"Ti nanti pulang kerja beli minyak goreng ya sekalian sama gula." Ucap Bu Lastri di suatu pagi.
"Ada lagi Bu?" Tanya Siti
"Nggak, itu aja."
"Kalau gitu aku berangkat kerja dulu ya." Ucap Siti mencium punggung tangan sang ibu.
Siti Rusdiana seorang wanita yang tidak cantik, tidak seksi dan tidak ada apapun yang bisa dibanggakan oleh wanita itu secara fisik. Jika dilihat sekilas memang Siti tidak mempunyai keistimewaan apapun, ia memiliki badan yang sangat gemuk, jerawat dimana-mana, kulit yang coklat cenderung gelap, rambut yang keriting dan tinggi badan yang tak seberapa.
Tak pernah ada pujian yang mampir di telinganya, sebaik apapun ia bersikap tidak pernah ada kata-kata yang baik untuknya. Setiap hari hanya hinaan yang ia dapat, bahkan adik perempuan satu-satunya juga ikut membenci Siti karena fisiknya.
Telinga Siti sudah kebal dengan cacian para tetangga yang tak ada habisnya. Rasanya tidak membicarakan fisik Siti tidak bisa tidur dengan nyenyak dan tidak bisa makan dengan enak.
Setiap mendengarkan kalimat buruk dari orang Siti hanya diam, memang hanya itu yang bisa ia lakukan. Menjawab pun rasanya tidak akan mampu membungkam mulut mereka. Yang bisa Siti lakukan cukup menutup telinga dengan kedua tangannya.
Siti mempunyai adik perempuan yang bernama Tini. Adik satu-satunya itu juga sudah bekerja sebagai di toko emas yang tak jauh dari rumahnya. Fisik Siti dan Tini sangat berbeda jauh, entah apa yang membuatnya beda, sampai sekarangpun masih menjadi misteri untuk semua orang. Siti dan Tini tumbuh dengan cara yang sama, mereka memakan makanan yang sama, orang tua sama, pendidikan sama, hanya keberuntungan saja yang tidak.
Jika Siti mempunyai tubuh yang sangat gemuk, berbeda dengan Tini. Tini mempunyai tubuh yang ideal, kulit yang sedikit putih dan wajah yang mulus tanpa cacat, rambutnya pun lurus dan hitam padahal Tini pun tidak melakukan perawatan yang mahal. Jangankan untuk perawatan mahal, untuk membeli apa yang diinginkan saja ia harus menabung berbulan-bulan.
Tini sama dengan yang lain. Ia selalu mengolok-olok kakaknya, ia sangat membenci Siti karena fisiknya. Menurut Tini, Siti wanita pembawa sial, ia adalah kutukan bagi keluarganya.
"Mbak kenapa sih nggak pergi jauh aja dari sini, mbak itu bawa sial buat aku. Temen-temenku yang tahu aku punya kakak kayak mbak pada menjauh dari aku. Semua teman dekat aku yang hampir jadi pacar aku juga memutuskan untuk pergi dari hidup aku karena mbak. Mereka takut nanti keturunan yang aku lahirkan malah punya fisik yang kayak mbak. Mbak tuh kutukan tahu nggak. Kalau begini terus bisa-bisa aku juga kayak mbak, nggak menikah seumur hidup. Mana ada laki-laki yang mau menikahi mbak kalau punya fisik begitu, kalau Mbak terus-terusan disini nggak ada laki-laki yang mau deketin aku mbak." Ucap Tini di suatu hari.
Siti hanya diam menunduk mendengar Tini yang mengeluarkan keluh kesahnya. Dalam hati Siti sakit hati mendengar adiknya mengolok-olok nya. Namun disisi lain memang yang dikatakan Tini ada benarnya. Siti tak mau semua orang menjauhi Tini karena dirinya. Ia tak rela jika Tini dijauhi oleh semua pria karena punya kakak yang buruk rupa sepertinya. Rasa percaya diri Siti sudah terkikis habis oleh orang-orang sekitarnya. Sudah tidak ada harapan hidup untuk bahagia, ia hidup hanya menunggu kematian yang kapan saja datang. Disaat masa itu sudah datang adakah orang yang menangisinya, atau justru mereka akan bahagia karena pembawa sial di keluarganya telah tiada. Pikiran itulah yang sering terlintas di pikiran Siti karena tak mendapat dukungan dari siapapun, kecuali orangtuanya.
Orang tua Siti masih lengkap dan sehat. Ibunya yang bernama Lastri berdagang kue di pasar, jika dagangannya tak habis di pasar maka ia akan berkeliling desa untuk menjajakan dagangannya. Sedangkan bapak Lastri yang bernama Rusdi bekerja sebagai tukang ojek.
Penghasilan mereka yang tak menentu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari hari. Sedangkan untuk kebutuhan besar lainnya ditanggung oleh Siti. Tini? Ia hanya menanggung kebutuhannya sendiri, jika hanya mempunyai uang lebih Tini akan membantu kebutuhan sehari-hari.
Meskipun bukan lahir dari keluarga kaya, Siti bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka. Mereka orang tua yang baik dan bijak, hanya mereka di dunia ini yang tidak membenci Siti. Tidak pernah membicarakan apalagi mengolok-olok Siti dengan kekurangannya. Orang tua Siti hanya bisa memberi semangat untuk Siti agar kuat menghadapi ujiannya.
"Ini ujian ti, ujian buat kamu dan kita sebagai orang tua. Kamu tetap anak kami, kamu darah daging kami. Bagaimanapun bentuk dan rupa kamu orang tidak berhak menghina kamu. Kamu juga tidak berhak membalas ucapan mereka. Biarkan Tuhan yang membalasnya. Menghina fisikmu sama saja menghina Tuhan, karena kamu juga ciptaan Tuhan. Tidak semudah ucapan memang. Tapi kamu harus ingat ucapan bapak ini di manapun kamu berada dan di hina seperti apapun kamu, tetap percaya pada Tuhan, berdoa padaNya, supaya kita dikasih hati yang lapang, sabar, ikhlas. Karena hanya itulah yang akan membungkam mulut mereka nantinya." Ucap pak Rusdi pada anaknya.
Hanya itulah yang menjadi pedoman hidup Siti, kata-kata yang paling menyejukkan hati selama hidupnya. Ia hanya berteman dengan kedua orangtuanya. Tak ada orang lain yang mau bergaul dengannya. Ia tak mementingkan itu, baginya diterima bekerja disebuah toko sudah lebih dari cukup, setidaknya ia menghasilkan uang untuk membantu kedua orangtuanya.
Siti langsung mengerjakan pekerjaannya begitu sampai di toko, seperti biasa. Ia akan membersihkan toko tersebut terlebih dahulu, menyapu lantai membersihkan etalase dan menata ulang barang-barang yang sekiranya perlu ditata. Selebihnya hanya duduk serta melayani pembeli yang berdatangan.
Sedang asyik-asyiknya duduk di depan toko Siti dikejutkan dengan kedatangan pak Bram, pemilik toko tempat Siti bekerja.
"Ti, saya mau ngomong. Masuk." Ucap pak Bram dengan wajah serius
Siti berjalan mengikuti pak Bram dengan hati yang berdebar. Ia berpikir kesalahan apa yang ia buat sampai pak Bram yang jarang berbicara dengannya, mengucap kata serius seperti itu.
Siti duduk di seberang pak Bram dengan meja yang menjadi pemisah mereka.
"Ti, kontrak saya di ruko ini sudah mau habis. Kamu lihat sendiri kan, kamu sudah bekerja disini selam tujuh tahun. Tapi lihat, toko saya masih jalan di tempat. Nggak kunjung ramai pembeli. Jadi saya putuskan untuk tidak memperpanjang kontrak disini. Saya mau pindah ke pusat kota saja. Jadi maaf sekali, saya tidak bisa memperkerjakan kamu lagi."
Siti syok dengan penuturan pak Bram, harus dimana lagi ia mencari pekerjaan setelah ini. Dengan pendidikan yang hanya lulusan SMA dan fisik yang membuat percaya dirinya terkikis habis, dan statusnya yang sebentar lagi akan menjadi pengangguran benar-benar membuat Siti benar-benar tak berguna.
"Kapan bapak pindah?" Tanya Siti dengan suara lemah
"Nanti siang saya sudah mulai memindahkan semua barang ti. Lusa kemungkinan saya sudah tidak disini."
"Jadi hari ini saya terakhir bekerja?"
Pak Bram mengangguk. "Ini gaji terakhir kamu. nanti jam satu siang kamu bisa pulang.
Siti menatap nanar amplop di depannya. Amplop terakhir, pikirnya. Setelah ini para tetangga akan mendapat bahan baru untuk menggunjing Siti, status pengangguran yang akan disandang membuat penderitaannya menjadi paket komplit.
Bersambung
"Tumben ti, jam segini udah pulang?" Tanya Bu Lastri seraya menyetrika baju tetangganya. Pekerjaan sampingan yang ia lakukan beberapa hari sekali. Apapun ia lakukan untuk memenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarga.
"Toko pak Bram mau pindah ke kota Bu. Masa kontraknya disini sudah habis dan pak Bram tidak memperpanjang kontraknya lagi. Ini gaji terakhirnya aku Bu." Ucap Siti menyodorkan amplop coklat
"Jadi hari ini terakhir kamu kerja?"
"Iya Bu." Jawab Siti lemas. "Orang-orang akan semakin senang membicarakan aku Bu. Mereka punya bahan baru untuk menghinaku."
"Ngapain mikirin omongan orang sih ti. Kamu jangan mikir bakal jadi pengangguran. Kamu bisa bantu ibu jualan kue. Kamu keliling ke desa sebelah pakai sepeda ibu. Kamu mau?"
"Mau Bu. Aku bisa sambil cari kerjaan barangkali ada yang cocok buat aku."
*
Pukul 5 sore. Tini tengah duduk santai dengan seorang laki-laki yang diperkirakan usianya tak terpaut jauh dengannya di kedai dekat tempat ia bekerja. Tini sangat berharap pria ini pria terakhir yang mendekatinya. Besar harapannya untuk segera menikah tanpa melihat kekurangan keluarganya.
Pria itu bernama Haris, pria 27 tahun yang merantau ke kota untuk merubah nasibnya. Ia bekerja di sebuah pabrik sepatu di pinggiran kota yang jaraknya sekitar 5 km dari desa Tini.
Haris mengenal Tini melalui sosial media dan berlanjut hingga sekarang. Sudah 6 bulan sejak pertama kali bertemu pria ini belum mengubah statusnya dari teman menjadi pacar.
Sebenarnya ada ketakutan di diri Tini akan latar belakang keluarganya. Memang tidak ada yang bertingkah buruk atau kriminal di silsilah keluarganya, namun kakaknya lah yang menjadi sebab ketakutan Tini.
Tini takut jika Haris mengetahui ia punya kakak yang buruk rupa, laki-laki itu akan kabur seperti yang sudah-sudah.
"Tin, aku mau ngomong serius sama kamu." Ucap Haris dengan mimik yang tak kalah serius
"Ngomong aja mas." Ucap Tini deg deg an.
"Aku nggak mau pacaran sama kamu. Aku mau kita langsung lamaran aja. Kamu mau aku ajak pulang kampung ke desa ku?"
Deg deg deg
Mungkin Haris kini tengah mendengar dentuman besar dari detak jantung Tini. Baru kali ini ia dilamar oleh seseorang secara langsung tanpa melalui proses pacaran.
"Kita baru kenal 7 bulan. Nggak terlalu cepat kah buat kita?"
"Nggak. Mungkin nggak cukup untuk mengenal sifat dasar masing-masing. Tapi selama hubungan kita begini terus sifat dasar kita nggak akan pernah ketahuan. Karena ya memang kita hanya menampakkan yang baik-baik saja, buruknya nggak. Iya kan? Nanti setelah aku bawa kamu ke keluarga ku dan bapak ibuku setuju, baru aku datang ke rumah kamu buat ngomong sama bapak ibu mu. Gimana?"
"Tapi mas aku...aku belum siap memperkenalkan kamu sama keluarga ku. Karena..Karena aku..aku ini keluarga biasa aja mas, bukan kalangan orang yang mampu." Kilah Tini, urung menceritakan tentang kakaknya.
"Terus hubungannya sama aku mau ngelamar kamu apa? Apa kamu berpikir kalau aku tahu kamu orang miskin aku ninggalin kamu? Kok kamu jadi mikirnya begitu?"
"Bukan...bukan itu maksud aku mas. Ya udah aku mau diajak ke kampung kamu. Kapan?"
"Ntar dulu, nanti aku kabari kalau mau pulang."
Tini sangat senang mendengar Haris yang berniat menjalin hubungan yang lebih serius tanpa basa-basi. Namum di hati Tini juga terselip ketakutan akan hadirnya Siti.
Pukul setengah 7 malam kedua sejoli ini memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Tini berencana akan membicarakan hal penting ini dengan bapak ibunya sesampainya di rumah. Tini melihat ibunya yang tengah sibuk membuat kue untuk ia jual besok subuh di pasar.
"Mbak Siti mana Bu?" Tanya Tini yang tak melihat batang hidung Siti di dapur.
"Cari tambahan bahan kue. Mbak mu udah nggak kerja di toko pak Bram. Tokonya besok mau pindah ke pusat kota. Jadi mbak mu mulai besok pagi keliling buat menjajakan kue ibu."
"Apa? Mbak Siti udah nggak ada penghasilan lagi? Mbak Siti pengangguran?"
"Kan ibu udah bilang tadi kalau Mbak mu bantuin ibu jualan kue. Masak kayak gitu namanya pengangguran."
"Ya maksud aku mbak Siti nggak punya penghasilan tambahan ibu. Makin benci lah aku sama dia. Benar-benar nggak berguna hidup dia. Cuma nyusahin aja." Ucap Tini kesal seraya berjalan menuju kamarnya
Hancur sudah rencana Tini untuk membicarakan soal Haris. Mood nya sudah hancur dengan kabar terbaru kakaknya yang menjadi pengangguran. Bagi Tini, membantu ibunya bukanlah hal pekerjaan yang menghasilkan uang tambahan. Karena uang itu nantinya digunakan untuk modal membuat kue lagi. Keuntungan yang tak seberapa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kamu dibiarin kok makin ngelunjak ya tin. Udah berapa kali ibu bilang, Siti itu mbak mu. Kenapa kamu sebenci itu hanya karena fisiknya. Kamu pikir mbak mu mau begitu? Kamu ini keluarga bukannya ngasih dukungan malah kayak orang lain ikut menghujat." Omel Bu Lastri dari dapur
"Terus belain aja itu si perempuan pembawa sial. Gara-gara dia banyak laki-laki yang kabur buat deket sama aku. Mereka jijik lihat dia."
"Ya itu cara Tuhan buat nunjukin ke kamu kalau mereka nggak baik buat kamu. Kamunya aja yang kurang bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Jangan salahin mbak mu terus. Jangan merasa kamu yang paling benar. Apa kamu merasa dengan fisik mu itu kamu sudah sempurna?" Cerca Bu Lastri.
Ia dan suaminya sudah ratusan kali memberi nasihat pada anak bungsunya itu untuk tidak menyalahkan Siti atau menghubung-hubungkan segala sesuatu yang terjadi pada hidupnya dengan fisik Siti. Namun karena memang kebencian itu sudah mengakar dalam dirinya, ia tak bisa berhenti menyalahkan kakaknya itu.
Bersambung
Diam-diam Siti mendengar pertengkaran antara ibu dan adiknya. Sempat terlintas di pikiran Siti untuk pergi dari rumah. Tapi harus banyak yang ia pertimbangan, mulai dari pergi kemana, bagaimana kehidupannya nanti, bagaimana dengan perasaan orang tuanya nanti ketika ia pergi. Berada di posisi serba salah membuat Siti tak tahu harus berbuat apa dan mungkin memang tak ada yang harus ia perbuat.
Siti melangkahkan kaki ke dapur begitu suara ibu dan adiknya sudah hening.
"Bu ini bahan kue tambahannya." Ucap Siti meletakkan bahan-bahan itu di meja.
"Iya, itu buat besok aja. Kamu besok dagang kuenya dikit dulu aja ya. Nanti kalau habis ibu tambahin lagi. Dari pada langsung banyak tapi nggak laku kan sayang."
"Iya Bu. Besok aku sekalian cari warung-warung buat di titipin ya Bu."
"Iya terserah kamu aja ti. Kamu istirahat aja. Udah malam. Ibu tunggal dikit kok ini."
Siti menurut, ia melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ia berharap dengan usahanya menjajakan kue bisa membuat usaha ibunya semakin maju. Karena memang hanya itu yang bisa ia lakukan saat ini.
Pukul 7 pagi, Siti sudah siap dengan dagangannya. Ia mengayuh sepeda membelah jalanan raya yang sudah ramai kendaraan. Matanya celingukan mencari warung atau toko untuk menitipkan kue buatan ibunya.
Tak lupa Siti juga masuk ke daerah perkampungan agar kue yang ia bawa segera habis. Di bawah terik matahari yang mulai meninggi Siti masih mengayuh sepedanya di jalanan yang memiliki lebar tak seberapa. Berkali-kali ia harus mengelap keringat di dahinya yang mulai tersengat matahari.
Meskipun harus berpanas-panasan, ada sedikit kelegaan di hati Siti, karena dua warung makan sudah bersedia menerima titipan kue Siti.
Ia memutuskan beristirahat terlebih dahulu di sebuah pos ronda. Peluhnya semakin terlihat jelas disudut-sudut tubuhnya.
"Bu kue bu. Enak-enak lo kuenya buatan ibu saya sendiri. Dijamin kebersihan dan kesehatannya. Silahkan di pilih". Ucap Siti pada beberapa orang yang lalu lalang di depannya.
Beberapa diantara mereka ada yang sekedar mampir, ada yang tak menghiraukan promosinya, ada juga yang mau membeli beberapa kue Siti.
Tak lama kemudian datang seorang wanita dengan mengendarai motornya berhenti tepat di sebelah dagangan Siti.
"Kok kamu jualan ti, nggak kerja?" Ucap wanita itu yang ternyata tetangga Siti.
"Toko pak Bram udah pindah mbak. Jadi aku jualan kue ibu."
"Oh gitu. Makin lengkap dong penderitaan kamu. Makin lengkap juga bahan hujatan orang-orang buat kamu. Dasar nggak berguna." Gumam wanita itu di akhir kalimat lalu pergi meninggalkan Siti.
Ia sudah kebal dengan suara semua orang yang menghujat dirinya. Sudah menjadi makanan pokok untuk siti. Menghiraukan ucapan mereka? Tentu saja tidak. Siti diam bukan berarti lupa, bukan berarti ia tak ingat siapa-siapa yang menghinanya. Ia tak dendam, tak pernah terlintas hal itu di pikirannya, hanya saja mulut mereka memang perlu diingat. Perlu diingat untuk menjadi cambukan bagi Siti.
Siti bukan tak pernah usaha untuk mengubah bentuk fisiknya yang menjadi bulan-bulanan tetangga, ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk merubah dirinya dimulai dari mengurangi berat badan. Ia pernah tak makan nasi selama beberapa hari hanya untuk mengurangi berat badannya. Bukannya berkurang Siti justru masuk rumah sakit karena dehidrasi.
Merasa sudah cukup istirahat, ia kembali mengayuh sepedanya untuk menghabiskan kue yang tinggal 5 biji.
Ia berkeliling ke beberapa perkampungan yang memang dekat dengan tempat tinggalnya. Ia mengayuh sepedanya hingga sore hari. Banyak pasang mata yang memandangnya dengan sebelah mata, tapi ia tak mau menghiraukannya. Ia berpura-pura acuh dengan pandangan mereka.
Masih tersisa lima kue lagi, karena hampir sore, Siti memutuskan untuk pulang. Di dalam perjalanan ia teringat dengan Tini yang menurutnya ia menjadi beban keluarga. Terlintas di pikirannya ingin merantau ke kota untuk merubah keuangan keluarga. Lagi-lagi kepalanya mengingatkan bentuk fisik Siti yang menjijikkan. Gendut, jerawat dimana-mana, hitam, dekil. Apa ia harus merubah fisiknya terlebih dahulu? Agar ia mudah diterima oleh orang seperti Tini. Setidaknya ia tidak akan dipandang jijik oleh orang yang melihat dirinya. Ya, Siti akan berusaha merubah fisiknya di mulai dari jerawat yang sudah bertebaran di setiap sudut wajahnya. Itulah tekad Siti, ia tak mau menjadi beban keluarga. Ia harus memulai sekarang, pikirnya.
Tak lama kemudian Siti sampai di rumah. Nampak wajah lelah yang terpancar dari wajah hitamnya.
"Gimana ti? Lancar kan jualannya?" Tanya Bu Lastri yang berada di teras
"Alhamdulillah Bu. Sisa lima ini. Udah hampir sore, jadi aku putuskan pulang aja."
"Iya nak nggak apa-apa. Kamu mandi terus makan ya." Ucap Bu Lastri mengambil sebuah kotak tempat jualan kue
Siti masuk rumah setelah menyerahkan hasil kerja kerasnya seharian ini. Ia ingin segera mandi agar segera bisa mengisi perutnya yang mulai keroncongan.
Pukul 7 malam semua orang berkumpul di meja makan. Nampak Tini dan Siti sama-sama gelisah. Mereka ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Siti ingin menyampaikan bahwa ia ingin merantau ke kota agar bisa mengubah perekonomian keluarga yang pas-pasan. Sedangkan Tini gelisah lantaran ia ragu ingin menceritakan soal Haris yang mengajaknya bertandang ke rumah orang tua pria itu.
"Tin, kamu tahu nggak cream yang cocok buat aku. Barangkali bekas-bekas jerawat di wajah aku ini bisa hilang." Ucap Siti tiba-tiba
"Mbak kan pengangguran, uang dari mana buat beli cream?" Tanya Tini ketus
"Tini, kamu ngomongnya bisa lebih sopan nggak. Dia ini mbak mu. Kamu selalu hujat dia soal fisiknya. Begitu kamu dengar dia mau berubah kamu hina juga. Mau kamu apa?" Tanya pak Rusdi tegas.
Tini hanya berdecak kesal. Selalu saja membela anak pembawa sial itu, pikirnya. Dengan mengerucutkan bibirnya Tini berjalan menuju kamarnya mengambil cream penghilang bekas jerawat.
"Nih coba aja, kalau cocok beli sendiri. Harganya murah, cuma 150 ribu. Kalau udah ada uang nitip aku aja belinya." Ucap Tini masih dengan ketusnya.
"Makasih ya tin."
Siti berharap ini awal yang baik untuk kehidupan semua orang di sekelilingnya. Ia sudah lelah dihina sana-sini hanya karena fisik nya yang buruk.
Siti merencanakan akan merantau ke kota setelah ada perubahan dalam dirinya. Ia melakukan itu agar tak lagi dihina oleh orang-orang kota. Meskipun Siti tahu untuk memulai perubahan tidaklah mudah, tapi Siti sudah bertekad bulat untuk merubah dirinya. Ia harus bisa menunjukkan pada semua orang, bahwa dirinya tak seburuk yang mereka kira. Ia bisa berubah, ia bisa cantik, ia bisa langsing seperti adiknya. Itulah tekad Siti sekarang.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!