NovelToon NovelToon

Perfect Husband

01. Tawaran mengejutkan

"Apa-apaan kamu nit?! Main jodoh-jodohin aja! Maksud kamu, kamu mau nenghina aku, karena aku nggak laku-laku? iya?!"

Aku setengah berteriak mencoba mengklarifikasi pernyataan Anita sahabatku tentang rencananya menjodohkanku dengan teman kakaknya.

"Sssst !. Kurangi volume bicaramu sil, coba kamu lihat, semua mata yg ada di kantin ini melirik ke arah kita," Anita membungkam mulutku. Aku melempar pandanganku ke beberapa sudut kantin kampus. Benar saja, mereka tampak menatap curiga ke arah kami berdua. Bahkan beberapa di antara mereka ada yang berbisik-bisik pada teman semejanya.

"Tapi ini ide gila, Nit. Kamu tega jodohin aku sama orang nggak jelas. Apa hidupku sudah semenyedihkan itu?!" Aku sedikit ketus. Entah kenapa mataku berkaca-kaca. Memang aku hidup sebatang kara. Hanya rumah sederhana peninggalan kedua orangtua yang ku punya. Bahkan untuk kuliah aku harus kerja paruh waktu di resto yang tidak jauh dari rumah.

"Aku sahabatmu, Sila. Mana mungkin aku jahatin kamu. Aku cuma bantu kakakku yang minta tolong. Supaya aku mencarikan jodoh untuk sahabatnya. Menurutku kriteria cewek yg Dia cari pas banget sama kamu, Sil." Anita mencoba menenangkan Aku. Kalau di fikir-fikir buat apa Dia menjebakku. Kami telah bersahabat sejak lama. Semua ini pasti telah di fikirkan olehnya matang-matang.

"Memangnya kriteria seperti apa yang Dia cari? "

Aku mulai sedikit tertarik untuk mengorek keterangan darinya. Anita menatapku serius, seperti sedang mencari jawaban dari rona wajahku.

"Dia pengen cari pendamping hidup yang nggak ngerti tas bermerek dan kawan-kawannya. Cocok banget kan sama kamu,"

Anita mengangkat alisnya berulang kali sambil tersenyum.

"Artinya dia pelit dong. Masa cari kriteria istri yang nggak suka tas bermerek. Astaghfirullah, rasanya aku pengen ngakak dengernya,"

Aku memalingkan wajahku ke arah lain.

"Jangan berburuk sangka dulu, Sil." Terus saja Anita mencoba meyakinkan aku untuk mempertimbangkan tawarannya. Tapi bagiku menikah bukanlah hal yang mudah di putuskan begitu saja. Apalagi aku belum pernah bertemu dengan teman dari kakak Anita itu. Belum tentu kami cocok. Menikah juga adalah sebuah komitmen yang sakral. Apa jadinya kalau sampai salah memilih pendamping hidup, aku belum berani membayangkannya.

"Menikah bukan hal sepele, Nit. paling tidak aku harus bertemu dengan lelaki itu sebelum aku memutuskan untuk menikah dengan dia," Ujarku sambil menyeruput jus jeruk yang baru saja di hidangkan oleh ibu kantin. Anita pindah posisi duduk. Kini dia berada di sampingku.

"Yang penting kamu mau mempertimbangkan aku udah seneng banget, Sil. Aku tinggal bilang pada kakakku untuk mengatur pertemuan kalian. Terimakasih, Sila." Aku masih bertanya-tanya. Mengapa Anita begitu bersemangat untuk menjodohkanku dengan lelaki itu. Apa hubungan mereka sebenarnya? Benarkah hanya sebatas teman sang kakak? Seingatku, selama ini Anita tidak pernah dekat dengan teman Andre.

"Aku sangat menghargai persahabatan kita, Nit. Aku nggak mau kamu sampai kecewa kalau aku menolak. Tapi aku tidak terpaksa menerima semuanya." Aku melemparkan senyuman. Anita memelukku erat. Selama ini dia selalu baik padaku. Aku juga yakin, ia sudah mempertimbangkan semuanya.

"Yuk ke kelas. Nanti aku chat whatsaap kapan hari dan tanggalnya." Sahabatku yang centil itu meninggalkan tempat duduknya. setelah membayar makanan dan minuman kami, Aku segera menyusulnya dengan berlari kecil.

Brukk..!!

Tiba-tiba aku menabrak seseorang.

"sila.." Orang itu mengenaliku. Akupun merasa tidak asing dengan wajah cowok yang ada di hadapanku itu. matanya yg indah, alisnya yang tebal dan hitam, hidungnya yang mancung meski tidak terlalu, kulit bersihnya. aku ingat siapa dia.

"fian.." Dia mantanku.

"Kamu kuliah disini, to,"

"Iya. Kata Santi, kamu kuliah di Jogja," Aku belum lupa kemana Fian akan melanjutkan kuliahnya karena itu yang membuat hubungan kami kandas. Dia beralasan tidak ingin melanjutkan hubungan jarak jauh dan memutuskan mengakhiri semuanya.

"Nggak jadi, Sil. Mungkin memang kita jodoh kali, ya." Aku tahu Fian bohong. karena beberapa saat setelah dia bilang putus, aku melihat Fian suatu malam dinner berdua di Resto tempatku bekerja. Tentu saja dia tidak tahu kalau aku karyawan di sana.

"Gombalanmu basi," Aku tersenyum kecut. Rasanya ingin kabur saja. Bertemu Fian membuatnya merobek luka lama. Rasanya sakit. Bahkan lebih sakit dari luka sebelumnya.

"Sila, maafkan aku..." Ucapnya lirih. Fian meraih kedua tanganku. Aku menepisnya cepat.

"Nggak ada yang perlu di maafkan, Aku sudah melupakan semuanya," Aku membuang muka. Menyembunyikan airmata yang menggantung di sudut mataku. Rasa sesak di dada mulai terasa.

"Kasih aku kesempatan, Sil. Aku masih sayang sama ka..."

"cukup!" Aku menyodorkan telapak tanganku ke arah wajah Fian. Sebagai isyarat aku tidak ingin mendengarkan kelanjutan dari kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Semua sudah berakhir, Fian. Antara aku dan kamu tidak akan pernah lagi menjadi kita. Dan jangan kamu lupa, kamu yang mengakhiri semuanya,"

batinku begitu trenyuh. Sejujurnya aku masih menaruh perasaanku padanya. Aku takut sakit hatiku terulang jika menerima dia kembali.

"Aku menyesal,Sil. Aku tahu aku salah. Sudah buat kamu kecewa dan terluka sedalam ini..." Fian menatapku. Matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia serius saat ini.

"Maaf Fian, Saat ini aku masih ingin sendiri..."

kataku lirih. airmataku tak terbendung lagi. Tidak perduli seisi kantin menatapku.

"Sil..." Dia kembali memelas. sekarang, untuk pertama kalinya aku melihat Fian menangis. Air matanya turun begitu saja membasahi pipi.

"Tolong jangan buat aku merasa bersalah, Fian. sekarang diantara kita kembali seperti dulu. Teman." Aku mencoba tersenyum.

"baik. jika itu maumu. aku akan membuktikan kalau aku pantas menjadi pacar terbaikmu lagi,"

Fian mencoba menghapus airmatanya. Ada rasa kecewa tergambar dari pancaran matanya.

"silahkan. Maaf, aku ke kelas dulu ya..." Aku segera menyusul Anita tanpa menunggu persetujuan Fian. Aku tidak menduga akan bertemu dengannya hari ini setelah terpisah hampir satu tahun.

"Lama banget, Sil. Aku udah di kelas lama baru sampai," Anita menggerutu.

"maaf, aku ke toilet dulu tadi. mules," Aku mencoba beralasan. Kalau aku jujur habis bertemu Fian, pasti akan di interogasi habis-habisan olehnya.

"Makanya, makan bakso jangan di banyakin sambelnya," Kebiasaan Anita muncul. seperti ibuku yang tidak suka dengan hobiku makan pedas.

"Maaf, lain kali di ulang lagi, deh." Candaku. Anita melotot sambil pura-pura marah padaku. Suasana hatiku mulai membaik. Obrolan kami terputus dengan datangnya dosen. Aku mencoba fokus. Meskipun fikiranku campur aduk. memikirkan Fian dan memikirkan perjodohan yang telah direncana oleh Anita. Diam-diam aku penasaran. Seperti Apa pemuda yang akan di jodohkan denganku itu. Tampankah? kaya raya? atau sebaliknya. Rasanya tak sabar ingin berjumpa dengan dia.

02. Bertemu Kak Andre

Minggu pagi, Aku dan Kak Andre mengadakan pertemuan. Kami sepakat bertemu di 'Warung Nasi Uduk Mak Jum' yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku.

Aku datang lebih awal. Pelanggan Mak Jum sudah berjejer antri. Aku memilih duduk di meja paling pojok supaya lebih nyaman saat berbincang dengan Kak Andre nanti.

Aku melirik jam tanganku. masih pukul setengah delapan. Biasanya Kak Andre sedang lari pagi di sekitar komplek rumahnya. Wajar saja kalau badannya tampak berotot. Saat itu aku tanpa sengaja melihat Kak Andre nge-gym di lantai atas rumahnya. Dulu aku pernah berkhayal bisa pacaran dengannya. Tapi bisa di tebak, perasaanku ke Kak Andre cuma bertepuk sebelah tangan.

Kak Andre sosok yang sempurna menurut aku. kenapa? karena wajahnya yang tampan, hidungnya mancung, bibirnya merah alami, postur tubuhnya, kulitnya putih, matanya sipit, alisnya tebal, selain fisik, keluarga Kak Andre kaya raya. Saat ini dia memimpin dua perusahaan. Siapa sih yang tidak tertarik pada seorang direktur muda yang sesempurna dia?

"Sila, udah lama nunggu?" Kak Andre tiba-tiba sudah duduk di hadapanku. Entah sejak kapan, yang pasti lamunanku langsung berantakan. Di hari libur seperti ini ia tetap rapi. Wangi. Aroma parfumnya manis, favorit aku.

"Lumayan. Minder deh aku, Kakak rapi banget. Kaya nge-date sama pacar aja,"Aku mencoba mencairkan suasana.

"Pengennya sih gitu, Sil. Jadiin kamu pacar aku," Kak Andre terkekeh. Orangnya memang suka jahil.

"Halah gombal. Bukan kriteria Kak Andre kan? Mantannya aja cantik semua. Apalah daya, aku hanya sebutir pasir," Aku membalas candaannya dengan senyuman.

"Kamu juga cantik," Ujarnya singkat. Aduh, sebuah gombalan atau bukan tapi hatiku meleleh dibuatnya.

"Tapi bohong," Sambung Kak Andre singkat disusul tawanya yang pecah.

"isssh Kak Andre!" Spontan aku mencubit lengan kakak sahabatku itu. setiap bersamanya rasanya selalu bahagia. Nyaman yang aku rasakan saat dekat dengan Andre terkadang membuat aku berandai-andai.

"Aauu, sakit, Sil." Dia meringis kesakitan sambil mengelus lengannya yang baru saja ku cubit.

"Serius deh, Kak. Aku kepo sama temen Kakak," Aku langsung menembak Kak Andre untuk membahas tujuan pertemuan kami.

"Segitu patah hatinya sama aku? sampai kepoin temen aku?" Kak Andre lagi-lagi meledekku.

"Tapi aku setuju banget, Sil, kalau kamu menikah sama dia." Kak Andre tampak serius kali ini.

"Nggak bisa apa saling kenal dulu, Kak?" Tawarku.

"Dia hanya ingin bertemu kamu sekali, Sil. Setelah itu kamu harus membuat keputusan. Menikah dengan dia atau melupakan pertemuan kalian." Jelasnya.

"Sadis amat, Kak."

"Bukan sadis. Beberapa hari ini dia sudah mengamati kamu dari jauh dan setuju menjadikanmu istrinya," Ungkap Kak Andre.

Aku baru sadar. Pantas saja beberapa hari ini ada sosok misterius yang memata-matai aku. semua di mulai sehari setelah obrolanku dengan Anita tentang perjodohan itu. Kenapa harus jadi penguntit? mengapa tidak langsung menemuiku saja?

"Nggak adil banget. Dia udah tau aku, sementara aku belum sama sekali," Sungutku. Sedikit kesal.

"Kapanpun kamu siap, dia mau ngedate sama kamu. Hanya sekali, jadi manfaatkan. Jangan membuat keputusan tanpa pertimbangan. pikirkan masa depan dan cita-cita kamu," Kak Andre membuka fikiranku menjadi lebih luas. Jika aku menerima temannya itu untuk menjadi suamiku, mungkin semuanya akan berubah. Aku bisa kuliah dengan tenang, segala keperluanku akan tercukupi dan yang utama ada yang menjagaku.

"Kapan saja aku mau, Kak. Aku tunggu kabar dari kakak." Ucapku pasti.

"Keputusan yang bagus, Cantik." Entah sedang memujiku atau meledekku. Tapi aku suka setiap kata cantik yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Kak..."

"Hmm.."

"Kapan Kak Andre nikah?" Celetukku di sela-sela menikmati nasi uduk mak jum yang rasanya juara itu.

"Nanti. Setelah jodohku datang." Jawabnya datar.

"Kapan?" Tanyaku lagi. Sepertinya momen ini membuat aku ada kebebasan menanyakan hal pribadi tentangnya.

"Belum tau, pacar aja belum punya. Mau nikah sama siapa aku. Sama kamu?" Serius. Setiap kata gombal yang meluncur dari bibir Kak Andre sukses buat aku terbang. Walaupun akhirnya di jatuhkan.

"Idih, Akunya mau, tapi Kak Andre yang menolak." Sahutku sambil mengerling nakal ke arahnya.

"Menolak karena terlalu cantik," Gombalnya lagi.

"Bisa aja. Nanti aku terlanjur baper, gimana?" Aku gantian meledeknya.

"Jangan. Ntar aku di tendang calon suamimu. Terus dibilang tukang tikung," Kak Andre ngakak.

Rasanya bahagia bisa bertemu Kak Andre pagi ini. Seluruh rasa penat di pundakku rasanya mulai luntur. Kami melanjutkan candaan dan gombalan sambil menghabiskan sarapan.

Siang harinnya aku memutuskan untuk bertemu dengan Anita. Dia sudah tidak sabar mendengarkan ceritaku saat menemui kakaknya tadi.

"Jadi kamu udah memutuskan untuk menemui cowok itu?" Anita tampak begitu antusias.

"Iya , Nit. Setelah aku fikir-fikir sepertinya seru juga kalau punya suami," Kataku ngelantur.

"Jadi kapan kalian nge-date?" Anita mencoba menyelidik.

"Aku serahkan sama Kak Andre. Kapanpun aku siap. Sayangnya acara nge-date ini cuma sekali, Nit. Setelah ketemu aku harus nentuin. Iya atau tidak."Anita tersenyum menanggapi ceritaku.

"Lebih cepat lebih baik , Sil. Aku selalu mendukung setiap keputusan kamu." Anita menggenggam tanganku erat. Sahabatku satu ini selalu menguatkan aku. Rasanya ia sangat berharga.

"Eh, Sil. Kamu tau nggak, tadi aku ketemu sama Fian loh." Anita belum tahu, kalau aku yang lebih dulu bertemu Fian sampai nyaris berantem.

"Kalau Soal Fian, Aku sudah tau dia nggak jadi kuliah di jogja. waktu ketemu aku beberapa hari yang lalu dia bilang mau balikan sama aku, Nit."

Akhirnya aku membongkar cerita tentang Fian. Aku tidak habis fikir, di saat aku sudah nyaman tanpa dia tiba-tiba saja datang membawa luka lama.

"Oh ya? terus kamu terima dia lagi?" Anita menatapku tajam. Takut aku kembali ke pelukan Fian kedua kali.

"Ya enggaklah , Nit. kamu tau sendiri kan seberapa sakitnya aku saat itu? dia sudah mencampakkan aku seperti sampah. Berubah seperti apapun dia tak akan bisa merubah keadaan yang tak lagi sama." Tanpa sadar mataku berkaca-kaca. setiap membahas tentang Fian, hatiku rasanya perih. Dia menghianati perasaanku di saat aku terlanjur sayang padanya.

"Udah, Sil. aku ngerti apa yang kamu rasain sekarang. Aku paham bagaimana cara kamu sampai bisa bangkit seperti sekarang." Anita menenangkan aku.

Aku hanya ingin memulai sebuah hubungan baru, dengan orang yang baru. saat bersama Fian, semua memang terasa sangat indah, tapi itu dulu. sebelum aku melihatnya makan romantis dengan seorang wanita. Semenjak orangtuaku meninggal, Aku dan Fian memang tidak se-level. Mungkin itu pula yang menjadikan Fian berhenti mencintai aku dan meninggalkanku.

"Fian pantas menerima semua ini dari kamu, Sil. Laki-laki seperti dia tidak pantas mendapatkan kesempatan kedua. Seenaknya saja membuang cinta yang tulus darimu,"

"Terimakasih, Nit. Kamu selalu dukung aku." Saat ini hanya Anita dan keluarganya yang masih memberiku perhatian, menggantikan kedua orangtuaku yang tidak lain adalah sahabat baik orangtuanya.

03. Sebuah Renungan

Matahari mulai tenggelam. Langit berwarna orens tua berpadu dengan kuning cerah terhampar luas. Aku memandang keindahan semesta itu lewat jendela kamar yang menghadap ke arah barat.

Hanya sendiri. Sebuah kesunyian yang awalnya begitu menakutkan, kini sudah membuat aku terbiasa. Semenjak ayah dan ibuku meninggal di sebabkan oleh kecelakaan tragis beberapa tahun lalu. Kesepian ini terkadang membekukan hatiku.

Terkadang aku merasa iri pada Anita sahabatku. Dia masih memiliki orang tua yang lengkap di tambah lagi seorang kakak yang baik hati seperti Andre. Biasanya, saat aku merasa kesepian menerpa dengan begitu kejam, hanya mereka tempat aku berbagi.

Dulu saat ayah dan ibuku masih ada, mereka selalu memanjakan aku. Aku masih belum lupa, setiap pagi ibu selalu memasak nasi goreng untuk kami sarapan. Ayah selalu meminta porsi yang besar. Kata ayah supaya kuat menghadapi kenyataan. Ayahku memang humoris. Membuat hariku selalu ceria. Ayah, Ibu, aku rindu kalian.

Ibuku terpaksa mengangkat rahimnya saat melahirkan aku. Itu sebabnya aku tidak punya adik. Ibuku bercerita, kata dokter ada kista di rahimnya. Sebenarnya saat hamil aku, ibu begitu kesulitan. Dokter menyarankan untuk aborsi, tapi ibuku tetap mempertahankan aku. ibu hebat, kataku saat ibu selesai cerita.

Belum sempat aku membalas jasa kedua orangtuaku, sekarang mereka telah kembali. Hanya doa di atas sajadah yang saat ini aku bisa lakukan untuk mereka kala rindu mulai membara di iringi tetesan airmata.

seandainya aku di berikan sebuah kesempatan. Aku ingin menjadi anak yang terbaik untuk mereka. Tentu saja itu tak mungkin. Apapun yang aku lakukan saat ini, mereka tidak akan tahu.

Sekarang aku sudah kuliah. Aku bersusah payah untuk mengejar gelar sarjanaku. di sela-sela kuliah aku bekerja di resto milik kenalan ayah dulu. Meskipun ayah dan ibuku telah tiada, aku bertekad untuk mengabulkan keinginan mereka. Melihat aku meraih gelar sarjana dan bekerja kantoran.

Keadaan inilah yang membuat aku menerima tawaran Andre dan Anita untuk menikah. Awalnya aku memang ragu untuk menerimanya, tapi setelah aku pertimbangkan aku menjadi lebih yakin. Entah mengapa aku memiliki insting kalau orang yang akan menjadi suamiku itu akan memperlakukan aku dengan baik. sebenarnya mungkin karena Kak Andre, dia yang meyakinkan aku.

Aku sudah pernah bercerita tentang perasaanku padanya kan? Aku adalah seseorang yang sangat mengagumi Andre, meskipun dia seperti pura-pura tidak sadar. Sempat kecewa, sampai aku bertemu Fian dan berpacaran dengannya.

Setelah menikah nanti, berarti aku benar-benar harus melupakan perasaanku pada Andre yang sampai sekarang masih ada. Cara bicara, gaya humor, style berpakaian sampai bau parfumnya begitu melekat dalam ingatanku. Terkadang aku berharap dia menyadari perasaanku dan membalasnya, tapi aku pupus harapan itu. Aku sadar, banyak perbedaan di antara kita.

Aku sudah cukup bahagia. Setiap Kak Andre menggodaku dengan gombalannya. Melihat garis senyumnya, matanya yang sipit saat tertawa, hatiku berbunga.

"Diing..ding..ding.."

Nada notifikasi whatsaapku berbunyi. Pesan dari Kak Andre.

Besok, jam delapan malam di floresta cafe. Temui temanku disana. Ingat, jangan telat. Cantik 😜

Dalam pesanpun Dia bisa membuatku tersenyum. Pesonanya begitu besar.

Siap, Kakak tampan 😝.

Aku membalas pesannya singkat. Bisa-bisanya aku masih baper dengan mak comblangku sendiri.

Sebentar lagi ada kurir yang antar dress ke rumah kamu. Pakai gaun itu besok. semoga kamu suka 😊.

Kak Andre termasuk tipe mak comblang seperti sih? segitu niatnya sampai mempersiapkan dress segala.

*Terimakasih, Kak. Sampai repot beliin dress segala.

***Bukan dari aku. Calon suami kamu yang belikan****.

Seketika langsung kecewa. Aku kira Andre yang pilih dress untukku, ternyata bukan. Kalau di fikir, buat apa juga dia beli dress untuk pasangan kencan orang lain. Pacar bukan, saudara juga bukan. Aku saja yang auto berharap.

Aku kira hanya di dalam novel ada kencan buta, ternyata aku justru mengalaminya. seperti apa ya kira kira wajah calon suamiku itu? apa setampan Andre? atau justru biasa saja? seperti apapun dia, aku ingin segera bertemu.

Sesungguhnya ini bukan pernikahan impianku. Aku ingin menikah dengan orang yang benar-benar ku kenal. Bukan dengan pria asing. Kata almarhumah ibu, cinta bisa tumbuh seiring waktu. dulu ibu dan ayah menikah karena perjodohan nenek dan kakek yang bersahabat baik. Sepertinya aku juga mengalami hal yang sama.

Semoga saja setelah pertemuan nanti aku bisa menerima calon suamiku dengan baik. Bagaimanapun, aku sudah mulai menata kesiapan untuk menikah dengannya. Aku bosan hidup sendirian di rumah ini. Hanya kenangan dan bayangan ayah ibu yang menemaniku setiap hari. Rumah ini terasa sangat sepi tanpa hadirnya keluarga.

Aku sadar, semua tidak akan mudah. Memulai kehidupan baru sebagai seorang istri. Aku hanya belajar banyak dari ibu. Bagaimana menjadi istri yang baik. Memberikan seluruh kasih sayangnya untuk aku dan juga ayah.

Saat aku atau ayah ada masalah, ibu tempat kami berbagi. Ibu menenangkan kami dengan pelukan hangatnya. Sampai sekarang aku masih merindukan pelukan itu.

Kata ayah, ibu wanita yang hebat. mampu memahami ayah sepenuhnya. Baik saat ayah susah ataupun senang. Juga di saat ayah sedang marah karena suatu hal. Ibu tetap mampu mengendalikan perasaan ayah. Intinya ibu adalah sosok inspirasi aku.

Hari mulai gelap. Aku memutuskan beranjak dari kamarku menuju dapur untuk memasak sesuatu buat makan malam. Pada dasarnya aku suka memasak. meakipun aku hanya tinggal seorang diri, aku jarang beli makanan di luar. Kata ibu, wanita harus pandai memasak selain make-up. Karena laki-laki lebih suka wanita yang pintar masak. Sejak ibu bilang seperti itu, aku mulai belajar memasak. Aku ingin memanjakan suamiku nanti dengan masakan-masakanku.

"Tok..tok.." Pintu rumahku di ketuk seseorang. Mungkin itu kurir yang mengantarkan gaun dari calon suamiku.

Benar saja. sebuah kotak berwarna silver yang berhias pita dengan warna senada di sodorkan oleh kurir sebuah ekspedisi. Setelah aku menandatangani bukti terima, si kurir berpamitan.

Aku membawa kotak itu masuk. Meletakkannya di meja tamu tanpa melihat isinya. Aku kembali ke dapur melanjutkan kegiatan masakku. Mungkin nanti saat aku sudah menikah, aku dengan senang hati memasak berbagai macam hidangan enak permintaan suamiku. Aku menunggu suamiku nanti memuji hasil masakanku sama seperti yang ayah lakukan setiap hari untuk ibu. Pernah suatu hari masakan ibu terlalu asin, tapi ayah tidak marah. Ayah tetap bilang masakan ibu enak. Akhirnya ibu menyadari rasa masakannya saat beliau makan dan meminta maaf pada ayah. Setiap hari mereka selalu romantis. Aku ingin rumah tanggaku nanti seperti mereka. Romantis setiap waktu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!