NovelToon NovelToon

Lair : psycho heroes

1. Ini Bukan Gempa Bumi

Seorang gadis berdiri melipat kedua tangannya,menepuk sebelah kakinya dan terus menatap jarum jam.

"Nana, sudahlah aku yakin dia akan datang. " Nishimiya yang menghampirinya. "Iya, lebih baik kau duduk dulu. Apa tidak pegal terus seperti itu?" Tanya Ichi.

"Lihatlah jam itu, 5 menit lagi tugasnya harus dikumpulkan! " Nana yang marah. "Kemana sih anak nakal itu sebenarnya?"

Kuchisawa yang duduk melihat mereka di meja ke empat menghela nafas. " Bagaimana kalau aku ke rumahnya saja? " Tepukan kaki Nana berhenti. Dia memegang kedua pundak Kuchisawa. Nana tersenyum kecil.

"Kenapa tak bilang dari tadi! "

"Nana, henti... " Nana mengguncang tubuh temannya itu.

"Nana-san, tolong henti... " Yuka yang berusaha melerai namun siapapun itu tidak didengar oleh Nana.

"Wah, sensei da... " Seketika Nana menyuruh Kuchisawa segera, dan kuchisawa pun menghilang lalu kembali dengan cepat. Dia datang dengan sebuah makalah yang cukup tebal ditangannya.

Kuchisawa menyodorkannya, sambil berkata. "Aku tidak menemukannya dimanapun, aku hanya menemukan ini. " Nana langsung mengambilnya dari Kuchisawa dan memeriksanya. "Fyuhh! " Nana menghela nafas. " Benar ini makalahnya. "

" Syukurlah." Ucap Yuka dan yang lainnya.

"Hm eum. Tapi, dimana dia?" Sahut Nishimiya.

Mendengar itu Nana mulai merasa kesal lagi, dan mukai meremas makalahnya. "Jika dia datang, aku akan membunuhnya!" Nana menggumam marah. Auranya sangat panas dan berapi, itu membuat teman-temannya ketakutan.

Tiba-tiba saja seseorang menyela. "Azami, apa kau mau merusaknya? " Terdengar suara yang berat sedikit serak. Semua langsung duduk dibangkunya kecuali Nana yang berdiri kaku. "S-sensei? "

"Hah. " Kurosoba menghela. "Sudahlah, kembali ke bangkumu!"

"Ya. "

Jam pelajaran pun dimulai. Mereka mempresentasikan tugas mereka masing-masing sesuai kelompoknya, hingga giliran Nana masuk. Nana maju sendirian, namun tiba-tiba saja angin kencang membuka jendela kelas. Seorang anak muncul dari jendela. "Selamat pa..."

Bbuk!

Belum selesai dia berbicara, dia diserang oleh Nana hingga terlempar kembali. "Sensei, aku tidak kebagian kelompok jadi aku sendiri!"

"Benarkah? " Kurosoba berbisik ke arah Nana dengan aura mengancam, membuat Nana membeku. "Benarkah? "

"I-iya. "

"Lalu, kenapa dia babak belur? " Kurosoba menunjuk kearah Nabari yang sudah dibawa oleh Kuchisawa. "Sejak kapan ka... Maeta!" Dalam hati nana. "Aku yang menyuruhnya. "

"Hehe, begitu ya. " Nana masih membeku.

"Nabari, kemarilah!" Nabari yang masih menangis dengan wajah lebam berjalan ke depan.

"Sensei, maafkan aku. " Chh! Nana mendecit kesal. "Sudahlah berhenti menangis, dan lakukan pekerjaanmu!"

"Baik. "

Nabari menghirup ingusnya dan mengelap air matanya. "Terimakasih, Sensei. Nanashan, maafkan aku." Nabari membungkukkan badannya. Kurosoba mengecek arlojinya. "Ayo mulai! "

Pelajaran pun selesai. Para siswa membungkuk memberi salam. "Sampai bertemu lagi, istirahatlah dengan benar. "

"Baik, sensei! "

"Yaaa, pelajaran tadi membuatku lapar. Nanashan ayo kita ma... Arghh!" Pipi Nabari membiru karena ditampar oleh Nana.

"Darimana saja kau?!"

"Itu... Eng..."

"Ha?! "

"Tadi, aku tersesat di stasiun kereta. "

"Eh? kok bisa? " Nabari kembali menangis.

Gdbk!

"Berhenti menangis, dasar cengeng! " Nana memukul kepala Nabari hinggal benjol.

Tiba-tiba, benda-benda bergoyang, langit dan pijakan bergetar. "Gempa? " Sahut seorang murid. Getaran itu kian membesar, guncangan yang cukup kuat. Semua orang bersembunyi dibawah meja, kecuali satu orang. "Nabari, kenapa diam saja disitu? Ayo kemari! " Nana menariknya kebawah meja. Sekitar sepuluh menit, dan itu pun berakhir.

Para murid kembali keluar. Kuchisawa yang terus memperhatikan seseorang yang berada di ujung mata kirinya, dia menghampirinya.

"Nabari, apa mungkin?" Dia berbisik. Nabari meliriknya tajam. "Hmm, aku mencium aroma kari, itu membuwatkwu lapyarr." Air liurnya menetes. "Bukan itu maksudku! "

"Disaat begini, tidak bisa kita menanyainya." Nana menyela. Kuchisawa menghela nafas.

Suara angin yang sangat cepat terdengar dari jarak yang cukup jauh. "Apa kalian baik-baik saja? " Seorang pria tua dengan kacamata bulat tebal datang dengan nafasnya yang tersengal-sengal dan keringat yang bercucuran dari kepala terangnya.

"Ya, kami tidak apa-apa kapp-mmaksudku Kanazawa sensei. " Jawab Asumuri.

"Syukurlah, syukurlah! "

" Lah dia nangis. "

Sementara itu di ruang kepala sekolah. Pria itu menyeruput kopinya yang masih panas. "Kalian sudah dengarkan? " Dia menyimpam cangkir itu, lalu bersender ke kursinya.

"Ya, kejadian hari ini diberitakan gempa di kota 24. Menurut informasi, gempa yang terjadi adalah 7,8 m uang diakibatkan oleh patahan dasar bumi. Diketahui juga bahwa sebelumnya pernah terjadi gempa kecil dua kali. " Jelas gadis berkacamata itu.

"Hmm, begitu ya. " Pria itu mengelus janggutnya.

"Tentu itu bukan gempa, kan? " Seorang wanita yang baru datang. "Kau sudah datang, Kyile. "

"Jadi ini misinya? "

"Ya. Selidiki kota itu bersama Sachibana, dan bawa oleh-oleh. "

"Kalau begitu mohon bantuannya, Hana-chan. "

Kyile dan Sachibana pun pergi ke kota itu, Kota dua puluh empat. Kota yang sangat terkenal dengan banyak kasus kejahatan dan kekeresannya. Sementara itu, ditempat yang lain.

****

"Maaf, nak Nabari hanya tersisa ini." Pedagang itu menyodorkan beberapa roti gula yang sudah sedikit hancur. "Semua makanan jatuh dan hancur karena gempa tadi. " sambungnya.

"Gempanya cukup besar sih. " Sahut Ichi.

"Nabari, kau tidak apa-apa? " Nana yang melihat teman disebelahnya itu berkaca-kaca.

"Aku benci roti dengan gula! " Nabari merengek. Semua temannya menghela nafas.

"Jangan menangis. Ah, ya aku baru ingat bahwa ada sayuran dan mie instant yang masih bisa dimasak, apa kalian mau? "

."Bibi, aku mau! " Nabari yang pertama menjawab. Chiori terkekeh. "Baiklah aku buatkan, tunggu sebentar. Aku akan buatkan untuk kalian. "

"Bibi, aku roti gula saja. " Kuchisawa mengambil satu bungkus roti didepannya. "Baiklah. "

"Terimakasih!"

****

"Kita sudah sampai." Sachibana dan Kyile turun dari kereta dan keluar stasiun. "Jadi ini Kota kriminal itu? " Suasana perkotaan yang cukup ramai tetapi tidak mewah dan masih cukup asri. "Tidak buruk juga. Hana, kita akan kemana? " Kyile merapikan rambut pinggirnya

Sachibana meluruskan kacamatanya. "Kita akan kesini." Dia meyodorkan sebuah ipad dengan visualisasi data seorang gadis. "SMA Shio, jadi ini pusat gempanya?"

"Bukan. "

"Ehh, lalu kemapa kita kesana?"

"Saya belum selesai bicara. " Satu kata yang dapat membuat Kyile bungkam. "Tempat ini hancur. "

"Begitu saja? " Sachibana menutup ipadnya dan memasukannya ke dalam tas. Dia pun berjalan pergi. "Hei, tunggu aku Hana-chan!"

***

"Ini silahkan. " Chiori menyodorkan beberapa mangkuk mie.

"Terimakasih. " Ichi dan yang lainnya menundukkan kepala.

"Hore, aku sangat lapar! Terimakasih, bibi!"

"Tidak perlu sungkan. "

***

"Wah ini menarik!" Kyile terkekeh saat melihat bangunan sekolah itu hancur. "Ini benar-benar amatiran!"

"Sensei."

"Hm? "

"Tolong anda jangan mengacau. " Sachibana membuka kacamatanya. "Wah, wah, matamu sangat indah Hanachan."

Dibalik puing-puing dan pepohonan yang masih kokoh itu, sebuah bayangan nampak tidak begitu senang. Dia pun pergi seperti bayang-bayang.

"Sensei, 100 meter didepan dan dia sedang berlari."

"Mari kita berburu!" Sachibana menepuk pundak Kyile yang tertawa jahat. "Sensei, ingatlah! " Kyile pun menelan ludah. "Ayo kita kejar!"

2. Pengejaran

Morita datang ke sekolahnya untuk melihat, namun dia mendengar ada suara orang disana. Siapa mereka? Tanyanya dalam hati. Perlahan dia mendekat, mengintai dibalik pohon. Apa mereka dari media, atau jangan-jangan polisi? Matanya membesar dia terkejut dengan prasangkanya. Dia perlahan mundur untuk pergi, namun sialnya dia menginjak sesuatu dan mematahkannya. "Sial! " bisiknya.

Disisi lain Sachibana mendengar suara, dia pun membuka kacamatanya. "Jadi dia sudah disini ya. " Kyile terkekeh. "Sensei, jangan memakai kekuatanmu terlalu besar. " Sachibana menggerakan bola matanya. "Ya, ya, aku mengerti."

Sachibana mengaktifkan skillnya. Optikenisesis, atau penglihatan jarak jauh. Dia dapat melihat hingga jarak 1km dari tempatnya. "100 meter ke depan. "

"Baiklah, ayo kejar dia! "

Morita berlari terus mencari tempat persembunyian. Sial, kenapa harus ketahuan.. Dia bergumam dalam hati dan terus berlari, hingga memasuki sebuah gang kecil.

Nafasnya tersengal-sengal, dia mulai berkeringat. "Ah, lelah! " Dia melakukan peregangan. Dia melihat ke sekitarnya. "Sepertinya sudah aman. " Dia pun bersandar ke dinding gang dan menatap langit yang sedikit terhalang oleh atap-atap bangunan. "Kenapa juga ya aku harus lari? Ya, aku malas sih kalau ditanyai media dan polisi. " Morita menghela nafas.

Sementara itu di SMA Hanabari. Orang-orang sedang sibuk membereskan pasca gempa, mereka memperbaiki kerusakan dan saling membantu. "Hahaha, ayo tangkap aku! "

"Hei, tunggu! "

Melihat beberapa orang asik bercanda, itu membuat Inomiya kesal. Dia menghadang mereka dengan tatapan tajam. "Para senpai sekalian, diharap tidak berlari diarea kelas!"

"Tap..."

"Tidak ! Peraturan tetap peraturan, apa kalian mengerti?"

"Ah baiklah. "

"Ayo!" Mereka pun pergi. "Iya dia sekretaris. "

"Dia membosankan. "

Wajah Inomiya memerah kepalanya mau meledak. Aku dengar tahu! Protesnya dalam hati.

"Ketua? " Nana mengetuk pintu sebuah ruangan.

"Ya, masuk! " Suruh Kurosachi. "Ah, Nana-chan ada apa? " Tanya gadis yang duduk sibuk dengan tumpukan berkas dimejanya.

"Berkas baru." Nana masuk dengan membawa sebuah berkas ditangannya. "Ehh?" Seketika tangan Kurosachi berhenti bekerja. Dia menyandarkan tubuhnya kebelakang. "Mau ku bantu? " Kurosachi menggeleng. "Tidak, kau kan harus mengerjakan yang lain. "

"Sana Senpai!" Sana terkejut dengan teriakannya Nana. "Kenapa? "

Nana melipat tangannya. "Jangan memaksakan diri, lagi pula pekerjaan ku tak banyak. Atau cobalah minta bantuan yang lain, bukankah kau selalu memintai bantuan Hana Senpai. "

Kurosachi terkekeh. Dia menggaruk belakang lehernya. "Ah, itu sih Hana gak sabaran jadi dia selalu mengerjakan pekerjaanku katanya aku lambat. "

Nana menghela nafas dan melepas lipatan tangannya. "Panggilah aku, jika kau butuh bantuan. "

"Iya. "

"Aku pergi."

"Hm. Terimakasih. " Sana membuang senyumannya. Dia membuka kopi kaleng yang ada dimejanya, lalu meminumnya. Itu kaleng keempat yang dia minum hari ini. Dia mulai mengerjakan tugasnya lagi. Hingga lima puluh menit berlalu. Dia mulai kelelahan. "Hana, cepatlah pulang! "

"Hachwi!". Sachibana bersin. "Hana, kau tidak apa-apa? " Hana mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya, lalu memasukkannya lagi. "Aku baik-baik saja. "

"Apa benar dia disana?"

"Ya, dia ada didalam gang itu. Ayo kita masuk kesana. " Kyile menahan Hana dengan memegang tangannya. "Ada apa?"

"Aku punya ide. Hhh" Kyile tertawa kecil.

"Meong, meong, meong. " Seekor kucing mendekati Morita , berkeliling disekotar kakinya. Morita mengelusnya. "Kau juga tersesat?"

"Meong.." Morita tersenyum kecil. "Maaf aku tidak membawa makanan. " "Meong! " Kucing itu memegang tangan Morita. Tetapi Morita akhirnya tersadar dan refleks melihat ke atas. Sontak matanya terbelalak. "Apa kami mengejutkanmu ? Maaf."

Sedang apa mereka disitu? Morita langsung memeluk kucing itu dan membawanya kabur.

"Dia kabur. "

"Kalau begitu kejarlah. "

"Ayo kita... " Hana menahan Kyile. "Kenapa menghentikanku?"

"Jangan sakiti kucingnya. " Suruh Hana.

"Terus orangnya?"

"Bawa dia hidup-hidup. "

"Seramnya!"

****

"Tuan. " Wanita berambut perak masuk kedalam ruangannya, berjalan dengan anggun.

"Lichita, kau sudah datang? Duduklah! " Lichita pun duduk di sofa itu.

"Apa kau mau kopi? " Lichita membuka topinya, lalu melirik Kaoh yang ada di depan pembuat kopi. "Tidak, terimakasih. "

"Baiklah, hanya aku kalau begitu. "

"Bagaimana perbaikannya?" Lichita menyilangkan kakinya. Kaoh meminum kopinya dan duduk disebelah istrinya. "Ya, lumayan lancar. "

"Apa kurangnya, aku akan bilang pada ayahku. " Kaoh menahan Lichita mengeluarkan ponselnya. "Hm, kenapa?"

"Ah, aku tidak mau terus merepotkan kalian. Lagipula ini tanggung jawabku, ya tidak ada yang menyangka kalau gempanya akan besarkan? Hahahahah. " Lichita tersenyum, dan mencium bibir suaminya. itu membuat Kaoh sedikit terkejut. "Terkejut? "

"Ah ya, sedikit. Hahahaha. " Lichita ikut terkekeh. "Itulah yang aku suka darimu. "

"Aku sangat tersanjung. " Mereka tertawa bersama, menghabiskan waktu mengobrol berdua. "Anu, bagaimana keadaanmu sekarang? " Lichita mengenggam tangan suaminya. "Tidak usah khawatir. "

****

"Meong, meong, meong. "

"Apa kau tidak kasihan padanya, dia ketakutan." Morita yang terus berlari sambil memeluk sang kucing. "Tenanglah, aku tidak akan menyakitinya, aku pecinta hewan! "

"Benarkah? "

"Tentu saja, Hana kau tidak percaya? "

"Mengingat sifatmu, itu sulit dipercaya. " Hana membayangkan Kyile yang selalu ceroboh dengan kekuatan nya. "Jahatnya! "

Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Sialan, kenapa mereka cepat sekali? Morita menghentikan langkahnya. Jalan buntu? Dia membalikkan tubuhnya yang gemetaran.

"Sudah menyerah? " Tanpa dia sadari sesuatu bergerak, membuatnya terkejut. Kyile dan Hana dapat menghindarinya. Eh, bergerak sendiri?

"Tampaknya kau belum menyadarinya ya. " Morita mengangkat sebelah halisnya. Apa maksudnya? "Kalau itu ulahmu?" Maksudnya kaleng itu aku yang gerakkan?

"Jangan konyol! "

"Oh, akhirnya kau bicara. Suaramu cukup manis. " Kyile mengusap bibirnya. Morita terus mundur. Kucing itu melihatnya khawatir. "Kalau begitu!"

"Sensei, dia... Eh? " Kyile dan Hana sudah dalam pose bersiap tapi hal tak terduga terjadi.

"Meong, meong, meong. " Kucingnya melayang. Morita berhasil memindahkan kucing itu kebalik benteng dibelakangnya.

"Fyuh! " mereka menghela nafas. "Kau mengejutkan..."

Whuss!

Serangan Morita tampaknya dapat dihindari Kyile dan Hana.

"Sensei, aku serahkan padamu." Hana mundur dari pertarungan jarak dekat, dia memperhatikan dari atas. "Baiklah, kita mulai!" Pecut?

Pertarungan Morita dan Kyile masih berlangsung. Kyile memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan getaran bumi dan dia dapat dengan mudah memberhentikan getaran yang dibuat Morita, ataupun benda-benda yang dia lancarkan dengan pecutnya.

Ini berbahaya, sialan! Morita mulai mengambil benda-benda lebih besar, dia bahkan dapat menarik benda yang dia fikirkan. Tetapi itu tidak mempan terhadap Kyile. "Akhh! " Morita menahan dirinya dari getaran Kyile. Kuat sekali!

Dia melempar paku-paku yang banyak seperti hujan. Tapi semua berhasil ditangkis, namun bukan dia yang dituju. Kyile yang sadar membalikkan tubuhnya. Cepat sekali! "Hana, mundur! " Tetapi serangan pun terjadi dari belakang.

Hana terkejut saat dia tahu itu. Matanya terbelalak saat melihat Kyile yang sudah ada melindunginya di belakang, dan dia terluka. "Sensei! " Hana menangkap Kyile yang terjatuh, banyak paku yang terkena ke tangannya. "Sensei, istirahatlah biar aku obati lukamu. "

"Aku serahkan padamu." Suara Kyile meenjadi serak menahan sakit. Morita yang melihatnya dari bawah gemetaran. Bagaimana ini, dia terluka. Ini kesempatanku untuk pergi. Dia pun berlari keluar gang. "Dia pergi. "

"Dahulukan dulu dirimu, bersiaplah aku akan mencabutnya. "

"Arrghh!" Kyile teriak kesakitan. Hana sudah mengobati dan membalut lukanya. "Terimakasih, Hana. "

"Kau sungguh baik-baik saja, sensei? "

"Ya, berkatmu. " Mereka mengejar Morita kembali. Maaf, maaf. Morita berlari dengan air mata.

3. Kenapa Harus Aku?

Morita berhenti tepat di belakang bangunan sekolahnya. nafasnya tersengal-sengal. "Apa yang harus kulakukan? "

"Morita kuzuki. " Terdengar suara yang tidak asing. Morita terbelalak. Cepatnya! Dihadapannya telah ada Kyile dan Hana.

"Morita kuzuki, tenanglah dan diamlah. kami hanya ingin berbicara denganmu jadi ikutlah dengan kami! " Ajak Hana.

"Kalian fikir aku akan menuruti kalian? "

Kyile mengeluarkan pecutnya. "Kita paksa saja dia. " Tchh! "Tunggu sensei, aku ingin memberikan beberapa pertanyaan dulu padanya. "

"Baiklah. "

"Morita Kuzu... " Morita tak sengaja menggerakkan sebuah pecahan kaca dan puing-puing sekolah itu karena ketakutan yang menuju arah Hana, ubtung saja Kyile dengan cepat menggerakan pecutnya dan menangkis semua itu.

Hana menghela nafas karena terkejut. "Tenanglah, kami hanya ingin melindungimu!"

"Melindungiku? Dari apa? "

Hana memegang tengah kacamatanya. "Kau sedang kabur dari polisi dan para jurnalis itukan? " Dia tahu darimana? "Iya bukan? " Tch! "Memangnya kenapa?! "

"Dengarlah, kami bukan mereka pasti kau sudah tahu itu. Dan kami juga bukan teman atau musuh mereka. Kami sama sepertimu, jadi kami ingin membawamu ke tempat kami. "

"Kau fikir aku akan percaya?"

"Tidak, itu tidak mudah. "

"Kalau begitu biarkan aku pergi!"

"Kalau itu sih tidak bisa.." Sambung Kyile. Morita menggigit gerahamnya."Kenapa? "Dengan rasa takut dia menyerang mereka kembali dan Kyile menangkisnya lagi.

"Kau apa kau takut karena telah menghancurkan sekolahmu , atau kau takut karena telah membunuh temanmu? " Mereka itu... Sialan! Kenapa, kenapa harus aku?

Gambaran kiasan masa lalu terlintas dan tervisualisasikan.

"Ampun, ampun,ampun!" Morita hanya teringkuk di sudut ruangan itu, berusaha tak berkutik dan membisu saat melihat ayahnya memukul ibunya hingga pingsan. setelah ayahnya puas , dia pun pergi. Ini sering terjadi hingga saat itu.

Di malam itu, Ibu Morita memasang briket disaat suaminya tertidur pulas. Dia memeluk putri kecilnya, berniat untuk mati bersama agar tak tersiksa lagi. Namun, hanya Morita yang bertahan hidup.

Saat itu dia hidup menjadi anak angkat keluarga Kuzuki, salah satu detektif yang mengurusi kasus keluarganya. Ia dan istrinya adalah pasangan tua yang tidak memiliki anak.

Morita adalah anak yang selalu ceria didepan orang tuanya, namun itu hanya bualan. Sebenarnya dia tak pernah memiliki teman, dan selalu di rundung oleh anak-anak lain.

Hingga saat dia duduk di kelas sembilan, kedua orang tua angkatnya meninggal kecelakaan mobil saat sedang berkencan. Dia pun hidup sendiri dirumah orang tua angkatnya. Dia mendapat bantuan bersekolah saat SMA, tapi dia tetap disandung hingga kejadian itu pun terjadi.

Saat itu Morita hendak makan di wakti istirahat, dia pergi ke atap sekolah yang sepi. Tapi dia tak sadar jika diikuti, Kurina mendorong Morita hingga makanannya terjatuh. "Hei, hari ini kau belum memberi kami uang! "

"Aku tidak punya. "

"Bohong! Pasti kau menyembunyikannya kan, ayo cepat keluarkan! "

"Kubilang, aku tidak punya! " Kurina melirik Asley di belakangnya. Asley melempar tas Morita yang sudah di cabik-cabik beserta bukunya di rusak.

Morita sangat terkejut dengan itu, dia kesal dan berteriak. Tanpa sadar teriakannya itu membuat orang-orang yang menyandungnya terpental, dan salah satu dari mereka tertusuk pecahan kaca di bagian kepalanya. "Akhhgg! " Asley menjerit melihat temannya mulai mengeluarkan banyak darah dari kepala dan matanya, dia pun berusaha lari namun kakinya tertusuk pecahan kaca.

Melihat itu Morita hanya terdiam membeku, tubuhnya gemetaran. dia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Karena ketakutannya, bangunan itu berguncang keras. Semua orang berlarian, berkata "Gempa! " Morita masih ditempatnya, fikirannga kosong. Hingga semua pun hancur dan dia mulai terbangun. "Aapa yang terjadi? "

Dia baru sadar bahwa dirinya telah berada agak jauh dari sekolahnya. Dia sangat terkejut dengan hancurnya tempat itu. Dia berdiri, dan jantungnya terasa di tusuk. Dia baru saja ingat bahwa telah membunuh seseorang.

"Kenapa , kenapa harus aku?! " Benda-benda itu mulai beterbangan. "Kuat sekali!" Kyile yang menahan dirinya dan tubuh muridnya.

"Tenanglah, Morita Kuzuki! "

***

"Ku dengar mereka mendapatkan misi mudah, tapi belum juga kembali. " Celetuk seorang wanita yang berdiri di balik bayang-bayang. "

"Arychan!" Kaoh melompat dari kursinya ingin memeluk adiknya itu. Arylin menahan Kaoh dengan tangan kuatnya. "Aku bukan anak kecil! "

"Tidak, tidak, bagiku kau masih adik kecilku. Muah! Muah! " Merasa jijik Arylin menampar Kaoh hingga tubuhnya terputar dan wajahnya bengkak.

"Swakyitnya!" Kaoh melirik Arylin yang menatap tajam membuat bulu kuduknya merinding.

"Ekh hm." Tiba-tiba terdengar suara seseorang wanita. Arylin membungkukkan tubuhnya. "Selamat datang, ayunda. "

"Bangunlah, sudah kubilang jangan terlalu kaku padaku. " Arylin pun berdiri tegak kembali. "Ini tasnya, Nyonya." Inomiya menyodorkan tas kecil itu.

"Terimakasih, Inomiya-kun. " Senyuman Lichita membuat dadanya sesak dan wajahnya memerah.

"Inomiya-kun? " Lichita menatapnya lembut, dan membuatnya semakin berdegup kencang.

"Inomiya, apa Kyile dan Sachibana belum kembali? " Kaoh menyadarkan Inomiya. "Ah, belum pak!"

"Sudah ku katakan kan, mereka tak biasanya lama. " sahut Arylin.

"Apa terjadi sesuatu? " Lichita duduk dan merapikan bajunya. "Entahlah. " Kaoh mengelus dagu berjanggutnya. "Apa aku harus menyuruhnya pergi juga? " Gumam Kaoh.

"Maksudmu, Nabari? " Kaoh mengangguk. Lichita memegang dagunya. "Kalau tidak salah aku melihatnya lompat keluar jendela. " Sahut Lichita dengan wajah polosnya.

"Ehh? " Membuat seisi ruangan terkejut. "Dia itu! " Kaoh menepuk dahinya.

"Kalau begitu aku kembali ke kelas. " Inomiya memberi salam.

"Anak itu, baru datang pergi lagi. Apa sih yang di dalam fikirannya itu. Mentang-mentang ini sekolah nenek moyangnya, kalau datang akan ku hajar dia!" Nana yang meledak-ledak.

****

Kyile menangkis semua serangan itu. "Sial, dia kehilangan kendali!" Kesal Hana. "Guru, tanganmu masih bisa bertahan?"

"Aku tidak yakin. " Luka Kyile mulai terbuka kembali. Morita benar-benar kehilangan kendali, benda-benda disekitarnya mulai terbawa seperti ada angin topan. Orang-orang mulai riuh ketakutan, mereka berlari dan keluar dari tempat mereka. "Ada apa ini sebenarnya?"

Gawat, kalau begini terus...

Kyile masih melawan Morita yang kehilangan kesadaran dan tak terkendali. Apa yang membuatnya... "Aww! "

"Sensei? "

"Aku baik-baik saja! "

"Jangan bohong, kau sudah di ambang batas kan? " Sebenarnya bukan di ambang batas, ini karena aku tidak bisa mengeluarkan seluruh kekuatanku karena bisa berbahaya. Ditambah jika jaraknya seperti ini aku tidak bisa melakukan itu. Tch! Kyile kesal.

Namun, tiba-tiba saja semua itu terhenti dan membuat mereka terkejut. Seseorang menyangga Morita yang tak sadarkan diri. "Nabari? " Kyile terbelalak. "Yo, sensei. " Bocah itu tersenyum lebar. "Apa yang kau lakukan disini?! " Eh??

"Dasar pengganggu!" Kepala Hana mengeluarkan asap. "Hana-chan, tenanglah! Mungkin Tuan Kaoh yang menyuruhnya kesini."

"Pergi sana! " Eh, dia tidak mendengarku.

Nabari menangis dan mengeluarkan ingus. "Padahal aku menyelematkan kalian. Tapi senpai, malah memarahiku!"

"Tidak peduli. " Nabari makin merengek. "Ekhg!" Kyile terjatuh dan hampir pingsan.

"Sensei?" Hana menangkapnya. "Dia terluka parah. "

"Aku tahu! "

"Senpai, kau jutek banget. "

"Tidak peduli." Hana yang sedang membuka perban lama Kyile. Tch! Hana mendesis.

"Sebaiknya kau membawanya ke rumah sakit atau apotik terdekat."

"Lalu kau ma-" Belum selesai Hana berbicara, Nabari sudah menghilang dari pandangannya dan membawa Morita. "Anak picik!"

Hana menggandeng Kyile ke sebuah apotik yang dekat dari tempat mereka. "Permisi. "

"Silahkan ma-, apa dia terluka? " Petugas itu terkejut. "Ya. "

"Tunggu, aku akan membawakan obat merah ."

Sementara itu, di sebuah pondok yang kosong. Morita mulai membuka matanya, tubuhnya sulit bergerak karena lemas. "Dimana ini?" Oh iya, tadi aku...

Dia melihat ke sekeliling dan terkejut saat melihat seorang anak berambut pirang tersenyum kecil di depannya. "Yo! Kau sudah bangun?"

"Siapa kau? "

"Aku Nabari, dan kau siapa namamu? "

"Kau fikir aku akan memberi tahumu. "

Nabari menggaruk kepalanya. "Ah benar juga ya. " Dia terkekeh.

Dia anak yang aneh. "Ah iya tenanglah, kita hanya akan beristirahat sebentar disini. Aku sedikit lelah karena harus membereskannya. "

"Membereskan? " Morita menoleh ke arah Nabari. "Eh, dia tertidur? Ini kesempatanku untuk..." Tapi entah mengapa disaat itu pun aku merasa sangat mengantuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!