Katanya,,,
ayah adalah cinta pertama putrinya.
Katanya,,,
Ayah adalah pria yang tak pernah menyakiti hati anak perempuannya.
Lalu bagaimana dengan pria bernama Gautama Nalendra yang tak mengakui anak perempuannya?
Mampukah Naraya memenuhi keinginan terakhir Amara, membawa sang suami untuk menemui anak semata wayangnya?
Dan.....
Mampukah sosok Amara, gadis berusia enam tahun mencairkan hati sang oma yang membeku?"
Apakah akhirnya bu Rania mengijinkan Tama menemui putrinya yang tengah berjuang melawan sakit?
******
Daddy, jika kamu mendengarku, aku ingin mengatakan bahwa aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin bermain bersamamu, dan ingin menunjukan pada teman-teman bahwa aku juga punya daddy.
Berapa lama lagi aku harus menunggumu?Datanglah mendekat padaku.
Karena kehidupan yang istimewa di hatiku, mungkin takan ada lagi.
Hanya satu hari, beri aku kesempatan untuk menunjukkan diriku.
Daddy
Jika itu tak mungkin, maka sebentar saja dengarkan ceritaku.
Hanya ada kau yang tertinggal di ujung bibirku.
Jika rinduku tak tergapai, aku tak akan pernah berhenti merindukanmu hingga ujung waktu.
*****
Keluarga Naraya (Nana)
Sikecil Amara penderita leukimia yang cerewet dan banyak tanya. Keinginan terbesarnya selain bertemu sang ayah, gadis kecil itu juga ingin sekali bersekolah dan bermain lari-lari dengan teman-temannya. Mahir berbahasa korea, dan bahasa inggris.
Amara to Daddy : "I Miss You more Dad"
Naraya Stevani : Wanita mandiri, kuat, lemah lembut dan pekerja keras. Meski sudah berpisah cukup lama dengan sang suami, Meski sudah di sakiti oleh keluarga suaminya, di tindas dan di fitnah oleh ibu mertua, tapi hatinya menolak untuk membenci sosok yang namanya tak mau pergi dari hati dan pikirannya.
Memiliki dua sahabat yang kaya raya, tapi tak pernah meremehkannya.
Nara to Tama : "Anak kita sakit, temuilah dia untuk terakhir kalinya, sebelum penyesalan menggerogoti usiamu"
Nara to Rania : "Aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita, sama sepertimu yang sudah membuat hidupku seperti di neraka"
Gautama Nalendra : Penyayang, memiliki hati yang lembut seperti istrinya. Tapi setelah kepergian sang istri, hangat lembutnya seakan hilang dan berganti menjadi sosok pria dingin dan arogan. Ia tak pernah bisa melupakan sosok Naraya yang baginya begitu mempesona, hingga pria itu bertekad untuk menyendiri di sisa-sisa hidupnya. Namun siapa sangka, wanita yang ia cintai malah kembali dan mengatakan bahwa "Kita punya anak"
(Sahabat Naraya)
🌺Keluarga Khansa (Sasa)🌺
Keluarga kompak. Sasa yang suka sekali mengerjai keluarga dan sahabatnya, ia harus pusing setengah mati karena ulah Paramita sang putri.
🌺Keluarga Anita (Tata)🌺
Anita yang juga tak kalah jahil dari Khansa, ia justru harus menyesuaikan diri dengan sifat sang suami yang kalem. Tetapi anak kembarnya justru sangat absurt jika melempar candaan. Dua gadis kembar yang pintar sekali mematahkan ucapan Daddy serta Mommynya.
Orang tua Naraya
Pak Ramdan Kesabarannya tak pernah ada habisnya.
Bu Fitri Memiliki sisi lemah, yaitu putrinya. Dia akan merasakan sakit yang luar biasa jika menyangkut tentang Naraya.
Orang tua Gautama
Rania Nalendra : Ibu mertua yang Angkuh dan keras kepala. Tidak merestui hubungan putra dengan kekasih yang derajatnya sangat rendah di matanya.
Kekuasaan dan tahta adalah yang utama. Meski harus merenggut kebahagiaan putranya, dia akan melakukan segala cara, demi mempertahankan harta, dan nama baik.
Rania to Nara :"Cinta saja tidak cukup, mau di taruh mana muka saya jika memiliki menantu miskin seperti kamu"
Idris Nalendra ayah Gautama, jiwa pemimpin yang sangat tinggi, membuat perusahaannya mampu berdiri hingga sekarang.
Next part 1
Aku bikin pake alur mundur ya...
Jadi pelan-pelan saja bacanya 😘
Terkadang, senyum yang orang tua terbitkan, semata hanya untuk menunjukan pada sang anak bahwa mereka adalah orang tua yang luar biasa hebat.
...🌷🌷🌷...
"Sebelumnya kami minta maaf atas berita buruk yang akan kami sampaikan"
Jantung Nara rasanya berhenti sejenak ketika dokter mengatakan itu.
"Meskipun ini berat, tapi sebagai tim dokter kami memiliki kewajiban untuk mengatakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada pasien." Sang dokter berhenti sejenak untuk menarik nafas, sebelum kemudian kembali berbicara "Kami selaku tim medis dan ibu, sama-sama tahu seperti apa usaha yang sudah kami upayakan. Operasi serta terapi sudah kami lakukan, tapi menurut diagnosa medis, usia Amara hanya tersisa enam bulan"
Bagaikan di sayat sembilu.
Itulah yang tengah Nara rasakan atas berita buruk, berita akan kehilangan putri yang selama ini selalu menghantui dirinya.
Bagaimana tidak, dalam waktu enam bulan, dia akan kehilangan putri semata wayang, putri yang selalu ceria dengan senyum cemerlang, putri yang selalu terlihat kuat di hadapannya, penghibur ketika lelah menyergap, sebagai perlipur lara saat teringat pada pria yang sangat dia cintai.
Hanya Amaralah satu-satunya obat jika dia tengah merindukan suami yang sampai saat ini masih bertahta dalam hatinya. Suami yang tak pernah tahu seperti apa anak gadisnya.
Seorang pria yang selalu di rindukan oleh putrinya hingga detik ini.
"Tapi itu hanya prediksi manusia, kita masih memiliki harapan dari sang pemilik hidup"
"Manfaatkan waktu yang ada, penuhi segala keinginan di akhir hidupnya, dan berikan cinta serta kasih sayang yang lebih untuknya, agar dia bisa pergi dengan hati gembira"
Berulang kali Nara menghembuskan napas berat, mencerna baik-baik setiap kalimat yang keluar dari dokter bernama Edward. Ia mencoba membuang rasa frustasi yang membelitnya sejak kemarin.
Dengan tertatih wanita berusia tiga puluh dua tahun itu meninggalkan ruang dokter, kakinya ia langkahkan menuju Masjid yang tak jauh dari rumah sakit.
Kehidupan yang ia lalui di negeri ginseng, tak membuatnya jauh dari Sang Khaliq.
Membasuh muka dengan air wudhu, seketika hatinya mencelos saat dinginnya mata air membasahi wajahnya.
Akan ia curahkan segala permasalahan dunia pada dzat pemilik hidup dan pemegang nyawa.
"Aku tahu segalanya Engkaulah yang mengatur, aku tahu jika genggamanku tak akan pernah mampu untuk mempertahankan putriku, sekuat apa usaha yang aku lakukan, jika itu memang takdir yang sudah Engkau gariskan padaku dan putriku, cepat atau lambat Engkau pasti akan mengambilnya dariku. Aku sadar segala sesuatu adalah milikMu, aku tahu kalau suatu saat aku akan terluka. Tapi Tuhan, aku belum siap untuk tenggelam sedalam itu"
Memberi jeda pada diri sendiri, Nara mencoba menahan agar air matanya tak kian berjatuhan.
"Aku masih sanggup melihat putriku kesakitan, aku sanggup menahan lara ketika berpisah dari pria yang aku cintai, tapi aku tidak sanggup jika harus kehilangan dia Tuhan"
"Aku terlalu lemah untuk berpisah darinya, karena kekuatanku ada pada Amara"
"Apa aku terlalu tamak, jika meminta Engkau memberikan kehidupan sekali lagi pada putriku? Jika aku memintaMu untuk tak mangambilnya dariku, membiarkan putriku menahan sakit, apa aku egois?"
"Maaf jika aku terlalu mencintai ciptaan~Mu, dan tolong berikan keikhlasan itu padaku Tuhan, berikan kesiapan itu untukku"
Usai sholat dan berdoa, Nara bertahan di serambi masjid untuk beberapa saat. Hembusan angin yang terasa sejuk, tak mampu mengurangi sesak yang ia rasakan.
Hening, hanya ada suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin sedikit kencang.
Ketika perlahan pikirannya sudah jernih kembali, teringat bagaimana semangatnya Amara untuk sembuh, dan manjanya gadis yang semakin hari kian lemah, membuat Nara akhirnya memutuskan untuk kembali ke bangsal milik sang putri.
"Maafin mommy ya nak" bisik Nara selirih mungkin agar tak membangunkan putrinya yang masih terlelap. "Maafin keegoisan mommy yang memaksamu untuk bertahan melawan sakitmu" bisiknya lagi penuh sesal. Ia mengecup kening sang putri, sementara tangannya membelai lembut kepalanya. "Jika Ara lelah, Ara boleh tidurnya lama-lama, mommy sudah ikhlas jika Ara mau tinggal sama nenek, mommy siap jika Ara memilih pergi dari mommy, tapi sebelum pergi, ijinkan mommy memenuhi keinginan Ara untuk bertemu dengan daddy ya. Mommy janji akan membawamu ke pangkuan daddy, mommy janji nak"
Karena merasa terganggu, akhirnya Amara bergerak, sepasang mata indahnya yang di bingkai bulu mata lentik perlahan terbuka.
"Mommy" panggilnya lirih, lalu mengalungkan tangan di leher Nara.
Tubuh Nara yang tadinya berdiri di tepian ranjang dengan sedikit membungkuk, kini ikut berbaring di sampingnya agar Amara bisa nyaman memeluknya.
"Mommy bangunin Ara ya?"
Anak itu menggelengkan kepala. "Mommy nangis?"
"Tidak sayang" dustanya sambil berusaha tersenyum dan menahan nyeri yang kian menyayat hati.
"Ara kangen mommy" rengeknya nyaris menangis.
Reflek Nara mengeratkan pelukannya, berusaha menahan genangan di pelupuk mata yang tahu-tahu terasa menghangat.
"Mommy juga kangen Ara" balasnya dengan suara bergetar. "Bubu lagi ya, mommy temani"
"Mommy tidak pergi bekerja?"
"Tidak"
"Mommy?"
"Iya sayang"
"Nanti mommy bilang daddy ya Ara kangen sama daddy, Ara sudah tidak nakal-nakal lagi, Ara mau cepat-cepat ketemu daddy"
"Iya, nanti mommy bilang sama daddy, besok kita pulang ke negara kita dan kita akan temui daddy sama-sama"
"Janji?" Matanya yang masih terlihat sayu, menatap sang mommy penuh harap ketika pelukannya sedikit terurai.
"Janji" Jawab Nara mantap. "Sekarang, Ara bubu lagi ya"
"Iya"
Anak itu lalu segera menyurukkan kepala di leher mommynya.
*******
Lima hari sudah Amara di rawat di rumah sakit karena sempat down ketika melakukan aktivitas di sekolah.
Hari ini, dokter mengijinkan dia untuk pulang ke rumah, dengan catatan dia harus banyak istirahat dan tidak terlalu lelah.
"Ingat apa kata dokter?"
"Ingat dokter"
"Apa?"
"Tidak boleh nakal, tidak boleh lelah banyak-banyak, harus istirahat banyak-banyak"
"Anak pintar" sahut sang dokter lengkap dengan senyum yang tersungging di bibirnya. "Ingat satu pesan lagi dari dokter"
"Apa itu dokter?"
"Amara harus bahagia, tidak boleh sedih-sedih, ngerti?"
"Ngerti dokter"
"Dok, bisakah saya membawa dia melakukan perjalanan udara? Saya ada bawa dokter onkologi dan dokter bedah dari Indonesia, Dua dokter akan mengawal kami selama di pesawat"
"Sebenarnya ini terlalu beresiko, tapi jika bu Nara memaksa kami, kami akan mengijinkannya, dengan catatan bu Nara harus menandatangani surat pernyataan, agar jika terjadi sesuatu saat di perjalanan, itu bukan menjadi tanggung jawab kami. Dari pihak kami hanya akan mempersiapkan keperluan yang di butuhkan selama perjalanan"
"Baik dok, terimakasih"
"Sama-sama, semoga perjalanan kalian menyenangkan dan selamat sampai tujuan, semoga Tuhan memberikan keajaiban untuk kesembuhan Amara"
"Aamiin, terimakasih sekali lagi dokter"
Dokter itu mengangguk merespon ucapan Nara.
"Kita pulang yuk"
"Tapi Ara mau jalan kaki, tidak mau pakai kursi roda mom"
"Tapi Ara harus pakai kursi roda, kan tadi sudah di bilang sama dokter kalau tidak boleh capek banyak-banyak"
Anak itu seperti berfikir seolah tengah mengingat-ingat apa yang dokter katakan, sebelum akhirnya menganggukan kepala sembari mengerjap lucu.
Amara Stevani Nalendra.
Anak pertama dari Gautama Nalendra dan Naraya Stevani, berusia enam tahun 4 bulan, berambut pirang dan memiliki hidung serta mata yang nyaris mirip dengan ayahnya.
Gadis cantik, ceria dan pintar, yang menderita leukimia stadium tiga sejak setahun terakhir.
Ia harus berpura-pura kuat di depan sang ibu, Sebab dia tak ingin membuat hati ibunya bersedih. Dia juga harus pintar-pintar menyembunyikan rasa sakit demi bisa bersekolah dan bermain dengan teman-temannya.
Keinginanan terbesar Amara adalah bertemu dengan sang ayah, karena semenjak lahir sampai detik ini, ia belum pernah melihat seperti apa ayahnya.
Ia harus berjuang hidup lebih lama demi untuk menuntaskan rasa rindu pada pria bernama Gautama Nalendra.
Bersambung
Regards..
Ane
"Mommy, apa benar kita akan bertemu Daddy?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut sang anak yang ia sebut sebagai peri kecil.
Nara hanya menjawab dengan anggukan kepala lengkap dengan seulas senyum.
"Yeeyyyyyy! teriaknya riang. "Ara mau ketemu daddy. Daddy Im coming, I miss you my sweet daddy"
"Mommy kan sudah janji, jadi harus di tepati" Ucap Nara sambil mengecup pucuk kepalanya.
Tak mau kalah, Amara balas menciumi wajah mommynya. "Thankyou mommy"
Sekitar tiga hari yang lalu, Nara menelfon para sahabatnya di Indonesia. Ia meminta bantuan pada Khansa dan Anita agar mengijinkan para suaminya, dr Aksara dan dr Emir untuk menjemput dia serta Amara di Korea selatan.
Nara yang selama ini di beri kepercayaan oleh Khansa untuk mengurus restaurannya di Korea, kini akan menyerahkan tugas itu pada orang kepercayaan Khansa yang lain. Ia sudah bertekad untuk menemui pria yang sampai saat ini masih berstatus sebagai suaminya.
Demi memenuhi keinginan sang anak, ia rela berurusan kembali dengan Tama. Pria yang tidak pernah bisa ia lupakan.
Nara juga akan mengatakan pada tama bahwa dia memiliki seorang putri yang bisa di bilang sangat mirip dengannya. Pria yang menikahinya sekitar tujuh tahun lalu tanpa persetujuan dan restu dari bu Rania. Ibunda Gautama Nalendra.
******
Suara bel menyadarkan Nara yang tengah larut dalam lamunan. Ia langsung berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Setelah pintu terbuka, menampilkan dua pria yang akan mengawal perjalanannya kembali ke tanah air.
Sebenarnya, Aksa dan Emir sudah datang sejak kemarin, hanya saja mereka menginap di apartemen milik Khansa.
Baru saat inilah mereka bisa mengunjunginya. Sekalian akan kembali ke Indonesia bersama Naraya dan Amara pagi ini.
"Hallo Amara"
"Papa Aksa, papa Emir" Amara langsung berlari menghampiri dua pria yang tengah berdiri dengan senyum yang merekah. Mengecup punggung tangan, lalu memeluk Aksa dan Emir secara bergantian.
"Amara apa kabar?"
"Baik papa"
Aksa bertanya setelah melepas pelukan dari gadis itu, kemudian menggendong dan membawanya duduk di sofa melihat langit yang sempat ia rekam di ponsel saat di dalam pesawat.
Sementara Emir berjalan menuju ruang makan mengikuti Nara yang ingin membicarakan tentang kondisi terakhir Amara. Ia duduk berseberangan dengan wanita yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Sahabat dari Anita Istrinya dan Khansa adiknya.
Sedikit banyak, Emir adalah salah satu orang yang tahu dan menjadi saksi dalam kisah perjalanan hidup Nara yang bisa di bilang sangat pilu.
"Kamu apa kabar?"
"Aku baik bang" Nara menjawab dengan suara parau.
"Jangan sedih, kami siap membantumu"
"Bagaimana aku bisa hidup tanpa Amara bang, dia adalah satu-satunya kekuatan untukku melewati keterpurukan. Selain bapak, hanya dia yang ku punya, tapi sebentar lagi dia justru akan pergi"
"Amara anak yang kuat Na, dia pasti bisa bertahan lebih lama. Aku dan Aksa akan berusaha untuk menyembuhkannya"
"Tapi dokter di sini sudah menyerah dan menyuruhku untuk mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Amara"
"Kamu ingat sakit yang di derita Khansa?" tanya Emir tanpa mengalihkan pandangan barang sejenak. "Dia bisa sembuh dari kanker yang menyerangnya"
"Tapi aku tidak memiliki optimisme sebesar itu bang. Bayangan kematian Amara selalu melintas di pikiranku, bahkan aku bermimpi, dalam mimpi itu ibu meminta Amara dariku, dan aku menyerahkannya"
Nara menumpukan kedua siku di atas meja. Kedua telapak tangannya menutupi wajah sembab karena sudah tak mampu lagi mempertahankan air mata, seakan tak kuasa mengingat mimpi yang baginya sangat menyeramkan.
"Siap tidak siap, entah sampai kapan Ara bisa bertahan, aku harus menyiapkan diri bukan?" katanya dengan suara teredam karena tangannya masih menutupi wajahnya. "Aku tidak tahu akan seperti apa hidupku setelah dia tiada. Tanpanya, mungkin duniaku akan berhenti berputar bang"
"Berdoalah selalu. Setidaknya percaya pada keajaiban Tuhan"
"Mommy" panggilan Amara membuat Nara terlonjak, ia buru-buru menghapus jejak basah di pipinya, berusaha menormalkan ekspresi di wajah agar sang anak tak mengetahui kesedihannya.
"Iya sayang?"
"Mommy nangis?"
"Tidak"
"Mommy bohong" sahutnya sambil menyeka sisa-sisa buliran bening dari matanya. "Ini apa?"
"Mommy hanya rindu pada mama Tata dan mama Sasa"
Gadis periang itu mengerjap usai mendengar ucapan Emir.
"Sebentar lagi kita akan ketemu kan? jadi mommy tidak boleh sedih-sedih lagi"
"Iya sayang" jawab Nara sembari mengusap kepala Amara.
Sasa dan Tata memang kerap sekali mengunjungi Nara dan Amara. Itu sebabnya Amara sangat mengenal siapa mereka. Selain orang tuanya yang berteman baik, anak-anak mereka pun saling menyayangi satu sama lain.
*****
"Welcome Indonesia, Im coming" teriak Amara dengan cengkok keinggrisannya. "I will meet you soon daddy"
Aksa, Emir, Nara serta Amara telah sampai di bandara International Soekarno Hatta. Betapa senangnya gadis itu ketika sampai di tanah air.
Tidak ada musim dingin, daun yang berguguran, dan indahnya bunga sakura yang akan dia nikmati. Bukan orang berkulit putih dan mata sipit yang akan ia lihat. Akan tetapi semua itu tak serta merta membuatnya menyesal. Karena keinginan tinggal bersama keluarga lengkap akan segera terwujud.
Sikap Amara yang begitu kegirangan mengekspresikan kegembiraannya, membuat mereka tergelak.
"Kamsahamnida mommy, saranghaeyo"
"Asal kamu bahagia, apapun akan mommy lakukan untukmu sayang"
Bagi Naraya keputusan untuk kembali ke masa lalu adalah hal yang tidak pernah ia inginkan. Mengingat betapa sakit saat sang ibu mertua menghancurkan hidupnya hingga tak ada ampun. Bahkan sang ibu harus meregang nyawa karena terus memikirkan anak gadisnya yang selalu di tindas dan di fitnah, serta bapaknya yang harus kehilangan pekerjaan dan menganggur.
Fitnah keji yang membuat sang suami akhirnya memilih kembali kepada keluarganya. Fitnah yang membuat dia harus berpisah dengan cintanya, hingga memutuskan pergi ke negara asing demi untuk melupakan masa lalu yang begitu menyakitkan, untuk membiayai hidup dirinya, anaknya dan bapaknya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Khansa yang sudah menunggu kedatangannya di bandara.
"Baik Sa"
"Sabar ya, yang kuat" Khansa masih memeluk dan tangannya tak berhenti menepuk punggung sahabat yang biasa ia panggil Nana. "Ada kami yang siap membantumu"
"Makasih Sa"
Sementara Amara, sudah berceloteh ria dengan Mita putri Aksa dan Khansa. Di temani oleh Emir dan juga Aksa.
"Anita tidak ikut?"
"Dia sedang tidak enak badan" jawab Khansa setelah mengurai pelukannya. "Dia sedang mengalami morning sickness"
"Sudah berapa bulan?"
"Jalan tiga bulan"
"Kenapa baru memberitahuku?"
"Ah mana sempat Na, kita sama-sama sibuk kan?"
Kedua wanita itu saling berbalas senyum lalu melangkah sesuai interupsi dari Aksa. Mereka harus segera pulang karena Amara harus beristirahat.
Menghela napas panjang, Naraya berusaha menguatkan diri agar memiliki keberanian untuk menemui Gautama dan bu Rania.
Demi Amara, kamu harus kuat Na...!
Kembalinya Nara ke Indonesia, seketika ingatannya memutar kembali kejadian beberapa tahun silam.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!