Bulan memantulkan cahaya Matahari, membuat Bumi sedikit tersinari saat ini. Keheningan mengisi, namun ada sedikit suara yang hampir dirasa tak nyata.
Seorang gadis tengah tertidur lelap, tetapi suara tangisan yang mungkin hanya bisa didengar olehnya mengusik tidurnya.
Perlahan dia membuka mata, samar-samar nampak seorang pemuda yang amat tampan dengan mata biru, dia bak gambaran imortal dalam film-film fantasi yang sering ia tonton.
A-apa yang terjadi? Apa aku sedang ikut syuting film? Sebentar! Aku kan bukan artis!"
Batin gadis itu dipenuhi tanda tanya besar, mencoba mencari jawaban dalam otaknya. Sedetik, sebelum pemuda itu memeluknya makin erat seraya berbisik dengan gemetaran.
"K-kamu kembali! Kamu b-benar-benar kembali!"
Gemetar diselingi air mata dan pelukan yang makin mengencang membuat gadis itu mengernyitkan dahinya. Actingnya cukup bagus, tapi kenapa aku baru melihatnya kali ini, seharusnya dengan acting sebagus ini dia sudah sangat terkenal.
"Maaf."
"Maaf."
"Maafkan aku."
"Kumohon maafkan aku."
Dia pusing sendiri saat pernyataan maaf itu berulang kali menerobos gendang telinganya.
Sebelum sempat gadis tadi ingin mengakhiri acting ini, kegelapan lebih dulu mengambil tubuhnya. Apa yang terjadi dengan tubuhnya?
Sosok pemuda jangkung dengan aura menenangkan dan penuh kasih sayang, membawa nampan makanan di tangan.
Dia tersenyum melihat pemandangan dihadapannnya. Dia bertanya, "Kakak, bagaimana? Apa dia ada perkembangan?."
Orang yang dipanggil 'kakak' itu hanya menggeleng lemah. Dia yang tampan dan tak tersentuh kini tampak tak terurus. Dengan rambut acak-acakan, lingkaran mata yang hampir menghitam, serta bibir pucat yang semakin memperburuk penampilannya.
Pemuda yang tadi hanya bisa tersenyum kecil. Dia hanya bisa pasrah pada kakaknya saat ini. Dia tidak bisa melarang apa lagi mengekang. Namun, dia masih bisa menyemangati.
"Kakak, makanlah. Ibu membuatkan ini khusus untukmu."
Gelengan dari kakaknya membuat bahu pemuda itu merosot. Dengan hembusan nafas yang mengiringi, dia meletakkan nampan tadi pada meja kecil di samping ranjang.
"Kak, apa kau akan seperti ini terus menerus? Apa kau tidak kasihan pada ibu yang khawatir berlebihan denganmu? Kakak, kumohon perhatikan dirimu juga."
Kali ini sang kakak menjawab, "Tidak, A-Li. Aku akan menunggu dia bangun dulu. Tatapannya meredup, dia terlihat sangat menyedihkan saat ini.
Pemuda dengan panggilan A-Li itu hanya mampu menghela nafas. Dia bingung harus bagaimana.
"Kak, menurutmu saat dia bangun apa dia akan mengamuk?" Nada A-Li sedikit takut-takut.
"Entahlah."
"Tapi sepertinya tidak. Bukankah kau sudah menyuruh gadis galak itu untuk menghapus ingata---"
"Siapa yang kau sebut gadis galak, hah?. Heh! Bocah tengil setidaknya hormati sedikit kakak sepupumu ini!." Gadis dengan raut lembut memotong ucapan A-Li dengan nada yang amat tidak sinkron dengan kelembutan di wajahnya.
Sontak setelah A-Li mendengar itu dia terjingkat sampai hampir terjungkal ke belakang.
"A-ah tidak ada ... Jie, kurasa kau harus mulai rajin membersihkan telingamu mulai nanti, aku khawatir akan terjadi kesalah pahaman lagi."
Gadis berparas lembut itu melotot tak terima. "Apa kau baru saja mengejekku tuli? Kupastikan kau tidak akan tidak mengeluh. Awas saja!."
A Li bergidik semakin ngeri saat mendengar kalimat itu.
"Jiejie k---"
Lengguhan khas orang bangun membuat mereka menegang. Terutama pemuda tampan tadi. Tangannya mengepal erat di balik lengan hanfunya, keringat dingin mulai menjalari keningnya.
...Bersambung...
Kelopak mata itu akhirnya terangkat. Seseorang itu tampak bingung, terpampang jelas dari tatapan kosong miliknya. Tak lama kemudian, sosok itu mengerang, lalu dia perlahan duduk seraya memijat pelipis.
"Hey, apakah syutingnya belum selesai? Dimana sutradaranya aku lelah! Mereka benar-benar s**l*n! Memperkerjakan orang tanpa izin."
Ketiga orang di sana tampak bingung, hal itu membuat sosok tadi bertambah geram.
"Apa kalian akan terus memasang raut dungu itu?." Gadis ini menunjuk satu persatu wajah orang-orang itu. Dia marah saat ini. Dia harus segera mengerjakan pekerjaannya, mengedit novel.
"S-sut ... Apa tadi katamu?."
Sosok itu memejamkan matanya, dia lelah dengan drama ini. Apa lagi ditambah raut polos tapi memancing perkelahian dari pemuda di samping kanannya itu, semakin membuatnya ingin mencincangnya.
Sosok itu menghela nafas, "Sudahlah jangan berdrama lagi!."
Pemuda tadi menjawab, "Drama apa?."
Senyum terpaksa ia tampilkan. Sosok itu sudah tidak tahan lagi. Dia berteriak, "Argghhh! kumohon hentikan drama menggelikan ini! Apa kalian benar-benar kekurangan aktris? Aku ini hanya editor kenapa malah dijadikan aktris? Dimana sutradaranya? Aku ingin memukul kepalaanya supaya sistem sarafnya kembali berfung---"
Lagi-lagi kegelapan mengambil dirinya. Sosok itu ambruk ke sebelah kiri, tepat di bahu pemuda tampan tadi. Hal itu tentu saja membuat aliran darah pemuda tampan tersebut untuk sesaat membeku, dan berhenti. Untung saja tidak mati.
Gadis berparas lembut tadi menghela nafas lega, sedetik setelah dia menotokan jarum akupuntur di tubuh sosok tadi.
"Apa itu benar-benar Lu Wei?" tanyanya.
A-Li menggaruk pipinya yang tak gatal. Dia juga agak ragu akan keaslian sosok tadi. Pasalnya dia bingung, apa itu 'Sutradara' dan apa itu 'Aktris'.
"K-kurasa memang dia. Lihat dari cara bicaranya, dia memang sering kasar dan juga sering mengumpat." Tawa canggung mengudara, memecah sunyi diruangan itu.
Sedangkan pemuda berwajah tampan tadi hanya menghela nafasnya lirih. Dia juga berharap bahwa jiwa yang menempati raga di depannya adalah jiwa dari raga tersebut, bukan yang lain. Dan, terbesit rasa tidak suka pada hatinya, saat mendengar kata-kata dari sang adik.
Dia merasa, dia didahului.
"Benar juga. Dia memang kasar dan galak seprtiku." Gadis tadi mengangguk mengerti. Tatapannnya mulai beralih pada raut penuh pesona dihadapannnya.
Dan kau bangga akan hal itu, jiejie. Tentu saja A-Li mengatakannya dalam batin, jika ia mengatakannya langsung dia takut jiwanya tidak bisa bereinkarnasi kelak.
"Jie."
"Apa?."
"Apa kau benar-benar menghapus ingatannya?."
Paras lembut itu terlihat tidak bersemangat. Dia mendesah lelah.
Jujur saja, dia juga tak yakin pada kemampuan dirinya sendiri.
Dia menatap sosok tampan yang tadi bertanya. Penampilan tak terurus itu membuatnya sedikit merasa bersalah.
"Aku tak yakin. Maaf, kemampuanku belum seberapa."
"Tidak apa-apa setidaknya kau sudah berusaha. Maafkan aku yang menyusahkanmu, Jiejie."
Gadis tadi terburu-buru mengelak, "Tidak tidak apa. Sudah tugasku untuk membantumu, bukankah kita saudara?."
Sosok tampan itu mengangguk. "Terimakasih."
"Lalu apa aku bukan saudaramu, Jiejie?."
Gadis tadi mendengus, saat matanya menangkap raut menggemaskan sekaligus menjengkelkan.
Tak tahan, akhirnya dia membalas dendam.
A-Li sontak berteriak saat pipinya ditarik dengan kuat oleh gadis itu.
"Jiejie, lepaskan pipiku bisa copot!." teriaknya.
"Memangnya aku peduli?Siapa yang memasang raut mengemaskan itu hah? Rasakan ini!."
"Lin Qingxuan, ikut ibu."
Serentak, semua suara di ruangan itu membeku.
...Bersambung...
A-Li, oh namanya adalah Lin QiLi merasa bersyukur saat cubitan itu akhirnya hilang. Namun, suasana saat ini malah lebih menyeramkan dari cubitan tadi.
Dia melirik kakaknya. Rautnya masih datar, tapi di matanya terpampang jelas raut sendu bercampur tak terima.
Mendapati itu, Lin QiLi tentu saja tidak tega. "Ratu, mohon maaf menyela ... tapi kakak sepertinya tidak bisa."
Sosok yang dipanggil Ratu itu sama sekali tidak menggubris.
Kali ini Gadis berparas lembut tadi yang berdalih, "Benar, Ratu. Tolong berikan A-Xuan butuh waktu. Dia sudah dewasa, dia tahu apa yang harus dilakukan."
Lin QiLi mengangguk membenarkan.
Ratu itu mendengus. Matanya berkilat dingin. Aura kepemimpinannya menguar, membuat dua sosok tadi bergidik.
"Jika dia memang sudah dewasa, seharusnya dia tidak melakukan hal bodoh seperti itu." Tatapan tajam ia serangkan pada anaknya.
Lin QiLi masih tak berkutik. Sinar matanya meredup.
"Ratu----"
"Orang luar jangan ikut campur."
Lin QiLi terdiam. Ya, dia sadar dia tidak boleh ikut campur.
"Lin Qingxuan!"
Menyadari situasi sudah sangat mencekam. Gadis tadi menengahi. Dia melirik Lin Qingxuan. Nada lembut membalut ucapannya, "Pergilah, percayakan padaku."
Lin Qingxuan mendongak.
Binar redup mata itu sungguh membuat gadis tadi iba. Mata yang biasanya dipenuhi jejak embun beku, kini meredup, membendung air mata yang siap jatuh.
Baru kali ini dia melihat Lin Qingxuan sehancur ini. Dia kembali meyakinkan dengan anggukan.
Lin Qingxuan akhirnya mengalah. Dengan berat dia berkata, "Aku mempercayakannya kepadamu."
"Tentu."
Lin QiLi ikut menganggukkan kepala.
Gebrakan pintu mengguncang udara. Kini tersisa mereka bertiga.
Lin QiLi menatap Lu Wei yang masih menutup mata. Setelahnya dia menghela nafas. Matanya melirik gadis tadi. "Jiejie, bagaimana ini?."
Gelengan dari gadis tadi membuatnya semakin bingung.
Malam tiba, Bulan menggantung indah di atas sana. Li Na akhirnya sadar. Matanya menyapu penjuru ruangan ini. Ya, namanya Li Na. Sosok yang kebelet bertemu sutradara
"Sungguh, ini seperti asli."
Ruangan itu menguarkan atmosfer dingin, namun disisi lain juga menguarkan rasa nyaman yang dapat membuat orang kehilangan jiwa dengan ikhlas.
Dia menatap kesal pada dua sosok yang tertidur di pojok kanan ruangan ini.
Ide jail muncul. Sekalian balas dendam tentu saja.
Dia beranjak, mengambil cangkir di nakas. Kemudian tanpa terselip rasa iba di hatinya, Li Na mengguyur dua sosok itu. Sialnya hanya satu yang terkena.
"Bangun!"
Dua sosok itu terlonjak. Pemuda tadi yang memeluk lengannya, mengusap wajahnya yang di penuhi air.
Seusai mengucek mata, gadis yang di sisinya mengerang. Saat matanya terbuka sempurna, dia melotot.
Tanpa menunda kesempatan, Li Na bertanya, "Kalian! Katakan dimana ini?"
Keduanya kompak menjawab, "Istana Salju. Kediaman Klan Lin"
Li Na menguak dan menggali memori tentang kata-kata itu. Agaknya seperti familiar. "Klan Lin, Klan Lin, Klan Lin ... Klan---A-apa?!"
"WHAT THE F\*CK!!!"
Teriakan bermakna umpatan itu melengking tajam, memecah suasana damai di ruangan itu. Li Na terjungkal saking kagetnya. Bibirnya berkedut, tak terima akan kenyataan ini.
Terheran heran, Pemuda tadi bertanya, "Ada apa, kenapa kau sekaget itu?" Tapi ada sedikit keganjalan dalam jawabannya itu.
Li Na menoleh dengan kecepatan cahaya. Tatapannya setajam silet. "Sekaget itu, sekaget itu ... Sekaget itu!"
Intonasinya sarat akan ketidak terimaan. Awalan lirih, akhirannya ... sungguh membuat orang ingin mencopot kuping milik dirinya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!