Kaki mungil itu berlari, terus berlari... Menembus derasnya hujan yang membasahi tubuhnya. Dia tidak peduli dengan petir yang saling bersahutan. Saat ini dia hanya ingin segera sampai di apartemen ayahnya.
Tuhan, ini tidak mungkin'kan? Ayah, Ibu kalian tidak mungkin melakukan hal bodoh ini.
Dalam hatinya terus berharap jika apa yang dia dengar, tidaklah benar. Dia menangis sekencang-kencangnya. Gemericik air hujan yang berjatuhan telah menyamarkan suara tangisannya.
Dia berdiri mematung di depan gedung berlantai tinggi itu. Tatapannya terpaku pada orang-orang yang berkerumun di sana dengan menggunakan jas hujan.
Dia menggeleng kuat dengan tubuh bergetar. Dua kantung jenazah yang di bawa oleh beberapa orang melewati dirinya.
"Tidak.... Ayah, Ibu..."
Berteriak sekencang mungkin sambil menghentikan langkah orang-orang yang membawa kantung jenazah itu. Dia berlutut di atas aspal jalanan, membuka dengan perlahan reseleting salah satu kantung jenazah itu.
Meski penuh dengan darah dan luka, tapi dia bisa mengenali siapa yang berada di dalam kantung jenazah itu. Tangannya semakin bergetar, dia mendekap erat kantung jenazah itu.
"Kenapa? Kenapa kalian tega meninggalkan aku dan Hisyam. Kenapa..??" berteriak sambil menangis histeris
Salah seorang menepuk bahunya yang bergetar hebat "Sabarlah Nak, ini sudah pilihan orang tuamu"
"Ayah... Ibu.. Jangan tinggalin Na, sama Hisyam.." teriaknya sebelum kehilangan kesadarannya.
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
Hasna bergerak gelisah dalam tidurnya, keringat bercucuran membasahi dahinya. Air mata menetes di sudut matanya yang terpejam. Gumaman lirih masih terus terdengar dari bibirnya.
"Ibu..Ayah, jangan tinggalkan Na dan Hisyam.. Ibu, Ayah..."
Hah....
Hasna terbangun dengan nafas tersengal, sudah tujuh tahun berlalu sejak kepergiaan kedua orang tuanya yang begitu tragis. Namun, bayang-bayang masa lalu itu masih belum bisa hilang dari benaknya. Menimbulkan trauma tersendiri untuk dirinya.
Masih saja aku seperti ini setiap hujan deras di malam hari.
Hasna bangun terduduk di tempat tidurnya, kasur single yang tergeletak di atas lantai tanpa ada ranjang. Hasna membuka selimut dan bangun. Dia berjalan keluar dari kamarnya.
Adzan subuh baru saja berkumandang, memanggil setiap umat-Nya untuk melaksanakan kewajibannya. Hasna bersiap untuk mandi dan menyiapkan sarapan untuk dirinya dan adiknya.
Ceklek
Hasna membuka pintu kamar adiknya, yang berada tepat di samping kamarnya. Dia melihat adiknya yang masuh bergelung di bawah selimut.
"Syam bangun, udah pagi" kata Hasna sambil mengelus kepala adiknya itu.
"Emmm. Iya Kak"
"Bangun, mandi terus shalat dulu. Kak Na, mau nyiapin dulu sarapan" kata Hasna
"Hmm"
Hasna tersenyum kecil melihat adiknya yang terlihat masih mengantuk itu. Gadis itu berjalan keluar kamar Hisyam, lalu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Sarapan hanya dengan nasi goreng seadanya saja. Tapi, kedua kakak beradik ini terlihat begitu menikmati sarapan mereka.
"Langsung di cuci piringnya, Syam" kata Hasna setelah dia selesai sarapan dan mencuci piring bekas makannya
"Iya Kak"
Begitulah Hasna mengajarkan adiknya untuk bisa hidup mandiri dengan hal-hal kecil seperti ini. Selesai mencuci piring dan gelas bekas makannya, Hisyam segera mengambil tasnya di dalam kamar. Lalu dia memakai sepatu sekolahnya.
"Ayo Kakak antar dulu kamu ke sekolah" kata Hasna
"Tidak perlu Kak, Syam udah besar! Lagian sekolah Syam juga deket" kata anak berusia 12 tahun itu
Hasna tersenyum dan mengelus kepala adiknya itu "Syam emang udah gede, Kak Na saja merasa tetap segini. Tapi Syam udah tinggi gini, pasti bentar lagi nyusul tingginya Kakak"
Hisyam hanya tersenyum simpul, di usianya Hisyam termasuk anak yang cuek dan irit bicara. Mungkin, tidak akan seperti ini jika kejadian 7 tahun lalu tidak terjadi dalam hidupnya.
"Yaudah, nanti kalo Syam udah SMP. Kakak gak akan anter kamu lagi deh. Sekarang'kan masih bocil. Hehe" kata Hasna sedikit terkekeh
"Terserah Kakak saja" jawabnya singkat
Hasna merangkul bahu adiknya dan mereka pun berjalan meninggalkan rumah kontrakan mereka. Berjalan menyusuri gang kecil menuju jalan besar.
Sebenarnya Kakak gak mau lihat Syam kayak gini. Tapi, mau bagaimana lagi. Semuanya telah terjadi.
Kejadian tujuh tahun silam, benar-benar menimbulkan rasa trauma tersendiri untuk kaka beradik ini.
Akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah Hisyam. Jaraknya yang memang tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu 30 menit dengan berjalan kaki.
"Syam masuk dulu Kak, hati-hati di jalan" kata Hisyam sambil meraih tangan Hasna dan menciumnya
"Iya Syam, kamu juga yang semangat belajarnya. Sebentar lagi mau Ujian Nasional'kan. Harus semangat belajarnya biar bisa dapetin nilai yang bagus" kata Hasna yang di jawab anggukan oleh Hisyam
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
Hasna sedang bersiap-siap untuk pulang kerja. Namun, Hasna harus di kejutkan dengan temannya yang memberi tahu jika ada yang mencarinya.
"Siapa yang mencariku?"
"Ada yang mencarimu di luar, cepatlah. Dia terlihat begitu menyeramkan. Apa kau punya hutang? Mungkin dia ingin menagih hutangmu"
Hasna yang kebingungan dengan perkataan teman nya barusan langsung keluar karna jam kerjanya sudah selesai.
Hasna tidak merasa punya hutang apapun, kecuali sewa kosan nya yang masih nunggak dua bulan. Tidak mungkin'kan sampai di kejar kejar depcolektor. Fikirnya
Dan inilah awal pertemuannya dengan pria dingin yang berhasil membuatnya kagum dan pada akhirnya terjebak dengan perasaannya sendiri.
Satria Bima Prakasa, seorang pria tampan dengan tubuh yang sempurna. Tangan kanan dari Yudha Abimana Walton, pengusaha muda yang cukup terkenal di tanah air dan beberapa negara luar.
Awal bertemu dengannya, Hasna sudah begitu terpesona dengan ketampanannya. Namun, sikap dingin dan tegasnya membuat Hasna menjadi takut.
Bima menemuinya hanya untuk mencari tahu tentang informasi, kejadian di kamar hotel 302. Empat tahun silam, hal yang cukup menganggu fikiran Hasna karena dia melihat jelas kejadian itu.
"Katakan saja apa yang kau lihat tentang kejadia 4 tahun lalu di kamar 302?" Tanya Bima penuh dengan nada intimidasi
Baiklah mungkin sudah saatnya aku bercerita tentang hal yang selama ini selalu menghantuiku dengan rasa bersalah.
Bersambung
Masih banyak mengulang cerita sebelumnya... yang pernah ada di novel Light Of My Life
Cerita si gadis yang di tolong Hasna ada di judul Light Of My Life. Yang belum mampir boleh langsung mampir.
Saat itu.. waktu masih menunjukan pukul 8 malam. Hasna masih membersihkan lantai tiga karna ada perbaikan CCTV yang belum selesai.
Mungkin besok selesai perbaikan CCTV nya. Jadi aku gak perlu lembur lagi buat bersihin lantai tiga ini.
Seorang gadis yang umurnya tidak berbeda jauh dengannya datang dengan membawa pakaian yang sudah di laundry. Ada langganan nya yang menginap di hotel ini yang selalu melaundry pakaian nya pada Laundry yang ada di sebrang hotel ini.
"Kak aku mau anter pakaian untuk orang yang menginap disini. Di kamar 303"
Hasna yang hari ini bekerja lembur masih membersihkan lantai lantai di hotel ini "Oh ya udah kamu antar sendiri saja, tinggal lurus aja"
Gadis itu mengangguk "Terimakasih Kak"
Hasna hanya megangguk lalu melanjutkan kegiatan nya lagi. Punggung gadis itu masih terlihat oleh pandangan nya.
"Aaaaaa"
Teriakan itu sukses membuat Hasna terkejut. Dia melihat pakaian yang tadi di bawa oleh gadis itu berhamburan di lantai tepat di depan pintu kamar dengan nomor 302.
"Tolong... jangan Tuan... Tolong... Tolong..."
Teriakan itu masih terdengar sebelum pintu benar benar tertutup dan Hasna tidak bisa mendengar apapun lagi karna semua kamar di hotel ini kedap suara.
Hasna diam mematung dengan segala fikiran nya. Dia bingung harus berbuat apa saat ini. Apalagi dia juga baru bekerja sekitar 1 bulan yang lalu membuat dia belum terlalu mengenal orang orang yang bekerja disini.
Hasna sudah mencoba meminta tolong pada kepala cleaning service dan manager hotel. Namun, semuanya nihil. Tidak ada yang menolongnya dan mendengarkan perkataannya.
"Kita tidak bisa melakukan apapun Na, pria yang berada di dalam kamar itu adalah pemilik hotel ini. Tempat kita bekerja, dan dia sedang dalam keadaan mabuk berat"
Hasna sudah mencoba berbagai cara, namun tetap saja dia tidak bisa membantu gadis itu. Apalagi saat itu dia baru saja satu bulan bekerja dan tidak terlalu tahu dan belum banyak mengenal pekerja di hotel ini.
Akhirnya Hasna hanya bisa menunggu gadis itu keluar dan mengantarnya pulang ke laundry tempatnya bekerja.
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
Malam harinya, Hasna tidak bisa tidur. Dia terus berguling kesana kemari di atas tempat tidurnya. Kepalanya terus memikirkan perkataan Bima kemarin saat mengantarnya pulang. Setelah Hasna menjelaskan semua kejadian yang dia lihat di kamar 302, empat tahun lalu.
"Kau harus ikut ke Ibu kota untuk menjelaskan semua yang telah kau lihat dan memastikan jika benar gadis yang aku duga adalah gadis yang sama"
Hasna hanya bisa mengangguk dan mengiyakan saja karena entah kenapa dia sangat tidak bisa membantah ucapan pria dingin itu.
"Aku masih belum ngerti sama maksud dari ucapannya itu. Gadis yang aku duga adalah gadis yang sama. Apa maksudnya coba?"
Hasna masih terus memikirkan apa yang di maksud perkataan Bima itu. Sampai akhirnya dia terlelap dengan sendirinya.
Pagi harinya, Hasna telah menyiapkan sarapan. Hisyam juga telah siap dengan seragam sekolahnya.
"Dek, Kakak harus ke Ibu Kota untuk beberapa hari. Apa kamu ambil cuti sekolah saja" kata Hasna memulai percakapannya setelah menyelesaikan sarapan mereka
"Emangnya Kak Na mau ngapain ke Ibu Kota?" Tanya Hisyam sambil memakai kaos kaki dan sepatu sekolahnya
"Ada urusan yang harus Kakak selesaikan. Ini menyangkut kehidupan seseorang" jelas Hasna
"Syam kan bentar lagi Ujian, gak mungkin kalo ambil cuti sekolah terlalu lama. Gini aja, Kakak ke Ibu Kota saja sendiri. Syam gak papa disini sendiri, Syam bisa jaga diri kok"
Hasna menatap prihatin pada adiknya, Hisyam memang sangatlah dewasa di usianya ini. Dia begitu mandiri dan tidak pernah menyusahkan Kakaknya. Tapi, Hasna selalu merasa bersalah karena di usianya Hisyam harus di paksa dewasa oleh keadaan.
"Beneran?" Tanya Hasna meyakinkan, dan Hisyam hanya mengangguk saja.
Sebenarnya Hasna cukup mengerti alasan sebenarnya kenapa Hisyam tidak mau ikut dengannya ke Ibu Kota. Karena Kota itu adalah awal dari kehancuran hidupnya. Terlalu banyak kenangan pahit di sana.
"Yaudah, kalo gitu Kakak bakal titipin kamu ke Bu Sri saja ya" kata Hasna yang juga di jawab anggukan oleh adiknya itu.
"Yaudah ayok sekarang kita berangkat" ajak Hasna sambil mengulurkan tangannya yang langsung di sambut oleh tangan Hisyam.
Kakak beradik ini berjalan menyusuri jalan gang dengan bergandengan tangan. Hisyam yang tingginya sudah hampir menyusul tinggi Kakakanya. Membuat mereka seperti sepantaran saja.
"Tinggi banget si kamu Syam, bentar lagi pasti lebih tinggi dari Kakak" kata Hasna sambil mengusap kepala adiknya itu
"Kakaknya aja yang terlalu mungil. Hehe" kata Hisyam yang diakhiri kekehan kecil
Hasna cemberut "Dasar!!"
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
Setelah mengetahui semua cerita Hasna, Bima memutuskan untuk mengajak Hasna bertemu dengan beberapa orang yang bersangkutan dengan kejadian 4 tahun lalu di kamar hotel 302 itu.
Pagi ini setelah mengantar Hisyam ke sekolah, Hasna harus menunggu kehadiran pria dingin yang kemarin menemuinya. Mereka telah membuat janji untuk bertemu pagi ini.
Kenapa dia terlihat semakin tampan ya. Eh.
Hasna menggelengkan kepalanya, mengusir segala fikiran negatif di kepalanya. Hasna berjalan mendekat ke arah Bima yang baru saja keluar mobil mewahnya.
"Tu...tuan" lirih Hasna, bermaksud menyapa. Tapi, entah kenapa dia malah ketakutan sendiri untuk menyapa pria menyeramkan di depannya
"Masuk!" berkata dingin dan penuh dengan nada perintah.
Ya Tuhan, menyeramkan sekali dia ini.
Hasna masih diam dengan pikirannya tentang kejadian 4 tahun lalu. Tidak pernah terpikirkan olehnya, jika kejadian 4 tahun lalu itu akan membawanya ke posisi ini dan bertemu dengan pria dingin seperti Bima.
"Kenapa masih berdiri di sana?" kata Bima setengah berteriak
"Eh.. Tu..tuan, sebenarnya Tu..tuan mau membawa saya kemana?" lirih Hasna
Hasna benar-benar tidak tahu Bima akan membawanya kemana. Karena pria itu hanya mengajaknya bertemu dan akan pergi ke suatu tempat. Hanya itu yang di katakan Bima, lewat telepon tadi.
"Masuk dan ikut denganku, tidak perlu banyak bicara" suara perintah yang entah kenapa Hasna tidak mampu membantahnya.
Hasna masuk ke dalam mobil begitupun dengan Bima. Mobil melaju meninggalkan gang kecil menuju rumah kontrakannya.
Hasna sudah begitu takut dengan situasi ini. Suasana di dalam mobil terasa dingin dan mencekam, sesekali dia melirik ke samping dimana Bima sedang menyetir tanpa ada sepatah katapun yang keluar darinya.
Na, takut Ayah, Ibu..
Mereka menemui mantan pemilik laundry yang sudah pindah karena Laundry di sebrang hotel itu sudah ganti pemilik. Menanyakan segala hal, yang perlu di tanyakan.
Setelah mendapatkan informasi yang di inginkan. Bima langsung mengajak Hasna untuk segera pulang.
Bersambung
Maaf kalo gak terlalu banyak kesamaan percakapan atau ceritanya dengan chapter Bima dan Hasna di novel sebelumnya. Light Of My Life..
Sumpah agak susah juga buat nyambungin cerita yang satu ke cerita yang lainnya. Banyak banget pertimbangan, dan ya.. cukup sulit bagiku...
Suasana di dalam mobil begitu mencekam. Hasna sesekali melirik ke arah Bima yang fokus menyetir.
Apa dia yang melakukan hal itu di malam itu ya. Ih..
Hasna refleks mendekap bagian dadanya. Dia menjadi takut berada satu mobil dengan pria itu. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah mendapatkan informasi yang di inginkan.
"Kau kenapa?" Tanya Bima datar, tanpa menoleh sedikitpun pada Hasna
"Eh.. Eng..enggak papa Tuan" lirih Hasna
Bima hanya mengangguk saja, tak peduli dengan apa yang di pikirkan oleh gadis di sebelahnya. Yang terpenting untuk Bima adalah tujuannya sudah tercapai.
"Jadi, apa kau sudah siap untuk ikut aku ke ibu kota. Aku ingin kau menjelaskan semuanya di depan Tuan Muda" kata Bima dingin
Hasna menoleh "Tapi, apa saya harus pindah Tuan? Apa saya tidak bisa pergi ke sana lalu kembali lagi ke sini setelah menjelaskan semuanya"
Bima menatap lurus jalanan di depan nya "Jika seperti itu aku takut kau akan kabur tanpa bisa memberi tahu Tuan Muda siapa gadis itu"
Tuan Muda? Ahh.. Apa itu orang tua gadis itu? Ehh. Atau dia yang melakukannya di malam itu. Ahh.. Sudahlah, ngapain aku harus pusing mikirin itu. Sekarang fikirkan dulu bagaimana nasibmu di tangan pria dingin ini, Hasna.
Hasna menghela nafas "Saya mempunyai adik yang masih kecil disini Tuan. Tidak mungkin saya meninggalkan nya sendirian disini"
"Ya kau bawa saja adikmu itu, apa kau bodoh sampai ingin meninggalkan adikmu sendiri disini" kata Bima tajam
"Saya hanya akan mengambil cuti saja, dan tidak akan tinggal di ibu kota. Saya akan menitipkan dulu adik saya pada tetangga" kata Hasna
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
Akhirnya hari melelahkan ini berakhir juga. Setelah menemui mantan pemilik laundry itu dan Bima bisa memastikan jika gadis yang di cari Tuannya adalah benar yang dengan dugaannya.
Bima mengumpulkan segala bukti dan paraduganya selama ini. Di meja kerjanya ada beberapa bukti yang bisa dia berikan pada Yudha, Tuannya.
"Kasihan sekali gadis ini, orang tuanya meninggal bunuh diri hanya karena korupsi uang negara. Sungguh malang" lirih Bima sambil menatap foto Hasna
Bima menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kerjanya. Menatap langit-langit ruang kerjanya. Sekelebat bayangan masa lalunya kembali hadir. Di saat sendiri seperti ini, Bima pasti selalu mengingat masa lalunya itu.
Hah...
Bima menghela nafas kasar, dia masih saja berharap jika masa lalunya itu kembali. Menemuinya dan meminta maaf padanya.
...🐧🐧🐧🐧🐧🐧🐧...
"Sekali lagi maaf ya Bu, Hasna lagi lagi harus merepotkan Ibu" kata Hasna merasa tidak enak pada Bu Sri, tetangganya yang begitu baik padanya selama ini.
"Tidak papa Na, kamu dan Hisyam sudah Ibu anggap seperti anak Ibu sendiri. Ibu senang kalo Hisyam akan di titipkan disini. Ohya, berapa hari kamu di Ibu Kota?" Tanya Bu Sri
"Belum tahu Bu, mungkin hanya tiga atau empat hari saja. Na juga gak bisa ambil cuti lama-lama. Kalo gitu, Na pamit ya Bu. Tolong titip Hisyam, maaf sudah merepotkan Ibu"
"Tidak papa Na, ya udah kamu hati-hati di jalan" kata Bu Sri sambil mengelus tangan Hasna
"Iya Bu, Assalamualaikum" Hasna mencium tangan Bu Sri
"Waalaikumsalam. Semoga urusannya segera selesai ya"
Hasna mengangguk, lalu dia turun dari teras rumah Bu Sri. Dia berjalan meninggalkan rumah Bu Sri, berjalan menyusuri gang kecil itu. Tangannya menenteng tas berukuran sedang.
Sampai di depan gang, Hasna sudah melihat mobil mewah yang terparkir di sisi jalan dengan seorang pria tampan yang berdiri menyandar di bagian depan mobil itu.
Hah...
Hasna menghembuskan nafas berat, dia merasa takut untuk kembali ke kota itu. Tempat dimana hidupnya benar-benar hancur.
Baiklah Hasna, semangat!! Ini demi kebaikan dan kebenaran. Ayo perjuangkan keadilan untuk gadis yang telah kamu tolong itu.
"Lambat sekali kau berjalan" suara datar itu terdengar saat Hasna baru saja sampai di depan pria dingin itu.
Hasna menunduk takut "Ma..maaf Tuan"
"Cepat masuk! Kau tidak punya banyak waktu" kata Bima yang langsung berjalan mengitari mobilnya dan masuk.
Hasna mengikutinya, dia membuka pintu mobil bagian penumpang dan masuk. Bima melajukan mobilnya membelah jalanan pinggiran kota itu.
Perasaan Hasna semakin tidak karuan saat mobil terus melaju. Dia semakin takut dengan kembalinya ke kota itu. Kota dengan segala kehancuran untuknya dan adiknya.
"Nanti disana kau hanya perlu menjelaskan apa yang kau lihat. Pastikan jika gadis yang bersama Tuan Muda adalah gadis yang sama dengan gadis yang kau tolong malam itu" jelas Bima
Hasna hanya mengangguk saja, dia hanya ingin semua ini segera berlalu. Kasus pemerko*saan 4 tahun lalu yang tanpa sengaja dia lihat. Dia yang menolong gadis itu tanpa tahu dan melihat pria yang telah menghancurkan masa depan gadis malang itu.
Sampailah mereka di Ibu Kota, tangan Hasna mulai bergetar. Tidak menyangka jika gadis yang di tolongnya beberapa tahun lalu akan membawanya kembali ke kota ini. Kota yang bahkan Hasna sendiri tidak ingin kembali ke sini.
Tenang Hasna, tenang..
Deg..deg..deg...
Detak jantungnya berdetak kencang saat mobil berhenti tepat di basement apartemen mewah di kota ini. Kepalanya terasa pusing, keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Tuhan, kenapa bisa kesini?
"Kau kenapa?" Tanya Bima setelah memarkirkan mobilnya dan mematikan mesin mobilnya itu. Dia menoleh ke arah Hasna yang membuatnya heran dengan sikap gadis di sampingnya ini.
Hasna menggeleng pelan "Ke..kenapa kita berhenti disini Tu..tuan?"
"Kau akan tinggal disini dulu, aku harus menemui Tuan Muda dulu dan menjelaskan semuanya. Barulah kau bisa bertemu dengannya" jelas Bima
"Ti..tinggal disini" lirih Hasna seolah tidak percaya dengan ucapan Bima dan semua takdir yang kembali membawanya ke sini.
Bima membuka sabuk pengamannya, lalu dia mengambil beberapa lembar tissue. Bima sedikit memiringkan tubuhnya dan langsung mengusap keringat di kening Hasna.
Deg..
Posisi yang sangat dekat ini membuat mata mereka saling berpandangan. Bima maupun Hasna terpaku dengan tatapan masing-masing. Tangan Bima masih berada di keningnya, masih memegang tissue untuk mengelap keringat di kening Hasna.
Ada apa denganku, kenapa aku gugup begini. Sial.
Bima segera menjauhkan tubuhnya dari Hasna. Bisa berbahaya jika dia terus-terusan berdekatan dan saling bertatapan dengan gadis itu.
"Cepat turun!"
Hasna mengangguk dan segera turun dari mobil itu dengan menenteng tasnya itu. Hasna berdiri menatap gedung tinggi itu. Bayangan itu kembali hadir di ingatannya.
Hah...
Hasna menghembuskan nafas untuk menghilangkan rasa traumanya itu. Masa lalunya terlalu sakit untuk dia ingat. Semua kenangan indah seolah terhapuskan dengan tragedi menyakitkan itu.
Ayah, Ibu.. Na kembali lagi kesini.
"Cepat! Sedang apa kau berdiri disana?" teriakan Bima yang sudah mau masuk ke loby apartemen itu langsung menyadarkan Hasna.
Gadis itu berjalan cepat mengikuti langkah Bima menuju lift. Keduanya masuk ke dalam lift dan Bima langsung menekan tombol lantai yang di tujunya.
Hasna semakin gemetar, takut dan sedih bercampur menjadi satu. Begitulah perasaanya saat ini, dia pernah berada di tempat ini. Pernah bahagia juga di tempat ini, namun semuanya terhapuskan dengan tragedi menyakitkan itu.
Ting
Pintu lift terbuka, Hasna segera keluar bahkan dia mendahului Bima. Biarlah, yang penting Hasna ingin segera keluar dari ruangan yang terasa sesak itu.
Lagi-lagi Hasna hanya bisa mengikuti langkah pria di depannya. Dia terus menggelengkan kepalanya saat bayangan itu kembali datang memenuhi fikirannya.
Lupakan Na, jangan terus mengingatnya. Hidupmu dan adikmu sudah baik-baik saja. Jangan terus terbelenggu dengan trauma itu.
Begitulah cara Hasna mengusir rasa traumanya.
Bersambung
Untuk pembaca baru, yang penasaran dengan kisah gadis yang di tolong Hasna. Bisa langsung baca Light Of My Life
Kisah masa lalunya akan lebih lengkap di ceritakan di sana.
Jangan lupa dukungannya..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!