BILA ada yang bertanya apa arti cinta pertama. Maka aku akan menjawab dengan bangga bahwa cinta pertama adalah Zeev, ketua OSIS sekaligus cinta pertamaku sejak awal masuk kelas satu SMA. Tidak peduli ia mengingatnya atau tidak. Namun, kaleidoskop saat pertama kita berjumpa masih berputar jelas di hipokampus. Kala itu aku amat ceroboh karena lupa memasukan minuman ke dalam tasyang seharusnya aku kumpulkan di hari pertama masa orientasi sekolah.
Tak dinyana, Zeev yang anugerahi kepekaan yang pekat melebihi siapa pun itu, spontan memberiku sebotol air mineral untuk aku kumpulkan. Ia membiarkan dirinya dihukum oleh kakak-kakak panita yang sok galak itu. Padahal kala itu kami tidak saling mengenal. Namun, kebaikan Zeev tidak pernah pandang bulu sehingga ia lebih memilih mengorbankan dirinya untuk dimarahi dan dijemur mentari demi kebaikan orang lain, termasuk aku.
Terdengar cukup klise. Namun, nampaknya jatuh cinta memang kerap datang dengan cara yang paling sederhana. Kupikir, tidak berlebihan bila aku menyebutnya sebagai keajaiban cinta. Ya, karena cinta memang benar-benar ajaib dengan segala kemampuan di luar nalarnya. Begitulah cara pandangku sehingga akhirnya memutuskan untuk menjadi penggemar rahasia Zeev. Dan siapa nyana bahwa jiwa penggemar rahasiaku bertahan hingga kami sama-sama duduk di banku kelas tiga.
“Kok, berenti?” heran Viona, mengerutkan dahi manakala menatapku diam mematung. Nampaknya Viona masih belum bosan mendengar kisah asmaraku yang sudah berulang kali aku ungkapkan hanya padanya.
“Kembalian gue belum diambil!” seruku, teringat kembali tentang uang sepuluh ribuan yang lupa kuambil di tukang es doger yang berjualan di depan gerbang sekolah. Niatnya uang itu akanku gunakan untuk membayar kas minggu ini.
“Kenapa gak dari tadi?” dengus gadis berikat kuda, barangkali geram dengan kecerobohanku. “Males gue kalau balik lagi ke depan. Jauh!” Viona sudah memberikan penolakan bahkan ketika aku belum sempat memintanya.
“Yaudah, lo tunggu sini, deh! Gue ambil uang gue dulu!” balasku sebelum akhirnya bergegas ke kantin, enggan ditinggal Viona menuju kelas sendirian.
“Lari!” pekiknya, memberi pacuan kepada kedua sepatuku untuk secepat mungkin melintasi lorong dan keluar menuju pelataran.
Viona adalah sahabat terbaik sekaligus sabahat satu-satunya yangku miliki. Bukan karena aku tidak memiliki banyak teman, sebab aku berteman baik dengan semua orang. Hanya saja Viona memiliki tempat yang sedikit lebih istimewa dibandingkan yang lainnya. Ia adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa mengadu nasib, baik sebagai remaja dengan uang saku pas-pasan, remaja dengan segudang tugas tiada batas, atau pun remaja dengan segala ketertarikan namun selalu menemukan kesulitan dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain, Viona selalu siap menjadi tempat sampahku untuk membuang segala keluh kesahku, termasuk tentang segala perasaan terpendamku terhadap Zeev.
Karena Viona adalah orang yang berharga bagiku – tentunya setelah Zeev – di sekolah, maka nuraniku hanya dapat mematuhi titahnya dengan berlari kencang hingga ke luar gedung utama sekolah.
*BRUK*!
Terdengar suara benda terjatuh yang amat keras di hadapan, nyaris menimpa kepalaku bila saja raga ini maju tiga langkah lagi. Namun, sebenarnya hal ini bukanlah sebuah berita bagus, mengingat saat ini aku baru saja menyaksikan bagaimana seseorang mimilih untuk menghembuskan napas terakhir dengan cara terjun bebas dari atas gedung DI-HA-DA-PAN-KU. Keadaan kian memburuk sebab tidak lain dan tidak bukan, orang itu adalah cinta pertamaku – Zeev Mahendra. Zeev yang kini telah terbujur kaku bersama cairan merah segar yang terus mengalir dari kepalanya.
*Zeev*!
Tidak ada yang dapatku lakukan selain lunglai dan mendarat di pelataran yang sama dengan Zeev. Aku hanya dapat terkulai lemah manakala melihat Zeev yang membawa senyumku terbenam untuk selamanya. Kepedihan yang datang secara sekaligus langsung menyerang rongga-rongga jiwa dan raga, membuatku terpaku dan kalah telak hingga tak ada sedikit pun bunyi yang mampu keluar dari seluk-beluk pita suara.
*Kenapa kamu harus pergi dengan cara paling kejam, Zeev*?
Kematian Zeev di depan gedung utama sekaligus pelataran sekolah membuat seluruh penjuru SMA Negeri Dirgantara berduka. Beberapa polisi menyambangi sekolahku untuk melakukan olah tempat kejadian perkara setelah tragedi paling tragis itu terjadi. Beberapa guru dan murid dimintai keterangan sebagai saksi kematian Zeev, termasuk aku – satu-satunya sumber saksi mata paling meyakinkan, mengingat akulah satu-satunya orang pertama yang menemukan Zeev dalam keadaan meniggal.
Polisi berkali-kali mencoba menggali informasi paling dalam dariku. Dan berkali-kali itu juga aku memberikan jawaban yang paling konsisten, menangis tersedu-sedu tanpa sepatah kata pun terucap. Para orang dewasa – polisi dan guru – akhirnya menyerah dan membawaku menjauh dari tempat yang mulai saat ini telah menjadi tempat paling menyeramkan bagiku. Tempat di mana Zeev terbujur kaku tiga langkah di hadapanku.
Pada akhirnya siang ini pihak sekolah memberi kebijakan darurat untuk memulangkan seluruh murid-muridnya, termasuk memulangkan aku dengan keadaan paling nadir. Aku dipaksa pulang dengan menanggung trauma yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup. Dan semua itu akibat keputusan egois Zeev.
Kamu jahat Zeev!
Kepergian Zeev yang sulit untukku maafkan mengurungku pada sebuah ketidakberdayaan. Pelukan mama dan Viona tidak lagi terasa menenangkan. Tidak ada yang lebihku inginkan selain Zeev dapat hidup kembali. Apa keinginanku melihat senyum hangatnya setiap hari di sekolah adalah permintaan yang serakah? Aku bahkan tidak pernah berharap bahwa Zeev harus menjadi milikku. Tidak pernah.
Jujur. Aku tidak ingin mengakui bahwa Zeev sudah tiada. Hati dan pikiran ini menyangkalnya. Aku bahkan berpura-pura tuli ketika para orang dewasa itu berkata bahwa mereka menemukan sepucuk surat di atas atap yang berisi tentang permintaan maaf Zeev dan penyesalannya. Aku tidak ingin meyakini itu sebab aku tahu bahwa Zeev tidak akan pernah melakukan hal sejahat itu kepada siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Bukankah begitu, Zeev?
Segala cara aku lakukan demi keluar dari labirin enigma yang menakutkan. Namun, upayaku tak jua menemukan titik terang. Hanya Zeev yang bisa menjawabnya. Dan ironisnya Zeev tidak akan pernah sanggup menjawabku, bukan? Aku mencintainya dengan cara yang sederhana. Tapi, mengapa ia mematahkanku dengan cara paling luar biasa? Zeev benar-benar jahat! Hanya itu yang dapat batinku rapalkan berulang kali sejak dalam perjalanan menuju rumah hingga akhirnya kini aku berakhir terbaring di punggung ranjang yang dingin.
Aku gak akan pernah maafin kamu, Zeev!
Tiga jam aku mengurung diri di kamar, membiarkan diriku direngkuh kesendirian. Dan selama tiga jam pula waktu yangku gunakan untuk meratapi kepergian Zeev tanpa sedikit pun sedatif. Aku hanya mampu membenamkan kepala pada tempat peraduan terbaik – bantal – yang hanya kepadanyalah danau di pelupuk mata ini ingin aku muarakan.
Gue mau ke pemakaman Zeev dulu ya, Nar? Lo yakin gak mau liat Zeev untuk yang terakhir kalinya? ucapan Viona setengah jam yang lalu, kini kembali menggaung di indera pendengarku.
Viona berusaha mengumandangkan sebuah penawaran untuk aku turut menghadiri prosesi pemakaman Zeev demi mengabadikan terbenamnya matahari terakhirku dalam gudang memori. Namun, egoku yang setengah jam lalu amat bulat dan tidak sudi menghadiri pemakaman Zeev, kini bertransformasi menjadi puing-puing penyesalan yang tidak akan pernah bisa terbayarkan. Aku yang telah menyesal sebab tidak akan pernah bisa mengungkapkan isi hatiku kepada Zeev, kini harus menanggun penyesalan terdahsyat sebab tidak akan pernah bisa melihat wajah Zeev yang tertidur dalam damai di tempat peristirahatan terbaik-Nya.
Manusia memang makhluk paling menarik dan misterius paling sempurna yang telah Tuhan ciptakan. Bahkan aku sang empu yang mengendalikan sepenuhnya nurani dan akal ini terkadang dibuat tak sanggup menerka zat apa yang merasuki ragaku. Tiba-tiba saja lobus frontal ini bertindak impulsif dan langsung menuntunku ke tempat pemakaman Zeev. Mama sempat menegurku untuk mengganti pakaian. Namun, aku menolak sebab jantungku terlalu membuncah dan siap melompat bila saja tidak disegerakan. Aku yang diselimuti kalut lantas pergi menggunakan motor guna membelah kemacetan tanpa menghiraukan peringatan mama untuk tidak mengebut di jalan. Ada anasir dalam diriku yang menginginkan pertemuan terakhir dengan Zeev.
Ketika tugas motor bebekku selesai untuk mengantarkanku ke tempat tujuan, aku tidak mendapati seorang pun di pemakaman. Ya, barangkali hari sudah terlalu sore untuk disambangi manusia di tempat paling hening di tengah kota. Saat ini kiranya gelombang takutku kehilangan jati diri seolah-olah nurani tidak pernah mengenalnya. Namun, aku pun menyadari bahwa polahku ini juga bukan pertanda bahwa sebuah keberanian tengah menyembul setelah tertidur sekian lama. Aku hanya seorang remaja penuh putus asa yang tidak tahu lagi ke mana aku harus menumpahkan seluruh emosi-emosi negatif dalam amigdalaku.
“Aku dateng Zeev.” suaraku bergetar seolah siap meluapkan isak tangisku di hadapan batu nisan Zeev. “Kenapa kamu lakuin itu?” tanyaku seraya bersimpu dan memohon di hadapan makam berselimut bunga demi mendapatkan jawaban dalam manifestasi apa pun.
Para ilalang sibuk menari-nari diantara hembusan angin seolah kehadiran angin merupakan musik terindah banginya. Burung-burung asyik-masyuk bernyanyi setelah pulang dari pengembaraan menyenangkan mereka. Sementara aku hanya dapat mendengar sedu sedanku dalam beberapa waktu tanpa manifestasi jawaban apa pun dari Zeev.
“Zeev.” Aku mencoba tabah dan mengatur pernapasanku, menghapus jejak kepedihan yang lagi-lagi menghias wajahku. “Kamu yang memilih meninggalkan pasti gak pernah tau rasanya ditinggalkan. Dan sekarang aku datang jauh-jauh ke sini untuk ngehukum kamu, Zeev! Kamu yang selalu senyum di hadapan semua orang, jelas harus dihukum karena ngelakuin itu, kan? Kamu yang selalu ada buat temen-temen kamu, jelas harus dihukum karena kamu gak bisa tolong diri kamu sendiri, kan? Kamu yang buat motibasi belajar kita pergi! Kamu yang jahat udah hilangin senyuman aku, Zeev!” cecarku pada Zeev yang tidak akan mampu lagi didengar kendati desibel ini sudah meningkat beberapa oktaf.
Aku kembali mengatur napas lalu mengambil satu tarikan besar. “Tapi, kenapa, Zeev?” tanyaku bersama nada lebih plegmatis. “Kenapa aku gak bisa hukum kamu dan benci kamu aja? Kenapa kepergian kamu justru buat aku ngerti kalau kamu bener-bener berarti?” tanyaku yang disambut kawanan ilalang yang masih bergoyang. “Sebelum ketemu kamu, hidupku baik-baik aja, Zeev. Tapi, setelah ketemu kamu dan cuma untuk dipisahkan dengan cara kaya gini... Mungkin hidup aku gak akan pernah seperti sebelumnya.” lagi-lagi aku menyelesaikan ucapanku sambil menangis.
Senja mungkin mulai menampakan keelokan jingganya sebab ingin menghiburku. Angin kian berhembus kencang dan menerpa permukaan wajah seolah-olah ingin menghapus jejak kepedihan di sela-sela linangan air mataku. Dan tiba-tiba saja aku mampu merasakan sebuah sentuhan yang merengkuh tubuhku dari belakang. Sebuah pelukan paling hangat yang belum pernah aku rasakan seolah-olah menganggapku manusia paling kedinginan di dunia, paradoks yang harus aku telan bulat-bulat kenyataanya.
“Kamu siapa?” selidik wanita bergaun putih setelah melepaskan pelukanya yang telah membuatku tenang. “Kenapa nangis di depan makam anak bunda?” pertanyaan itu cukup menegaskan bahwasanya wanita berwajah sendu di hadapanku adalah ibu dari Zeev.
“Aku Lunar, temen sekolahnya Zeev.” timpalku seraya menyeka bulir bening yang masih tertinggal di pipi. “Bunda kenapa masih di sini? Bukannya harusnya udah pulang dari tadi, ya?”
“Bunda kelupaan sesuatu.” ujar bunda, datang bersama sebuah lentera kecil yang sudah memancarkan sinar kecilnya. “Zeev gak suka tempat yang gelap.” meletakannya di dekat nisan guna menemani malam Zeev. “Maaf, tadi bunda gak sengaja denger semua obrolan kamu sama Zeev.” terangnya, sukses memancing hujan yang kembali tumpah dari sepasang netraku.
Bunda kembali berusaha menenangkanku sambil menggenggam kedua tanganku seolah-olah ingin berbagi sebagian kekuatannya setelah kami terpuruk sebab kehilangan salah satu orang yang berharga dalam hidup kami.
“Andai aja aku tau kalau Zeev punya masalah. Andai aja aku mau sedikit perhatian sama Zeev... Mungkin sekarang Zeev masih ada sama kita kan, bun?” pertanyaan retorisku tak sanggup bunda indahkan. Aku hanya mendapati senyuman getir bersama bulir bening yang mengalir dari kelopak indah bunda. “Kalau aja aku bisa kembali ke masa lalu. Kalau aja aku dikasih kesempaan kedua. Aku pasti akan cegah Zeev ngelakuin itu. Aku janji akan selamatin Zeev dari hal itu.”
“Bunda tau, pasti kamu sayang banget kan, sama Zeev? Tapi, lain kali kamu gak boleh sembarangan ngomong janji kaya gitu, Lunar. Kita gak boleh ucapin janji ke sembarangan orang. Janji itu punya makna yang penting dan bahkan mungin lebih sakral dari pada yang kamu bayangin.” timpal bunda seplegmatis mungkin, suaranya menenggelamkanku dalam kedamaian. “Sekarang kita doakan aja yang terbaik untuk Zeev. Gak ada yang lebih Zeev butuhin selain doa untuk kebaikannya seakrang.”
KEPERGIAN Zeev telah membuat malamku menjadi panjang layaknya waktu yang kuhabiskan semalam, mengingat ragaku kesulitan tertidur sebab jiwaku masih menginginkan kehadiran Zeev di tengah-tengah muka bumi ini. Hidupku yang hampa tanpa Zeev justru kian menyusun bayangan Zeev paling sermpurna di kepala. Bukan bayang akan senyum indahnya yang setiap hariku damba atau pun suara tawanya yang setiap hariku idamkan. Melainkan segumpal bayangan terakhir Zeev ketika ia bersimbah darah tepat tiga langkah di hadapanku, dan ironinya aku hanya mampu terpaku penuh kedaifan.
Lebih buruknya, orang-orang disekitarku memaksaku untuk menghormati bagaimana cara Zeev memutuskan berpulang. Namun, pandanganku tertutup kabut tebal sehingga aku tidak mampu melihat kapan ddan di mana datangnya hari ketika aku dapat merelakan kepergian Zeev dengan penuh keikhlasan. Entitas Zeev mungkin sudah tidak akan mampu kutemukan lagi di belahan bumi bagian mana pun. Namun, Esensi Zeev kiranya akan selalu hidup bersama anasir yang telah menyatu dalam sanubariku.
Bila kemarin aku mengatakan dengan bangga bahwa cinta pertama adalah Zeev. Maka, mulai saat ini kebanggaan itu telah bertiwikrama menjadi sebuah trauma. Trauma yang akan selalu berputar bagai kaset butut di dalam gudang memori setiap hari seolah-olah tragedi paling nadir itu baru saja terjadi. Cinta pertamaku yang indah telah menjadi sesuatu yang paling tidak ingin aku temukan lagi. Zeev yang mengajariku akan indahnya cinta yang belum pernah kujumpa, pula Zeev yang kejam meninggalkanku dalam keadaan babak belur tanpa sedikit pun membekaliku eliksir.
*A*pa aku punya kesempatan untuk lupain kamu, Zeev?
“Lunar! Bangun!” sayup-sayup pekikan mama terdengar masuk melalui celah-celah pintu kamar, memburaikan lamunan yang merasuk untuk menyambut pagiku.
“Iya, ma! Aku udah bangun!” aku membalas setengah hati, mulai beringsut dari ranjang queen size yang sudah bekerja keras dalam menemaniku menangis semalaman hingga akhirnya terlelap kelelahan.
Aku tidak lantas bertolak menuju kamar mandi, melainkan meluncur menuju dapur di lantai satu untuk mendapati mama. Seperti pada umumnya, mama yang pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga biasa tentu akan selalu berada di dapur di pagi hari untuk membuatkanku dan papa sepiring sarapan. Oh, ralat. Sejatinya ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan yang biasa. Karena semua ibu selalu mengemban tugas yang luar biasa sesuai dengan porsi mereka. Dan aku selalu bangga dengan mamaku.
“Ma? Hari ini boleh ya, aku gak masuk sekolah?” aku berusaha meminta izin untuk membolos, berharap mama mengerti aku.
“Alasannya?” selidik mama sambil berkacak pinggang.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah tekanan yang amat besar di pundak. “Ya, aku gak mau aja! Aku masih perlu tenangin diri aku!” tandasku, berharap mama mengerti bahwa ada sebuah mental yang perlu dijaga.
“Enak aja! Mau jadi apa kamu, Lunar? Nilai aja pas-pasan! Udah deh, gak usah ngaco! Sekarang kamu cepet mandi! Liat tuh, udah jam berapa!” cecar mama, wanita bersurai ikal itu justru mengomeliku, menghancurkan ekspektasiku terhadap harapan terakhirku.
Mama memang selalu begitu. Bahkan Viona pernah menyarankanku untuk membawa mama ke psikiatrer, mengingat ia berprasangka bahwa kemungkinan mama memiliki kepribadian ganda. Kadang kelembutan mama dapat mengalahkan kain sutra, pun kadang keganasan mama dapat menandingi terkaman serigala. Barangkali mulai sekarang aku perlu menimbang-nimbang. Haruskah aku mengikuti saran Viona saja?
“Tunggu apa lagi, Lunar? Tunggu centong nasi ini melayang?” celetuk mama, sukses membangunkan lamunanku sehingga kedua tungkai ini berlari menelusuri anak tangga.
Sebenarnya aku bisa saja membolos diam-diam tanpa mama tahu. Namun, hal itu pasti akan memengaruhi jumlah kehadiranku di rapor, yang di mana ujung-ujungnya mama juga akan tahu. Bahkan boleh jadi mama akan lebih murka bila tahu belakangan. Aku tidak mau mempertaruhkan masa depanku yang akan mendapatkan potongan uang saku. Tidak mau. Jadi, di sinilah aku! Kendati sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan, namun aku tetap harus berakhir di depan gerbang SMA Negeri Dirgantara seperti sekarang.
Ketika aku melewati gerbang dan mulai berada di area pelataran, aku menemukan banyak siswa-siswi lain yang lalu lalang sambil bersenda gurau seolah-olah peristiwa kemarin bukan sebuah masalah besar. Apa yang membuat mereka dengan mudahnya tersenyum seperti itu? Padahal Zeev adalah ketua OSIS yang kehadirannya selalu menyenangkan bagi sebagian besar orang. Apa hanya ada aku yang masih mengingat Zeev di sekolah ini?
“Zeev?” kedua bibirku enggan terkatup manakala mendapati segumpal daging yang menyerupai Zeev. Kubiarkan kedua lenganku memijat bola mata sebelum akhirnya kuputuskan untuk memastikan dengan saksama pemuda berpenampilan seperti Zeev di tengah pelataran itu.
Oh, tuhan! Apakah aku sebegitu terpukulnya atas kepergian Zeev sehingga sekarang ini aku mulai berhalusinasi? Atau tiba-tiba aku diberi kekuatan super dengan memiliki indera keenam untuk melihat sosok-sosok tak kasat mata? Atau jangan-jangan ini hanya sebuah mimpi semu sebagai manifestasi jawaban Zeev padaku?
Apa pun itu alasannya, aku tidak peduli. Yang inginku lakukan saat ini hanyalah berlari menemui Zeev, menatap wajahnya dari dekat, serta memeluknya erat. Dan aku telah melakukan tiga keinginanku itu sekarang secara bersamaan, keinginan yang baru sempat aku lakukan pada Zeev kendati hanya dalam mimpi.
“Zeev!” kudekap dengan erat sehingga kami tidak menyisakan jarak. Bahkan kini aku dapat menghirup kembali aroma Zeev yang terasa sangat nyata. “Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi, Zeev!”
Aku benar-benar dibuat seperti berada dalam sebuah utopia dengan kehadiran Zeev sebagai euforia. Apa ini namanya? Bahkan aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Zeevku sekarang berada dihadapanku. Cinta pertamaku yang tinggi dan rupawan ini telah berada di sisiku. Gelombang bahagia yang menggenangi amigdala bahkan tidak menyadari akan mobilitas Zeev yang perlahan sudah melepaskan peluk eratku.
“Lunar, tolong jangan kaya gini! Malu diliatin banyak orang!” bisik Zeev sambil mengedarkan sudut pandangnya.
Tapi, aku tidak peduli, sebab yang kumiliki hanya saat ini. Sebelum aku terbangun dan kehilangan semuanya, maka aku hanya akan melakukan apa yang selama ini ingin aku lakukan. Aku yang tidak bersedia mengindahkan permintaan Zeev lantas menggenggam kedua tangannya dan seraya berkata “Aku tahu mungkin waktu kita gak banyak. Jadi, aku akan bilang langsung ke intinya aja, ya.”
Zeev masih pura-pura tidak mengerti dan melukis kerutan pada keningnya.
“Zeev, sebenernya aku udah lama suka sama kamu. Tapi, aku terlalu malu buat jujur tentang perasaan aku. Aku tau kamu mungkin gak bisa balas perasaan aku karena kita sekarang ada di dunia yang berbeda. Dan terakhir aku cuma mau bilang...”
Tiba-tiba jantungku berdegup melebihi ritme yang seharusnya, membuatku gugup haruskah aku melanjutkannya? Tapi, kalau bukan sekarang mungkin aku tidak akan memiliki kesempatan ini selamanya. Oh, bahkan disituasi sempit seperti ini mengapa nurani dan sanubari justru meragu dan membuatku gamang? Sudahlah, masa bodoh! Lakukan saja, Lunar!
Cup!
Pada akhirnya aku berhasil mendaratkan kedua bibirku pada permukaan mungil lembab Zeev sambil memejamkan mata. “Makasih, Zeev.” sambungku sebelum akhirnya kedua tungkai ini terbirit-birit begitu saja setelah berhasil mengungkapkan isi hatiku tanpa ada satu pun penyesalan yang tertinggal.
Adrenalinku seketika meningkat dan berpacu dengan cepat manakala meninggalkan Zeev yang membeku di tengan pelataran. Aku terus berlari sambil bersorak riang seolah-olah aku adalah satu-satunya orang paling bahagia di sekolah. Aku harap yang tadi itu benar-benar bibirnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!