Caira Maysa Nadhira yang akrab dipanggil Aira seorang gadis yang berasal dari kampung. Aira gadis yang pintar, melamar pekerjaan sebagai sekretaris dari salah satu perusahaan terkenal yang di pimpin oleh seorang pria tampan bernama Cristian Evander yang biasa dipanggil Evan.
Saat ini Aira telah menjadi kekasih Evan. Ia sangat bahagia karena bisa menjadi kekasih seorang CEO tampan. Padahal wajah Aira bisa dikatakan jelek untuk ukuran wanita kota yang terpolesi riasan dan skin care.
Aira merasa gadis paling beruntung. Evan memanjakan dirinya dengan membeli tas dan baju yang bermerek ternama.
Tapi kenyataan pahit harus Aira terima saat ia melihat dengan mata kepalanya Evan yang sedang bermesraan di ruang kerjanya dengan mentan kekasihnya.
Aira yang merasa sebagai kekasihnya Evan tak terima ada gadis lain yang memeluk dan mencium kekasihnya.
Darah Aira terasa mendidih dan ia emosi, tanpa pikir panjang Aira berjalan ke arah Evan dan Abel mantan kekasihnya.
Aira menarik rambut Abel keras hingga wanita itu tersungkur ke lantai.
"Dasar wanita kampungan!" teriak Abel.
"Apa yang kamu lakukan?" ucap Abel sambil memegang kepalanya yang terasa sakit karena tarikan Aira yang begitu keras.
"Aku yang seharusnya bertanya, apa yang kamu lakukan dengan kekasihku?" teriak Aira tak kalah emosi.
"Kekasih? Siapa kekasihmu? Evan ...? Kau bermimpi. Bangun dan sadarlah, Evan itu bukan kekasihmu."
Evan mendekati Abel dan membantunya berdiri. Abel meringis dan dengan manjanya memeluk Evan.
"Evan, katakan sebenarnya pada gadis buruk rupa ini. Agar ia terjaga dari mimipinya. Jika kamu itu tak pernah menyukai dirinya, apa lagi mencintainya. Kamu hanya berpura-pura suka hanya untuk membuat aku cemburu," ucap Abel dengan suara manja.
"Apa maksud wanita ini, Pak Evan? Tolong jelaskan!" ucap Aira gugup.
"Aku rasa kamu cukup mengerti dengan apa yang dikatakan Abel."
"Apa?" Aira menatap Evan tak percaya.
"Jadi benar selama ini kamu mendekati aku hanya untuk membuat mantan kekasihmu ini kembali?"
"Benar! Aku memang mendekatimu untuk membuatnya cemburu dan kembali padaku."
"Ta-tapi bukankah kau-"
"Aira, kamu coba berkaca. Aku menerima kamu bekerja karena kecerdasan kamu. Sebagai karyawan kemampuan dan kecerdasan kamu memang diakui. Tapi sebagai wanita, kamu jauh dari kriteria aku. Mungkin bukan aku saja. Tapi setiap pria pasti tak ada yang menginginkan memiliki kekasih seperti kamu. Wajahmu jauh dari cantik. Penampilan kamu apa lagi."
Aira menutup mulutnya. Merasa tak percaya dengan apa yang diucapkan pria di depannya itu.
Benarkah dia Evan? Pria yang bahkan beberapa menit yang lalu masih mengatakan cinta padanya?
Aira menarik napas panjang. Mencoba menahan air matanya agar tidak keluar. Napasnya terasa sesak seiring rasa sakit yang mengalir ke ruang hatinya.
"Pak Evan yang terhormat, terima kasih atas penjelasannya. Aku jadi sadar diri. Selama ini aku pikir kamu beda dari pria di luar sana yang hanya memandangi wanita dari fisiknya saja karena itu aku terbuai dengan rayuanmu."
"Sekarang kamu udah sadar, kan?" ucap Abel. Perempuan itu menatap Aira dengan senyum mengejek.
"Aku tidak tahu apa itu cinta, sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Tapi, saat ini juga aku tahu rasanya patah hati," lanjut Aira tanpa memedulikan ucapan Abel.
"Yang membuat aku patah hati sebenarnya bukan cinta, melainkan besarnya harapan yang kamu pertaruhkan untukku. Terima kasih telah memberi pelajaran, bahwa setiap luka akan menambah ketabahan dan selalu ada keindahan untuk dikisahkan." Aira mati-matian menahan air matanya. Sementara Evan terdiam menatap sekretarisnya itu.
" Aku akan meresapi semua makna di balik kenangan pahit yang kau berikan itu dan akan kujadikan pelajaran untuk menuju masa depan yang lebih baik. Mulai hari ini aku akan menjauh darimu. Aku mengundurkan diri dari perusahaan ini." Aira menarik napasnya. Mencoba tegar di depan pria itu. Aira tidak ingin terlihat rapuh di depan Evan.
Aira melangkah ke meja kerjanya dan menyusun semua perlengkapannya. Evan dan Abel kembali duduk di sofa memperhatikan apa yang Aira lakukan. Tampak gadis itu sedang mengetik sesuatu.
Lebih kurang lima belas menit, Aira berdiri dari duduknya. Ia berjalan mendekati Evan. Abel langsung memeluk lengan Evan begitu melihat Aira mendekati mereka.
"Ini surat pengunduran diriku. Jika aku masuk secara baik, aku juga ingin keluar dari kantor ini dengan cara baik juga."
"Aku akan mentransfer ke rekening uang pesangonmu!"
"Tidak perlu, Pak. Aku berterima kasih atas semua yang telah Bapak lakukan untukku. Aku banyak belajar dari Bapak. Bapak mengajarkan aku jatuh cinta, Bapak mengajarkan aku bagaimana dicintai, tapi Bapak juga mengajari bagaimana rasa sakit karena cinta palsu. Aku baru sadar tak ada gunanya menjadi Pelangi bagi orang yang buta warna seperti Bapak."
"Aku akan meresapi semua makna di balik kenangan pahit yang Bapak berikan ini dan akan kujadikan pelajaran untuk menuju masa depan yang lebih baik. Karena selama ini aku memang salah, aku hanya berharap pada manusia yang jelas-jelas membuatku kecewa. Seharusnya aku hanya berharap pada Tuhan bukan makhluknya."
"Aku berharap, suatu saat Bapak tidak akan menyesal karena sudah memilih kembali padanya!" Aira menatap perempuan yang saat ini memeluk Evan dengan manja. Kemudian ia melangkah pergi dengan membawa satu kardus peralatannya.
Evan melihat kepergian Aira dengan perasaan tak menentu. Dalam hatinya terdalam ia sadar telah melukai hati Aira begitu dalam. Tapi ia juga sadar jika tak ada cinta untuk gadis itu dihatinya. Cintanya hanya buat Abel.
Abel yang melihat Evan termenung, mengagetkan pria itu dengan mengecup bibirnya.
"Kenapa, Sayang? Jangan bilang kamu menyesal karena memutuskan si buruk rupa itu?"
"Apa aku tidak keterlaluan?"
"Apa maksud kamu,Sayang?" tanya Abel.
"Seharusnya aku memutuskan hubungan dengan Aira secara baik-baik bukan dengan cara begini."
"Kamu menyesal?"
"Udahlah, Sayang. Lebih baik lupakan saja yang terjadi. Kamu mau menggantikan Aira sebagai sekretarisku."
"Tentu saja, Sayang. Tapi kamu jangan bosan mengajari aku."
"Baiklah, kita mulai sekarang belajarnya." Evan mengajak Abel menuju meja kerjanya. Ia akan mengajari Abel bagaimana menjadi seorang sekretaris, karena Abel selama ini hanyalah model.
Tangis Aira akhirnya pecah di dalam taksi yang akan membawanya kekontrakan.
Akan aku jadikan sakit hati ini cambuk buat maju. Akan aku buktikan jika aku juga bisa lebih cantik dari kekasihmu itu. Akan aku buat kamu menyesal karena telah mempermainkan aku. Kamu bukan hanya menghina fisikku tapi harga diriku.
Sampai dikontrakan Aira langsung menyusun barang-barangnya. Ia tak ingin tinggal di sini lagi. Aira telah bertekad akan merubah dirinya. Tak akan ada lagi Aira si buruk rupa.
Aira pindah ke kota lain. Dengan uang tabungan yang ia miliki dari hasil menjual rumah peninggalan kedua orang tuanya Aira mencari tahu tentang perawatan wajah. Sejak hari itu ia ingin melakukan perawatan pada wajah dan tubuhnya. Ia ingin buktikan jika ia juga bisa cantik.
Bersambung
***************
Novel ini hasil Colab dari beberapa author noveltoon lainnya.
Ridz: Duda Salah kamar
Susanti 31: Hay pak guru
Nazwa Talita: Mati Rasa
Terima kasih untuk semua pembaca yang telah mampir ke novel terbaru mama ini.
Aira memasuki gedung tinggi itu dengan mata yang terus memancarkan kekaguman. Tak pernah ia menyangka akan diterima bekerja di perusahaan sebesar ini.
Aira mengirim lamaran setelah membaca di salah satu situs online jika perusahaan ini sedang mencari seorang sekretaris. Aira mencoba mengirim surat lamaran melalui email.
Satu minggu setelah mengirim email, Aira mendapat balasan jika ia diterima bekerja di sana. Aira memang memiliki kecerdasan yang luar biasa. Itu mungkin yang menjadi salah satu pertimbangan kenapa Aira bisa diterima sebagai sekretaris di perusahaan itu.
Aira yang tidak terbiasa memakai high hels terlalu tinggi, berjalan dengan sangat pelan menghampiri meja resepsionis. Ia takut terjatuh.
"Pagi, Mbak, ruang interview untuk sekretaris di mana?" tanya Aira sopan, tangannya bertumpu pada meja agar bisa berdiri dengan tegak.
Petugas resepsionis tak kunjung menjawab, ia hanya menatap remeh pada Aira. Benarkah wanita buruk rupa di hadapannya ini yang akan menjabat sebagai sekretaris Pak Evan yang nyaris sempurna?
Orang seperti dia diterima jadi sekretaris di perusahaan ini?
Wanita itu menatap Aira dari ujung rambut hingga kaki. Melihat penampilan Aira yang jauh dari kata sempurna sebagai sekretaris dari sebuah perusahaan ternama.
"Kamu bilang mau interview sebagai sekretaris?"
Aira mengangguk, membenarkan. Sebuah senyuman terukir di bibirnya hingga memperlihatkan giginya yang terpasang kawat gigi.
"Apa kau bercanda? Mana mungkin perusahaan ini menerima orang seperti kamu menjadi sekretaris?" Sang resepsionis menatap Aira dengan senyum mengejek.
"Kalau kamu tidak percaya, ini bukti kalau saya diterima di perusahaan ini." Aira dengan segera menunjukkan semua berkas yang sudah dia persiapkan.
Sang resepsionis tampak tidak puas, tetapi detik berikutnya dia langsung bangkit dari duduknya.
"Mari Saya antar!"
Aira mengangguk kemudian mengikuti petugas resepsionis itu menuju lift yang berbeda dari karyawan lainnya. Aira ikut berhenti saat wanita di depannya berhenti menunggu pintu lift terbuka.
Aira menarik napas berkali-kali guna menghilangkan kegugupan setelah petugas resepsionis meninggalkannya seorang diri di depan ruangan CEO.
Gadis itu memperbaiki kaca mata tebal yang melekat pada wajahnya sebelum mengetuk pintu berwana hitam berkilau di depannya.
Baru satu ketukan, suara bariton terdengar dari dalam. Aira menarik napas panjang mendengar suara jawaban dari dalam.
"Masuk!"
Perlahan-lahan ia membuka pintu, lalu menampilkan senyuman terbaik ala iklan pepsondent pada laki-laki yang kini duduk membelakanginya.
"Pagi Pak, nama saya Aira. Saya ...." Mulut Aira menganga saat seseorang yang membelakanginya itu kini berbalik menghadap ke arahnya.
Sosok mahluk tampan
dengan pahatan wajah hampir sempurna kini duduk di hadapannya.
Sepertinya, saat pembagian ketampanan sebelum lahir, pria di depannya ini ada diurutan paling depan, hingga pria itu tampak sempurna dan begitu mempesona.
Aira belum pernah melihat pria tampan sebelumnya, kecuali di layar televisi atau di dalam ponselnya. Gadis itu masih terdiam, terhipnotis oleh ketampanan pria di depannya.
Sama halnya dengan Aira, Evan pun tak kalah terkejutnya melihat penampilan juga wajah Aira. Bukan terpukau melihat kecantikan Aira, tetapi ia tak menyangka bahwa penampilan dan wajah Aira sangat jauh dari segalanya dengan mantan sekretarisnya terdahulu.
Rambut keriting sebahu, dengan kaca mata tebal berwarna pink. Sangat kampungan menurut Evan, apa lagi saat melihat wajah Aira yang tidak memakai polesan make up.
Hah! Pede sakali wanita ini bepergian tanpa polesan make up? Apa dia tidak sadar kalau wajahnya sangat jelek? Dasar buruk rupa! Tak tahu malu! Evan memaki dalam hati.
Pria itu meneliti penampilan Aira dari ujung kaki sampai kepala.
'Gila! Perempuan seperti dia yang akan menjadi sekretarisku?'
Jika bukan karena kemampuan juga kecerdasan Aira yang memenuhi standar, Evan tidak akan menerimanya.
"Apa yang kau lihat? Tutup mulut itu!" tegur Evan.
Aira gelagapan, kemudian langsung menutup mulutnya dan mengusap sedikit air liur di sudut bibirnya dengan tangan, membuat Evan semakin kesal dan jijik melihatnya.
"Cuci tanganmu, saya tidak suka mempunyai sekretaris jorok sepertimu!" seru Evan dingin.
"Maaf ... maaf, Pak." Aira menunduk berlari ke arah pintu dengan susah payah karena high hels di kakinya. Baru saja akan membuka pintu, suara Evan kembali terdengar.
"Siapa yang menyuruhmu keluar? Cuci tanganmu di sana!" Pria itu menunjuk wastafel di sudut ruangan, di sana lengkap tersedia tisu juga handsanitaiser.
***
Wawancara berjalan dengan lancar walaupun sering kali jawaban Aira sedikit melenceng dari pertanyaan Evan. Kini sesi mengoreksi penampilan tiba, sesi yang ditunggu-tunggu Evan sedari tadi.
"Mulai besok kau sudah mulai berkerja, tapi ubahlah sedikit penampilanmu itu, penampilanmu jauh di bawah standar perusahaan ini. Rokmu terlalu panjang untuk ukuran sekretaris, usahakan pakai rok di atas lutut. Gunakan sedikit makeup agar wajah jelekmu sedikit tertutupi!"
"Ba-baik, Pak," jawab Aira gugup. Ia sebenarnya sedikit tersinggung mendengar ucapan Evan, tetapi ia juga sadar jika apa yang Evan katakan itu benar adanya.
"Jangan cuma baik Pak, baik Pak. Tapi dengarkan dan patuhi!"
"Iya, Pak."
"Pergilah!" hardik Evan.
"Sekarang, Pak?" tanya Aira bingung.
"Tahun depan!" jawab Evan.
Aira yang tidak tahu apa-apa dan masih polos, menurut saja apa yang dikatakan Evan, yaitu berdiri di seberang meja menunggu intruksi selanjutnya.
"Kenapa masih di sini?" ucap Evan dengan sedikit kesal.
"Tadi kata pak Evan saya perginya tahun depan," jawab Aira.
"Aira!" Evan mengeram kesal dengan gigi bergemeletuk.
"Keluar dari ruangan saya sekarang! Saya beri kamu waktu hari ini untuk mempelajari denah-denah perusahan juga tempat-tempat penting di sini!"
"Baik, Pak."
"Jangan lupa beli pakaian baru, saya mau besok penampilan kamu berubah, tidak seperti hari ini!" Evan menatap Aira dengan tajam.
Tanpa bertanya lagi, Aira keluar dari ruangan Evan, mengelilingi perusahaan seperti anak hilang. Aira tergolong wanita pintar, juga bodoh dalam beberapa hal, salah-satunya sedikit bodoh tentang dunia luar.
Beberapa kali ia berkekeliling dan sampai di tempat yang sama berulang kali, padahal perusahaan ini sangat luas, bukannya mendapat pemahaman, malah rasa sakit di bagian kaki yang ia dapatkan karena berjalan terlalu lama dengan High hels.
Dering telepon membuyarkan lamunan Aira di ujung tangga entah menuju kemana. Ia mengambil benda pipih itu dengan terburu-buru di dalam tasnya, langsung menjawab panggilan setelah mengetahui itu dari Evan.
"Kamu masih ada di kantor kan?"
"Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?"
"Buatkan saya kopi sekarang, dan bawa keruangan saya!"
"Baik, Pak."
Tugas baru untuk Aira, kini dirinya harus mencari di mana letak pantry kantor, untuk membuat kopi.
Sekarang Aira ada di lantai tiga, ia berjalan mengahampiri beberapa karyawan yang sedang berkerumun entah membicarakan apa.
"Maaf, boleh saya tahu letak pantry ada di mana?"
"Karyawan di bagian apa?" tanya salah satu dari mereka.
"Saya sekretaris baru pak Evan." Aira menjawab dengan tersenyum.
"Yang benar saja, sekretaris baru pak Evan modelan kayak gini? Mimpi kamu ya?" cibirnya.
"Jadi OB di perusahaan aja kayaknya mustahil diterima, apalagi sekretaris bagi Bapak Evan yang terkenal sangat perfeksionis?"
Aira menunduk, jujur saja ia merasa kesal dengan hinaan mereka, tetapi apa boleh buat, ia masih baru di sini dan tidak boleh mencari masalah.
"Pantry khusus CEO ada di lantai atas, satu lantai dengan ruangan pak Evan," ujar seseorang yang baru saja dari toilet.
"Makasih, Mbak."
Aira berjalan tergesa menuju lantai atas. Hampir saja ia tersungkur.
Bersambung.
Novel ini hasil collab beberapa penulis. Bab kedua ini ditulis oleh Susanti 31.
_*Susanti*_, dengan nama Pena *Susanti 31* merupakan seorang Penulis Wanita berusia 19 tahun asal Makassar.
Ia pertama kali berkarir diPlatfoarm Noveltoon pada tahun 2020 dengan Karya *Terpaksa Menikah* saat ini dia juga tengah digandrungi pembaca lewat Novel *Hay Pak Guru*
Karena novelnya itu, Penulis yang kerap kali mengaku sebagai Istri dari Eun Woo ini mendapatkan julukan *Sarjana Perbucinan*
Terima kasih.
Evan menatap ponselnya dengan kesal. Berulang kali dia menelepon Abel, tetapi perempuan itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Saking kesalnya, Evan sampai melempar ponsel itu hingga hancur dan berserakan di lantai.
Sial! Aku benar-benar tidak terima Abel memutuskan hubungan denganku begitu saja.
Evan mengepalkan tangannya erat. Bayangan wajah cantik Abel dan sikap manjanya terlintas. Dia benar-benar sangat mencintai perempuan itu, makanya Evan sungguh tidak terima saat Abel memutuskan jalinan kasih mereka begitu saja.
Abel adalah satu-satunya perempuan yang sangat dekat dengannya selama ini. Selain seorang CEO yang sangat tampan dan sempurna, Evan adalah tipe laki-laki setia. Pria itu pasti akan melakukan apa saja demi membahagiakan orang yang dicintainya.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Evan. Belum sempat Evan menyuruh masuk, wajah Aira dengan senyum ceria masuk ke ruangannya.
Namun, Aira yang terburu-buru dan tidak melihat serpihan ponsel Evan yang berserakan di lantai, langsung terpeleset dan jatuh di depan Evan. Perempuan itu menjerit saat tubuhnya rampingnya menyentuh lantai cukup keras.
Sepatu hak tingginya tanpa sengaja menginjak ponsel Evan, hingga membuat gadis itu hilang keseimbangan dan akhirnya terjatuh dengan posisi mengangkang di hadapan Evan yang sedang duduk dengan kesal di kursi kebesarannya.
Rok pendek Aira terangkat, hingga memperlihatkan sesuatu yang seharusnya tidak terlihat terpampang jelas karena posisi kakinya yang terbuka.
Wajah Evan memerah, antara marah dan ... entahlah!
'Perempuan itu benar-benar!'
"Airaa ...!"
Evan bangkit dari duduknya. Sementara Aira dengan cepat mencoba bangun. Namun, sepertinya sepatu high heel itu memang tidak bersahabat dengan Aira. Saat gadis berkacamata itu berusaha bangun, kakinya justru kembali terpeleset, hingga akhirnya dia kembali terjatuh. Rok pendek yang tadinya hanya tersingkap setengah paha, kini semakin naik ke atas hingga memperlihatkan pakaian dalamnya.
Melihat itu, wajah Evan langsung bertambah merah.
"Aira! Cepat bangun dan bersihkan kekacauan yang kau buat!" teriak Evan penuh amarah.
"Siapkan laporan untuk meeting sebentar lagi!" Pria itu kemudian beranjak keluar dengan membanting pintu ruangannya.
'Sialan!'
'Gadis jelek itu benar-benar ....'
"Brengsek!" Mulut Evan tidak berhenti memaki.
Bayangan saat Aira jatuh tadi kembali terlintas membuat wajah Evan kembali memerah dan mengumpat kesal.
"Sial!"
***
Aira dengan susah payah bangkit. Wajahnya memerah karena malu.
'Bisa-bisanya aku jatuh di depan Pak Bos.'
Aira berteriak sambil menutup wajahnya.
Aira menatap sepatunya. Gara-gara sepatu hak tingginya itu, dia beberapa kali harus menanggung malu karena sering terpeleset dan terjatuh.
Rasanya, dia ingin sekali membuang sepatu itu. Namun, saat mengingat peraturan bos tampannya yang selalu mengkritik penampilan Aira, gadis itu menjadi dilema.
Aira kemudian membereskan kekacauan yang terjadi di ruangan Evan. Setelah selesai, gadis itu kemudian menelepon seseorang untuk membelikan ponsel yang baru sesuai perintah bosnya.
Sebelum Evan membanting pintu, mahluk tampan yang kini menjadi idolanya itu berteriak menyuruhnya membeli ponsel baru.
Selama beberapa hari bekerja di perusahaan ini, ini adalah ketiga kalinya Evan membeli ponsel baru setelah ponsel sebelumnya juga berakhir dengan nasib yang sama. Hancur berkeping-keping!
***
Evan kembali masuk ke dalam ruangannya. Wajahnya masih terlihat kesal. Pandangannya tak berhenti menatap Aira yang saat ini sedang membacakan persiapan meeting yang akan berlangsung sebentar lagi.
Evan memaki dalam hati ketika bayangan saat Aira jatuh kembali berputar di kepalanya.
Rasanya, beberapa hari ini nasibnya memang sungguh sial. Diputusin pacar pas lagi sayang-sayangnya, dapet sekretaris yang penampilannya merusak mata.
'Lama-lama aku bisa gila. Tidak bisakah dia berpenampilan cantik sedikit saja?'
"Keluar!"
"Hah?"
"Keluar, Aira! Masuk kembali saat meeting akan dimulai!" teriak Evan.
"Ba-baik, Pak." Aira kemudian melangkah menuju pintu. Namun, belum sempat dua keluar, suara bos tampannya itu kembali terdengar.
"Jangan lupa, perbaiki penampilanmu. Klien hari ini sangat penting. Jangan sampai gara-gara penampilanmu, mereka kemudian kabur dan memutuskan kerjasama dengan kita." Evan menatap tajam ke arah Aira. Gadis itu tampak tersenyum, hingga memperlihatkan gigi kawatnya membuat Evan seketika mual.
"Berhenti tersenyum! Cepat pergi dari sini!"
"Ba-baik, Pak!"
"Ikat rambut keritingmu dan polesi wajahmu dengan makeup! Kalau kau masih saja terlihat jelek, aku akan langsung memecatmu!"
Suara Evan menggelegar ke seluruh ruangan. Aira menutup pintu dengan pelan, kemudian menyandarkan tubuhnya dibalik pintu. Aira memegangi dadanya yang berdebar-debar. Gadis itu mengatur napasnya yang naik turun seperti habis lari maraton.
'Huh! Kenapa jantungku berdetak kencang dan dadaku berdebar-debar setiap kali berdekatan dengan Pak Evan?'
Aira kemudian bergegas ke ruangannya. Sementara itu, di dalam ruangan Evan, pria itu masih terlihat kesal.
Kesal dan marah karena sampai saat ini, Abel belum juga bisa dihubungi. Perempuan itu sepertinya sangat sibuk dengan urusannya, hingga Evan sangat susah untuk menghubunginya.
'Kenapa sampai sekarang aku belum bisa menerima keputusanmu Abel?' Evan menyandarkan kepalanya sambil mengingat semua kenangannya bersama sang kekasih.
'Harusnya kau tahu, kalau aku benar-benar mencintaimu. Lagipula, bukankah selama ini kita tidak ada masalah? Kenapa tiba-tiba dia memutuskan hubungan kita?'
Evan meremas rambutnya kasar. Pria itu benar-benar merasa kesal dan marah. Bukan hanya marah, tetapi juga sakit hati. Bagaimana tidak sakit hati? Abel adalah satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya. Selain Abel, tidak ada perempuan manapun yang dekat dengannya.
Abel adalah perempuan pertama yang membuatnya jatuh cinta. Perempuan cantik itu adalah seorang model terkenal. Evan bertemu dengan Abel pada saat menghadiri jamuan makan malam dengan beberapa kolega bisnisnya.
Saat itu, Evan sangat terpesona melihat penampilan Abel yang terlihat begitu anggun dan sangat cantik. Pria itu jatuh cinta pada pandangan pertama.
Evan tersenyum sendiri saat ingatannya kembali ke masa lalu.
Lamunannya terhenti saat dering ponselnya berbunyi. Ponsel itu adalah ponsel Evan yang lain karena ponsel yang dilempar Evan adalah ponsel khusus yang hanya menyimpan nomor ponsel Abel.
Rahang pria itu mengeras saat ia mendengar ucapan orang yang kini sedang meneleponnya. Tak berapa lama kemudian, Evan mengakhiri panggilan teleponnya.
Detik berikutnya, sebuah pesan video masuk ke ponselnya. Evan mengusap layar ponselnya, amarahnya naik seketika saat melihat video yang kini sedang memperlihatkan perempuan cantik yang sedari kemarin tidak bisa ia hubungi sedang berpelukan mesra dengan seorang pria di tepi pantai.
Perempuan itu tampak bahagia, berjalan beriringan sambil sesekali saling berpelukan.
'Abel, jadi ini alasanmu memutuskan hubungan kita?' Evan mengepalkan tangannya erat.
'Lihat saja, aku pasti akan mencari cara agar kau bisa kembali padaku, Abel. Karena kau hanya milikku, tidak ada seorang pun yang boleh memilikimu, kecuali aku!
Bersambung.
*****************
Bab ini ditulis oleh Author Nazwa Talita.
'Menggunakan nama Pena _*Nazwatalita*_ yang merupakan gabungan dari nama kedua anaknya, seorang wanita berstatus ibu rumah tangga asal Bumiayu, Brebes ini mencoba peruntungannya di dunia kepenulisan pada Juli 2020
Ia mengawali karirnya dengan Novel *Cinta Karmila* dan banyak dikenal melalui novel *Mati Rasa*
Wanita satu ini juga sedang menggarap novel bertemakan Poligami yang juga merupakan Kolaborasinya bersama Author lain yaitu *Dia Juga Suamiku* karena tulisannya ia mendapatkan Gelar *Sarjana Perbawangan*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!