Dua orang wanita tengah sibuk di ruang guru sebuah sekolah dasar swasta yang ada di Kabupaten Demak. Mereka tengah menyusun berkas. Salah satu diantaranya membacakan urutan berkas yang harus dilengkapi. Satu orang lagi mencari dokumen yang dimaksud oleh temannya itu.
Jika dilihat dari umurnya, sepertinya mereka sepantaran. Wajah mereka sangat serius dalam menyusun berkas tersebut. Disa Nur Izzah sedang menyusun dokumen penting bersama Rifana. Mereka sedang berkutat dengan persyaratan untuk pendidikan profesi guru atau sering disebut PPG.
Disa mendapatkan surat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Demak, yang menyatakan dia akan ikut seleksi pendidikan profesi guru. Beberapa orang iri melihat kesibukan mereka. Ada sebagian guru yang tidak bisa mengikuti program sekolah lanjutan karena sebab tertentu. Mereka tidak ambil pusing soal itu.
"Astaghfirullahal 'adzim! Aku telat masuk kelas ..., kamu bisa menyusunkan berkasku nggak, Rif?" Disa menepuk dahinya dengan kepanikan yang luar biasa.
"Ya sudah, sana ngajar dulu! Ini biar aku yang selesaikan. Kita ke dinas jam berapa?" tanya Rifana mengambil berkas yang berada di tangan Disa.
"Jam sepuluh, makasih ya sahabatku sayang. Nanti aku traktir bakso sama es teh! Hi-hi-hi." Disa melenggang pergi meninggalkan Rifana
Bu Prapti tersenyum sinis mendengar ucapan Disa. "Rif ..., Rif ..., kamu jadi orang kok polos banget, sih! Mau saja dimanfaatkan Disa! Coba kamu pikir, apa mungkin dia nggak pakai orang dalam? Secara masa kerja kamu lebih lama disini." Bu Prapti mencoba menghasut Rifana.
Rifana hanya tersenyum dan melanjutkan aktivitasnya. Dia mencoba menyembunyikan perasaannya sendiri. Hanya mencoba untuk ikhlas menerima rencana Allah. Sebenarnya, ia juga kecewa tidak mendapatkan panggilan seperti Disa. Tapi, wanita itu bisa berbuat apa?
Rifana menghela napasnya. Setelah selesai membantu Disa menyusun berkas, Rifana berencana untuk ke kantin. Dia butuh asupan minuman kesukaannya, es teh. Sang pelepas dahaga yang sangat menyejukkan kerongkongan.
Disa telah selesai mengajar. Tepat pukul sepuluh pagi, dia sudah menenteng berkas dan tas punggungnya. Dia menunggu Rifana yang tidak kunjung kembali dari kantin.
Klunting!
Sebuah pesan masuk ke gawai Disa. Dia segera membaca isi whatsapp itu. Ternyata dari Rifana yang meminta maaf tidak bisa menemaninya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan karena harus menggantikan guru lain yang sedang sakit mengajar. Dengan sedikit kecewa akhirnya ia berangkat sendiri.
Bu Prapti yang melihat wajah Disa yang kecewa bertanya padanya. "Lha kok sedih kenapa, Dis?"
"Hmm? Ah, nggak papa, Bu. Cuma sedih saja nggak ada temannya ke dinas," ujar Disa jujur.
"Lha Rifana?"
"Bu Rifana harus menggantikan Pak Yanto mengajar di kelas, Bu."
"Heleh, bohong! Palingan dia iri sama kamu! Ia nggak siap lihat kamu bahagia, makanya Rifana beralasan begitu!"
Disa mengernyitkan dahinya. Dia hanya mengangkat bahu tanda tidak paham maksud Bu Prapti. Ia enggan untuk menanggapi ucapan lawan bicaranya, dan memilih untuk segera menuju dinas.
Disa berjalan menuju parkiran. Melenggang menaiki motor maticnya dan memakai helm berwarna biru itu. Seseorang menyapa dengan sopan.
"Assalamu'alaikum, Bu Disa!" ucap seorang pria yang memakai seragam batik sama seperti Disa.
Disa menoleh dan tersenyum, "Wa'alaikum salam, Pak Adi."
"Mau kemana, Bu?" tanya Adi.
"Ke dinas pendidikan, Pak!" jawab Disa singkat dan mulai menghidupkan mesin motor.
"Mau saya temani, Bu?"
"Oh tidak perlu, Pak! Mari, Assalamu'alaikum!" Disa melajukan motor meninggalkan gedung sekolah.
Adi, merupakan salah satu guru yang masih lajang disana. Sama seperti Disa dan Rifana. Dia memang menghindari Adi yang jelas-jelas menunjukkan rasa suka padanya. Ia tidak ingin persahabatannya dengan Rifana renggang dan rusak hanya karena lelaki.
Rifana memang tidak pernah bercerita padanya jika dia suka dengan Adi. Tapi, Disa bisa membaca hal itu dari sorot mata sahabatnya. Tergambar jelas ada binar kekaguman saat Rifana berbicara dengan Adi.
Tidak perlu memakan waktu lama untuk sampai di dinas pendidikan dan kebudayaan. Disa memarkirkan motornya dengan rapi berjajar dengan motor lainnya. Dia memasuki gedung besar itu dan bertabarakan dengan seorang lelaki bertubuh tinggi dan gagah.
"Maaf-maaf-maaf!" ucap lelaki itu dengan menyesal.
Disa mengambil kunci motor yang jatuh akibat tabrakan itu. Dan tangan lelaki itu juga meraih benda yang hendak diambilnya. Disa langsung melepaskan kunci motornya. Lelaki itu mendongak dan memperhatikan lawan jenisnya itu.
Muhammad Ardani, seorang staff kepegawaian di dinas pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Demak adalah orang yang bertabrakan dengan Disa. Dani melihat tampilan wanita itu sekilas, memberinya petunjuk bahwa lawan bicaranya saat ini sangat menjaga adab ketika berhadapan dengan lawan jenis.
Dani meletakkan kembali kunci motor Disa di lantai. Hanya itu satu-satunya cara agar Disa tidak bersentuhan dengannya. Disa menunduk dan tersenyum melihat cara lelaki tersebut mengerti keinginannya.
"Terima kasih!" ucap Disa masih tetap menundukkan pandangannya.
"Sama-sama, dan ..., maaf karena saya terburu-buru dan menabrak Anda. Permisi."
Disa mengangguk dan mengambil kunci motornya. Dani meninggalkan gedung menuju mobil, dan menoleh sebentar. Dia tersenyum entah karena apa. Lalu masuk ke dalam kendaraan roda empat itu.
Disa menuju ruang kepegawaian. Dia melihat beberapa orang sedang antri sambil membawa berkas. Ia berpikir, mungkin mereka sama seperti dirinya. Disa diminta untuk mengumpulkan berkas terlebih dahulu dan diberikan nomor antrian.
"Duduk dulu, Bu. Nanti dipanggil sesuai antrian," terang petugas yang memberikan nomor pada Disa.
Banyak yang berbisik-bisik kemana petugas yang harusnya melayani mereka. Disa tidak mau ikut bergosip. Dia memilih membuka mushaf kecil miliknya dan mulai melantunkan ayat demi ayat. Hingga dia terhanyut dan tidak sadar bahwa tinggal dirinya yang ada di depan ruang tunggu.
"Sadaqallahul azim." Disa menutup mushafnya dan memasukkannya kembali ke tas.
Namanya dipanggil dan dia masuk ke dalam. Disa duduk dihadapan seorang lelaki. Berkasnya sedang ditinjau oleh pria tersebut. Saat orang tersebut mendongak mata mereka tidak sengaja bertatapan.
Jantung Disa berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia segera menundukkan pandangannya lagi. Sedangkan lelaki tersebut langsung tahu siapa orang yang ada di hadapannya. Dani dipertemukan kembali dengan wanita yang ditabraknya.
Dani menerangkan bahwa berkas Disa sudah lengkap dan akan segera dikirim ke pusat. Dia meminta agar wanita itu bersabar dan menantikan jadwal selanjutnya. Disa segera pamit setelah urusannya selesai. Dia menuju mushola karena kumandang adzan memanggilnya.
"Alhamdulillah." Disa menghela napas lega dan tersenyum.
Bersyukur atas apa yang dia lalui hari ini hingga bertemu kembali dengan adzan dzuhur. Disa menuju tempat wudhu. Dia melepaskan jilbab biru dan mulai menyalakan keran air. Saat sedang kusyu' membasuh wajah, jilbab biru itu raib dengan cepat.
Disa baru sadar saat wudhunya usai. Dia kebingungan mencari dimana jilbab birunya. Seorang ibu menghampirinya dan bertanya.
"Ada apa, Mbak?" tanya Ibu itu.
"Saya kehilangan jilbab, Bu." Disa masih celingukan mencari barang miliknya.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kok bisa?"
***
Like
Vote
Komen
Tip
Please, jangan jadi silent readers ya gengs
Bu Mar ikut panik melihat Disa yang kelimpungan mencari keberadaan jilbab biru itu. Dia ingat betul meletakkan jilbabnya di keran air sebelah tempat wudhunya. Ia berpikir mungkinkah terbang? Tapi mana mungkin, ruang wudhu wanita tertutup rapat. Bu Mar menepuk bahunya dan membuat Disa tersadar.
"Saya kurang tahu, Bu. Tadi saya sedang wudhu, dan setelah itu hilang. Saya nanti pulangnya bagaimana ya, Bu?" tanya Disa sambil menggigit bibirnya. Raut wajah cemas sangat kentara.
"Bawa mukena?" tanya ibu itu. Disa mengangguk. "Sementara pakai itu dulu. Nanti kita cari solusi setelah salat."
Disa mengangguk. Iqomah sudah mengudara. Mengharuskan mereka harus cepat bergegas. Empat raka'at telah usai ditunaikan. Disa kembali bingung tatkala mengingat jilbabnya.
"Mas Dani!" panggil ibu yang ada disamping Disa.
"Dalem, Bu Mar." Dani duduk di samping Bu Mar.
"Bawa barang dagangan mamahmu? Mbaknya ini kehilangan jilbab di tempat wudhu tadi."
Dani melihat wanita yang ditunjuk Bu Mar. Disa lagi. Entah kenapa sudah tiga kali dia selalu dipertemukan dengan Disa.
"Ada. Bentar Dani ambil dulu. Kebetulan tadi baru ambil dari yang nyetorin mamah."
Dani bergegas pergi mengambil jilbab yang diminta Bu Mar.
Dani bergegas menuju mobil dengan tersenyum sendiri. Dia merasa aneh kenapa Disa bisa kehilangan jilbab di area perkantoran itu. Selama Dani bekerja disana, keamanan selalu terjaga dengan ketat. Tuna wisma saja hanya sampai di depan gerbang.
Rekan Dani, Reza menyapanya. Dia heran melihat partner sekaligus teman dekatnya itu tersenyum sumringah menuju mobil.
"Mas Dan! Ngapain senyam-senyum begitu?" tanya Reza merangkul bahu Dani.
"Ha? Emang aku senyam-senyum?" tanya Dani terbodoh.
"Dih, dia nggak sadar! Ada apa, sih?"
"Nggak papa." Dani membuka bagasi mobil dan berkacak pinggang.
Dia tengah melihat barang dagangan mamahnya. Melihat beberapa model yang sudah tertulis jelas di atas kantong kresek hitam itu. Bergo, segiempat syar'i, pad kecil, pad besar. Dani agak bingung untuk memilih. Akhirnya ia mengambil model bergo dan segiempat syar'i. Mengambil dua warna yang tidak terlalu mencolok.
Reza yang masih setia membuntuti sahabatnya langsung mengernyitkan dahi. Dani memilih jilbab untuk siapa? Kira-kira seperti itulah suara hati pria itu. Dani menutup kembali bagasi dan bergegas menuju mushola kantor.
Reza hendak mengikuti langkah Dani, sayang sekali dia dipanggil oleh Pak Burhan. Mereka sudah janjian makan siang. Dia gagal mengetahui untuk siapa jilbab yang dipilih oleh Dani? Kenapa Dani serius sekali memilihnya? Seperti berhati-hati agar tidak salah.
Dani menghampiri Disa yang masih bersama Bu Mar di teras mushola. Ia memberikan dua model itu pada Disa.
"Terima kasih," ucap Disa menerima jilbab yang masih terbungkus plastik.
"Sama-sama. Silahkan dilihat dulu. Hanya dua model itu yang menurut saya cocok untukmu."
Disa mengenali suara itu. Itu adalah suara lelaki yang menabraknya, menemuinya di ruang staff kepegawaian, dan sekarang. Disa memberanikan diri mendongak dan membuktikan kebenaran. Orang yang sama, ya, Dani adalah orangnya.
Disa kembali menundukkan pandangannya. Bu Mar melihat interaksi singkat yang terjadi diantara keduanya. Beliau hanya mengulum senyum agar mereka tidak salah tingkah. Disa membuka bungkus plastik jilbab itu. Aroma khas yang dikeluarkan kain baru menguar hinggap di hidung Disa. Membuatnya bersin-bersin karena dia memiliki intoleransi terhadap aroma kain yang masih baru.
"Kenapa, Mbak?" tanya Bu Mar.
"Saya ada alergi sama bau kain baru, Bu. He-he-he. Saya coba boleh, Pak?" tanya Disa sambil tertunduk.
"Silahkan!" balas Dani. Disa langsung bergegas ke kamar mandi untuk mencobanya.
Dani duduk di samping bu Mar. Bertanya apakah Bu Mar mengenal Disa? Bu Mar menjawab baru mengenalnya.
"Menurutmu dia gimana, Mas Dan?" tanya Bu Mar menggoda Dani.
"Hmm? Maksud Ibu apa?" tanya Dani sembari menahan senyum.
"Jilbabnya cocok apa nggak sama mbaknya?"
"Ooh ..., Dani kira apaan. He-he-he." Dani menjadi malu mengira yang lain.
"Emang kamu mikir apaan? Aa ..., Ibu tahu nih, kamu pasti mikir kalau dia cocok sama ...,"
"Ada telepon masuk tuh, Bu!" Dani hampir saja malu karena ucapan Bu Mar. Pasalnya Disa sudah selesai mencoba jilbab.
Bu Mar menutup telepon itu dan bergegas menuju gerbang. Dani sangat tahu jika beliau sudah begitu. Bu Mar pasti akan menemui anaknya yang hanya mampir sebentar di gerbang.
"Pak, saya ambil yang ini. Berapa harganya?" tanya Disa membuyarkan lamunan Dani.
"Alhamdulillah cocok dan cantik. Eh, maksudnya jilbabnya. Bawa saja. Sudah dibayar bu Mar." Dani terpaksa berbohong. Dia melakukan hal itu karena kasihan dengan Disa yang tertimpa musibah.
Disa menahan senyumnya mendengar ucapan Dani. Mengapa dia merasa hatinya berbunga-bunga hanya karena ucapan seorang lelaki yang baru dia temui hari ini? Entahlah, Disa sendiri belum tahu jawabannya. Ia segera merespon ucapan Dani.
"Hah? Ibu yang tadi?" tanya Disa.
Dani mengangguk meskipun Disa tidak bisa melihatnya. Disa mengembalikan jilbab yang tidak dipilih kepada lelaki iti. Mereka tidak tahu langkah selanjutnya harus apa. Tapi satu yang membuat Disa tersadar, bahwa mereka hanya berdua. Dan itu membuatnya harus segera pamit sebelum ada hal yang tidak diinginkan.
Disa pamit kepada Dani. Dia mengucapkan terima kasih karena sudah dibantu. Ia melangkah pergi menuju parkiran motor. Saat akan melintasi gerbang, ia melihat Bu Mar dengan raut wajah sedih. Disa menyalaminya dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibelikan jilbab baru.
"Ternyata Dani tidak salah memilih, jilbab ini cocok untukmu, Mbak." Bu Mar tersenyum melihat kecantikan Disa yang memancar meskipun masih bersin-bersin.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih juga sudah dibelikan jilbab ini. Saya malah tidak enak hati," terang Disa.
Bu Mar mengernyitkan dahinya bingung. Membelikan jilbab? Untuk Disa? Lamunan Bu Mar lenyap ketika Disa berpamitan padanya. Disa sudah meninggalkan kantor dan kembali ke sekolahan. Yang sekarang menjadi masalahnya adalah mengatasi alerginya agar tidak bersin.
Disa terpaksa menggunakan masker saat kembali mengajar di kelas. Rifana mengernyitkan dahinya melihat warna jilbab sahabatnya berbeda.
Sedangkan di kantor, ada sesuatu yang berbeda. Dani bekerja dengan penuh semangat. Bak baterai yang baru saja diisi ulang, dia terlihat lebih giat dan sumringah dari biasanya. Bu Mar sengaja menggodanya dengan berbisik tentang Disa.
"Mbaknya yang tadi cantik ya Mas pakai jilbab pilihan kamu?" tanya bu Mar setengah berbisik.
"Iya!" jawab Dani semangat dan tanpa sadar membuat bu Mar cekikikan.
Dani memukul mulutnya. Apa yang terjadi padanya hari ini? Sungguh, ini diluar kendali dirinya. Ia merasa ini bukanlah dia. Dani yang dikenal orang di kantor adalah orang yang cuek dengan semua wanita cantik yang coba dipersandingkan dengannya.
Tapi hari ini, keajaiban itu muncul. Hanya karena wanita yang tidak sengaja ditabrak dan kehilangan jilbabnya mampu membuatnya tersenyum sepanjang hari.
"Tadi berapa harganya? Kok mbaknya tadi bilang saya yang belikan?" pancing Bu Mar lagi.
"Nggak usah, Bu. Biar saya saja yang membayar barang dagangan mamah," jawab Dani.
Bu Mar ingin menggodanya lagi, tapi waktu tidak berpihak padanya. Dani harus segera ke ruang meeting untuk membahas jadwal peninjauan sekolah.
***
Like
Vote
Komen
Tip
Dani baru saja turun dari mobilnya. Menenteng tas sambil memperhatikan jalan menuju dalam rumah. Seperti biasa, Mamah Yuli akan menyambutnya dengan senyuman termanis nan eksotis. Senyum seorang ibu paruh baya yang sangat menentramkan jiwa seorang anak.
Mamah Yuli merentangkan tangannya siap memeluk Dani. Anak sulung yang selalu menjadikannya ratu dimanapun dan kapanpun ia berada. Dani tersenyum lalu memeluk wanita itu. Seakan penat yang sedari tadi menjalari tubuhnya sirna entah kemana.
Sore terasa sangat sunyi menyapa keduanya. Dani menyalami Mamah Yuli seperti biasanya, lalu mengecup pipi dan keningnya. Perlakuan yang sungguh menyanjung hati setiap ibu manakala diperlakukan begitu hangat oleh anaknya sendiri.
Seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun berlari dari arah belakang. Dengan napas tersengal, dia tersenyum pada Dani.
"Papa sudah pulang?" tanya gadis cilik itu.
Dani tersenyum sembari mengangguk, "Salwa lihat sendiri, kan? Papah nggak ingkar janji, kan? Tunggu Papah bersihkan diri dulu, lalu kita mengaji bersama."
Salwa, gadis cilik berusia tujuh tahun itu tersenyum dan mengangguk mendengar ucapan papahnya. Dia anak kedua dari Dani dan Inaya. Sosok anak yang selalu ceria, manja, dan mudah bergaul. Sangat berbanding terbalik dengan sang kakak.
Mereka semua masuk ke dalam rumah. Di ruang santai, Dani melihat anak gadis remajanya sedang cengar-cengir dengan mata fokus tertuju layar ponsel. Dia menghampiri gadis remaja tersebut.
"Anak Papah kenapa senyam-senyum sendiri, hmm?" tanya Dani mencoba mencari tahu lewat layar ponsel anaknya.
Terdengar decakan kesal dari gadis remaja tersebut. Bukannya menjawab pertanyaan papahnya, dia malah pergi menuju lantai dua dimana kamarnya berada.
"Aidha, kok begitu sama papah?" sergah sang nenek melihat cucu pertamanya begitu dingin memperlakukan papanya.
"Itu karena Aidha benci sama, papah! Orang yang nggak bisa mengambil keputusan dengan tepat!" teriak Aidha dari tangga.
Dani tersenyum pahit mendengar pernyataan dari anak sulungnya itu. Muhammad Ardani adalah seorang duda berusia 45 tahun. Menjabat sebagai staff kepegawaian di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di sebuah kota kecil dengan slogan kota wali. Istrinya meninggalkannya ketika melahirkan anak mereka yang kedua.
Saat melahirkan anak kedua, almarhumah sang istri mengalami emboli air ketuban. Sehingga menyebabkan Inaya meninggal. Anak sulungnya memanggap itu adalah kesalahannya. Dengan membiarkan Inaya hamil saja, berarti dia telah mendorong Inaya ke jurang kematian. Itulah anggapan Aidha terhadap dirinya.
Sudah berulang kali dia dan keluarganya memberikan penjelasan kepada Aidha bahwa kematian ibunya karena musibah yang tidak dapat dihindari, tapi Aidha masih dengan pendiriannya. Dia merasa marah dan kecewa terhadap papahnya.
Bagaimana sikap Aidha kepada Salwa? Dia sangat dingin terhadap adiknya. Aidha sangat kaku terhadap adiknya. Jangankan bermain, menjawab sapaan Salwa saja bisa dihitung dengan jari.
Bahkan, neneknya pernah mendengar sendiri Aidha berkata kepada Salwa bahwa dia tidak pernah ingin memiliki adik. Keluarga itu sudah melakukan berbagai cara untuk menyingkirkan amarah Aidha atas meninggalnya ibunya. Namun, usaha mereka belum juga membuahkan hasil. Malah lebih buruk karena sikap gadis itu yang makin buruk memperlakukan Dani dan Salwa.
"Biarkan dulu Ma, Aidha masih marah sama Dani. Nanti aku coba pikirkan caranya kembali," ucap Dani mencegah Mamah Yuli yang hendak menghampiri Aidha di kamarnya.
Mamah Yuli mengangguk dan mengusap lengan anaknya, "Sabar Dan, Aidha anak yang baik kok, dia penurut. Mamah yakin akan hal itu. Mamah siapkan makan untuk kamu dulu."
Dani menggeleng dan mencekal tangan Mama Yuli. "Tidak perlu, Mah. Dani sudah makan di kantor. Aku mandi dulu."
Dani menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Bersebelahan dengan kamar Salwa. Membuka knop pintu lalu masuk ke kamar ukuran empat kali tiga meter. Dia merebahkan diri sebentar di ranjang sambil memejamkan mata. Tak terasa ada cairan bening yang melewati sudut matanya.
Dia menangis. Tapi, menangisi siapa? Apakah karena sikap Aidha kepadanya? Ternyata bukan itu penyebab ia menangis, Dani menangis karena teringat akan Inaya. Mungkin benar kata Aidha, jika dulu ia mencegahnya untuk hamil lagi resiko hal itu bisa terelakkan. Mamah Yuli masuk dan membuatnya terkejut.
"Apa yang kamu tangisi, Dan?"
Dani mencoba menyembunyikan kesedihannya namun terlanjur tertangkap basah oleh sang mama.
"Aku nggak nangis kok, Mah." Dia mencoba berkelit.
"Wanita tua ini yang merawat kamu sedari kecil. Mana bisa kamu bohong sama, Mamah? Kenapa?" paksa Mamah Yuli.
Dani menghela napas panjang, "Coba dulu Inaya tidak hamil lagi, Mah. Pasti saat ini dia masih ada di tengah-tengah kita."
"Dan, kamu ini sudah sangat dewasa. Kamu juga mengerti tentang agama. Takdir itu tidak dapat kita tentukan sendiri. Allah adalah penentu terbaik atas diri kita."
"Jangan pernah berpikiran seperti itu, Dan. Percayalah sama Allah, akan ada hal indah nantinya. Mamah yakin akan hal itu! Mamah yakin kebahagiaan akan segera menghampiri kalian!"
Dani mengucap istighfar. Sadar akan pikiran dan perkataannya barusan adalah hal yang sangat tidak pantas dia lakukan. Ragu dan curiga terhadap yang menciptakan kita? Bukankah itu hal yang tidak pantas? Seperti kufur nikmat saja dirinya.
"Sudah, mandi dulu sana. Mamah sudah minta tolong Rida untuk mencarikan guru mengaji. Coba saja Ustaz Hamid tidak pindah, hmm ..., ya sudahlah, mau bagaimana lagi?" kata Mamah Yuli.
Dani mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi. Mengguyur seluruh bagian tubuhnya dengan air hangat agar ototnya menjadi rileks. Di dalam ruangan bernuansa putih itu sengaja dia berlama-lama menikmati setiap tetes air yang melewati tubuhnya. Menenangkan pikiran dan menepi sejenak dari semua permasalahan yang menderanya.
Di lantai bawah, Salwa sudah sangat siap untuk mengaji bersama dengan papanya. Aidha? Dia tidak mau mengaji jika yang mengajarinya adalah Dani. Maka dari itu, Mamah Yuli menyuruh Rida, anak keduanya untuk mencarikan guru mengaji yang baru bagi Aidha dan Salwa.
"Jadi, besok ustazahnya datang, Mbah?" tanya Salwa antusias.
Mamah Yuli mengangguk, "Iya, besok ustazah datang kesini. Jam tiga sore, jadi Salwa harus sudah siap, ya? Kasihan nanti kalau ustazahnya menunggu kamu terlalu lama."
"Siap, Mbah! Salwa besok jam dua udah siap disini. Hi-hi-hi."
"Ha-ha-ha, ya enggak perlu jam dua juga, Nduk! Kamu itu lucu!" Mamah Yuli mencubit pipi Salwa karena gemas.
Dani turun dan bergabung dengan mereka. Mencari-cari keberadaan Aidha. "Biar Aidha mengaji sama Mamah, kamu ajari Salwa," perintah Mamah Yuli.
Dani mengangguk setuju. Karena kalau dia memaksakan kehendaknya lagi pada Aidha, hal yang akan terjadi adalah keributan lagi. Jadi, dia memilih mengalah dan tidak mengusik putrinya untuk sementara waktu.
"Mah, tadi ada yang beli jilbab Mamah satu buah. Yang segiempat syar'i. Uangnya masih di dompet Dani," terang Dani.
"Iya, kita bahas itu nanti." Mamah Yuli berjalan naik ke kamar Aidha.
"Sampai mana ngajinya, Sal?" tanya Dani pada anak keduanya.
Salwa membuka Al-qur'an miliknya. Memiliki sampul berwarna pink kesukaannya. Ada terjemahan dan tajwid di dalamnya. Hurufnya besar-besar, sehingga memudahkan orang yang membaca.
"Baca surat Al-fatihah dulu satu kali, Sal," perintah Dani pada Salwa.
Salwa mengangguk mengikuti instruksi papanya. Lalu mulai mengaji melantunkan ayat-ayat suci. Salwa belum terlalu lancar membaca huruf sambung. Jadi, terkadang Dani harus membetulkan bacaannya.
"Ini berdengung, Sal. Lihat ini, tajwidnya."
Salwa mengulangi bacaannya hingga dirasa benar oleh Dani. Berbeda dengan Aidha yang sudah lanyah sekali dalam pelafalan. Hanya lima menit saja dia sudah menyelesaikan bacaannya.
"Aidha, Mbah ini sudah tua. Umur Mbah itu tidak banyak lagi." Mamah Yuli memulai obrolan ketika muroja'ah selesai.
"Mbah, Mbah ngomong apa sih? Aidha nggak suka!" kesal Aidha karena Mamah Yuli tiba-tiba saja membicarakan umur.
"Lhoh, Mbah kan sudah tua. Sudah sewajarnya Mbah dipanggil sama Allah. Tapi, Mbah masih tidak tenang kalau Aidha bersikap seperti itu sama Papah."
Aidha terdiam mendengarkan ucapan neneknya. "Bisakah Aidha lebih sopan sama, papah?"
"Kalau Aidha pikir kematian ibu karena papa, Aidha salah. Papa adalah orang yang sangat kehilangan ibu. Sama seperti Aidha. Kematian itu adalah hal mutlak milik Allah, Nduk. Jangan mengkambinghitamkan papah dalam hal ini."
"Umur tidak ada yang tahu, Nduk," kata Mamah Yuli menepuk bahu Aidha lalu berjalan meninggalkan cucu pertamanya di dalam kamar.
Aidha merenung sendiri. Diam dan sunyi menyapanya kembali. "Bu, Aidha kangen ..., hiks." Aidha terbawa suasana hingga menangis.
***
Like
Vote
Komen
Tip
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!