, keluar dari rumah sakit swasta tempatnya di rawat selama beberapa hari.
Dengan pakaian seadanya ia, menutupi tubuhnya. Atasan kaus dan celana denim dekil.
Bukan ia tak bisa memantaskan dandanannya, hanya saja tinggal baju-baju lusuh inilah yang di berikan oleh suaminya. Hanya ada beberapa dress biasa dan daster rumahan. Tak ada pakaian bagus yang dulu pernah di belikan suaminya.
Ia melepas lelah setelah berjalan kaki cukup jauh, bahkan tak ada sepeserpun uang untuk sekedar naik kendaraan umum. Toh, dia pun tak tau akan kemana.
Hanya mengikuti arah angin dan langkah kakinya. Teringat akan alamat di secarik kartu nama, ternyata cukup jauh dan dia bingung harus kesana naik apa.
Jadilah, kini ia terduduk di pinggir jalan, meratapi nasib nya yang malang. Hanya tinggal cincin peninggalan sang bunda yang melingkar manis di jemarinya.
Bahkan, mas kawin dari Seno yang ada di dalam lemarinya, yang jelas-jelas adalah hak nya tidak di berikan padanya.
Ya, dia harus mencari pasar dan menjualnya.
Kemudian Susi pun melepas cincin itu dan memasukkannya ke kantung celana.
" Tega sekali kamu mas, kamu jahat!"
"Kau membiarkan ku terlunta-lunta..., hiks,"
Susi tak kuasa menahan sesak dan sakit di dadanya. Kebersamaan mereka selama lima tahun seakan tak ada artinya bagi Seno. Hingga dengan tak berperasaan, lelaki itu membuangnya bagai barang tak terpakai.
"Mana cinta dan sayang mu mas?"
"Mana janji mu?"
"Selama ini aku bertahan karena cintaku padamu, tapi lihatlah sekarang?"
"Kau memperlakukanku dengan kejam."
Wanita berambut ikal yang di cepol asal itu, terus menangis tanpa memperdulikan orang yang berlalu lalang. Bahkan,ada beberapa orang lewat yang melemparinya dengan uang receh.
"Bunda, lihatlah Susi di sini,"
"Bahkan mereka mengira aku adalah pengemis...,"
Susi mau tak mau memunguti uang itu dan menghitungnya. Ternyata, cukup untuk sekedar naik angkot atau ojek ke pasar. Mungkin, inilah rezeki dari Tuhan untuknya.
Ia mengumpul kan recehan itu, beberapa kertas berwarna abu-abu dan juga koin. Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah lewat di hadapannya, hingga...
Crashh...
Roda kendaraan itu melindas genangan air di pinggir jalan, di mana terdapat Susi yang tengah berjongkok memunguti uang recehan.
Alhasil, wanita itu tak luput dari cipratan air yang bercampur lumpur itu. Kotor dan sedikit bau.
"Akh!"
"Ya Tuhan..., baju ku...," pekik Susi tertahan tatkala pandangannya terarah, melihat pakaiannya yang basah. Kemudian, mata nya menangkap dua pasang kaki melangkah perlahan ke arahnya.
Ia mendongak ketika orang-orang itu sampai di dekatnya. Bahkan, Susi seketika berdiri ketika ia sadar siapa orang itu.
"M-Mas...," kagetnya hingga tergagap.
Sepasang mata indah Susi yang sayu dan sembab, menelisik pada sosok di sebelah Seno, mantan suaminya.
"Ternyata, cocok juga jadi gembel. Pantes!" cibir Seno dengan seringai menghinanya.
"Kalo begini kan, jadi semakin meyakinkan. Dan semakin mengenaskan, biar orang-orang semakin kasihan sama dia," ujar wanita berpakaian dress selutut yang press body. Hingga menampilkan lekuk tubuhnya dan juga kaki jenjangnya yang di alasi high hells.
Susi hanya bisa menunduk, hati nya teramat sakit hingga lidah nya kelu. Ia meremas ujung bajunya yang basah.
"Ya,kamu memang wanita yang baik sayang," puji Seno kemudian menghadiahi kecupan ringan di pelipis wanita itu, dan hal itu tak luput dari penglihatan Susi.
(Tega sekali kamu mas, menunjukkan kemesraan kalian di hadapan ku. Tak cukupkah penghinaan ini?)
Susi menahan hatinya yang memanas, namun ia tak kuasa menahan air matanya yang terus tumpah merembes di kedua pipinya.
"Kau lihat kan? Dia sangat cantik?" tanya Seno dengan nada sindirannya.
Susi pun mengakui itu, wanita di sebelah Seno memang sangat cantik seperti pernah ia lihat di televisi. (Apakah dia artis ataukah model sebuah brand?) batin Susi.
"Dan, dia adalah pengganti mu. Untuk memanaskan setiap malam ku."
"Dia lebih liar, dan...," Seno tak meneruskan kata-katanya karena ia tergelak sambil melihat penampilan wanita yang sejak kemarin telah menjadi mantan istrinya itu.
Aksi nya itu diikuti oleh wanita seksi yang setia bergelayut pada lengan nya.
Betapa perih dan terlukanya hati Susi, di tertawa kan dan di hina habis-habisan oleh mantan suami dan wanita selingkuhannya.
"Sudah lah sayang, aku takut sepatu mahal ku kotor karena terlalu lama bersama gembel," cibir wanita seksi itu sambil mengibaskan rambut lurus panjangnya, hingga menampakkan leher putih mulus jenjang dengan beberapa tanda merah.
Susi segera memalingkan wajahnya, entah kenapa hatinya sangat perih melihat jejak percintaan wanita itu dan mantan suaminya.
"Yah, sebaiknya memang kita pergi. Dan, ini ada receh untuk mu." Kemudian Seno melempar beberapa uang kertas ke wajah Susi, hingga berhamburan dan jatuh tepat di bawah kakinya.
Susi memegangi dadanya yang sesak, begitu hina dirinya di hadapan mereka saat ini.
"Mas, setidaknya berikan mahar ku. Karena itu hak ku...," ucap Susi lemah berusaha memberanikan diri bicara, bahkan ia berusaha menatap mata pria yang sebenarnya sangat ia cintai itu.
"Cih! Apa kau bilang? Hak mu?!"
"Kau lupa? Berapa sudah kau habiskan uang ku untuk biaya kau bolak-balik masuk rumah sakit, hah?!" Hardik Seno dengan telunjuk yang mengacung kaku ke arah wajah pucat Susi.
Wanita kurus itu terkesiap, lagi-lagi ia kaget mendapat bentakan kuat dari Seno.
"Dasar, perempuan tak tau diri!"
"Sudah, ambil saja uang itu!"
"Kurang? Ngemis aja lagi." Cerca wanita seksi sambil tersenyum menghina.
"Sudah sayang, kita pergi saja." Ajak Seno, kemudian mereka berdua berlalu meninggalkan Susi yang masih mematung sambil menatap kepergian mereka.
Mobil mewah itu berlalu setelah sebelumnya menyalakan klakson begitu kencang, hingga Susi kaget dan menutup kedua telinganya.
Setelah kepergian kedua orang yang telah menghancurkan hidupnya itu, ia menjatuhkan dirinya dan menangis sekencangnya.
Memunguti uang yang berceceran dengan linangan air mata. Di ambil terhina tak di ambil pun ia tetap terhina bukan?
Susi memasukkan uang-uang itu ke dalam koper , tanpa menghitung dan merapihkan nya. Tapi, ia tau itu cukup untuk sekedar makan dan ongkos naik angkutan umum.
Cincin dari mendiang bundanya, ia kenakan lagi.
Rencananya berubah, ia akan ke toilet umum untuk membersihkan dirinya. Lalu mencari makanan demi mengisi perut kosongnya.
***
Setelah mandi dan makan, kini wanita berwajah tirus itu bingung. Hari semakin gelap, dan ia tidak memiliki uang yang cukup untuk sekedar menyewa losmen kecil.
Susi yang sedang berada di sebuah kafe angkringan tak bergeming karena ia bingung harus kemana.
Sampai kafe itu tutup, Susi masih betah di sana.
"Mbak, saya udah tutup. Silahkan pulang," titah sang empunya kafe.
"Maaf, Bu. Saya tidak ada tempat bermalam. Izinkan saya istirahat di sini. Hanya malam ini saja," pinta Susi memelas.
"Tapi di luar ya. Saya gak mau ada hal yang tidak di inginkan terjadi."
" Muka si boleh melas, hati kan saya gak tau," ketus pemilik kafe itu.
"Iya, Bu. Tidak apa-apa, hanya saya mau pinjam karpet nya buat alas tidur," ucap Susi sopan tak perduli kecurigaan sang empunya kafe. Toh dia tak berniat jahat.
"Terserah ambil aja satu, besok sebelom jam 9 kamu udah pergi ya dari sini," pesan ibu pemilik kafe.
"Baik, terimakasih."
Susi pun menggelar karpet di depan emperan kafe yang sudah tutup itu. Susi berusaha memejamkan matanya dan menutupi tubuhnya dengan daster rumahan.
*****
Susi bangun dengan wajah yang masih sama, lesu dan lusuh. Apalagi semalam ia susah tidur karena gangguan nyamuk.
Ia bergegas membersihkan diri di toilet umum terdekat. Memakai pakaian yang sedikit rapi dan agak bagus. Meski hanya blouse sederhana dan rok remple selutut. Ia berniat membeli sepatu teplek yang murah saja di toko sebelah kafe.
Setelah mengisi perutnya dengan nasi uduk sederhana, Susi berjalan menuju pemberhentian angkot. Setelah ia bertanya pada penjual nasi bagaimana cara nya sampai ke tempat yang di maksud.
Kini ia sudah di dalam angkot yang menuju halte busway. Susi merapikan sedikit rambutnya yang tidak di sisir. Mengintip dari kaca spion mobil.
Ah, pantas saja beberapa pasang mata penumpang melihat seperti itu ke arahnya. Ternyata, penampilannya sangat berantakan dan buruk.
Skip.
Tubuh kurus itu telah berada di depan sebuah bangunan yang cukup tinggi. Meski bukan macam gedung pencakar langit, perkantoran milik pria yang diketahui bernama Arjuna cukup besar dan bagus.
Setelah resepsionis yang sinis memerintahkannya menunggu, akhirnya seorang asisten dari pria yang di kenalnya itu menghampirinya.
"Tuan Arjuna tidak bisa menemui mu, karena beliau sedang menerima tamu asing."
"Tapi, tuan menyerahkan ini. Dan, datanglah lagi besok dengan pakaian yang lebih rapi," ucap pria tinggi dengan jas hitam itu.
Susi menerima sebuah amplop coklat itu, dan seorang pria berseragam biru muda menghampirinya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang asisten Susi pun keluar dari gedung. Pria berseragam itu mengantar nya menuju sebuah petakan berderet yang terletak di belakang gedung.
Ternyata itu adalah mess para karyawan yang di pisahkan dengan tembok tinggi antara tempat tinggal laki-laki dan perempuan.
Bangunan sederhana dengan ruangan yang di petak-petak. Serta beberapa barang keperluan yang sudah di sediakan.
"Maaf ya Mbak, saya cuma bisa sampai sini nganterin nya," ucap pria yang nampaknya seumuran dengan Seno.
(Ah, kenapa harus mengingatnya lagi...)
Susi menghela nafas, lalu ia tersenyum tipis.
"Ah iya, tidak apa-apa. Terima kasih banyak ya, Pak," sahut Susi sopan. Kemudian ia masuk dan di sambut dengan ekspresi berbeda dari beberapa wanita yang rata-rata lebih muda dari nya.
(Selamat datang masa depan.)
(Aku akan bangkit demi diri ku.)
(Terima kasih Tuhan, telah mengirimkan pria baik untuk menolong ku.)
(Tuan Arjuna, akankah kita bertemu lagi?)
Bersambung>>>>>
🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Wanita bertubuh kurus dengan postur semampai, tengah berjalan keliling sebuah perkampungan. Ia terlihat bersemangat, meski peluh terlihat membasahi pelipisnya.
"Mbak, Susi. Kita duduk di sana dulu yuk," ajak Yupi salah satu teman sekelompok Susi. Gadis manis bertubuh mungil, yang baru setahun lulus SMU itu, hendak mengadu nasibnya bekerja di Ibu Kota.
Susi hanya mengangguk menanggapi ajakan gadis itu, sementara tiga orang kawan mereka yang lain sedang membeli es serbuk, yang di tuang di plastik bening lalu di beri air dan es batu.
Sinar mentari yang cukup terik tak menggoyahkan langkah kakinya. Ia cukup senang karena baru kali ini ia bisa menghirup udara luar dengan bebas. Mempunyai teman dan bisa ke sana-sini, meski pun sambil membawa dan menawarkan barang dagangan.
"Eh, dia udah pada ngaso aja," tegur gadis bertubuh tinggi kurus rata bernama Vanish.
"Ya udah sih, Van. Biarin aja, kita istirahat dulu sambil minum es," sahut Rapika gadis ketiga berambut pendek macam pria, dengan gaya agak tomboy. Meski pun wajahnya penuh make up.
"Yoi gaes.Panasnya cetar banget, padahal baru jam berapa ini," tambah si Momogi gadis keempat.
Mereka melepas penat dan dahaga sesaat. Meski hanya dengan minuman es seribuan.
Sruuuttt..
"Aaahh...segerrr," desah Momogi, yang sudah menghabiskan es sepelastik.
Susi yang selama ini, seakan terkurung di dalam kastil penyihir dan naga kejam. Merasa seperti burung yang terbang bebas di alam.
Membayangkan, akan segera memiliki uang sendiri, dari hasil bekerja keras berjalan keliling toko atau perumahan. Menawarkan alat-alat elektronik rumah tangga, seperti oven listrik berdaya rendah, mixer, cooper, blender multifungsi dan masih banyak yang lainnya.
Ia terlihat senang dan tanpa beban, meski terkadang menerima penolakan dari beberapa calon customer, seperti saat ini.
"Gak jadi deh, Mbak. Soal nya mahal," tolak si calon pembeli.
"Kemaren ada yang lebih murah," tambahnya.
"Iya bu, tapi kualitas kita itu tidak main-main. Ada garansinya juga lho," Jelas Rapika yang menjadi leader dari kelompok mereka berlima.
"Saya tetep gak mau, lain kali aja deh."
Mereka pun tidak bisa memaksa, dan penolakan seperti ini sudah biasa bagi para sales seperti mereka.
Mereka balik ke base camp setelah mendapat beberapa calon costumer. Setelah, melakukan peragaan alat di salah satu rumah warga. Juga ada beberapa barang yang telah menemukan tuannya.
Kini, saat nya mereka pulang karena jam kerja telah habis.
Tinggal di sebuah petakan berjejer rapi, dengan kondisi bersih dan asri. Beberapa kamar tersusun, nampak seperti rumah kontrakan. Hanya saja, letaknya tak jauh dari lingkungan gedung. Tempatnya bekerja, di mana di saja seorang pria tampan yang menjadi pemiliknya.
Ya Arjuna Satria, pria dewasa berusia 37 tahun, lajang dan mapan. Pria yang telah menggagalkan aksi bunuh diri nya, serta memberi pekerjaan, tempat tinggal dan juga uang untuk modal membeli beberapa perlengkapan bekerja.
Di kamar ini ia tinggal bersama empat orang gadis muda. Mereka berasal dari beberapa daerah berbeda. Dengan karakter dan dialek yang berbeda pula. Intinya mereka sesama perantau, yang mengadu nasib di Ibu Kota.
"Hey, Kak Susi. Jangan bengong terus lah! Nanti, kesambet setan kau!" tegur Rapika dengan dialek khas sumatera nya.
Susi yang memang tak banyak bicara hanya bisa tersenyum simpul saja. Susi memang wanita yang tertutup meski pun begitu, ia termasuk cepat beradaptasi di lingkungan baru nya ini.
"Duh, Mbak Susi ki. Ayu men kalau lagi senyum. Udah gitu, ndak pernah marah," puji Yupi dengan gaya centil dan ceriwisnya.
Setiap hari libur, seperti biasa semua teman sekamar nya pergi. Mereka selalu mencoba membujuknya seperti kali ini.
"Mbak Susi, beneran ndak mau ikut kita?" tanya Yupi memastikan.
"Kuy lah! Mumpung libur nih, kita cuci mata," bujuk Vanish. Namun, Susi yang wajah nya sudah lumayan bersih itu hanya menggeleng.
Kini, tinggallah ia seorang diri. Merenungi nasibnya sedari awal perjumpaan dengan Seno, di kampung halamannya.
Hingga Seno menikahinya dan memboyongnya ke kota. Susi yang kala itu adalah seorang pegawai di balai desa.
Hingga kesabaran dari penantiannya akan seorang anak, berbuntut petaka yang menyisakan sesal seumur hidupnya.
Susi terisak di dalam kesendiriannya. Duduk memeluk lutut di atas kasur busa yang tergeletak di lantai.
(Seandainya saat itu aku tidak menuruti semua perintah Mami. Seandainya aku mampu memaksa Mas Seno untuk pindah. Seandainya, aku tidak lemah. Aku tidak akan kehilangan calon bayi ku...,) batinnya menangis dan berteriak. Banyak andai-andai di pikirannya.
Di kala sendiri, maka depresi itu akan hadir lagi. Bagaimana tidak, masalah demikian berat hanya dipendamnya seorang diri.
Ia butuh teman bicara yang bisa dipercaya dan mengembalikan semangatnya. Tapi siapa?
Di saat seperti ini, ia akan teringat pada sang bunda yang sejak kecil telah meninggalkannya.
Menjadikannya pribadi yang tertutup dan takut mengemukakan pendapatnya. Ketidak hadiran seorang ibu membuat mental dan nyali nya lemah.
Akan tetapi, ia kembali teringat akan pesan pria tampan nan gagah itu. Bahwa, dirinya berharga dan berguna. Terutama untuk dirinya sendiri.
Kau lemah bukan karena stempel dari orang lain.
Tapi, dirimu sendirilah yang melabelinya. Maka kau sendiri yang harus membuat diri mu semangat dan bangkit.
"Kak Susi, kita bawa oleh-oleh buat kau!" pekik si gadis batak yang cantik tapi tomboy itu.
Petang hampir menyentuh dasar tanah, kamar yang tadi sepi mulai ramai lagi.
"Iya, nih Mbak. Tadi kita liat sepatu lucu sama setelan ini. Ayo toh Mbak, di coba!" titah Yupi si cerewet tapi menggemaskan.
"Ya ampun, kalian bawa ini semua. Eh, beli ini buat aku kah?" tanya Susi heran, karena begitu banyak barang di hadapannya.
Susi yang baru saja mandi sore, terlihat segar. Sehingga, takkan terbaca kalau seharian ini ia menghabiskannya dengan menangis.
Rapika beli beberapa eye liner dan lipstik.
Yupi, meletakkan sepatu flatshoes yang cantik dan feminim. Juga atasan dan rok lebar selutut yang lucu.
" Nih kalo aku, ngasi ini aja," ucap Vanish sambil menyerahkan celana denim hitam, yang cocok untuk bawahan seragam kerja.
"Eh, Momogi. Mana sumbangan kau!" pinta Rapika pada gadis chubby yang sedang asik mengunyah permen kapas.
"Uang ku, tinggal dikit. Jadi aku cuma beliin ini aja." Gadis montok itu menyerahkan krim pembersih wajah. Glowing end cling.
"Terimakasih!"
"Atas kebaikan kalian. Aku janji, setelah gajian akan ku ganti semua uang kalian," ucap Susi dengan mata yang sudah berkaca.
"Ih, ndak usah e Mbak," sanggah Yupi.
"Iya, kita ikhlas kok. Anggap aja itu tanda pertemanan kita." timpal Vanish.
" Kalo, Kak Susi mau ganti, aku terima aja. Soalnya itu harga nya lumayan," sahut Momogi, dengan gaya cueknya. Kemudian gadis itu berlalu ke kamar mandi yang ada di pojok luar.
"Itu anak minta di ... egh ... ugh ...!" gemas Rapika menumbuk telapak tangannya sendiri.
"Sudah, aku akan mengganti semua nya."
" Bukankah, kalian harus mengirim uang untuk orang tua di kampung?" jelas Susi, berusaha mengademkan suasana.
"Tapi, Mbak. Kita tuh ikhlas niat bantuin."
"Bener tuh, nanti kan Kakak gajiannya gak full,"
"Iya, Kak. Kau kan baru masuk kerja beberapa minggu," jawab mereka bertiga, menolak. Meyakinkan bahwa apa yang mereka lakukan atas dasar kepedulian.
"Sudahlah, tak perlu kita bahas lagi itu,"
"Ya sudah, lebih baik kita makan. Aku masak tumis pare sama teri."
Mendengar kata masakan, ketiga gadis yang hampir seumuran itu langsung ngacir menuju pendaringan. Mereka sangat antusias bila sudah menyangkut makanan yang di buat oleh Susi.
"Woah, Kau memang debes lah Kak!"
"Rasane puooolll...!"
"Enak bener!"
Susi pun terkekeh melihat tingkah kawan-kawan barunya ini. Mereka lah yang memberi semangat baru di hari-hari nya ke depan.
Pagi ini ketiga gadis itu telah sibuk mendandani Susi. Memberi beberapa polesan tipis di wajah natural polosnya. Membentuk alis nya yang sudah hitam tebal dengan eyeliner. Mengusap warna kalem agar bibir nya tak lagi pucat.
"Rambutnya, di catok sebentar yo, Mbak?"
"Ini pakai sepatunya Kak."
"Wah ... cantik juga!"
Mereka bertiga bertepuk tangan atas hasil karya mereka pagi ini.
Susi pun melihat pantulan dirinya di cermin.
Sudah lama ia tak berpenampilan sesegar ini.
" Nah, Kak. Semoga tampilan barunya, bisa bawa hoki buat grup kita hari ini ya," ucap Vanish bersemangat.
"Betul, Kakak. Laris manis marketing kita hari ini!" pekik Rapika dengan gaya maskulinnya.
"Aamiin ... terima kasih."
"Aku, akan berusaha lebih baik lagi. Supaya kita mencapai target bulan ini."
Kemudian mereka berlima keluar dari kamar itu, dan memulai aksi mereka. Sebelumnya, mereka akan ke basecamp untuk briefing area dan jenis barang yang akan di tawarkan.
Menjelajah pertokoan, komplek perumahan elit hingga kampung sudah menjadi keseharian mereka. Dan, Susi mulai terbiasa dengan apa yang tengah ia jalani saat ini. Ia bertekad untuk bangkit demi dirinya sendiri.
Bersambung>>>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!