Baru saja menginjakkan kaki disekolah, dirinya sudah diseret teman sekolahnya sendiri menuju gudang di ujung koridor yang jarang dilalui siapapun. Dirinya terus meronta agar kedua laki-laki itu melepaskannya.
"Lo mau bawa gue kemana? gue mau belajar, lepasin gue, gue mohon," pinta Kika.
Kika Naziah gadis yang sering di panggil buruk rupa karena wajah dan penampilannya. Rambut di kepang dua dengan kaca mata tebal selalu melekat di wajahnya. Dirinya selalu menjadi korban buli di sekolah karena tidak punya apa-apa.
Semakin ia meronta makan semakin erat cekraman laki-laki yang menyeretnya ke gudang, entah apa salahnya hingga ia di perlakukan buruk oleh taman-temannya. Apa hidup sebatang kara juga miskin suatu kesalahan di mata teman-temannya? jika boleh memilih ia juga tidak ingin hidup seperti ini. Hidup tanpa orang tua dan banting tulang demi membiyayai dirinya sendiri agar tetap hidup.
"Diamlah gadis udik!" maki salah satu laki-laki semakin menyeret tubuh Kika.
"Gue nggak punya masalah sama kalian, jadi plis jangan ganggu hidup gue!" mohon Kika.
"Lo ada masalah sama bos kita karena lo jelek dan jadi sampah di sekolah ternama ini."
Tubuhnya terpental kala laki-laki yang menyeretnya mendorongnya masuk ke gudang lalu menutupnya dengan kasar. Matanya membulat sempurna melihat siapa yang ada di dalam gudang.
Laki-laki berbadan tegap tengah berdiri di hadapannya dengan teman-teman juga pacarnya. Namanya Virgo Verdinan, laki-laki yang di panggil bos oleh cowok yang menyeretnya tadi. Laki-laki Arogan yang selalu menyiksa selama sekolah pindah ke sekolah ini dengan bantuan Beasiswa.
"Vi ... Virgo," lirih Kika.
"Beraninya lo nyebut nama bos kita dengan mulut kotor lo itu," Mendorong tubuh Kika hingga terduduk di lantai kotor.
Kika hanya bisa pasrah, memperbaiki kaca mata tebalnya yang melorot, hendak berdiri tapi pundaknya di tekan oleh kedua laki-laki yang menyeretnya tadi. Ia meringis kesakitan tapi tak urung mengeluarkan air mata walau setitik pun. Dirinya selalu memegang tenguh, sesulit dan sesakit apapun yang ia hadapi, ia tidak akan meneteskan air mata di hadapan orang lain. Karena mereka tidak akan ada yang peduli, jikapun ada yang bertanya mungkin bukan kerena peduli tetapi penasaran dengan kisah hidupnya.
Tangan Virgo terkepal melihat Kika diam saja tanpa penolakan, bahkan gadis itu tak neteskan setitik air mata. Ini yang membuat Virgo selalu menyiksa Kika karena ingin melihat gadis itu menangis dan memohon-mohon padanya, tapi gadis itu tak pernah sekalipun mewujudkan keinginnya.
"Sayang mana hadia ulang tahun ku," manja seorang gadis di samping Virgo, bergelayut manja di lengan laki-laki itu.
"Dia hadiah mu," jawab Virgo menunjuk kearah Kika.
"Hadiahku?" beo gadis cantik di samping Virgo.
"Selamat ... ulang ... tahun ...." Semua yang ada di dalam gudang mulai bernyanyi lagu ulang tahun untuk pacar Virgo, tetapi tangan mereka tak tinggal diam melempari Kika telur dan beberapa tepung juga adonan kue lainnya, hingga tubuh gadis itu penuh akan bahan-bahan kue.
"Bagaimana sayang hadiah ulang tahunnya? menyenangkan bukan?" tanya Virgo memainkan rambut indah sang pacar.
"Ini adalah hadiah terbaik sepanjang hidupku."
Kika hanya bisa menunduk, menghapus sedikit demi sedikit telur juga tepung yang mengenai wajahnya bahkan ia sudah tidak tahu di mana letak kacamatanya, karena tadi salah satu teman-teman Virgo mengambilnya.
Byurr
Air got yang baru saja di bawah salah satu laki-laki kini membasahi seluruh seragam Kika, bau menyengat mulai menguar di dalam gudang itu, hingga yang lainnya menutup hidung masing-masing sembari menertawakan kesialan Kika di pagi hari.
"Tada ... kue sudah jadi!" seru Celin teman pacar Virgo. Mereka kembali tertawa, puas rasanya mengerjai siswa pindahan yang berhasil masuk hanya karena beasiswa padahal sekolah mereka sekolah ternama.
Tak ada yang bisa di lakukan Kika selain menerima bulian juga perlakuan tak semena-mena Virgo dan teman-temannya. Dirinya hanya bisa diam dan mengalah, ia tidak punya apa-apa untuk melawan. Jikapun berani maka beasiswanya akan terancam punah, karena ayah Virgo salah satu orang berpengaruh di sekolah ini.
Kika berlari menyusuri koridor yang kini mulai sepi karena jam pelajaran di mulai lima menit yang lalu. Ia menuju loker untuk mengambil baju olahraga lalu masuk ke kamar mandi. Merosotkan tubuhnya ke lantai kamar mandi sembari menangis di bawah guyuran air shower.
Usai membersihkan diri dan menganti baju, Kika melangkah perlahan dengan kepala menunduk menuju kelasnya, di untungkan belum ada guru yang masuk. Ia mendudukkan diri di bangku ke dua dari depan, ia duduk seorang diri karena tidak ada yang ingin berteman dengannya.
"Eh kalian nggak nyium bau sesuatu nggak?" celetuk salah satu siswa tepat di depan bangku Kika.
"Ada, bau busuk gitu." Mereka kompak menutup hidung masing-masing lalu menatap Kika.
"Sepertinya ada yang habis mandi air got deh," celetuk Virgo menyeringai kearah Kika.
"Emang nggak ada air apa sampai harus mandi air got," sahut yang lainnya mulai memojokkan Kika.
"Tau sendirian dia orang miskin, mana mampu beli air bersih, minum aja mungkin air ...."
Tawa mereka meledak, berhasil membuli Kika, tetapi yang di buli fokus pada buku paket di depannya.
...****************...
Hay selamat datang di cerita baru dedek, jangan lupa meninggalkan jejak ya.
Sepulang sekolah, Kika hanya mampir kerumahnya untuk membersihkan tubuhnya yang bau amis juga menganti bajunya dengan yang lebih layak, setelahnya ia pergi lagi untuk berkerja paruh waktu di sebuah toko swalayan di sekitar lingkungannya.
Sepanjang jalan ia hanya bisa menunduk karena tatapan para tentangganya. Bukan hanya di sekolah tapi di lingkungan rumahpun ia mendapat perlakuan buruk.
"Maaf Nyonya saya terlambat," ujar Kika menunduk di depan pemilik toko swalayan.
"Kamu niat bekerja atau tidak? ini bukan pertama kalinya kamu terlambat!" omel pemilik toko. "Kalau sampai kamu terlambat lagi, tidak usah berkerja di toko saya lagi, sudah untung saya mau memperkerjakan kamu!"
"Maaf Nyonya."
"Sana kerjakan tugas kamu, dasar buruk rupa!" maki pemilik toko.
Lagi dan lagi Kika hanya bisa menerima makian itu untuknya. Bekerja dengan tekun untuk menghidupi dirinya sendiri. Ia sadar penampilan juga wajahnya jauh dari kata cantik karena tidak terawat. Ada keinginan dalam dirinya untuk merawat tubuhnya, tapi apalah daya, uang untuk makan saja ia harus banting tulang.
Seperti biasa Kika akan bekerja hingga jam depalan malam, selama itu pula ada saja yang menghina dirinya, apa lagi jika ia tidak sengaja bertemu salah satu teman sekolahnya di tempat kerja.
"Sabar Kika, demi masa depan lo," ujarnya pada diri sediri.
Usai bekerja, Kika pulang kerumahnya, ia mengernyit saat kotak kecil berada di depan rumahnya. Kotak misterius yang selalu ia dapatkan beberapa bulan terakhir dari orang yang tidak di kenalnya.
Di ambilnya kotak itu lalu memeriksa nama pengirimnya, nol besar, hanya ada alamat rumahnya di sana.
"Siapa sebenarnya orang misterius itu? kenapa dia begitu baik selalu mengirim barang-barang yang aku butuhkan?" gumam Kika membawa kotak itu masuk kedalam rumahnya, lalu meletakkan di atas meja.
Kika terlebih dulu membersihkan tubuhnya, setelah itu kedapur untuk membuat makan Ala kadarnya sesuai bahan yang mampu ia beli. Setelah makan Kika kembali ke meja untuk memeriksa isi kotak itu. Senyumnya mengembang saat melihat kotak kacamata mines. Orang misterius itu selalu tahu apa saja yang ia butuhkan. Dulu sepatu juga tasnya robek karena ulah Virgo dan teman-temannya kotak misterius muncul di depan rumahnya berisi tas juga Sepatu.
"Siapapun kamu, aku sangat berterimakasih kasih karena bersedia menolongku!" teriak Kika berharap orang misterius itu masih berada di sekitar rumahnya dan mendengar ucapan terimakasihnya.
Awalnya ia sedikit takut dengan orang misterius itu karena tahu segala apa yang ia lakukan, tapi seiring berjalannya waktu ia merasa terlindungi dengan keberadaan orang itu di sekitarnya. Bahkan ia sering merasa saat pulang kerja ada yang mengikutinya diam-diam, tapi tak pernah terjadi sesuatu padanya. Jadi ia meyakinkan diri bahwa itu adalah orang misterius. Katakanlah ia terlalu pede karena ada orang yang sembunyi-sembunyi membantunya, tapi itu yang ia rasakan saat ini.
Sebelum tidur, Kika tak lupa belajar dan mengerjakan tugas-tugas Virgo juga yang lainnya jika tak ingin mendapat masalah di sekolah.
Bangun lebih awal, dan berangkat sekolah adalah kebiasaannya agar tidak terlambat karena ia harus jalan kaki untuk menghemat uang. Jarak rumah dan sekolah Kika tempuh kurang lebih satu jam.
Ia menghela nafas panjang saat akan berbelok di perpatan menuju sekolah, neraka segera di mulai, apa lagi sudah jam tujuh lewat, sudah banyak anak sekolah yang datang. Kika menundukkan kepalanya tak ingin melihat tatapan memojokkan dari teman sekolahnya. Ia harus kuat menghadapi semuanya dan bersabar demi masa depan yang cerah.
Pletak
Kika mengusap kepalanya saat botol air minum mendarat di sana, ia mendongak dan mendapati Virgo di atas mobil hitam tengah tersenyum mengejek kearahnya.
"Ups, sengaja, gue kira tempat sampah," ujar Virgo.
Kika tak menjawab, mengambil botol air minum itu lalu melemparnya ke tempat sampah, kembali berjalan menuju sekolah.
"Sepertinya penampilan lo lebih cocok jadi pemulung di banding jadi siswa di sekolah ini."
"Benarkah?" Kika berhenti dan menatap Virgo.
"Wah nantangin dia bos!" Salah satu teman Virgo mengompor-ngompori.
"Beraninya lo natap gue!"
"Gue punya mata, dan gue punya hak natap siapa aja termasuk lo," jawab Kika. Setelah mengatakan itu Kika berjalan lebih cepat, meruntuki dirinya yang terlalu lancang menjawab pertanyaan Virgo.
Sepanjang jalan Kika terus memukul bibirnya, hingga tak sengaja menambrak Celin teman pacarnya Virgo.
"An*jir, beraninya lo nyentuh gua gadis buruk rupa!" kesal Celin mendorong tubuh Kika sekuat tenaga.
"Maaf gue nggak sengaja."
"Alasan!" Menjambak rambut Kika hingga terjadi jambak-jambakan di antara mereka. Bukannya Kika melawan, ia hanya membela diri dengan menarik rambut Celin agar melepaskan jambakan di rambutnya.
"Ada apa ini?" tegur Ibu Reta.
Celin melepaskan jambakan rambutnya, lalu menangis terseduh-seduh, merasa paling tersakiti.
"Kika datang-datang jambak rambut saya bu, padahal saya nggak tau apa salah saya." Tangis Celin mendramatis.
"Benar begitu Kika?"
"Nggak bu, saya hanya ...."
"Bohong, saya liat sendiri tadi Kika lebih dulu menjambak rambut Celin," ujar Virgo yang baru saja datang.
"Kika, ikut ibu ke kantor sekarang!" perintah Bu Reta tegas.
...****************...
Jangan lupa like, komen dan vote. Mampir juga di cerita dedek "Cinta dan Masa Lalu"
Kurang enak badan, membuat Kika hari ini tidak masuk sekolah, ia mengurus dirinya seorang diri karena tak ada orang tua yang merawatnya. Tubuh lemas tak membuatnya putus asa, ia berjalan ke toko sebelah rumahnya untuk membeli obat eceran karena tak punya uang untuk kerumah sakit. Mengistirahatkan tubuhnya setelah minum obat, berharap saat bangun nanti tubunya sudah fits.
Waktu istirahatnya terganggu saat mendengar suara ketukan pintu lumayan keras, dengan tubuh masih lemas, Kika berjalan kearah pintu lalu membukanya. Ia tersentak saat tahu siapa yang bertamu siang hari di rumahnya.
"Vi ... Virgo," lirih Kika. "Apa yang lo lakuin di sini?"
"Tentu saja jenguk lo, rasanya hampa tanpa ada mainan di sekolah. Benar begitu sayang?" jawab Virgo sembari memandang remeh pada Kika di ambang pintu.
Tubuh Kika terhempas ke pintu saat pacar Virgo mendorongnya lalu masuk begitu saja kerumahnya.
"Ada tamu bukannya di ajak masuk, malah di suruh panas-panasan di luar. Adab lo mana? Rumah kek kandang ayam aja songong banget," gerutu Selina pacar Virgo, berdiri di depan kursi usang menunggu Kika membersihkannya, dirinya tak sudi jika harus duduk di sana.
"Lalu di mana adab lo sebagai tamu? Datang kerumah orang, tanpa di persilahkan, masuk begitu saja?" sahut Kika tak tahan lagi, rumah ini peninggalan orang tuanya, tak seburuk yang di bicarakan Selina. Tetapi dengan tega Selina mengatakan rumahnya seperti kandang ayam.
"Sayang, lihatlah dia berani menjawab perkataanku, bukankah dia sudah sangat lancang. Aku hanya bicara yang sebenarnya," adu Selina pada Virgo yang kini masih berdiri di ambang pintu.
Virgo yang bucinnya sudah di ubun-ubun dan tak tertolong lagi, menatap tajam pada Kika yang kini hanya berdiri saja sangat sulit karena tubuhnya yang lemas juga pusing.
"Lo berani nantangin gue, hm." Mencengkram rahang Kika hingga membuat gadis itu meringis. "Jaga sikap lo sama Selina atau Beasiswa lo gue cabut, sudah untung lo bisa sekolah di sana!"
"Ma ... maaf," lirih Kika berusaha melepaskan cengkraman Virgo. "Apa yang membuat kalian kesini? tugas kalian? gue uudah mengerjakan semuanya," lanjut Kika dengan terbata-bata.
"Cepat ambil, gue nggak sudi berlama-lama di rumah kumuh ini, sangat panas!" perintah Selina.
Dengan menahan rasa sakit, Kika berjalan terseok-seok ke kamarnya mengambil buku tugas Selina juga Virgo yang sudah ia kerjakan hingga larut malam. Memberikan pada laki-laki itu agar segera pergi dari rumahnya.
Sepeninggalan Virgo, Kika menutup pintunya dengan kaki bergetar, bersandar pada daun pintu dengan air mata membasahi pipinya. Rasa sakit di rahangnya, tak sebanding dengan sakit hatinya di perlakukan seperti ini.
Sampai kapan ... sampai kapan ya Tuhan! Engkau memberi cobaan ini padaku? Belum cukupkah rasa sakit saat engkau mengambil kedua orang tuaku tanpa ada keadilan menyertainya? Kenapa engkau juga menyiksaku seperti ini?
Kika mengusap air matanya dengan kasar. Teringat saat kematian orang tuanya dua tahun yang lalu. Tabrak lari yang berhasil menewaskan kedua orang tuanya, karena orang yang menabrak orang tuanya adalah orang berada, kasus di tutup begitu saja tanpa keadilan.
Tubuh Kika limbung tak sadarkan diri di balik pintu, membuat sosok laki-laki seumuran dengan Kika yang memperhatikan dari jauh lewat teropong melalui jendela segera menelfon Bosnya.
"Om, gadis itu pingsan di dalam rumah seorang diri setelah laki-laki yang sering membulinya berkunjung." Lapor laki-laki itu.
"...."
"Baik om."
Atas perintah orang yang di panggil Om, laki-laki yang sedari dulu memantau Kika dari kejauhan, menerobos masuk melalui jendela, lalu membopong tubuh lemah itu ke kamar. Memberi balsem yang kebetulan ada di dekat meja di dalam kamar Kika.
Beberapa menit menunggu, pria paruh baya yang di panggil Ompun sudah datang, dan Kika pun sudah sadar.
Mata gadis berkacamata itu mengerjap-erjap secara perlahan, tersentak saat mendapati dua orang laki-laki berbeda generasi berada di dalam kamarnya.
"Siapa kalian? Kenapa kalian berada di dalam kamar saya? Saya tidak punya uang, jangan sakiti saya Tuan," ujar Kika penuh ketakutan.
Cowok yang selalu memantau Kika selama satu tahun terakhir tersenyum sangat manis, lalu mengulurkan tangannya.
"Nama gue Panji. Lo nggak perlu takut, kita bukan orang jahat kok."
"Benar nak, kita bukan orang jahat," sahut pria paruh baya yang berdiri di samping Panji.
Dengan ragu, Kika meraih uluran tangan Panji. "Nama gue, Kika."
"Udah tau," seloroh Panji, mungkin karena sudah mengenal Kika kurang lebih satu tahun, walau gadis itu tak mengenalnya. Ada rasa gemas saat melihat Kika di siksa tanpa perlawanan, tapi apalah daya ia tak bisa muncul begitu saja tanpa perintah.
Kini Kika menatap pria paruh baya yang masih tersenyum manis padanya.
"Panggil saja Om Alan, sama seperti Panji manggil Om."
"Kalian siapa?"
"Gue Panji, orang yang selalu membawa kotak misterius dan selalu ngikutin lo saat malam hari, keren bukan?" bangga Panji.
"Benarkah? Makasih. Gue nggak nyangka masih ada orang sebaik lo."
"Om, haruskah aku menjelaskan siapa om sebenarnya?" tanya Panji menggunakan Aku-Kamu karena menganggap om Alan ayahnya.
"Tidak perlu, om bisa sendiri," jawab Om Alan dengan senyuman.
"Nama Om adalah Alan Maulana ketua agen mata-mata di sebuah perusahaan."
"A ... Agen mata-mata?" gugup Kika.
"Hem, Om menargetkan kamu sebagai anggota satu tahun yang lalu saat tak sengaja bertemu di jalan, Om mengikuti kamu sampai kerumah, ternyata benar kamu hidup sebatangkara. Melihat ketangguhan kamu menjalani hidup, om ingin merekrut kamu menjadi salah satu dari tim kami untuk menemani si bungsu Panji," jelas Om Alana menepuk pundak Panji.
"Jika kamu menerima tawaran Om, makan Om akan membiayai seluruh hidup kamu, menyekolahkan kamu di sekolah yang layak tanpa ada ya berani merundungmu. Kamu akan sekolah bersama Panji."
"Termasuk bisa mengubah penampilan juga wajah Saya?" lirih Kika.
"Tentu saja," celetuk Panji. "Lo nggak bakal nyangka gimana cupunya gue dulu, tapi berkat om Alan, gue jadi keren gini." Sombong Panji mengibas-ibaskan hodienya.
Tanpa berfikir panjang, karena ingin keluar dari jeratan Virgo, Kika menerima tawaran Om Alan, terlebih orang yang selama ini membantunya adalah Om Alan jadi tidak ada alasan untuknya menolak.
"Baiklah Om."
"Yuhu akhirnya gue ada teman juga, di markas semuanya om-om," girang Panji.
"Pelatihan pertama akan di mulai setelah kamu pulih, itu juga sebagai salam perpisahan untuk teman-teman kamu yang lain."
"Salam perpisahan? Pelatihan?" Bingung Kika.
"Keluarkan semua unek-unek yang ada dalam diri kamu pada mereka, lawan mereka semampu yang kamu bisa. Jangan takut apapun, ada om yang akan melindungimu. Lagian itu adalah hari terakhir kamu sekolah di sana."
"Hajar Kika!"
"Baik Om."
...****************...
Jangan lupa like, komen dan vote.
Mampir juga di Novel hasil Kolab dedek dengan beberapa author lain yang nggak kalah seru
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!