Jakarta pusat, 27 September.
Siang hari ini cuaca pusat kota Jakarta sangat terik-teriknya. Khususnya di sebuah kompleks perumahan melati.
Terlihat kawasan perumahan itu begitu terik, tidak ada satu pun bayang-bayang pohon mangga yang memberikan keteduhan di pinggir jalan kompleks.
Namun, biar begitu seorang wanita dengan setelan baju kebesaran dan sebuah hijab, terlihat berjalan dengan tangan menenteng sebuah tas belanjaan.
Wanita cantik berkulit putih, tinggi, kepala yang tertutup hijab itu mempercepat laju jalannya. Kantong plastik hitam yang dibawa sampai-sampai berayun karena saking cepatnya wanita itu berjalan.
"Nyonya Airin!" Wanita itu berhenti tepat di depan rumah seseorang yang tadi dia dengar memanggil namanya.
Iya, nama wanita itu adalah Airin Pranata dan ibu-ibu kompleks di sini memanggil wanita itu dengan nama Airin.
Airin tersenyum saat ibu-ibu bertubuh berisi, menggunakan daster, berhijab, dan membawa sapu berjalan mendekat ke arahnya.
"Eh, Bu Fatma. Ada apa?" tanya Airin dengan nada bingungnya, tapi biar begitu dia tetap menyunggingkan senyum untuk wanita yang ada di depannya dan terlihat berumur jauh lebih tua darinya.
Bu Fatma yang mendengar itu hanya tersenyum. Dia bergerak membuka gerbang rumah tempatnya bekerja.
Iya, di rumah itu, Bu Fatma hanyalah seorang ART dan Airin sangat akrab dengan para ART di kompleks ini.
"Habis ke toko bu Santi yah, Nyah?" tanya Bu Fatma dengan cengegesan.
Airin yang mendengar itu melihat kantung keresek warna hitamnya dan setelah itu, dia kembali menatap Bu Fatma dengan masih menyunggingkan senyum yang sangat ramah.
"Iya, Bu. Suami saya minta dibikinin makanan, karena katanya ada temen bisnisnya yang mau berkunjung," jawab Airin dan Bu Fatma yang mendengar itu langsung menoleh ke arah kanan, untuk melihat ke blok perumahan Airin yang hanya berjarak dua blok dari bangunan tempat ia bekerja, "Ada apa, Bu?" tanya Airin bingung.
Bu Fatma yang mendengar itu langsung meringis. Dia tanpa sadar bergerak menggaruk kepalanya yang tertutup oleh hijab.
Melihat gelagat Bu Fatma yang seperti itu, Airin mengernyitkan kening bingung. Padahal tadi katanya dia buru-buru, tapi saat melihat ekspresi Bu Fatma keinginan untuk cepat sampai ke rumah menghilang dan digantikan oleh rasa penasaran.
"Tadi saya lihat ada mobil masuk ke rumah, Nyonya. Mungkin itu tamu yang Nyonya katakan tadi."
Seketika Airin langsung menoleh ke arah kompleks perumahannya dengan raut wajah panik.
Padahal pagi tadi, sebelum suaminya berangkat ke kantor. Laki-laki itu mengatakan akan mengajak teman bisnisnya berkunjung malam nanti, tapi mendengar penuturan Bu Fatma tadi. Sepertinya acara itu di majukan.
Dengan gerakan cepat, Airin menoleh untuk melihat wajah Bu Fatma yang juga sedang kepanikan, "Kalau gitu, aku pulang dulu, Bu Fatma. Terima kasih yah, assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Bu Fatma hanya bisa menatap punggung gadis muda itu dengan tatapan penuh kasihan, "Semoga nyonya baik-baik saja."
***
Airin membuka gerbang rumahnya dengan perlahan, kemudian dia langsung masuk ke dalam halaman rumah.
Airin kembali mengunci gerbang rumahnya. Wanita itu terlihat memutar tubuhnya dan kedua matanya langsung menangkap dua mobil yang terparkir di halaman rumahnya.
"Duh mampus, pasti, Mas Julian bakalan marah."
Airin berjalan cepat menuju pintu masuk rumahnya. Raut panik begitu terpahat nyata di paras cantik wajahnya. Wanita itu bergerak menggenggam gagang pintu.
Airin mendorong pintu dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara yang akan mengganggu indera pendengaran suami serta tamu yang dia yakini pasti sedang berbicara di ruang keluarga,
Kenapa dia bisa berpikiran seperti itu, karena dia bisa mendengar samar-samar suara suaminya.
"Benarkah kau tertarik dengan rongsokan itu?"
Airin seketika menghentikan gerakannya membuka pintu. Jantungnya berdegup kencang saat gendang telinganya mendengar suara suaminya yang begitu jelas membahas rongsokan yang di mana, itu adalah dia.
Iya, suaminya Julian memanggil dirinya dengan sebutan rongsokan. Entah itu panggilan sayang atau apa dia tidak tahu, tapi yang jelas Airin tidak merah dipanggil seperti itu. Malahan panggilan itu terkesan romantis di telinganya.
"Iya, istrimu itu cantik dan terlihat cukup pandai."
Airin mengenyitkan kening saat dia mendengar suara seorang laki-laki yang begitu sangat asing baginya.
Namun, lipatan di keningnya menghilang karena setelah suara asing itu. Airin mendengar suara kekehan yang terkesan merendahkan dari suaminya.
"Kau mau memiliki rongsokan itu?"
Airin mulai merasa sesak matanya tiba-tiba saja berkaca-kaca pun kepalanya menggeleng seolah tidak percaya dengan penuturan yang keluar dari dalam mulut suaminya.
"Tentu saja, tapi sialnya dia sudah menjadi istrimu. Mungkin jika ada yang mirip dengan istrimu, aku akan langsung menik-"
"Ambillah."
Airin menutup mulutnya dengan tangan kanan yang sedari tadi membawa katung keresek warna hitam, "tidak, ini bohong kan? Mas Julian tidak mungkin berkata seperti itu."
Airin menggelengkan kepalanya untuk menangkas semua perkataan yang keluar dari dalam mulut suaminya tadi.
"Tiga puluh hari."
Airin membulatkan mata saat dia kembali mendengar suaminya mengeluarkan suara.
"Buat rongsokan itu jatuh cinta padamu dalam waktu tiga puluh hari. Jika kau bisa melakukannya, maka kau bisa ambil rongsokan itu."
Airin memejamkan mata dan itu membuat air-air hangat mengalir keluar.
***
"Tiga puluh hari. Buatlah rongsokan itu jatuh cinta padamu dalam waktu itu."
Airin semakin terisak, mengingat perkataan suaminya siang tadi, membuat wanita itu serasa dihujam puluhan belati tak kasat mata.
Sungguh, dia tidak menyangka kalau Julian akan tega melakukan itu kepadanya. Apakah segitu tidak berharga dan menariknya, Airin, hingga laki-laki itu rela menyerahkan istrinya sendiri ke seseorang, layaknya sebuah rongsokan?
Saat ini Airin tengah berada di kamarnya. Wanita itu masih setia dengan baju kebesaran yang dia pakai siang tadi. Hijabnya pun masih melingkar di kepalanya.
"Apakah aku seburuk itu di matamu, Mas?" tanya Airin kepada pantulan wajahnya yang ada di cermin.
Wanita itu cantik, sangat cantik. Namun, dia tidak bisa merias dirinya, hingga diusianya yang terbilang masih cukup muda, dia seperti layaknya ibu-ibu.
"Jika karena aku berpenampilan seperti ini membuatmu, tidak suka." Airin bergerak melepas peniti yang terpasang di hijabnya, membuat kain itu terbuka, "aku akan menjadi diriku yang dulu lagi, untukmu, Mas," imbuh Airin sembari menarik lepas hijabnya, hingga surai hitam rambutnya tergerai.
...T.B.C...
...Ini karya pertamaku yang mengangkut cerita rumah tangga tersakiti. Semoga suka dan terima kasih bagi yang berkenan baca....
Tiga Hari Kemudian.
Jakarta pusat, 30 September
Suara khas sutil yang beradu dengan permukaan wajan memenuhi dapur yang saat ini tengah digunakan Airin untuk melakukan aktifitas paginya sebagai seorang istri, yaitu, memasak sarapan untuk suaminya.
Padahal jam baru menunjukkan pukul enam pagi dan Airin sudah langsung disibukkan oleh pekerjaan rumah.
Tadi setelah menunaikan ibadah salat subuh, wanita itu sudah menyapu halaman dan bagian depan rumahnya. Tanpa mengambil jeda, Airin langsung masuk ke dalam dapur. Maklum, dia tidak memperkerjakan seorang ART. Jadi, mau tidak mau, sanggup tidak sanggup, suka tidak suka, Airin harus melakukan itu.
Lagian, dengan melakukan pekerjaan seperti ini. Airin menjadi betah tinggal di rumah. Terlebih lagi, dia menjadi akrab dengan para ART tetangga kompleksnya. Contoh bu Fatma yang tiga hari lalu mengobrol dengannya.
Membicarakan tentang tiga hari lalu, Airin sudah melupakan semuanya. Doa juga sudah tidak mengingat apa yang terjadi saat itu, atau lebih tepatnya dia berusaha keras untuk tidak mengingat itu.
Airin mematikan nyala api di kompornya. Wanita itu bergerak mengangkat wajan dari atas kompor dan bergerak memindahkan tumis kangkung yang tadi dia buat ke atas piring.
Dengan perlahan dan penuh hati-hati, Airin menuang tumis kangkung itu agar tidak berceceran di pentry.
Airin kembali meletakkan permukaan bawah wajannya ke atas kompor. Wanita itu bergerak mengumpulkan rambut hitamnya yang tergerai dan setelah itu. Dia mengikat helaian surai hitam itu dengan gaya cepol.
Airin kembali menggenggam gagang wajan, mengangkatnya, dan memindahkannya langsung ke wastafel pencuci piring.
"Apa di rumah ini enggak ada orang?" Airin yang tadi hendak menyalakan keran menghentikan gerakannya, karena gendang telinganya menangkap suara teriakan seorang laki-laki dari lantai dua.
Wanita cantik yang masih mengenakan baju tidur kebesaran dan tertutup itu, mengurungkan niat untuk mencuci wajan dan beberapa peralatan masaknya. Dia memilih untuk membersihkan tangannya menggunakan lap, kemudian dia meraih sepiring tumis kangkung yang tadi dimasaknya, dan setelah itu, Airin berjalan ke meja makan sekaligus ingin naik ke lantai atas.
Airin meletakkan piring berisikan tumis kangkung itu di atas meja makan, kemudian dia melanjutkan perjalanan lagi untuk ke lantai atas. Lihatlah, diusianya yang masih dua puluh lima tahun itu, dia kelihatan seperti ibu-ibu.
Tubuhnya langsing, parasnya cantik, tapi cara dia membawa dirilah yang membuatnya terlihat seperti itu. Sangat berbeda dengan wanita dua puluh lima tahun biasanya.
***
Tidak memerlukan waktu yang lama, Airin sudah menapakkan kaki di lantai dua dan dia bahkan sudah berada di depan pintu kamarnya, asal dari suara teriakan tadi.
Airin meraih gagang pintu, menariknya ke bawah, dan langsung mendorongnya hingga jalan menuju kamar terbuka.
Sementara di dalam kamar, Julian Pranata, suami dari Airin itu langsung menoleh. Laki-laki yang berusia dua tahun lebih tua dari sang istri itu sekarang tengah berdiri dengan tatapan yang dipenuhi kekesalan dan itu mengarah ke arah lawang pintu masuk.
"Kau pergi ke mana saja, hah?" tanya Julian dengan nada tegas dan tatapan mata yang masih tajam.
Julian yang saat ini hanya bertelanjang dada memamerkan lekuk tubuh bagian atasnya dan sebagai bawahan, dia hanya melilitkan sehelai handuk.
Laki-laki berekspresi tidak bersahabat itu memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap ke arah Airin yang masih berdiri di lawang.
"Bukankah ini sudah sering aku katakan. Siapkan air, tapi mana? Kau memang rongsokan yang tidak pernah becus bekerja. Pantas saja orang tuamu menyerahkan orang tidak berguna seperti kau untuk di rawat oleh keluargaku," omel Julian dengan nada yang sangat marah.
Airin tidak menangis. Wanita itu malah menyunggingkan senyum dan bergerak mengayunkan langkah masuk ke dalam kamar.
"Aku tidak menyiapkan air, karena mengira Mas akan bangun sedikit siang. Makanya, aku membersihkan halaman dan menyiapkan sarapan terlebih dulu," jelas Airin dan itu tetap saja tidak bisa merubah raut Julian yang saat ini sudah berkacak pinggang.
"Tapi, Mas tidak perlu khawatir. Aku akan menyiapkan airnya sekarang." Airin langsung berjalan masuk ke dalam kamar mandi yang menyatu dengan ruang kamarnya itu.
Julian yang mendengar itu hanya mendengus kesal. Dia memilih untuk keluar dari kamar dan menunggu di ruang Tv, karena dia tahu kalau wanita yang berstatus istrinya itu sudah menyiapkan kopi dan koran paginya di sana.
Tidak perlu terkejut, Airin memang seperti itu. Biar pun dia tidak pernah mendapatkan namanya perlakuan baik, dia tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.
Dia tidak pernah menelantarkan suaminya, walau ia sendiri selalu ditelantarkan.
Sementara Julian. Laki-laki itu memperlakukan Airin, istrinya tak lebih dari seorang pembantu. Itulah kenapa dia tidak berniat mempekerjakan ART, agar semua pekerja rumah dihandle oleh sang istri.
Julian seperti itu, bukan karena percaya kepada, Airin. Namun, itu lebih ke sengaja agar wanita itu menyerah dan menggugat cerai dirinya.
Sebenarnya pernikahan mereka itu terjadi karena bukan berlandaskan cinta sama cinta. Melainkan ikatan itu tercipta karena perjanjian bisnis semata. Itulah kenapa Julian bersikap seperti itu dan kejadian seperti ini sudsh terjadi selama lima tahun pernikahan mereka.
Makanya tadi tanpa diberitahu oleh Airin, dia sudah tahu harus menunggu di mana karena faktor terbiasa.
***
"Ini tasnya, Mas." Airin menyerahkan tas kantor ke suaminya. Wanita itu masih berpenampilan sama dengan yang tadi pagi.
Jujur, Julian begitu enek melihat rupa wanita di depannya ini. Laki-laki itu bergerak mengambil alih tas itu dari genggaman tangan istrinya.
"Semua keperluan, Mas sudah ada d dalam tas itu. Seperti, laptop, beberapa berkas penting, dan bahan presentasi sudah ada," terang Airin dan Julian hanya mengacuhkan wanita itu.
Bahkan saat Airin hendak menyalami tangannya, Julian jauh lebih dulu berlalu pergi. Wanita itu hanya bisa menatap nanar punggung suaminya, tapi itu tidak berlangsung lama karena sedetik kemudian, dia menyunggingkan senyum.
"Aku akan memberikan, Mas kejutan nanti. Jadi, cepatlah pulang," gumam wanita itu dan dia langsung menutup pintu rumahnya.
Di sisi Julian. Laki-laki itu sekarang sudah berada di dalam mobil dengan tangan terangkat menempelkan ponsel di depan telinga.
"Jalankan rencanamu dengan cepat, sialan. Aku sungguh sudah muak dengannya." Julian langsung memutus panggilan suaranya sepihak dan laki-laki itu langsung melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah.
***
Jakarta pusat, 22.00pm
Airin tersenyum saat dia melihat pantulan wajahnya yang sudah dihiasi oleh beberapa make up. Rupa ibu-ibu yang sering terpancar dari dirinya malam ini menghilang dan tergantikan dengan paras rupawan khas wanita seumurannya.
Rambut hitamnya pun sudah dia biarkan tergerai dan ujungnya sengaja ia keriting kan, agar terkesan lebih cantik.
Tubuhnya pun sudah tidak lagi dibungkus oleh baju kebesaran dan sekarang dia terlihat memakai dress santai berwarna merah darah, tapi terlihat begitu elegan dan sangat kontras dengan kulit putih miliknya.
Sungguh Airin sekarang tidak mempercayai pantulan yang ada di cermin. Setelah lima tahun lamanya tidak pernah peduli dengan tubuhnya, akhirnya Airin memilih kembali ke penampilan sebelum dia menikah dulu.
Awalnya dia tidak mau begini, karena takut menarik perhatian laki-laki selain suaminya, tapi karena suaminya sendiri tidak pernah perhatian. Dia akan mencoba menariknya dengan cara ini.
Airin melihat jam dinding, pukul sepuluh tepat dan dia baru sadar kalau sedari tadi dia tidak merasakan tanda-tanda suaminya pulang.
Airin bangkit dari meja riasnya dan langsung berjalan cepat untuk keluar dari dalam kamar dan langsung turun ke lantai satu.
Suara pintu yang diketuk kasar langsung menyambut indera pendengaran Airin. Mendengar dari suara ketukannya yang brutal, dia bisa menebak itu adalah suaminya, tapi kenapa tadi dia tidak mendengar adanya suara mesin mobil.
Airin tidak mau memikirkan itu dan dia lebih memilih untuk berjalan mendekati pintu. Setelah sampai, wanita itu bergerak meraih gagang pintu, dan langsung menariknya ke belakang.
Deg!
Degup jantungnya langsung berdetak sangat cepat, kedua matanya membulat dan mulutnya sedikit menganga.
"Mas!"
...T.B.C...
...Dag dig dug serrrrr...
"Mas ...." Airin terkejut saat kedua matanya melihat dengan jelas suaminya tengah bercumbu dengan seorang wanita.
Airin kembali membulatkan mata tidak percaya, karena melihat suaminya tidak bereaksi sedikit pun. Wanita itu bergerak, menarik pundak Julian, hingga dia berhasil membuat Julian menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke belakang.
"Siapa kau?" tanya Julian dengan mata sayu pun napas yang dia keluarkan mengeluarkan bau menyengat khas minuman beralkohol.
Airin menggelengkan kepalanya. Tangan kirinya bergerak menjepit hidung dan tangan kanannya langsung mengipas depan wajah.
"Sayang, apa kau mau membiarkanku berdiri di sini hingga larut malam?"
Airin membulatkan mata saat mendengar suara seorang wanita yang sangat dia kenali. Perempuan yang sudah rapi dengan dress terusan hingga paha itu bergerak menarik tubuh suaminya, untuk mencari tahu pemilik dari suara wanita itu.
"jadi, kau yang membuat suamiku pulang dalam keadaan seperti ini, Clara."
Airin menajamkan pandangannya saat melihat wanita berbadan mungil saat ini tengah tersenyum untuknya. Sementara Julian, laki-laki itu sudah menyingkir sedikit ke samping kanan, tapi dia masih berada di luar.
Clara Chelsea, dia wanita yang berprofesi sebagai model sekaligus kekasih dari Julian. Mereka berdua sudah menjalin kisah cinta sebelum Julian menikah.
Seperti yang dikatakan, Pernikahan Airin dan Julian ini terjadi karena kedua keluarga melakukan perjanjian bisnis.
Jika saja perjodohan itu tidak terjadi, maka bisa di pastikan Julian akan menikahi Clara. Namun, takdir mempermainkan kisah cinta Julian, yang harus terpaksa menikahi Airin.
"Hai, Airin, selamat malam. Bolehkah kami masuk?" Clara berlagak sopan, tapi Airin tahu maksud perkataan yang keluar dari mulutnya itu adalah merendahkannya.
"Kau memanggil wanita itu siapa?" tanya Julian yang saat ini dalam.pengaruh alkohol.
Begitulah sikap laki-laki itu jika kebanyakan minum. Dia tidak akan mengingat siapa yang begitu tidak terlalu penting dalam hidupnya.
"Dia, Airin, Sayang. Istrimu." Clara mengenalkan Airin kepada Julian, membuat laki-laki itu menganggukkan kepalanya.
"Apa yang kau maksud itu adalah si rongsokan?" cicit Julian dan Clara yang mendengar itu hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Sementara Airin yang dipanggil seperti itu hanya bisa diam. Kemeriahan yang tadinya meluap entah kenapa langsung padam.
Ternyata penampilannya ini tidak membawa pengaruh apapun, karena tetap saja dia mendapatkan panggilan rongsokan dari sang suaminya.
Satu hal yang harus kalian ketahui. Julian hanya memanggil nama istrinya saat mengucapkan ijab kabul dan setelah itu. Dia tidak pernah lagi memanggil nama itu.
"Airin, eh rongsokan. Maaf bukan aku yang mengatakan itu, tapi tadi kau dengar sendiri kan?" Clara mulai memanas-manasi Airin.
Airin yang mendengar kata-kata rongsokan yang keluar dari mulut, Clara tentu tidak terima.
Boleh saja Julian memanggilnya seperti itu, tapi jika ada orang lain yang ikut-ikutan tentu dia akan marah.
"Ka-"
"Hai, rongsokan. Minggir! Menjauh dari jalanku!" Julian menyela ucapan yang tadinya akan keluar dari mulut, Airin.
Laki-laki itu bergerak mendorong tubuh istrinya ke samping, hingga Airin tidak lagi berdiri di lawang pintu masuk.
"Dasar sampah," ujar Julian setelahnya dan dia langsung bergerak melingkarkan tangannya di pinggang ramping, Clara, pujaan hatinya sedari kuliah dulu.
Julian dengan rupa yang sudah berantakan menuntun Clara masuk ke dalam rumahnya. Sementara Airin, wanita itu hanya bisa diam saat melihat suaminya sendiri membawa wanita lain masuk ke dalam rumahnya dan itu bahkan Julian lakukan dengan terang-terangan.
Sebenarnya ini sudah sering terjadi. Jika Clara sudah berada di sini, berarti dia sebagai istri sah menyingkir.
Padahal yang seharusnya terjadi, bukan seperti ini. Dia tidak sepantasnya diam kan? Iya, kan? Airin seharusnya melawan saat wanita yang berstatus kekasih gelap sang suami bertingkah seperti itu, dia harus melawan bukan?
"Mas, berhenti!" Airin mengangkat suara dan ini kali pertama wanita itu berani. Entah ia mendapatkan keberanian dari mana, dia tidak tahu, tapi yang jelas ia sudah lelah diam.
Sementara Julian. Laki-laki itu menghentikan langkah tepat di anak tangga pertama. Dia bergerak memutar posisi berdirinya menghadap ke arah Airin dan Clara yang masih menempel di tubuhnya ikut menatap ke arah wanita yang malam ini kelihatan begitu sangat malang, menurutnya.
"Minta wanita itu pergi sekarang!" perintah Airin sembari tangan kanannya menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka lebar.
Mimik wajah waita itu kelihatan sangat marah. Garis-garis wajahnya juga terlihat mengetat.
Sementara Julian, bukannya mengikuti perkataan Airin. Dia malah bergerak mengurai pelukannya di pinggang Clara.
Laki-laki itu berjalan mendekati Airin, "Kau punya hak apa hingga berani memerintah seperti itu?" Dengan penuh penekan dan tatapan mata yang tajam, Julian bertanya. Bahkan sekarang tangan kanannya sudah mencekal lengan otot Airin yang tidak terlalu apapun.
Airin meringis, air mata yang sedari tadi dia tahan mengalir keluar. Sungguh, dia sebenarnya tidak kuat berada di posisi seperti ini.
Jika dulu dia punya pilihan menolak, Airin akan memilih itu saja. Namun, sialnya lima tahun lalu dia tidak diizinkan untuk itu.
"Kau lupa statusmu di tempat ini?" tanya Julian dengan tatapan mata yang begitu sangat merendahkan Airin.
Airin masih diam. Dia lebih memilih meringis dari pada menjawab kata-kata yang keluar dari mulut suaminya itu.
Julian yang sudah jengah melihat wajah wanita itu langsung menghempas tubuh Airin, hingga jatuh terduduk di lantai.
"Biar pun kau merubah penampilanmu seperti itu, kau tidak akan bisa merubah pandanganku." Julian bergerak untuk menekuk lututnya.
Laki-laki itu bergerak menjepit sisi pipi Airin, "Kau rongsokan dan tetaplah berperilaku sebagai barang tak layak pakai!" Julian menghempas kepala Airin, membuat wanita yang tadinya terduduk itu, langsung berposisi sedikit tiduran.
Julian kembali berdiri dan berjalan mendekati Clara yang saat ini tengah menatap Airin degan pandangan sangat-sangat merendahkan.
"Maaf yah, malam ini aku mengambil posisimu dulu, rongsokan."
Setelah mengatakan itu, Clara dan Julian kembali menaiki anak tangga. Sementara Airin, wanita itu hanya bisa duduk meringkuk dengan punggung bersandar di dinding.
Sungguh, padahal dia mengira kalau Julian malam ini akan merubah sikapnya setelah melihat penampilan Airin yang sudah tidak lagi seperti ibu-ibu. Namun, ternyata tetap saja. Mau dia berdandan atau tidak, Julian ternyata memang sudah tidak menyukainya dari awal.
Namun, biar begitu Airin tidak menyerah. Entah kenapa disaat-saat seperti ini, dia mengingat obrolan suaminya tiga hari yang lalu.
Airin menghapus air matanya dengan gerakan kasar, "Baiklah, kalau hal itu yang kau inginkan, Mas." Airin mencoba meredam tangisnya.
Wanita itu menarik napas, "Aku akan mengikuti apa yang, Mas inginkan. Termasuk permainan itu." Ujar Airin dan wanita itu bertekad untuk mengubah semua ini. Dia sudah lelah menjalani hidup seperti ini dan kita lihat apa yang akan terjadi setelah malam ini.
...T.B.C...
...Nah, nah, apa nih?...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!