" Kau adalah istri sahnya, tapi kau tidak memiliki cintanya. Aku memang datang terlambat, tapi aku selalu jadi yang pertama baginya. Lakukanlah segala cara yang kau bisa, karena apapun yang terjadi, Arnold hanya akan menjadi milikku. "
Bagaimana, menyakitkan? Tentu saja menyakitkan! Tapi, kata-kata seperti ini adalah kata-kata yang sudah biasa untuk di dengar bagi wanita berusia dua puluh enam tahun yang bernama, Shenina. Istri sah dari Arnold, serta Ibu kandung dari Asha, gadis cantik yang kini berusia empat tahun.
" Kau mana berhak mengatakan itu semua?! Kau harusnya sadar diri, kau adalah perempuan jal*ng yang tidak tahu malu! Aku bersumpah akan membuatmu menyesal telah menginjak-injak harga diriku selama bertahun-tahun ini. " Shenina yang kini tengah berlutut dilantai menggunakan gaun berwarna merah terang, dan make up yang tebal sehingga membuat wajahnya jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, tapi malah menjadi hari yang menyedihkan seperti tahun sebelumnya saat dia berulang tahun.
Gadis cantik yang bernama Mona itu seakan tak kenal takut, dengan percaya diri dia melangkah maju agar lebih dekat dengan Shenina yang masih bersimpuh sembari menangis pilu dengan tatapan marah.
" Lihatlah dirimu dulu, wanita jelek! Kau yang seperti ini mana pantas untuk Arnold? Hanya bermodalkan janji kakek mu dan kakeknya Arnold, kau pikir cukup untuk dicintai Arnold? " Mona tersenyum mengejek.
" Pergi kau! Jangan muncul lagi di hadapanku, maupun keluargaku! " Shenina berusaha bangkit dari posisinya yang bersimpuh, sungguh sangat sulit hanya untuk bangkit karena berat badannya yang berlebihan. Kakinya bahkan sampai gemetar untuk menopang tubuhnya yang kini sudah bisa berdiri dengan benar.
" Ckck.... " Mona menggeleng dengan maksud mencibir seraya menatap bagaimana sulitnya Shenina untuk berdiri.
" Sudah tahu badan seperti karung beras, tapi masih saja memakai gaun panjang menjuntai seperti itu. Bagaimana rasanya jatuh ke lantai dengan sepatu heels tinggi? Enak? Mau lagi? " Mona terkekeh geli dengan ucapannya sendiri, begitu pula dengan sang adik ipar yang datang bersama Mona tadi.
" Kalian benar-benar keterlaluan! Anya, aku adalah kakak ipar mu, aku adalah keluargamu! Kenapa kau malah ikut menertawakan ku?! " Protes Shenina kepada sang adik ipar. Padahal selama ini yang ia tahu adik iparnya selalu mendengarkan semua curahan hati, dan selalu memberikan solusi, lalu bagaimana bisa dia terlihat dekat dengan Mona, dan mencibirnya melalui tawa dan tatapannya?
" Aduh, kakak ipar ya? Sayang sekali sebentar lagi kau bukan kakak ipar ku lagi. Kau tahu kenapa? Karena kakak akan segera menceraikan mu, dan menikah dengan Mona. Kalau ingin marah, marah saja dengan dirimu sendiri. Sudah jelek, gendut, tidak berpendidikan, berani-beraninya menjadi kakak ipar ku! "
Shenina terperangah kaget dengan ucapan sang adik ipar yang begitu menyakitkan. Sungguh dia bisa menerima bagaimana sakitnya hinaan dari Mona, tapi dia mana bisa menerima hinaan itu dari sang adik ipar yang selama ini berperan sebagai pelindungnya? Shenina memberanikan diri menatap kembali sepasang bola mata Anya yang begitu jelas menunjukkan betapa tidak sudi nya dia menjadi adik ipar.
" Anya, apakah semua kebaikan mu selama ini adalah palsu? "
Anya tersenyum dengan percaya diri.
" Kau pikir saja pakai otak bodoh mu itu! Memang siapa yang mau memiliki kakak ipar sepertimu? Tapi setidaknya aku ingin mengucapkan terimakasih padamu, karena selama lima tahun ini sudah menjadi badut mainan ku yang menyenangkan. "
Badut mainan? Shenina mengepalkan kedua tangannya kuat menahan rasa sakit, kecewa, marah, dan tidak terima menjadi satu menyerang pertahannya.
" Jadi, gaun merah menyala, dress kuning terang, dan juga hijau stabilo itu juga bohongan? Makanan yang aku masak setiap hari adalah makanan yang sebaliknya, itukah sebabnya aku selalu salah di mata suamiku? "
Mona dan Anya tertawa bersamaan.
" Iya! Bagaimana lucu kan? Selama lima tahun kau selalu menggunakan pakaian seperti ingin pergi sirkus, memasak makanan yang dibenci kakak, bahkan kau juga selalu menggunakan parfum yang membuat mual setiap hari. "
Lucu? Jadi ha yang begitu menyakitkan baginya di anggap lucu? Shenina kini tak kuasa lagi menahan tangisnya yang tak tertahankan.
" Anya, padahal aku menyayangimu seperti menyayangi adik kandungku sendiri. Padahal aku memperlakukan mu dengan begitu tulus, tapi kau membalasnya dengan begitu menyakitkan, bahkan kau juga membohongi serta mempermainkan ku bertahun-tahun ini. Apakah kau tidak berpikir jika kau adalah manusia yang kejam? "
" Kejam? Kau yang kejam! gara-gara kau menjadi kakak ipar ku, aku malu saat bertemu dengan teman-temanku yang mengetahuinya. Kau juga menjijikkan karena setiap hari selalu datang ke kampus dengan penampilan udik untuk mengantar bekal. Kau pikir, kau tidak kejam? Kau lah yang paling kejam! "
Shenina mengusap air matanya. Benar, apapun yang dia katakan sekarang bukanlah hal yang bisa diterima dan membuat adik iparnya sadar.
" Baiklah, kau boleh saja menyakitiku dan menghinaku. Tapi, aku tidak akan pernah membiarkan rumah tanggaku hancur. "
" Pft! " Mona menutup mulutnya karena menahan tawa.
" Ulang tahunmu saja Arnold tidak mengingatnya, jangan terlalu banyak berkhayal. " Ucap Mona.
Shenina menatap Anya dengan dahi yang mengeryit.
" Anya, apa kau tidak menyampaikan pesanku kepada suamiku? "
Anya berpura-pura berpikir.
" Em, sepertinya aku lupa ya? Hihi... "
Shenina menggigit bibir bawahnya karena sudah tidak tahan lagi, dia bergegas menyambar tasnya, lalu berlalu meninggalkan sebuah restauran yang sudah ia siapkan untuk makan malam bersama dengan suaminya. Tapi sayang, semua itu hanyalah rencana semata.
" Arnold, apa kau benar-benar tidak mengingat hari ulang tahunku? Padahal aku ingin menghubungimu, tapi kau sudah memblokir nomorku. Aku benar-benar tidak ingin bercerai denganmu, aku tidak ingin mengalami apa yang Ibuku alami, apapun yang terjadi kita tidak boleh bercerai. Terlebih, Asha sangat menyayangimu. " Ucap Shenina sembari terus berjalan dengan air mata yang terus berjatuhan membasahi pipinya.
Suara dering ponsel, Shen bergegas mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya karena ia berharap itu adalah Arnold. Kecewa, itu adalah hal yang biasa saat dia mengharap sesuatu tentang pria itu.
Sudah lima tahun, dan kau masih saja tidak memberi kabar?! Kau ini teman macam apa?!
Shen menjauhkan ponselnya, dilihatnya lagi nomor yang tida memilihi nama kontak di ponselnya.
" Kau siapa? "
Dasar pelupa! Aku Zera! Apa kau ingat sekarang?! Dimana kau? Aku akan menjemputmu!
" Zera? Ini kau sungguhan? "
Iya! Hei hei! kenapa suaramu seperti habis menangis? Apa kau sangat merindukanku sampai terharu?
" Terharu gigimu gondrong! Aku ini sedang sangat sedih. "
Oh ya ampun! Baru aku akan merasa bahagia, apa yang membuatmu sedih? Aku akan menjemputmu sekarang.
" Baiklah, jemput aku di jalan Veteran delapan. "
Ya ampun! kau sedang ngamen atau apa? Kenapa kau dipinggir jalan?
" Cerewet! "
Bersambung.........
Brak!
Zera menggebrak meja karena merasa kesal setelah mendengar bagaimana Shen bercerita tentang suami, Mona, Anya, bahkan juga mertuanya yang sangat cerewet. Dia bahkan sampai membuang sebelah sepatu ke sembarang arah karena tidak tahan hanya bisa menggebrak meja.
" Kau ini bodoh atau apa, huh?! Sudah bertahun-tahun dipermainkan kenapa bisa tidak menyadarinya? Dasar sialan! kalau aku bertemu dengan adik ipar, suami, dan wanita sialan itu aku benar-benar akan memanggangnya, dan menyantap dagingnya di puncak gunung Himalaya. " Kesal Zera sampai nafasnya terangah-engah menahan emosi.
" Cih! Repot sekali harus naik gunung Himalaya segala. "
" Jangan menyela! Kau ini bodoh dan tulalit! Aku benar-benar ingin mengikis lemak di tubuhmu karena kesal! "
Shen menjebik sebal, lumayan juga karena sedihnya sedikit terobati dengan adanya Zera yang baru saja kembali dari Amerika.
" Zera, sepertinya aku harus segera kembali, putriku pasti sudah menangis mencariku. "
Zera mengatur nafasnya untuk berpesan kepada temannya yang naif, dan juga bodoh ini.
" Dengar, kalau kau tidak ingin bercerai dengan suami mu, kau harus mendengar kata-kataku. " Shen menatap Zera dan mengangguk nurut.
" Kau boleh pulang dulu malam ini, tapi ingat pesanku ini. Jangan lupakan semua hal yang menyakitkan, jangan banyak bicara terutama saat bertemu dengan suamimu, kau mengerti? "
" Tapi, kalau suamiku bertanya, dan aku harus mejelaskan bagaimana? "
Zera mendesah sebal.
" Diam, dan jawab seperlunya. Jangan menjelaskan apapun, dan ingat saja itu kalau kau benar-benar ingin mempertahankan rumah tanggamu. Besok pagi kita bertemu lagi, dan akan aku bantu apa yang harus kau lakukan selanjutnya. "
Shen terdiam mencerna setiap pesan yang diberikan Zera. Jujur dia ragu, pasalnya dia selama ini sudah menjadi istri yang penurut dan ramah kepada suaminya, serta perhatian. Kalau harus banyak diam, tentu dia bingung. Tapi karena yang mengatakan Zera, tentu saja dia tidak boleh meragukannya.
" Baiklah. " Ucap Shen setuju, dan pada akhirnya Zera bisa tersenyum bahagia.
Shen, dulu kau adalah satu-satunya orang yang terus bersamaku di saat tersulit ku. Sekarang akan ku balas kebaikanmu, dan tidak akan kubiarkan kau menderita lagi.
Hampir satu jam diperjalanan, akhirnya Shen kini sudah sampai dirumah yamg selama ini ia tinggali bersama keluarganya. Dengan hati-hati dia keluar dari mobil Zera, maklum saja berat tubuhnya membuatnya tak bisa leluasa di tempat yang agak sempit.
" Shen, ingatlah apa yang aku katakan. Besok pagi aku akan menjemputmu dan anakmu. " Ucap Zera.
Shen tersenyum dan mengangguk.
" Ok! Aku akan menghubungimu setelah semua pekerjaan rumah tanggaku selesai. " Ucapan Shen barusan mendapat anggukan dari Zera.
" Sudah selesai bermain badutnya? " Suara laki-laki yang tak lain adalah suara Arnold terdengar jelas dan lantang di telinganya. Laki-laki tampan itu duduk di ruang tengah sebelum menuju ke kamar mereka. Tatapannya yang tajam sungguh sama seperti biasanya, cara bicara yang angkuh dan terkesan menyindir juga adalah hal yang biasa bagi Shen.
" Terimakasih karena sudah bertanya, tapi aku memang sudah lelah bermain badut-badutan. " Shen tidak lagi mau mendengar perkataan Arnold, dia memilih bergegas pergi ke kamarnya, dia mengunci rapat pintu kamar, lalu membuka lebar kedua pintu lemarinya.
" Hah! Kuning, merah, hijau, baju rumbai-rumbai, kenapa aku sebodoh ini? " Shen mengeluarkan semua isi lemarinya, lalu mengumpulkannya di lantai hingga membentuk sebuah gunung kecil di dalam kamarnya. Tas, sepatu, dan juga aksesoris warna warni kini menumpuk di lantai bagaikan sampah.
***
Diruang tengah. Arnold memandangi sebuah amplop coklat yang berisi surat permohonan cerai. Padahal tadi dia sudah sangat bertekad untuk menyerahkan surat itu, dan agar bisa dengan cepat terbebas dari pernikahan tidak masuk akal yang sudah dia jalani selama lima tahun ini. Tapi saat melihat Shenina datang dengan wajah yang tidak biasa, entah mengapa dia jadi ragu-ragu untuk menyerahkan surat cerai itu.
" Sudahlah, besok saja. " Ujar Arnold lalu membawa kembali surat permohonan cerai keruang kerjanya. Cukup lama dia berusaha fokus dengan pekerjaannya yang belum selesai hari ini di kantor, tapi saat dia mengingat betapa dinginnya Shenina beberapa saat lalu, dia menjadi tidak tenang dan mulai menerka-nerka sebab sari berubahnya sikap Shenina.
" Sialan! Ada apa denganku? " Arnold mengusap wajahnya dengan kasar karena Shenina masih saja membuatnya tidak fokus. Merasa percuma berada di ruang kerja, Arnold memutuskan untuk mendatangi kamar sang anak agar bisa membuatnya merasa lebih tenang.
" Asha? " Arnold mengeryit heran mendapati sang putri yang tengah menggambar, padahal ini sudah pukul sepuluh malam. Bergegas Arnold mendekati putrinya untuk bertanya apa yang membuat putrinya belum tidur di jam ini.
" Ayah belum tidur? " Tanya Asha yang tak membuat tangannya terhenti untuk menggambar.
" Justru itu yang ingin Ayah tanyakan, kenapa Asha belum tidur? " Arnold mengusap kepala sang putri, lalu memberikan kecupan di pucuk kepalanya.
" Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu, tapi hadiahku belum juga selesai. "
Arnold terdiam karena tersentak, ternyata dia lupa hari ulang tahun Shenina.
" Begitu ya? "
" Ayah, kemarin bibi Mona bilang, katanya bibi Mona akan menjadi Ibuku? Maksudnya aku akan memiliki dua Ibu? "
Arnold mengusap kembali kepala sang putri.
" Apa kau setuju? "
" Tidak! Aku tidak mau memiliki dua Ibu. Aku hanya mau Ibuku saja, tidak mau ibu yang lain. Ayah, bibi Mona itu jahat, dia tidak boleh menjadi Ibuku juga. "
Arnold menghela nafasnya.
" Asha, Ayah sudah bilang kan? Kalau Ibumu mengajari hal yang tidak baik, atau Ibumu mengatai orang lain buruk di hadapanmu, kau tidak boleh berpikir seperti itu juga. "
" Tapi, bibi Mona- "
" Sudahlah, teruskan saja menggambarnya, Ayah ingin mengambil air. " Arnold keluar dari kamar putrinya dan meninggalkan kesedihan di wajah sang putri.
" Ayah, padahal aku tidak berbohong. "
Kini Arnold berjalan cepat menuju kamar Shenina, tentu tujuannya untuk menasehati Shenina agar tidak mendoktrin putrinya dengan membuat image Mona buruk di mata putrinya lagi.
Berkali-kali Arnold mencoba membuka pintu, dan juga mengetuknya tapi masih saja tidak dibuka.
" Shen! Keluarlah, ada yang ingin aku bicarakan! "
" Apa? Kau ingin memberikan aurat cerai, dan memintaku menandatangani nya? Aku tidak mau, aku juga tidak akan mungkin menandatangani nya. Apakah sulit menerimaku sebagai istrimu? Kalaupun harus bercerai, aku tidak mau bercerai karena wanita jahat itu. " Ucap Shen lirih, matanya juga berlinang melihat tumpukan barang-barang yang selama ini membuatnya dianggap sebagai badut.
" Shenina! " Panggil lagi Arnold, tapi tentu saja tidak dibukakan pintu oleh Shen.
" Baik kalau kau tidak mau keluar aku akan bicara disini. Dengar, kau tidak boleh lagi menjelekkan Mona kepada Asha, atau kau akan tahu akibatnya. "
Shenina kini jadi semakin menangis mendengar ucapan Arnold. Padahal dia sama sekali tidak pernah menceritakan hal buruk tentang Mona kepada putrinya, melainkan putrinya sendirilah yang bisa merasakan hal itu.
" Ternyata, kepercayaan mu terhadap wanita itu tidak sebanding dengan putrimu sendiri. "
Bersambung.......
Kegiatan pagi, adalah hal rutinitas yang dikerjakan Shen sebagai mana Ibu rumah tangga pada umumnya. Dulunya, dia sama sekali tidak bisa memasak maupun mengurus rumah. Tapi semenjak menikah, dia berusaha mati-matian untuk menjadi istri yang baik, serta menantu yang baik. Jadilah dia belajar memasak, dan mengurus rumah meski ada pelayan di rumah itu.
" Shen, buatkan jus buah kiwi ya? " Pinta sang Ibu mertua.
" Baik, Ibu. " Sejujurnya Shen agak bingung karena Ibu mertuanya memintanya untuk membuatkan jus kiwi, padahal yang menyukai buah kiwi dirumah itu hanya Shen seorang. Tak mau menghabiskan lebih banyak waktu di dapur, dia segera meminta pelayan untuk membantunya membuatkan jus kiwi, setelah selesai barulah dia keluar dari dapur untuk menuju meja makan.
Deg.....
Sejenak langkah kaki Shen membeku menyaksikan hal tidak biasa pagi ini. Mona, wanita itu ada ditengah-tengah mereka seolah dialah menantu. Sejenak Shen memandangi tubuh tambunnya yang terbungkus daster batik berwarna coklat. Ya Tuhan... rasanya memang sangat jauh kalau dibandingkan dengan dirinya. Merasa kesal, tapi juga malu dengan dirinya sendiri, semua itu tertahankan hingga membuat tangannya bergetar, dan jus kiwi yang tengah pegang tumpah sedikit.
" Ibu? " Panggil Asha yang menyadari sang Ibu hanya terdiam memegangi segelas jus.
Suara Asha benar-benar membuatnya mampu menghilangkan rasa sakit itu, dia mencoba tersenyum setulus mungkin seraya berjalan mendekati Asha yang terlihat tidak nyaman dengan ramainya keluarga yang begitu memperhatikan Mona.
" Asha, makanlah makananmu, setelah ini kita akan pergi jalan-jalan ya? " Shen berucap tanpa menatap suami dan yang lainya. Entah seperti apa mimik wajah mereka, rasa marah yang ia rasakan membuatnya malas untuk memperdulikannya lagi.
" Apa kau lupa sesuatu? " Tanya Arnold yang mengeryit melihat bagaimana Shen tidak seperti biasanya.
" Apa? " Shen menatap manik mata Arnold yang tidak tahu apa maksudnya menatap dengan dahi mengeryit seperti itu.
" Kau tidak melihat piringku masih kosong? "
Shen melihat piring itu, dan iya benar saja masih kosong. Sejenak Shen tersenyum miris, ternyata adanya dia hanyalah untuk melayani di manapun berada. Shen bangkit dari duduknya, dia mengambilkan nasi, dan juga lauk serta sayuran dipiring Arnold. Tak berhenti sampai disitu, dia juga melayani Ibu mertua, serta adik iparnya.
" Apakah Nona Mona juga ingin saya layani? "
Pertanyaan barusan ini benar-benar seperti tamparan keras bagi Arnold. Padahal dia sudah akan menyuapkan nasi ke mulutnya, tapi pertanyaan dari Shen benar-benar membuatnya tak lagi memiliki nafsu untuk makan. Berbeda dengan Arnold, Ibu mertua dan adik iparnya malah terlihat tak perduli.
" Mona adalah tamu, jadi penting juga untuk dilayani. " Ibu mertua berbicara tapi matanya masih saja menatap Mona, dan melanjutkan obrolan mereka.
" Tamu? Begitu ya? " Shen menyendok kan banyak sekali nasi, dua ayam goreng, dan juga setumpuk sayuran hingga makanan itu menggunung di piring Mona.
" Maaf Shen, aku tidak makan sebanyak yang kau makan. " Mona sebenarnya sangat kesal, tapi karena ada Arnold dia jadi harus menahan emosinya itu.
" Oh, begitu ya? Maaf ya Nona Mona? Aku terbiasa banyak bekerja dirumah ini, kalau makan hanya sedikit, aku tidak akan kuat. " Shen memaksakan senyumnya, lalu bergegas duduk disamping sang putri karena tempat duduknya telah diisi oleh Mona. Sementara Mona menggeser piring yang tadi, dan mengganti yang baru, bersamaan dengan porsinya.
" Arnold, kenapa kau tidak makan? " Tanya Mona.
" Kakak, cepat makan, nanti kakak terlambat ke kantor loh. " Anya menimpali.
Sungguh dia tidak lagi lapar, entah kenapa dia jadi tidak bernafsu setelah mendengar pertanyaan Shen tadi, ditambah juga Shen tidak mengambil makanannya padahal dia biasa akan makan dengan porsi yang sangat banyak.
" Ibu, aku sudah kenyang. " Asha menjauhkan piring dan gelas susu yang tinggal setengah di mejanya.
" Asha, minumlah susunya dulu sampai habis ya? " Pinta Shen sembari mendekatkan lagi gelas susunya.
" Asha, kalau kau bisa menghabiskan susunya, bibi akan memberikan boneka beruang kesukaanmu, bagiamana? " Mona tak mau kalah, dia mencoba merebut hati Arnold dengan menunjukkan betapa dia juga perduli dengan Asha. Shen tak bereaksi, tapi dia cukup kesal dengan tawaran Mona yang nantinya akan membuat Asha menjadi anak yang manja.
" Asha, habiskan susunya, Ibu janji akan menceritakan dongeng tentang tuan putri nanti malam. "
" Benarkah? " Asha nampak antusias dengan janji sang Ibu. Bukanya tidak menyukai boneka beruang, hanya saja dia tidak kekurangan apapun kalau mengenai barang, maka itu Asha lebih tertarik dengan dongeng pengantar tidur yang selalu diceritakan Ibunya setiap malam.
" Iya, seorang tuan putri yang sangat cantik dan baik hati sedang melawan si penyihir jahat. "
" Baik, Ibu! Penyihir jahat harus dimusnahkan dari muka bumi ini agar para putri tidak ditindas lagi! "
Shen terkekeh seraya mengusap rambut tebal Asha.
" Iya, penyihir jahat memang tidak boleh dibiarkan saja. "
Setelah Asha menghabiskan susunya, Shen langsung membawa sang putri untuk bergegas masuk ke kamar karena Zera sebentar lagi akan menjemputnya.
Perginya Shen dan Asha rupanya membuat suasana berubah menjadi aneh. Arnold masih tak menyentuh makannya, dan hanya menghabiskan segelas jus apel. Mona juga jadi tidak enak kalau harus memakan makanannya, Ibu mertua serta Anya awalnya tidak mau memperdulikan dan fokus untuk makan, tapi karena wajah Arnold yang berubah masam, mereka akhirnya kompak menghentikan sarapannya.
" Ibu, aku suka memakai baju ini. " Girang Asha sembari menunjuk gambar bajunya yang berkarakter beruang putih.
" Iya, kau terlihat sangat cantik. "
Baru saja mereka sampai di teras depan, pemandangan yang menyakitkan hati kini terpaksa ia saksikan. Mona, wanita tidak berperasaan itu begitu mesra mencium bibir Arnold yang akan segera masuk ke dalam mobil, dan yang menyedihkannya lagi Arnold juga tidak nampak keberatan akan hal itu. Sepertinya masih ingin berlanjut karena Mona terlihat ingin memeluk Arnold. Secepat mungkin Shen membalikkan tubuh Asha agar tak melihat apa yang Ayahnya dan wanita lain lakukan.
" Ehem! " Deheman Shen barusan sengaja ia lakukan agar mereka segera berhenti.
" Kalian bisa kan melakukanya di tempat yang tertutup? Tolong jangan rusak kepolosan anakku. " Shen segera membawa Asha pergi dari teras rumah, dan dengan langkah cepat mengimbangi Asha dia meninggalkan pagar tinggi itu. Sakit sekali rasanya, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Mau marah dan meberontak pun, rasanya dia tidak mungkin bisa mengalahkan wanita itu.
Beberapa saat Asha dan Shen berdiri menunggu Zera, mobil Arnold melintas dan berhenti di depan mereka.
" Mau kemana kalian? " Arnold membuka jendela kacanya, dan di saat itulah Shen melihat Mona yang duduk menyender disebelah Arnold. Lagi, Shen menutup mata Asha karena tidak ingin membuat Ayah kandung dari putrinya mendapat kesan buruk dari putrinya.
" Pergi berjalan-jalan. " Jawab Shen tak berekspresi.
" Naiklah taksi, aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan putriku. "
" Asha, tutup mata, dan kuping mu. " Pinta Shen dan langsung dilakukan oleh Asha.
" Aku bisa menjaga putriku, dan tolong juga jaga wanita mu agar tidak terlihat murahan disembarang tempat. "
" Shen! " Protes Mona tapi tertahan karena dia tida mau terlihat galak di hadapan Arnold.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!