NovelToon NovelToon

Metamorphosis

Bab 1 - Bom!

[ Adegan dan kata-kata berikut hanyalah pelengkap cerita. Mohon untuk tidak ditiru.]

Pagi hari nan indah di awal musim semi Kota Seoul, Korea Selatan. Matahari yang bersinar cerah berpadu dengan indahnya bunga aneka warna yang bermekaran. Tupai-tupai imut berlompatan di dahan, mengakhiri masa hibernasi mereka.

Sayangnya, tidak semua orang menyambut bom (musim semi) pertama ini dengan suka cita.

Hufftt...

Bitna mengatur napasnya. Matanya yang indah, memandang ke gedung di hadapannya dengan rasa cemas. Jemarinya yang imut bak bayi, menggenggam ujung rok seragamnya dengan erat.

"Jangan takut, Bitna. Kau anak dari Kapten Seo Il Sang yang gagah berani," ucap Bitna pada dirinya sendiri.

Keberaniannya masih belum muncul. Setiap bola matanya menatap ke depan, jantungnya berdegup kencang seakan mau lepas. Bangunan megah di hadapannya tersebut adalah medan perang yang harus ia hadapi hingga beberapa tahun ke depan.

"Ayo jangan ragu.  Kamu sudah melewati gyeoul (musim dingin) dengan baik. Kini hanya perlu bertahan selama dua tahun delapan bulan lagi di sini. Ayo buat kedua orang tuamu bangga," ucapnya lagi membulatkan tekad.

Hufft… Sekali lagi, gadis remaja itu menghela napasnya. Kedua tangannya menggenggam erat senjata tempur yang ia bawa di dalam ranselnya.

Tap!

Akhirnya kaki Bitna melangkah memasuki gerbang sekolah menengah atas yang cukup elit di kawasan Seodaemu-Gu. Berbagai mobil mewah berjajar rapi di tempat parkir.

"Hei, lihatlah pembohong, itu. Dia masih berani ke sekolah rupanya."

"Wah, parah. Ini sih harus diberi pelajaran. Kenapa pihak sekolah masih membiarkan dia, sih?”

"Teman-teman, kalian mencium bau kentang busuk, nggak?"

Bitna terus melangkah maju tanpa mempedulikan semua omongan itu. Tanpa dilihat pun sudah bisa ditebak, siapa yang mereka bicarakan.

Tak! Sebuah raket tenis mendarat di wajah Bitna.

"Lihatlah, siapa anak gak tahu diri ini. Bisa-bisanya dia masuk ke sekolah kita yang cukup elit ini."

"Duh, Min Ji. Kau nggak tahu?  Dia kan anak dari perumahan kawasan Dondu-song yang kumuh itu. Ibunya hanya seorang pengupas kentang," seru Ahn Cae Rin, siswi tercantik di kelas satu.

"Apa? Mengupas kentang? Pekerjaan apa itu? Bukannya ayahnya seorang Kapten kapal?" balas Kim Min Ji sambil tertawa lepas.

“Maksudmu bajak laut?” seru Ahn Chae Rin.

"Pindahkan raketmu! Biarkan aku ke kelas dengan tenang," ujar Bitna.

"Astaga, Chae Rin. Kau dengar itu barusan? Kucing kampung ini mau melawan kita? Hahahah..." ujar Kim Min Ji tertawa lebar.

Grep!

"Jauhkan raketmu dari tubuhnya."

Seorang siswa tampan pemilik senyum manis, menggenggam raket tenis milik Kim Min Ji dengan erat.

"Shhh..." Min Ji terlihat kesal.

"Jangan biarkan raket berharga kalian jadi kotor gara-gara menyentuh orang miskin ini," lanjut cowok itu sambil tersenyum tipis.

"Huuaah... Seon Wooil! Hampir saja aku mengira kamu kerasukan malaikat. Tapi benar juga, raketku ini jauh lebih berharga dari tubuh cewek ini." Min Ji mengangkat raketnya dari bahu Bitna. "Nah, sekarang kau boleh pergi," lanjutnya.

"Eits, tunggu dulu.” Seon Wooil menghadang jalan Bitna. "Dibandingkan raket, dia lebih pantas mendapatkan ini."

Ceprot! Sebotol saus tomat mengalir di kepala Bitna.

"Wooil, apa yang kau lakukan? Seharusnya kau membawa telur busuk," ujar Chae Rin sambil terbahak-bahak.

"Hei, anak-anak nakal!"

Plak! Plak! Plak!

"Adoooh...! Pak Satpam. Jauhkan benda itu dari kami," seru Seon Wooil.

"Ini pantas kalian terima," marahnya pada tiga siswa tersebut. "Nak, pergilah bersihkan tubuhmu," ucapnya pada Bitna.

Plak! Plak! Plak!

Satpam itu terus menjejakkan penggaris kayu itu ke punggung tiga siswa tersebut.

"Bapak tidak tahu siapa orang tua kami?" seru Min Ji sambil berusaha mengelak dari senjata andalan Pak Satpam tersebut.

"Bapak tidak takut pada ancaman kalian. Kalau kalian melaporkan Bapak, maka akan Bapak laporkan juga perbuatan kalian," ancam Pak Satpam

"Duh, orang tua kolot. Gak ngerti kalau kita cuma bercanda," ucap Chae Rin.

"Kalian sebut itu bercanda? Itu namanya tidak beretika," seru satpam tersebut.

...🍎🍎🍎...

Bitna memeras seragamnya yang basah kuyup, lalu mengeringkannya dengan hair dryer. Di dalam kamar mandi sekolah ini, dia mengeluarkan senjata tempurnya dari dalam tas. Ada handuk kecil, pakaian seragam cadangan, hair dryer serta shampoo dan sabun sachet.

Sejak hari pertamanya di SMA, Bitna tidak pernah terlepas dari tindakan bully teman-temannya. Hanya karena ia dianggap tidak cantik dan tidak kaya, lantas putra putri keluarga konglomerat itu dengan mudah menjadikannya bahan tertawaan.

Bitna pun harus memutar otaknya, agar bisa tetap bersekolah di SMA pilihan ibunya tersebut. Ia tak boleh menyerah begitu saja.

"Fyuh, untung aku membawa baju ganti. Setidaknya hari ini tidak ada telur busuk,” gumam Bitna.

Gadis remaja itu mengganti seragamnya dan merapikan rambutnya sebelum kembali ke kelas.

Berbeda dari biasanya, suasana kelas I (satu) B yang mayoritas diisi oleh anak-anak konglomerat cukup sepi. Bu Hana, wali kelas mereka memasuki ruangan dengan setumpuk berkas.

"Anak-anak, tolong dengarkan Bu Guru," seru Bu Hanna di depan kelas sambil menepuk-nepuk papan tulis dengan penggaris.

"Ibu akan membagikan raport kalian tanpa membacakannya. Ibu tahu kalian memiliki privasi," lanjut Bu Hana.

Kelas menjadi sangat riuh. Sebagian besar dari mereka tidak puas dengan hasil ujian. Bagi para anak konglomerat, menjadi nomor satu adalah kewajiban dalam hidup mereka. Sayangnya, hanya satu orang yang bisa menempati posisi itu.

“Ibu, apa Ibu melihatnya? Aku berhasil menjadi yang terbaik, seperti doa Ibu,” ucap Bitna dalam hati sembari mendekap raport itu di dadanya. Pelupuk matanya basah oleh air mata.

...🍎🍎🍎...

Sore hari yang indah di musim semi pertama. Bitna beruntung, kelas hari ini sangat padat. Ia pun selamat dari bully hingga kelas berakhir.

"Sampai jumpa, besok Bitna. Kamu yakin nggak mau pulang bersamaku?" tanya Go Eunjo.

Remaja cantik yang juga ketua kelas itu adalah satu-satunya teman Bitna di kelas. Anak dari Jenderal itu sudah berteman dengan Bitna sejak masih SD. Berntung, saat ini mereka kembali sekelas.

Bitna menggelengkan kepalanya, "Terima kasih Eunjo. Tapi aku harus pergi ke sana," sahut Bitna.

"Kamu ke tempat itu setiap hari?" tanya Eunjo.

Bitna mengangguk, "Aku harus ke sana setiap hari, jika ingin ayahku kembali," jawab Bitna dengan suara sedikit serak.

"Baiklah, jaga dirimu. Semoga kali ini ada kabar baik," kata Eunjo sebelum mereka berpisah.

"Permisi... Selamat sore..."

"Ya, selamat da... Hei, Nak. Kau datang lagi hari ini?" ucap salah seorang pria usia empat puluh tahunan.

"Benar, Paman. Maaf kalau saya mengganggu."

"Sama sekali tidak mengganggu, Nak. Tapi jawabanku hari ini masih sama. Belum ada kabar soal kapal yang membawa ayahmu," jawab pria itu.

"O-ooh... Begitu, ya?" sahut Bitna dengan suara melemah.

"Jangan bersedih. Kami pasti akan memberitahumu jika sudah ada kabar. Tetaplah berdoa untuk ayahmu."

"Baiklah. Saya permisi dulu. Terima kasih, Paman."

Dengan langkah gontai, Bitna meninggalkan kantor imigrasi itu. Hati kecilnya menjerit, apakah ayahnya masih hidup? Ibu pun kini sudah pergi untuk selamanya, meninggalkannya seorang diri.

Matahari mulai beranjak turun. Sinarnya yang jingga di musim semi ini masih terasa membeku kulit putih Bitna.

Drrrttt... Tiba-tiba ponselnya berdering.

"Kantor imigrasi? Mungkinkah...?" Ponsel model lama itu basah terkena air mata Bitna yang tiba-tiba mengalir.

Sekuntum bunga cherry mendarat di kepala Bitna. Apakah bunga mekar di bom (musim semi) pertama ini, adalah pertanda bahwa musim semi Bitna juga akan segera tiba?

(Bersambung)

Terima kasih sudah membaca. Semoga kalian suka, ya.

Bab 2 – Badai Lima Tahun Lalu

Jalanan Kota Seoul di sore hari sangat ramai. Berbagai jenis kendaraan memenuhi jalanan hingga penuh sesak.

Para siswa dengan seragam sekolah turut memenuhi area trotoar dan juga bus umum.

Sama seperti mereka, Seo Bitna juga berjalan menyisiri area trotoar yang dipenuhi dedaunan pohon cherry dan sakura.

Bedanya, gadis itu tidak melangkahkan kaki menuju rumahnya. Sejak lima tahun yang lalu, dia selalu rutin mengunjungi suatu tempat, meski hujan badai sekali pun.

Kakinya tak pernah lelah melangkah ke sana. Hatinya tak pernah bosan menuju ke sana. Semua demi orang tercintanya yang telah lama hilang.

"Permisi... Selamat sore..."

"Ya, selamat da... Hei, Nak. Kau datang lagi hari ini?" ucap salah seorang pria usia empat pukuh tahunan.

"Benar, Paman. Maaf kalau saya mengganggu," ucap Bitna diiringi senyuman.

"Sama sekali tidak mengganggu, Nak. Tapi jawabanku hari ini masih sama. Belum ada kabar soal kapal yang membawa ayahmu," jawab pria bernama Park Wo Hwan tersebut.

"O-ooh... Begitu, ya?" sahut Bitna dengan suara melemah. Senyum di wajahnya tampak memudar.

"Jangan menangis, Nak. Kami pasti akan memberitahumu jika sudah ada kabar," ujar Pak Hwan menguatkan gadis remaja tersebut.

Dengan langkah gontai, Bitna meninggalkan kantor imigrasi itu. Hati kecilnya menjerit, apakah ayahnya masih hidup? Ibu pun kini sudah pergi untuk selamanya, meninggalkannya seorang diri. Padahal di dunia yang keras ini, dia sangat membutuhkan peran ayah maupun sang ibunda.

"Siapa itu, Pak? Apakah dia gadis yang selalu disebut pegawai sini?" tanya salah seorang pegawai baru.

"Benar. Dia Seo Bitna,” jawab Pak Hwan.

“Lima tahun yang lalu, kapal dagang Korea yang dinakhodai oleh Kapten Seo Il Sang tersapu badai di perairan Asia Tenggara. Sayangnya hingga saat ini, tidak ada kabar dari kapal tersebut,” cerita Pak Hwan.

“Ya ampun, malangnya," ujar Yul, sang pegawai baru.

“Kantor ini dulu dijadikan sebagai pusat informasi pencarian kapal tersebut. Para keluarga korban juga berdatangan. Termasuk Seo Bitna dan ibunya. Sejak saat itu, ia tak pernah absen datang ke sini untuk mendengar kabar dari sang ayah, bahkan sampai ibunya meninggal tiga bulan yang lalu." Pak Hwan menutup ceritanya.

"Astaga! Kasihan sekali. Tapi apakah masih ada harapan, untuk kapal yang telah hilang selama lima tahun itu?" tanya Yul.

"Entahlah. Pencarian sudah dihentikan sejak empat tahun yang lalu. Seluruh penumpang yang hilang dinyatakan tewas. Hanya Bitna yang masih bertahan," jawab Pak Hwan.

...🍎🍎🍎...

Bitna berjalan di antara pepohonan yang tumbuh di tepi jalan. Bunga-bunga aneka warna mulai bermekaran. Lampu-lampu indah mulai menghiasi setiap sudut kota.

Bitna mengangkat kepalanya menghadap ke langit, “Ah, ternyata matahari sudah hampir terbenam,” ujar Bitna. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

Sinar jingga sang mentari musim semi ini masih terasa membeku kulit putih Bitna. Maklum saja, musim semi di Korea biasanya memiliki suhu udara antara tujuh hingga dua puluh tiga derajat celcius.

Di sebelah selatan, sebuah planet indah bernama Venus berkelap-kelip di tengah langit senja. Sinarnya yang cerah, sangat mencolok di antara ribuan bintang yang memancarkan cahaya redup, serta langit yany berwarna lembayung.

Bitna tersenyum kecil. “Apa Ayah sedang melihatku dari bumi selatan?” ucap Bitna sambil menengadahkan kepala menatap venus.

Ingatan Bitna masih sangat jelas tentang dongeng kecil yang diceritakan sang ayah.

“Jika kamu melihat planet indah di langit selatan, artinya Ayah mengawasimu dari jauh. Ayah selalu bersamamu.” Begitu ucap Seo Il Sang pada putrinya yang berumur tujuh tahun.

Setelah cukup besar, Bitna menyadari bahwa planet tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan sang Ayah. Namun ia masih tetap meyakini, jika sang Ayah masih mengawasinya dari kejauhan.

“Aku baik-baik saja, Yah. Jangan khawatir. Aku harap Ayah cepat pulang,” bisik Bitna sambil menahan tangisnya. Rasa rindunya pada sang ayah tidak tertahan lagi.

Lima tahun yang lalu, Bitna masih duduk di sekolah dasar. Ia adalah gadis pintar yang sangat ceria.

“Bitna, hari ini kamu boleh pulang duluan. Ibumu sudah datang menjemputmu,” kata Bu Guru setelah bel masuk berbunyi.

“Kenapa Bitna pulang duluan? Bukankah nanti ada praktek IPA tentang tata surya?” ucap Bitna penuh tanda tanya.

“Emm… Hari ini tidak jadi praktikum. Bitna boleh pulang duluan,” ucap Bu Guru.

Dengan langkah berat, Bitna pun mematuhi Bu Guru. Ia melihat sang ibu telah menunggunya di depan kelas.

“Bu, kita mau ke mana? Kenapa Ibu menangis dari tadi?” tanya Bitna kebingungan. Bus yang mereka naiki, bukanlah bus yang menuju ke rumah mereka.

“Bu, kenapa aku harus pulang cepat? Harusnya kan hari ini aku ada praktikum IPA?” oceh Bitna terua menerus.

“Di saat ayahmu kemungkinan tidak bisa pulang lagi, kamu masih saja memikirkan praktikum sekolah?” bentak ibu.

Bitna terkejut mendengar kalimat ibunya, “Kenapa ayah nggak pulang? Ayah kan janji musim semi nanti akan pulang membawa hadiah untukku?” protes Bitna.

Semua pertanyaan Bitna hari itu, akhirnya terjawab di sebuah kantor yang dipenuhi puluhan orang. Semuanya menangis, meminta kepastian tentang keadaan keluarga mereka.

Bitna kecil terduduk di bawah pohon persik yang ditutupi salju tebal. Air matanya mengalir deras. Ia menyesal telah marah pada ibu tadi.

“Kapal dagang dari Korea, hilang kontak di lautan Asia Tenggara setelah terkena badai siklon vinta di perairan Asia Tenggara. Keberadaan kapal tidak diketahui pasti. Kontak radio kapal yang terakhir enam jam yang lalu, menunjukkan posisi di Filipina,” begitu kabar yang Bitna dengar dari barusan.

Sejak hari itu, Bitna pun menantikan kepulangan sang ayah ke Korea. Musim dingin lima tahun lalu, adalah hari terakhir Bita melihat wajah sang ayah.

Drrrttt...!

Suara dering ponsel dari dalam tas, membuyarkan ingatan Bitna barusan.

"Kantor imigrasi? Mungkinkah...?" HP ponsel model lama itu basah terkena air mata Bitna yang tiba-tiba mengalir.

Dengan tangan gemetar, Bitna lalu menjawab telepon tersebut.

"Halo?"

"Halo? Apakah ini Seo Bitna?"

"Benar,” jawab Bitna dengan suara serak dan gemetar.

"Syukurlah. Nak, ini Paman Hwan. Baru saja kami mendengar kabar dari kantor imigrasi pusat, kalau sinyal radio yang mirip dengan kapal ayahmu terlacak di perairan Indonesia. Ini suatu keajaiban."

"Be-benarkah?" Bitna membiarkan air matanya mengalir.

"Benar. Tapi ini masih belum pasti, Nak. Kita harus menunggu info selanjutnya."

"Baiklah, Paman. Terima kasih infonya," ujar Bitna berbunga-bunga.

"Ya Tuhan. Syukurlah. Semoga saja ayahku masih hidup."

Bitna melangkah riang pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat ringan bagaikan kapas. Setidaknya masih ada secercah harapan untuk sang ayah.

(Bersambung)

Bab 3 – Keluarga Baru

Senyum yang sedari tadi terukir di wajah Bitna, kembali lenyap ketika ia memandang sebuah bangunan kumuh yang suram tersebut. Sejak tiga bulan lalu, rumah reot tersebut menjadi rumahnya.

Sudah hampir tiga puluh menit ia berdiri di sana. Di seberang jalan depan rumah itu. Entah mengapa, kakinya enggan sekali melangkah ke sana.

"Benarkah kapal ayah sudah ditemukan? Kapan ayah pulang? Aku ingin tinggal bersama ayah saja," pikir Bitna.

"Seo Bitna! Kau sudah pulang? Kenapa dari tadi hanya berdiri di depan sana? " Seorang wanita dengan logat pesisir Korea yang khas meneriaki Bitna yang termenung di seberang jalan.

"Ah, ternyata bibi sudah melihatku," gumam Bitna.

“Memangnya kamu pikir, siapa yang tidak melihatmu berdiri di sana sejak setengah jam yang lalu? Kamu nggak mau makan malam?” tanya wanita itu.

Tak ada lagi alasan Bitna untuk berdiam diri di seberang jalan. Udara malam yang mampu membekukan tulang, hingga ternak di perut yang sudah memberontak, membuat Bitna mengalahkan egonya untuk sementara waktu. Gadis remaja tersebut segera mengahpus air matanya dan pulang ke rumah.

Ceklek!

"Aku pulang."

"Bitna. Kau pulang terlambat hari ini? Apa terjadi sesuatu?" tanya Paman Chae Do Hyuk padanya.

Bitna mengukir senyum di bibirnya, "T-tidak ada apa-apa kok, Paman," jawabnya.

"Ya sudah. Kalau begitu ayo kita makan malam," ajak paman.

"Tidak!" sela bibi dengan tegas.

“Ada apa lagi, Dami? Keponakanmu ini pasti sudah lapar sekali setelah belajar seharian,” bela paman.

"Ganti dulu seragammu baru makan malam," lanjut wanita itu.

"Dami, kenapa bicara seperti itu. Tetangga bisa salah paham jika mendengarnya,” tegur paman lagi.

"Nggak kok, Paman. Yang dikatakan Bibi benar. Aku harus ganti baju dulu sebelum makan," sahut Bitna.

Bitna memasuki kamar berukuran 2 x 3 meter yang banyak tempelan di sana-sini. Sebelumnya ruang itu adalah gudang, yang kemudian diubah menjadi kamarnya sejak ia pindah kemari.

Di musim semi seperti ini, Bitna merasakan udara dingin yang menggigit tulangnya setiap malam. Maklum, suhu udara di musim semi Korea lebih dingin dari pada suhu AC.

Sudah di bayangkan, saat musim panas nanti ruang minimalis tersebut terasa sangat pengap. Mungkin Bitna harus keluar rumah untuk sekedar memenuhi kebutuhan oksigennya. Lalu bagaimana saat musim dingin kemarin? Bitna bisa merasakan sum-sum tulangnya membeku.

"Sepertinya Bitna berbohong," ujar bibi.

"Berbohong? Hei, tidak mungkin. Bitna itu anak baik. Ia tidak pernah berbohong," bantah paman.

"Kau itu nggak peka, suamiku. Aku bisa merasakan kalau Bitna menyembunyikan sesuatu dari kita. Aku bisa melihat dari raut wajahnya," ujar bibi lagi.

"Maklumi saja. Semua remaja memang seperti itu, kan? Pasti ada masa pasang surutnya," bela paman.

Bitna yang mendengar jelas semuanya dari kamar, hanya bisa menggigit bibir. Hatinya terasa sangat perih.

Yah, bibi tidak salah, sih. Saat ini ia memang menyembunyikan fakta, bahwa kemungkinan kapal ayahnya telah ditemukan.

"Wah... Tumben Ibu memasak sup ayam perilla di musim semi? Ada apaan, nih?" seru Chae Ara, adik sepupu Bitna.

Plak! Bibi Dami memukul jemari Ara dengan serbet.

"Jangan dimakan," ujar bibi.

“Ah, Ibu kenapa, sih? Aku kan ingin mencicipinya. Sudah lama sekali Ibu tidak memasak ayam. Apa Ibu baru saja menarik uang asuransi Kak…”

Plak! Bibi Dami kembali memukul Putrinya dengan serbet. Kali ini tamparannya mendarat di pipi remaja tiga belas tahun tersebut.

“Kecilkan suaramu,” bisik bibi.

“Iya… Iya… Tapi aku boleh mencicipinya kan, Bu?” bisik Ara.

“Tidak boleh! Itu untuk Bitna,” ucap bibi tegas.

"Ah... Ibu. Sebenarnya yang anak Ibu itu aku atau Kak Bitna, sih?" ucap Ara kesal.

"Kamu itu sudah pulang sekolah sejak siang, tapi tidak membantu Ibu sedikit pun," sahut bibi.

"Hahaha... Itu benar. Ara hanya tahu makan, tidur dan ngidol biasnya saja di rumah," sela Chae Yeon Woo, sepupu Bitna yang kini kuliah di jurusan teknik mesin tingkat pertama.

Yeon Woo mengambil sebuah mangkok dan hendak mengisinya dengan sup ayam. Tetapi...

Plak! Plak! Kali ini kain serbet mendarat dua kali di tangan Yeon Woo.

"Aduh! Apa lagi sih, Bu?" seru Yeon Woo.

"Kamu juga sama saja Yeon Woo. Tidak pernah membantu Ibu sama sekali. Kalian berdua hanya boleh makan sup kimchi dan cumi-cumi kering saja," ujar bibi.

"Ibu...!" seru Yeon Woo dan Ara bersamaan.

"Hahaha... Bibi, jangan keterlaluan bercandanya. Supnya ada banyak, kok. Cukup untuk kita semua," ujar Bitna.

"Ahh... Kak Bitna emang yang terbaik, deh.” Ara memeluk sepupunya tersebut dengan manja.

"Ya... Ya... Kalian bicara saja terus, selama Ayah menghabiskan sup ini," sela paman sambil mengangkat panci berisi sup ayam menjauh dari meja makan.

"Ayah...!"

Saat makan, Bitna kembali bermuram. Sesungguhnya ia mendengar ucapan Ara yang membicarakan uang asuransi tadi. Yah, Bitna memang masih di bawah umur dan segala keuangannya dikelola oleh sang bibi. Tapi sebenarnya apa yang mereka tutupi, yah?

“Yah, kupikir ini impas. Aku masih menyembunyikan soal kapal ayah dari mereka. Dan mereka pun masih menutupi uang asuransi milikku,” batin Bitna.

"Hahh... Bagaimana ini? Apa aku harus menceritakan soal ayah sekarang? Bagaimana reaksi mereka nanti?" gumam Bitna lagi.

"Bitna, apalagi yang kau pikirkan? Apa ada masalah di sekolah?" tanya Bibi.

"Nggak kok, Bi."

"Kalau begitu ayo cepat makan. Bibi tak akan memasak dua kali jika kau tak kebagian supnya,” ujar bibi.

...🍎🍎🍎...

Tiga bulan yang lalu...

“Wah, jadi ini Gedung SMA-ku? Mewah banget.”

Bitna berdecak kagum melihat Gedung mewah di hadapannya. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai siswa SMA. Jangankan ruang belajar, halamannya saja sudah seperti taman istana. Bagaimana dengan fasilitas lainnya, ya?

“Berapa ya, biaya SPP-nya per bulan? Apa benar semuanya ditanggung beasiswa?” pikir Bitna cemas.

Bitna berjalan terus memasuki Gedung yang lebih mewah dari pada mall itu. Ia mencari aula pertemuan bagi penyambutan siswa baru.

Namun Bitna merasakan sesuatu yang aneh. Ia merawa, semua siswa menatapya dengan wajah mencibir. Beberapa di antaranya bahkan terang-terangan mentertawainya.

“Jadi ini yang mengaku-ngaku sebagai anak Kapten agar bisa bersekolah di sini? Padahal ibunya hanya pegawai restoran yang bertugas mengupas kentang,” sindir beberapa siswa ketika ia memasuki aula.

“Dilihat dari ekspresinya, sepertinya dia belum baca grup chat, tuh,” ucap siswa lainnya.

“Atau jangan-jangan dia nggak peduli sama ibunya,” timpal yang lain.

Bitna menundukkan kepala. Semangat yang dibawanya sejak dari rumah, kini luntur seketika.

“Apakah anak biasa sepertinya dilarang bersekolah di sini?” pikirnya sedih.

“Bitna! Kamu kan yang bernama Bitna?” seorang guru datang tergopoh-gopoh, menghampiri Bitna dengan wajah cemas.

“Benar, Bu. Saya Seo Bitna,” jawab Bitna dengan bingung. “Ada apa gerangan Bu Guru mencarinya?” pikir Bitna dalam hati.

“Bitna, sebaiknya kamu pulang sekarang. Ibumu… Ibumu…” Bu Guru tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

“Ya?” Bitna bertambah bingung.

“Ah, buka HPmu. Barangkali ada kabar penting di sana,” ucap Bu Guru kemudian.

Bitna pun mengecek HP-nya.

“A-astaga! I-ni… I-bu…” Air mata Bitna tumpah. “Ini berita bohong, kan?” ucap Bitna di sela-sela tangisnya.

(Bersambung)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!