NovelToon NovelToon

Tambatan Hati

Awal Mula

"Ninda, Gibran lagi liatin kamu," bisik Risma ketika keduanya sedang berada di kantin yang cukup ramai.

"Mana?" tanya Aninda yang masih sibuk dengan sate ayamnya.

"Iiih, ituu, dua meja ngga jauh dari kita," tunjuk Risma dengan dagunya.

Saat Aninda mengarahkan matanya pada arah yang ditunjukkan Risma, keduanya pun saling bersitatap. Gibran bahkan terus menatapnya membuat ada riak di dada Aninda. Rasanya agak aneh bagi Aninda, tapi kemudian dia memalingkan wajahnya ke piring satenya.

"Ciieee,,, naksir kayaknya si Gibran," ledek Risma dengan wajah jahilnya.

Tanpa sadar Aninda tersenyum, tapi ngga menepis ledekan Risma.

Aninda teringat waktu pulang sekolah ketika dulu dia masih kelas dua SMP. Dia sempat melihat Gibran, dan terpaku sesaat. Mengagumi ketampanan Gibran.

Tapi beberapa hari kemudian, Aninda mendengar teman teman di kelasnya bergosip kalo Gibran sudah punya pacar, adik kelas mereka. Aninda tau cewe itu. Cantik. Cewe itu juga mengenalnya. Just hello and smile aja. Setelah itu Aninda ngga memperhatikan Gibran lagi.

Udah punya pacar, batinnya ringan Ngga ada di kamus Aninda buat jadi naksir pacar orang lain. Lagian Gibran terlalu jauh di atasnya. Ngga mungkin tergapai. Dan ngga mungkin juga mau meliriknya.

Bukan Aninda ngga percaya diri. Baginya yang setara dengannya aja banyak yang bisa dia pilih nanti, ngapain nyari yang ngga mungkin dia jangkau.

Aninda tersenyum lagi dengan pikiran gilanya. Seperti ada yang naksir aja, batinnya geli.

"Ciieeee, senyum senyum terus," ledek Risma lagi dengan wajah menggodanya.

"Abisin cepat makanannya. Ntar lagi bel masuk bunyi," kata Aninda mengingatkan sambil menunjukkan piring sate temannya yang masih tersisa separuh.

"Iya iya," tawa Risma kemudian mengambil satu tusuk satenya dan mulai menggigitnya.

"Pacarnya, kan, udah pindah, Nin. Pasti Gibran lagi jomblo," ucap Risma setelah menelan sate yang dikunyahnya dengan cepat.

Aninda ngga menjawab, sibuk menghabiskan satenya sambil berpikir.

Oiya, Marsha kan pindah ya, batin Risma. Tapi ngga mungkin jomblo. Ganteng dan tajir gitu, bantahnya dalam hati.

"Ini bukan sekali dua loh dia perhatiin kamu," cicit Risma lagi agar Aninda terpengaruh.

"Cuma lihat aja. Iseng, 'kali," tukas Aninda santai, walau hatinya menyangkalnya. Tatapan Gibran terasa beda.

"Nih anak kalo dikasih tau, susah banget,," sungut Risma.

"Tuh, dia liatin kamu lagi," kata Risma cerah lagi wajahnya.

Aninda ngga peduli. Dia terus aja makan satenya, tapi rasa satenya agak beda. Apa karena dicampur sama tatapan lembut Gibran?

Gila. Ngga mungkin kan cowo seperti Gibran suka sama dia. Lagian belum tau udah putus atau masih jalan terus sama pacarnya juga, sungut Aninda dalam hati.

Dia ngga boleh baper. Nanti jatuhnya sakit hati. Kelewat ge er.

"Kalo Gibran naksir beneran, kamu terima, Nin? Ganteng banget loh," kicau Risma lagi setelah menghabiskan sate terakhirnya.

"Ngga mungkin lah Ris. Cewenya aja cantik, modis lagi," tepis Aninda ngga mau memupuk rasa sukanya pada Gibran secara berlebihan.

Dia ngga berani berpikir sejauh Risma. Apalagi cuma ditatap aja masa udah yakin di taksir. Gibran pun bisa menatap siapa aja seperti itu.

Lagian kalo Gibran ternyata masih LDR an sama Marsha, bisa bisa dia jadi orang ketiga. Pelakornya.

Jaman sekarang pacaran jarak jauh biasa aja. Kirim pesan bahkan telpon via video juga mudah. Aninda yakin, hp keduanya pasti canggih. Secara, orang tua mereka juga tajir.

Nggak lah, tolak batin Aninda berkali kali.

"Katanya udah putus, Nin. Banyak yang bilang," kata Risma bersikeras.

"Nggak lah. Yuk, kita ke kelas," putus Aninda setelah keduanya sudah menghabiskan semuanya Sate dan es teh.

"Kamu ini. Padahal udah bisa menarik perhatian Gibran, malah ngga mau ditanggapi. Di sia sia in. Padahal yang mau di posisi kamu banyak loh," omel Risma sambil mengikuti langkah lebar Aninda meninggalkan kantin.

Tapi matanya kembali melirik Gibran yang ternyata tetap setia memandang Aninda.

Beneran naksir nih, tebak Risma sangat yakin.

Sementara Aninda berusaha tenang ketika berjalan meninggalkan kantin agar Risma ngga tau kegugupan dirinya. Langkahnya terasa ringan dan lagi lagi hatinya merasa aneh, karena Aninda yakin kalo Gibran sedang menatapmya saat ini.

Rutinitas Aninda

Ketika pulang sekolah, Aninda pun berjalan pelan bareng teman temannya yang searah jalan pulang. Rumah mereka ngga jauh dari SMP favorit ini. Sudah tiga tahun mereka menjalaninya bersama. Walaupun berbeda kelas, tapi karena rumah mereka searah, mereka selalu bersama.

"Gibran ganteng ya," cetus Dita ketika melihat Gibran bersama teman teman se gengnya yang tentu saja yang sama sama satu level.

"Dio juga tampan. Anggara juga," tambah Ratih memuji.

"Mereka tampan tampan semua. Revi, Hexa, Mario. Seandainya kita bisa dekat dengan mereka," kata Dewi penuh harap.

"Lho, kamu kan sekelas dengan mereka bertiga itu," tukas Dita sambil melirik sebal dengan sikap norak Dewi.

"Iya, tapi mereka sombong," kilah Dewi bete.

"Tapi kalo sama Kalia cs, mereka baik banget," tambahnya dongkol.

"Wajarlah. Kan, jelas beda sama kita. Kalo dengan Kalia, mereka satu level," tukas Dita menyindir membuat Aninda dan Ratih menyembunyikan senyumnya.

Dewi hanya mendengus kesal.

Memang terasa gap antar yang kaya dan yang miskin di sekolah mereka. Mereka pun mencari aman dengan berteman yang selevel saja.

Kebetulan juga Aninda dan teman temannya dari kalangan biasa biasa aja. Jadi mereka bisa cocok walaupun kadang ada pertengkaran pertengkaran kecil antara Dita dan Dewi. Mereka berdua sama keras dan judesnya, ngga ada yang mau mengalah. Aninda dan Ratih yang selalu mengalah dan menjadi penengah jika keduanya cekcok mulut.

Hanya saja Aninda sedikit berbeda. Dia memiliki keluarga besar yang kaya raya dan terpandang.Tapi Aninda selalu merasa tersisihkan. Mereka cukup.baik, hanya kadang suka menyindir. Aninda yang tau diri memilih menghindar atau hanya diam saja jika terpaksa.harus berkumpul. Terutana jika mendapat sindiran pedas.

Aninda ngga pernah merasa pe de jika harus bergaul dengan kalangan high class.di sekolahnya. Dia paling hanya melemparkan senyum dan menjawab seadanya jika mereka bertanya padanya.

Makanya dia cukup bingung untuk menanggapi sikap aneh yang ditunjukkan Gibran. Apakah serius atau hanya penasaran saja.

Lagi pula Gibran sejauh ini hanya memandangnya saja, ngga ada sikap menyolok lainnya. Misalnya menyapanya. Sama sekali ngga pernah dilakukannya

"Kita pisah di sini, ketemu besok," kata Dita sambil melambaikan tangan. Itu adalah perempatan dimana mereka akan melanjutkan perjalanan sendiri sendiri pulang ke- rumah. Sidah ngga jauh lagi.

Aninda berjalan pelan. Di kepalanya masih teringat, Gibran tadi juga sedang menatapnya dalam banget ketika Aninda dan teman temannya melewatinya. Untungnya teman temannya ngga sadar.

Kalo Dita, dia garis keras. Dia membenci cowo cowo kaya yang sombong. Dewi yang judes pasti akan memberikan penyangkalan saking ngga percayanya. Sedangkan Ratih ngga akan mengatakan apa apa, karena merasa bukan urusannya.

Mereka dekat dengan berbagai kepribadian mereka yang kompleks. Tapi walau begitu, mereka akan saling membantu jika ada yang kesusahan.

Begitu sampai di rumah, Aninda tersenyum pada neneknya yang sudah menunggu bersama tetangga sebelah rumahnya

"Udah pulang? Bibi pulang dulu ya," ucap Bibi Anne yang berunur lima puluhan.

"Iya Bi, makasih," jawab Aninda ramah.

"Besok ngobrol lagi ya, Nenek Ninda,"

"Iya, Mama Anne."

Aninda dan Neneknya pun tersenyum sampai Bibi Anne masuk ke dalam rumah.

"Masuk, ganti baju, makan," titah Nenek sambil meraih tangan Aninda, berjalan memasuki rumah kecil mereka.

Setelah menuruti semua perintah neneknya, Aninda pun menemani neneknya nonton TV sambil mendengarkan nenekmya bercerita.

Mama dan papanya bekerja sebagai guru di sebuah yayasan swasta. Aninda hanya anak tunggal. Tapi papanya memiliki beberapa dua buah rumah kos kosan. Sehingga bisa membantu perekonomian keluarga mereka.

Sebelum jam tiga sore, Aninda sudah membantu mengangkat jemuran. Dia bersama neneknya akan melipat baju baju sambil nonton tv dan mengobrol penuh tawa.

"Nanti les?" tanya nenek sambil tangannya terus melipat baju.

"Iya, nek. Seperti biasa," jawab Aninda santai. Seminggu dua kali dia berangkat les. Tapi yang jadi pikirannya, udah tiga kali ini, Gibran seperti memperhatikanya ketika melewati rumah mewahnya.

Aninda hanya berjalan kaki saja untuk berangkat les, yang jaraknya hampir sama seperti kalo berangkat ke sekolahnya.

"Nenek sendiri lagi. Semoga ada sepupu kamu yang datang," kata neneknya kemudian tersenyum.

Aninda pun tersenyum.

Semoga, batin Aninda berharap juga. Berat hatinya meninggalkan neneknya sendiri di rumah. Tapi dia pergi les, bukan hang out.

Tapi itulah aktivitasnya setiap hari. Aninda jarang pergi bersama teman temannya di hari sekolah.

Hanya hari minggu dan hari libur saja yang dia bisa. Karena dia ngga akan tega meninggalkan neneknya sendirian di rumah. Walaupun kadang Bibi Anne datamg menemani.

Untungnya Dita, Dewi dan Ratih juga anak rumahan seperti dirinya. Hanya sesekali mereka pergi makan dan nonton film.

Setelah merapikan baju baju yang dilipat, Aninda pun bersiap untuk berangkat les bahasa Inggris.

Dan Aninda hanya bisa menunduk ketika melihat Gibran seperti sengaja menunggunya lewat. Tapi Aninda berusaha meyakinkan hatinya kalo Gibran mungkin sedang menunggu temannya. Cowo tampan itu hanya menatapnya tanpa kata saat Aninda meliriknya sebentar dengan dada berdesir aneh.

Ketika pulang les, Aninda bersama teman temannya melewati rumah Gibran yang mewah. Gibran ada di sana bersana teman temannya.

"Kak Gibran udah putus belum ya, dengan Marsha?" tanya Mili sambil melirik ke lantai dua, tempat Gibran dan teman temannya berada.

"Kan kamu teman satu kelasnya," sahut Vina sambil menatap Mili heran.

"Denger denger sih, udah putus," cuit Rika yang satu angkatan dengan Marsha.

Aninda hanya mendengar, ngga menanggapi. Tapi infornasi ini menurutnya belum pasti benar.

Bisa aja, kan mereka LDR, batin Aninda mengingatkan agar dia ngga ge er. Jaman gini, komunikasi sangat mudah.

"Kalau kamu suka, dekatin aja," kata Rika memberi semangat.

"Nggak ah, Kak Gibran orangnya dingin. Takut dicuekin," tolak Mili ngga berani. Dia suka sama Kak Gibran, mungkin akan pelan pelan pendekatannya, tekat Mili dalam hati.

Aninda berusaha ngga peduli. Lagi pula menurutnya mereka serasi dan berada dalam satu level yang sama.

Aninda ngga berani berharap terlalu tinggi. Kalo jatuh, kan, sakit sekali.

Cowo kaya dan tampan seperti Gibran, pasti pasangannya cewe kaya dan cantik juga. Kalo dengan dirinya akan jadi timpang.

Rahasia Aninda

Pagi ini seperti biasa Aninda sedang menyusuri jalan ke sekolahnya sendirian. Kalau beruntung, dia akan bertemu dengan teman temanya sehingga mereka bisa berjalan beriringan sambil bercanda.

Sepupunya bersama papanya yang melewati Aninda dengan mobil crv keluaran terbarunya tiba tiba berhenti di sampingnya.

Deby, sepupunya yang cantik dan modis menurunkan kaca jendela mobilnya.

"Aninda, yuk bareng," sapanya manis.

Aninda tersenyum tipis.

""Aku jalan kaki aja, kak. Dekat, kok," tolaknya sopan.

Deby tersenyum, kemudian turun dari mobilnya.

"Udah, ayo," katanya sambil membuka pintu mobilnya. Mau ngga mau Aninda jadi ikut masuk ke dalam mobil.

Papa Deby - Om Tomas, tersenyum ramah padanya.

"Kamu kelas tiga ya, sekarang?" tanya Om Tomas setelah putrinya duduk di sampingnya. Beliau pun menjalankan

mobilnya kembali.

"Iya, Om."

"Bentar lagi SMA, ya," kekehnya pelan.

"Mau masuk SMA mana, Ninda?" tanya Deby perhatian.

"Tergantung nilai, Kak Deby, bisanya kemana," jawab Aninda diplomatis.

"Kamu, sih, pasti bisa masuk ke SMA kakak. Kamu, kan pimtar," puji Deby kemudian tersenyum manis.

"Iya," balas Papa Deby setuju.

"Mungkin kamu bisa dapat beasiswa," kata Deby lagi.

"Iya, kak,: sahut Aninda menahan kepahitan dalam nada suaranya.

Memang itu yang akan dia lakukan. Belajar dengan giat. Aninda menarik nafas dalam.

Bukan sekali dua kali Deby mengajaknya menumpang di mobilnya. Teman temannya yang melihatnya tiap turun dari mobil Deby selalu terkejut. Hingga akhirnya dia bisa diterima di kalangan menengah ke atas.

Karenanya Kalia cs menghargainya membuat Dewi selalu iri dengannya. Tapi Aninda ngga bisa berbuat apa apa. Mungkin juga Gibran pernah melihatnya naik mobil Deby hingga kini bertingkah aneh padamya.

Mereka semua ngga tau yang sebenarnya. Mama Aninda hanyalah anak angkat dari keluarga neneknya, Nenek Asra. Keluarga besarnya memiliki beberapa perusahaan yang dikelola Papa Deby dan dua orang adik laki lakinya. Setiap tahun saat pembagian keuntungan, semua anggota keluarga di bagi rata, termasuk untuk mama Aninda. Hanya porsinya lebih kecil karena ngga ikut di perusahaan. Apalagi statusnya yang anak angkat dan suka sekali di ungkit para istri istri omnya.

Pernah Aninda ikut dalam arisan keluarga besarnya, mereka ngga berhenti selalu menyinggung status mamanya. Tapi mamanya tetap sabar membuat Aninda geram.

Sama seperti dirinya, papanya pun kurang suka melihat istrinya disakiti. Papa pun ngga pernah mau memakai uang pembagian keuntungan perusahaan itu. Beliau masih mampu menghidupi keluarga kecilnya.

Neneknya juga lebih suka di rumahnya, karena keluarga mereka jarang meninggalkan Nenek Asra sendirian. Kalo terpaksa pun saat Aninda les, Bibi Anne selalu menyempatkan diri menemani nenek Asra

Keluarga om omnya sangat sibuk dengan urusan masing masing. Mereka pun termasuk dalam kalangan jetset. Tapi terkadang, sepupunya masih ada yang mau menemani nenek mereka walau sebentar.

Tentu saja mereka harus mau, atau memilih akan dibuang dari daftar kartu keluarga mereka sebagai ahli waris?

Deby yang berhasil masuk ke SMA favorit pun bukan berdasarka kecerdasan otaknya. Tapi dia ikut gelombang tiga. Tentu saja uang yang digelontorkan orang tuanya sangat banyak.

Papa dan mamanya ngga masalah jika Aninda memaksa masuk SMA tersebut jika memang harus ikut gelombang tiga. Tapi Aninda secara tegas menolak. Dia akan berusaha menggunakan otaknya agar bisa tembus jalur prestasi, dan syukur syukur dapat beasiswa. Jika tidak bisa, dia akan mencari SMA biasa yang bisa menampungnya.

Aninda ngga mau dinyinyirin tante tante dan sepupunya yang mulutnya seperti cabe. Mereka akan memfitnahnya kalo dia memaksa meminta uang neneknya. Padahal ngga sama sekali. Ada beberapa sepupunya yang begitu, walupun tetap ada beberapa yang baik

"Sekolah kamu udah sampai," kata Deby membuyarkan lamunannya.

"Oh iya, kak. .Makasih ya, Om, Kak Deby," pamit Aninda ketika mrmbuka pintu mobil.

"Hati hati. Yang rajin belajarnya," kata Om Thomas sebelum Aninda menutup pintu mobilnya.

"Iya Om," balasnya sopan.

" Daag," kata Deby sambil melambaikan tangannya ketika mobil mulai berjalan menjauhinya. Aninda pun balas melambaikan tangannya.

Setelah mobil itu menjauh, Aninda berbalik dan berjalan santai sambil menunduk ke kelasnya.

"Hai, Ninda," sapa Kalia ramah.

"Hai."

Aninda membalas ramah.

"Kamu sodaraan sama Kak Deby ya," tanya Kalia ingin tau. Tadi dia melihat ketika Aninda turun dari mobil Deby.

Nah, kan.

"Iya," jawabnya cepat. Sebentar lagi mereka akan berpisah membuat perasaan Aninda sedikit lega.

Kelas Kalia berada di depan mereka. Sedangkan untuk ke kelasnya, harus naik tangga terlebih dulu.

"Aku duluan, ya," pamit Kalia krmudian tersenyum tipis.

"Iya," jawab Aninda berusaha menahan rasa kesalnya karena Kalia masih memandangnya dengan senyum manis di bibirnya.

Aninda selalu merasa ngga nyaman jika oramg orang mulai bertanya tentang hubungannya dengan Kalia. Aninda was was, apakah mereka rela rela saja mau diakui jadi saudaranya. Aninda tersenyum.kecut.

Apalagi kalo mereka tau status mamanya. Selama ini mamanya selalu sabar setiap ada yang menyindirnya. Tapi Aninda ngga bisa melihat air mata yang berusaha ditahan mamanya. Begitu juga papanya. Hati beliay sakit melihat istrinya terluka.

"Ninda, jangan nunduk terus kalo jalan," tegur Risma mengagetkannya.

"Kaget ih."

Risma hanya tertawa.

"Si Gibran belum datang, ya," bisik Risma.

Aninda mendelikkan matanya.

Ni anak mancing di air keruh.

"Kalo udah datang pasti dia sekarang lagi ngeliatin kamu," kekeh Risma membuat Aninda jadi tersenyum juga.

Gimana kalo Gibran tau dia bukan sodaranya kak Deby. Atau tau kalo keluarganya ngga sekaya keluarga kak Deby. Pati langsung sadar, monolognya dalam hati.

"Setelah lulus aku pindah. Yang aku sesalkan, aku ngga tau progres kamu sama Gibran," kekehnya lagi.

Aninda hanya menghela nafas.

Ngga mungkin ada progres, batin Aninda mengejek.

"Aku sedih kalo kamu pindah," ungkap Aninda jujur.

"Ngga usah sedih. Kita masih bisa telpon sama video call," ucap Risma ringan setelah tawanya reda.

Aninda hanya tersenyum sedih. Risma akan meninggalkannya karena papanya yang hakim akan dipindah tugaskan ke kota lain.

"Pinjam pe er sejarah ya," rayu Risma membuat Aninda tergelak.

"Dasar....," katanya di sela derai tawanya. Pun Risma juga tertawa lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!