NovelToon NovelToon

SUPERBIA

Pelakor

Jatuh cinta berjuta rasanya, mungkin itulah yang dirasakan Nafla Afanin Tirta saat ini. Kemarin, Faiz, mandor baru di pabrik tempatnya bekerja, mengungkapkan cinta padanya.

Hari ini Nafla tampak berbeda. Gadis bersahaja itu, bahkan mengoleskan pewarna bibir berwarna merah merekah ke bibirnya. Ia juga sudah menyiapkan bekal dua tingkat rantang untuk makan siang bersama dengan sang pujaan.

"Masakan kamu enak, Dek."

Pipi Nafla bersemu merah, saat mengingat ucapan manis Faiz kemarin. Sekarang, ia sudah tak sabar menunggu Faiz datang menemuinya.

Seorang laki-laki gagah, berkulit sawo matang tidak lama kemudian datang dengan langkah lebar. Sepatu boots dan topi proyek berwarna putih yang dikenakannya membuat Faiz semakin terlihat rupawan.

Nafla menundukkan kepalanya malu-malu sembari memeluk rantang dua tingkat berisi semur ayam yang dibuatnya pagi tadi. Blouse motif bunga yang dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam menjadi pilihannya untuk kencan pertama mereka.

Rambut panjangnya sengaja Nafla gerai, hingga menutupi punggung. Ia tampak menyelipkan rambut hitam lurusnya ke telinga dengan malu-malu saat Faiz telah berdiri di depannya.

"Ayo makan, Mas."

Faiz tersenyum, lantas mengusap puncak kepala Nafla. Sebuah tindakan ringan yang berhasil membuat dada Nafla berdebar tak karuan.

Katakanlah Nafla norak, tetapi hidup tanpa kasih sayang nyata seorang ayah sejak kecil membuat Nafla haus akan cinta. Ia kerap mencari pengganti figur penting itu demi membayar kasih yang hilang.

Tidak, Nafla bukan anak yatim.

"Ayo, Dek! Mas nggak bisa lama-lama, habis ini mau nemuin Pak menejer."

Sekali lagi Faiz berhasil membuat hati Nafla berbunga. Ia merasa dijadikan prioritas di sela kesibukan sang pacar yang luar biasa padat.

Mereka akhirnya makan bersama di taman pabrik yang tidak terlalu ramai karena sebagian besar karyawan pabrik lebih memilih makan di kantin. Nafla dengan penuh perhatian melayani Faiz makan. Ia bahkan memberikan dua potong semur ayam khusus untuk Faiz.

"Biar Mas makin semangat kerja," ucap Nafla tersipu.

Faiz bukan sosok yang sungkan. Ia makan dengan cepat dan lahap meski beberapa karyawan yang juga makan di taman, diam-diam memperhatikan mereka.

Saat Nafla mulai akan menyuapi makanan ke mulutnya sendiri, seseorang menarik kuat rambutnya dari belakang. Sehingga, Nafla berteriak kaget.

Sendok yang ada di tangan Nafla bahkan terjatuh, hingga nasinya berhamburan ke tanah. Nafla mencoba melepaskan cengraman kuat tangan seorang wanita beralis menukik di rambutnya sembari merintih kesakitan.

"PELAKOR!" Wanita yang tidak dikenali Nafla itu berteriak murka. Ia bahkan kembali menjambak rambut Nafla, hingga gadis polos itu berdiri terhuyung dan menjadi tontonan. Sedangkan, sebelah tanggannya merekam adegan anarkis tersebut dengan ponselnya sendiri.

"Ini nih, cewek gatel! Muka kayak monster masih aja sok kecantikan godain laki orang." Wanita itu mendorong kepala Nafla, hingga Nafla jatuh tersungkur ke tanah.

Wanita berambut pirang itu masih saja menyorotkan kamera ponselnya ke arah Nafla yang duduk terjerembab. "Liat nih! Muka si pelakor. Item, jerawatan, pendek."

Wanita itu mendekat, lantas memegang ujung baju yang dikenakan Nafla dengan ekspresi jijik. "Apaan, nih? Norak banget pake baju bunga-bunga!" Kemudian, tertawa mengejek.

Nafla mencoba menutupi wajahnya dengan tangannya yang kotor terkena tanah, tetapi wanita tadi menarik kasar tangannya. "Masih punya malu juga, loe? Harusnya loe mikir dulu sebelum jadi Pelakor!"

"Nggak Mbak, saya bukan pelakor!" Pembelaan Nafla terdengar seperti cicitan. Ia benar-benar ketakutan dan malu.

"Mas?" Air mata Nafla mulai menetes. Bibirnya tampak gemetar saat mengalihkan pandang dan menatap Faiz yang tidak berbuat apapun untuk membantunya.

Seketika hatinya patah untuk kedua kalinya saat Faiz akhirnya melangkah maju dan menujuk-nunjuk wajahnya. "Udah berapa kali saya bilang, saya udah punya istri. Nggak paham-paham juga kamu?!"

***

"Kamu ikut Nenek dulu, ya, Nak. Besok Papa jemput. Nafla segalanya bagi Papa."

Sebuah kalimat sederhana yang berhasil membuat hati Nafla patah untuk pertama kalinya di usianya yang ke sembilan tahun. Sebuah janji yang tidak pernah tertepati, meski Nafla telah menunggunya selama 15 tahun. Sebuah alasan yang membuat Nafla tumbuh menjadi sosok yang tidak percaya diri dan merasa tidak pantas dicintai.

Ya, sumber kekecewaan paling berat memang berasal dari orang terdekat.

Nafla berjalan keluar dari area pabrik dengan kondisi berantakan. Rambut acak-acakan dan wajah lebam bekas tamparan dan cakaran. Sorot matanya terlihat kosong, meski langkah kakinya tidak sedikit pun berhenti.

Ekspresi jijik Faiz saat menatap dirinya masih tergambar jelas. Ucapan menyakitkan Faiz terhadap penolakan bahkan tuduhan untuknya masih tergiang di telinga dan melukai hatinya.

Sekali lagi ... ia merasa tidak pantas dan terbuang.

"JIA!"

Sebuah teriakan, mengusik lamunan Nafla. Ia menolehkan kepala dan mendapati seorang gadis kecil dengan rambut kuncir dua sedang mengejar seekor kucing yang berlari menyebrangi jalan raya.

"JIAAA!"

Nafla tidak sempat berpikir. Ia berlari dan menarik tubuh gadis kecil itu agar tidak tersambar truk yang melaju kencang di pembelokan. Imbasnya, justru tubuhnya lah yang terhantam dan terseret di aspal.

Nafla tidak lagi bisa melihat dan mendengar apapun. Penglihatannya menggelap. Sedangkan, telinganya hanya mendengar kalimat ...

"Kamu ikut Nenek dulu, ya, Nak. Besok Papa jemput. Nafla segalanya bagi Papa."

***

Hai, hai, hai

Aku mau ikut kontes "Mengubah Takdir" ceritanyaaa

Jadi, jadi, jadi ... mohon dukungannya, ya.

Readers: Yakin kelar sampe tamat, Jika?

Jika: Bicik 😒

***

Mampir juga ke novel kece temanku, yukkk

Bianca Zehra

Sebuah mobil truk melaju kencang di jalan raya yang cukup lengang siang ini. Meski, sempat terdengar suara decitan rem yang beradu dengan aspal, tetapi kendaraan dengan bak warna kuning itu tetap menghantam tubuh Nafla, hingga terseret dan terguling sejauh lima meter.

Nafla sempat terdengar merintih, sebelum akhirnya pandangannya semakin menggelap dan nyaris kehilangan kesadaran. Dalam keadaan setengah sadar itu, ia masih bisa mendengar beberapa orang berteriak panik, suara mesin kendaraan, dan suara anak kecil menangis. Hingga, sebuah kalimat menutup indera pendengarannya.

"Kamu ikut Nenek dulu, ya, Nak. Besok Papa jemput. Nafla segalanya bagi Papa."

Setelah itu semuanya hening. Terlalu hening, hingga membuat Nafla takut.

Nafla merasa tubuhnya terangkat secara pelan. Semakin lama, terasa semakin tinggi. Semilir angin yang bertiup lembut, membuatnya merasa nyaman dan nyaris terlelap. Hingga, sebuah hentakan kuat membuat tubuhnya terguncang dan tertarik kebawah secara cepat.

Nafla merasa tubuhnya gamang. Ia seolah melayang dan terjatuh dari tempat yang sangat tinggi. Sekuat tenaga ia mencoba berpegangan, menggapai apa saja yang ia bisa. Ingin berteriak, tetapi susah sekali.

Jantung Nafla berdetak kencang. Napasnya tecekat di tenggorokan. Hingga akhirnya sebuah teriakan berhasil lolos dari mulutnya.

"AAAAAHHHH!" Nafla menarik tubuhnya cepat agar terduduk. Ia mencengkram erat kain yang terbentang di bawah tubuhnya, hingga kuku jarinya memutih. Sejenak kepalanya terasa pening.

Bulir keringat tampak membasahi pelipis Nafla disertai napas yang terdengar tersengal, meski sebenarnya tubuhnya terasa menggigil. Perasaan yang aneh sekali.

Mata Nafla terbuka lebar, meski ia tidak tahu apa yang sedang dilihatnya. Semuanya terlihat asing.

Suara deritan pintu yang terbuka terdengar tidak lama setelah itu. Nafla menolehkan wajahnya pelan ke arah pintu, masih dengan napas yang terdengar memburu.

Seorang perawat pria bermata sipit tampak berjalan mendekat dengan sigap. Kemudian, memeriksa layar monitor di atas kepala ranjang dan menekan tombol nursecall.

"Anda baik-baik saja, Nona Bianca?"

Nafla menggerakkan kepalanya pelan, mengikuti keberadaan si perawat pria. Keningnya, sontak berkerut.

"Anda tenang saja. Sebentar lagi dokter datang."

"Aku ...." Nafla menggerakkan bibirnya yang terasa kering. "Siapa?"

"Nona Bianca," balas perawat pria lugas.

Nafla terkesiap. Ia melebarkan mata dan mulutnya, lalu turun dari ranjang dengan cepat.

"Buka! Buka jarum ini!" perintah Nafla panik sembari menujuk-nunjuk selang infus di pergelangan tangannya.

Perawat pria dengan nama Azariel yang terbordir di salah satu sisi dada seragam perawatnya itu masih tampak tenang. Meski, di hadapannya ada seorang pasien koma yang baru sadar dan bertingkah aneh. "Anda mau kemana?"

"Pipis! Cepat buka! Aku nggak bisa gerak."

Masih dengan santai, Azariel memindahkan pengait infus ke tiang infus. Kemudian, dengan tenang berkata, "Mari saya antar."

Mata Nafla melotot. Ia menatap Azariel tidak terima. Kemudian, dengan terseok-seok mendorong tiang infus ke arah toilet sambil menggerutu. "C*bul!"

Tentu saja Azariel mendengar gerutuan itu. Ia hanya menggelengkan kepalanya, sembari bergumam, "Astagfirullah."

Baru saja pintu toilet tertutup, seorang dokter dan dua perawat wanita masuk ke dalam ruang ICU. Mereka tampak kaget melihat ranjang pasien yang kosong.

Menyadari keterkejutan itu, Azariel berinisiatif menjelaskan, "Pasien sedang ke toilet."

Ketiganya tampak bingung. Namun, kali ini Azariel memilih hanya mengangkat kedua bahunya saja. Sebelum akhirnya, sebuah teriakan histeris wanita terdengar dari dalam toilet.

"AAAAAAHHHH!"

Kedua perawat wanita tadi sigap membuka kamar mandi untuk memeriksa kondisi pasien. Sedangkan, Azariel justru menggaruk kupingnya sambil kembali beristighfar.

Di dalam toilet, Nafla menatap cermin dengan wajah ketakutan. Berulang kali ia memastikan, tetapi penampakan wajahnya di cermin tetap tidak berubah.

Nafla menelisik seluruh tubuhnya dari atas, hingga bawah. Jemari tangan yang lentik, warna kulit cerah, kaki mulus dan jenjang, rambut pendek bergelombang.

"AAAAHHHHHH!" Sekali lagi Nafla berteriak. Ia bahkan tidak menghiraukan kedatangan dua perawat wanita yang memasuki toilet dan mendekatinya dengan siaga.

Nafla kembali menatap cermin. Kemudian, menepuk-nepuk wajahnya dengan kedua telapak tangan, meski pergelangan tangannya terasa pedih akibat gesekan jarum infus.

"Nona Bianca?"

"Kita kembali ke ranjang. Tangan Anda berdarah, Nona Bianca."

Benar! Ini wajah Bianca Zehra Tirta, adiknya sendiri.

***

Baru kali ini bikin genre fantasi dan rasanya ... Ah, mantap!

Mampir juga nih ke novel temanku yang seru abiiss

Harta, Tahta, Bukan Bianca

Papa melangkah melewati koridor dengan langkah lebar. Baru saya ia mendapat kabar sang putri yang dua minggu ini koma telah sadar.

Pintu ruang rawat dibuka dan papa masuk dengan tergesa. Ia memandang Bianca sedang duduk di ranjang dengan ditemani seorang perawat wanita. Sedangkan, seorang perawat pria tampak memeriksa infus.

"Bianca sayang." Papa memeluk tubuh kurus Bianca pelan ke dalam pelukannya. Hatinya tenang melihat Bianca kembali sadar setelah lama tertidur. Ia bahkan mencium puncak kepala Bianca bertubi-tubi.

Bianca ... atau Nafla?

Nafla mendorong tubuh papa, hingga pelukan laki-laki bertubuh tinggi besar itu terlepas. Tatapannya tampak terlihat sinis.

"Maaf sayang. Kamu kesakitan?"

Nafla tidak menjawab. Ia hanya memandang tangan papa yang kini menggenggam pelan tangannya. Dadanya terasa panas dan tanpa basa-basi menyentak genggaman itu.

Azariel yang telah selesai memasang infus memperhatikan kejadian itu diam-diam. Sedangkan, perawat wanita yang berdiri tidak jauh dari sana tampak mendekati papa dengan sopan.

"Permisi, Tuan Tirta."

Papa menoleh, menatap sang suster yang siap memberi informasi.

"Ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan mengenai keadaan Bianca. Bisa ikut saya sebentar?"

Papa kembali menatap Nafla, lalu mengusap pipinya yang halus. Ia tidak tahu, jika Nafla merasa muak dengan itu.

"Sebentar, ya, Sayang."

Papa beranjak pergi mengikuti perawat yang sebelumnya mengintruksikan Azariel untuk tetap memantau keadaan Nafla.

Pergilah! Pergi yang jauh. Seperti kau yang membuatku pergi.

Nafla masih menatap kepergian papa dengan sinis. Buku-buku jarinya kembali memutih karena tanpa sadar ia mencengkram kembali sprai putih rumah sakit.

Ia tidak sadar, jika ada seseorang yang masih berada di sana. Sesorang itu dari tadi selalu menatapnya penuh selidik.

"Kamu .... " Nafla menolehkan kepalanya saat mendengar Azariel bersuara. Perawat pria itu berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di depan dada dan kepala miring seperti sedang berpikir. "Siapa?"

Deg! Pupil mata Nafla sedikit membesar. Ia menatap Azariel tanpa berkedip dan pelan-pelan meneguk ludah.

Apa sekarang wajahnya sudah berubah lagi?

Hati-hati Nafla menundukkan kepala untuk sekadar memperhatikan bentuk tubuhnya yang lain. Jemarinya masih lentik. Kakinya masih mulus dan jenjang. Ia berarti ia masih berada di tubuh Bianca.

Nafla kembali mengangkat wajahnya penuh percaya diri. Membalas tatapan Azariel yang masih menatapnya curiga.

"Kamu ngomong apa? Tentu saja aku Binca. Bianca Zahra Tirta," tukas Nafla tidak terima. Namun, Azariel masih terus saja menatapnya. Kemudian, menggelengkan kepala setelah menurunkan tangannya dari dada.

"Bukan. Kamu bukan Nona Bianca."

Hampir saja jantung Nafla copot mendengarnya. Ia mulai terserang panik, tetapi sebisa mungkin tetap bersikap biasa saja. Akhirnya, ia hanya tertawa hambar, lalu berbaring dan menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Bagaimana ini? Bagaimana ini?"

Bianca adalah pasien pertama Azariel semenjak menjadi perawat magang di rumah sakit ini dua bulan yang lalu. Jadi, ia cukup merasa aneh dengan sikap Bianca yang sekarang.

"Kamu hantu, kan?"

Nafla menepis cepat selimutnya, hingga terjatuh ke lantai. Kemudian, duduk lagi dan menatap Azariel tidak terima.

"Nah! Nona Bianca tidak punya tatapan sinis itu." Azariel berujar sambil menjuk wajah Nafla. "Dia lembut. Dia penyayang. Dia ...."

Dug! Nafla melempar kuat bantal ke arah Azariel agar perawat magang itu berhenti memuji Bianca. Nafla benci mendengar semua itu. Ia berdiri, lalu menatap Azariel tajam.

Rupanya tinggi badan mereka nyaris sama. Sebuah keuntungan bagi Nafla untuk mengintimidasi pemuda itu.

"Azariel .... " Nafla semakin mendekatkan tubuhnya pada Azariel. Jemarinya yang lentik tampak bergeriliya di kerah baju pemuda bermata sipit itu. "Aku tau kamu suka padaku, kan?"

Nafla percaya diri sekali mengucapkan itu. Lagi pula laki-laki mana yang tidak tertarik pada adiknya itu. Dia cantik, sexy, dan memiliki bibir yang sensual. Namun, kepercayaan dirinya itu luntur saat Azariel memundurkan langkah sambil istrighfar. Kemudian, tampak menggumamkan ayat kursi.

"Aku bukan hantu!" teriak Nafla kesal. Ia mengembuskan napasnya kasar, saat Azariel belum juga berhenti membaca ayat kursi.

Nafla terus memutar otak. Ia tidak boleh terlalu cepat ketahuan. Ia belum puas memakai tubuh Bianca. Ia belum puas memberi pelajaran pada papa dan menyakiti hatinya. Ia belum puas bermain dengan dunia yang berbeda.

Bukankah, cobaan pria itu ada tiga? Harta, tahta, dan wanita. Jika, wanita tidak bisa, maka ...

"Aku akan memberimu uang, tapi tutup mulutmu!"

***

Cek cek cek

Silakan mampir~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!