Bab 1
(Kenyataan pahit)
Kenyataan pahit harus Arisya alami bukan hanya karena kisah hidupnya yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua, tapi juga kenyataan bahwa ia memiliki rambut yang berbeda dari kebanyakan. Rambutnya saling menempel seperti rambut gembel, dan yang lebih menyedihkan lagi adalah rambut Arisya tak dapat dipotong jika dipotong maka akan membahayakan nyawanya. Untung saja nenek begitu menyayanginya ia melakukan berbagai usaha untuk mengatasi rambut gembel Arisya itu.
Awal kali nenek tau bahwa rambut Arisya tak dapat dipotong adalah saat Arisya berusia 40 hari. Saat itu bayi Arisya harus mengalami masa kritis selama beberapa hari, sesaat setelah rambut Arisya dipotong. Namun, nenek belum menyadari akan keanehan rambut Arisya. Hingga saat Arisya berusia 2tahun rambutnya mulai kusut, padahal rambut Arisya selalu dirawat dengan baik. Bahkan, semakin lama semakin menyatu seperti rambut gembel meski hanya rambut bagian belakangnya saja. Nenek yang melihat itu tanpa pikir panjang memotong bagian gimbal itu. Namun, saat rambut itu dipotong tubuh Arisya mengalami demam dan kejang-kejang, Arisya kembali kritis hingga beberapa hari.
Mulai saat itu nenek tidak berani memotong rambut Arisya, karena berpikir setiap rambut itu dipotong maka ia akan menyakiti Arisya. Sebagai pencegahan nenek rutin membawa Arisya kecil ke salon untuk melakukan perawatan namun hasilnya sama saja rambut belakang Arisya tumbuh dengan keadaan kusut dan semakin lama semakin melekat rambut gimbalnya semakin seperti rambut gembel, segala cara telah dilakukan nenek namun semua sia-sia rambut Arisya tetap seperti itu seperti rambut gembel.
Langkah satu-satunya yang bisa nenek lakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri Arisya adalah menutup rambutnya dengan head scarf atau topi, namun bagi orang-orang yang mengetahui keadaan Arisya mereka tak mau dekat dengan Arisya bahkan mengolok-oloknya dan memanggilnya dengan si gembel
"Tiiiiiin... Tiiiin"
Suara klakson motor yang terdengar tanpa henti dari arah garasi, dan baru berhenti saat seorang gadis berkaca mata dan memakai head scarf di kepalanya berlari mendekat
"Riaan, berisik tau!" Arisya memanyunkan bibirnya dan naik keatas motor.
"Lagian lama banget, jam berapa ini Arisya, " ucap seorang pemuda tampan yang bernama Rian, Rian adalah sahabat satu-satunya Arisya, ibu Rian bekerja pada nenek sejak kami masih kecil, sehingga kami selalu bersama baik di rumah maupun di sekolah.
Arisya dan Rian selalu bersekolah di sekolah yang sama meski tak sekelas seperti saat ini Rian memilih jurusan IPA, sedangkan Arisya, IPS.
"Sudah sampai tuan putri yang cantik, silahkan turuun," tutur Rian sambil menghentikan motornya.
Arisya yang diperlakukan seperti itu hanya bisa memukul punggungnya dan turun.
"Nanti pulang bareng ya, aku ga ada kegiatan hari ini," ucap Rian
"Ok, bos!" Arisya menoleh sambil mengacungkan jempol.
Dulu mereka selalu berangkat dan pulang bersama. Namun, kesibukan Rian bertambah di satu tahun belakangan, semenjak Rian menjabat sebagai ketua OSIS .
Arisya yang selalu merasa berbeda itu selalu berjalan menunduk, berusaha menghindari pandangan sinis dan menghina dari orang sekitar.
Arisya merasa bahwa dirinya hanya dianggap seperti sampah yang merusak pemandangan mereka setidaknya itu yang ia dengar dari mulut mereka.
Semua cacian dan hinaan perlahan menjadi biasa Arisya terima, sakit memang, tapi apalah daya tangannya tak sanggup menutup mulut mereka. Di kelas Arisya duduk sendiri di pojok belakang, sebenarnya murid di kelasnya berjumlah genap. Namun, tak ada seorang pun yang mau duduk bersamanya. Seperti halnya Dewi yang seharusnya duduk dengannya pun tak mau. Ia bahkan lebih memilih untuk menghadap guru dan kepala sekolah agar mencarikan bangku lain atau memindahkan ke kelas lain saja dibanding harus duduk di dekat Arisya.
Arisya meletakkan tasnya lalu duduk menatap keluar, dari lantai dua ini Arisya dapat melihat dengan jelas kegiatan di lapangan, di mana anak lain tampak bahagia bersama sahabat mereka, sedangkan Arisya? tak satupun disekolah ini yang mau mendekat atau sekedar bertegur sapa dengannya kecuali Rian.
"Kriiiiing... Kriiing... Kring"
Tiga bunyi tanda dimulai pelajaran, seperti biasa hari-hari di kelas begitu membosankan tak ada canda tawa seperti murid lainnya yang bisa Arisya lakukan, bukan tak mau bergaul tapi dengan penampilannya yang seperti itu membuat semua orang menghindar darinya mungkin mereka merasa jijik.
"Kriiing.... Kriiing"
Dua bunyi bel tanda jam istirahat tiba, dulu saat istirahat biasa nya Rian datang untuk menghabiskan waktu istirahat. Namun, kesibukannya sebagai ketua OSIS membuatnya tak bisa datang lagi, aku memakan bekal di kelas dan berjalan menuju Perpustakaan tempat tersepi saat jam istirahat karena sebagian besar murid, lebih suka pergi ke kantin untuk mengisi perut atau sekedar menghabiskan waktu bercanda tawa di sana, Arisya sangat ingin seperti mereka. Setelah menghabiskan waktu di perpustakaan Arisya kembali ke kelas. Namun, kali ini saat akan kembali tanpa sengaja Arisya berpapasan dengan Putri, Nani, dan Ririn
"Hey gembel kamu ngerusak pemandangan aja sih, sana pergi," bentak Putri yang berdiri tepat didepan ku.
"Iya nih gembel, ga usah so keluyuran di sini deh, mending sono no di jalanan, bikin enek aja," tambah Ririn disertai dorongan di tubuh Arisya hingga terhempas ke dinding kelas.
"Akh, jangan tolong lepaskan! " Arisya merintih pelan saat Putri menarik kerah bajunya.
Tak ada yang membela bahkan sepertinya murid disekolah sangat menikmati setiap adegan dihadapan mereka, mungkin mimik menyedihkan di wajah Arisya membuat hiburan tersendiri bagi mereka.
"Kriiing... Kring... Kring"
"Put, masuk tuh! yuk! " Suara bel masuk berbunyi, kali ini bel ini menyelamatkan ku
"Lo tau kan siswa gembel kaya lo itu ga diterima di sekolah elite ini, ngerusak pemandangan tau! Jadi harusnya lo tuh tau diri jangan pernah nongol didepan murid sini! " Putri menghempaskan Arisya begitu saja hingga jatuh kelantai kemudian berjalan meninggalkannya. Arisya pun berlari ke kelas tanpa mampu menahan air matanya. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Arisya meratapi nasib buruk yang ia alami selama ini.
"Kriiing"
Suara bel pulang berbunyi disambut suara gaduh di kelas. Arisya masukkan perlengkapan sekolah kedalam tas dan saat akan berjalan keluar kelas
"Heh gembel! mau ke mana sih? buru-buru amat. " Sebuah tangan menarik tas Arisya, hingga tampak seorang gadis cantik dengan mata yang indah, badan tinggi langsing dan bibir tipis yang tengah menatap sinis Arisya. Dia adalah Renata gadis terpopuler disekolah, entah apa yang ia pikir tentang Arisya sehingga ia begitu membencinya.
" Nih cuci muka dulu, biar seger!"
"Cuurr"
Tiba-tiba sebotol air di tuang tepat di atas kepala Arisya.
"Nah, bener tu Re! Ajarin kramas sekalian biar ga gembel gitu!"
Gadis lainnya ikut mengolok Arisya, disambut tawa dari yang lainnya, Arisya menatap setiap orang di kelas ini yang seperti nya begitu menikmati, layaknya menyaksikan sebuah tontonan gratis.
"Hufff.. " Sebuah hembuskan napas panjang terdengar, di susul tarikan kuat pada tasnya, kemudian Arisya berlari meninggalkan kelas.
Sepanjang koridor semua mata menatapnya tanpa perasaan, akhirnya lagi-lagi air mata mengalir. Arisya mempercepat langkah kaki ini
"Brug"
Kepalanya membentur sesuatu yang keras, sebuah dada bidang yang kokoh, beraroma maskulin yang tak asing. Dengan menghirup aroma ini saja hatinya merasa tenang.
"Mereka mengganggumu lagi? " Arisya memandang mata indah Rian yang kini tampak memancarkan kemarahan
"Ayo! biar ku hajar mereka! " lanjut Rian sambil menarik tangan Arisya, sedangkan Arisya tak bergerak dan menarik balik tangannya.
"Ayo pulang aku cape! " Arisya berjalan meninggalkannya hingga mau tak mau Rian mengikuti berjalan pulang meski api kemarahannya itu belum juga padam
"Kenapa kamu selalu seperti ini Sya, sampai kapan kamu akan terus menerima perundungan itu?" Seharusnya kamu melawan mereka dan tunjukkan pada mereka bahwa Arisya tidak takut. Ayo Sya, lawan mereka, jangan diem aja sya! "
"Apakah ada gunanya? Kedua tangan ini tak mungkin bisa menutup seluruh mulut di dunia ini yan, jadi biarlah ku pakai tangan ini untuk menutup telinga ku saja. " ucap Arisya
"Humff... Aku hanya tak rela kamu menderita terus Sya! " Rian membelai kepalaku.
"Udah ayo pulang! Jangan ngebut yaa.. Aku masih ingin hidup, pengen liat kamu jadi dokter nanti." Saat tiba di parkiran Arisya mengambil helm dari tangannya sambil tersenyum manis agar Rian melupakan kejadian tadi
"Dasar bodoh! Sudah begitu masih bisa ketawa " Rian tersenyum kecut sambil memukul kaca helm Arisya hingga tertutup
"Oh iya yan, kapan masa jabatan mu berakhir?"
"Tiga bulan lagi setelah Ulangan semester 1, mungkin pelantikan pengurus baru, ada di bulan januari kenapa?"
"Ga, cuman akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk jadi aku penasaran?"
"Jangan-jangan kamu kangen sama aku yaaaa...? " Ia tertawa meledek
"Enak saja mana mungkin aku kangen aku cuman kehilangan tempat sampah untuk bekalku, setiap hari nenek marah karena bekalnya masih, padahal bekal dari nenek itu banyak, bahkan bisa dimakan 5 orang, "
"Haaa... Betul juga kamu Sya, jadi selama ini, kamu manfaatin aku ya? "
"Iya sih tapi kamu suka kan?"
"Ya iya lah, bekal dari nenek itu ga ada duanya Sya, laziiiz?" Motor melaju hingga tiba di rumah.
Setibanya di rumah Arisya turun di depan pintu utama sedangkan Rian menuju arah belakang rumah, Rian tinggal di luar rumah keluarga yang letaknya di area belakang, Mama Lia yang meminta agar bisa tinggal di sana.
Arisya membuka pintu dan mengucapkan salam dengan lantang seperti biasa. Namun, ternyata ada tamu.
"Upst.." Assalamu'alaikum nenek, Bu, Pak, " Arisya mengulang salamnya yang urakan tadi, sembari mencium punggung tangan pria dan wanita paruh baya di depannya.
"Naik dan ganti baju mu dulu sya!" Suara nenek ditekan seakan mengusir Arisya untuk cepat pergi.
"Mba, apa dia Arisya? " Suara wanita itu memotong kata-kata yang baru akan Arisya ucapkan, tepat saat Arisya membuka mulutnya.
"Ganti baju mu dulu sya,, bau tauuuu, "
"Baik nek,"
Arisya menggukkan kepala sambil tersenyum untuk menghormati mereka dan pergi ke kamar. Namun, sekilas aku melihat perasaan sedih dimata mereka, baru beberapa langkah Arisya berjalan, wanita itu berlari dan memeluknya mencium keningnya sambil menangis.
"Siapa wanita ini? kenapa Seakan-akan ia mengenal ku, " batin Arisya
BAB 2
Diary 1
"Siapa wanita ini? kenapa seakan-akan ia mengenal ku," batin ku
"Ibu siapa? " Hanya itu yang bisa aku ucapkan ditengah keterkejutan ku
"Oma mirna, panggil aku oma Mirna, ya Nak! " Ku alihkan pandanganku pada nenek yang hanya menundukkan pandangannya itu.
"Aku adik kakek Wira Atmaja, Mirna Atmaja. " Oma Mirna mengulas sedikit senyum dan menarik ku duduk bersama mereka.
"Kakak aku hanya ingin menebus kesalahan ku dan menjalankan pesan Syakira, "
"Apa yang ingin kau lakukan pada cucuku? Apakah tak cukup kau buat aku kehilangan putri kesayanganku?"
"Kakak saat itu aku hanya ingin syakira bahagia hidup bersama orang yang ia cintai, "
"Kebahagian seperti apa yang bisa diberikan oleh seorang pedagang keliling? kamu pikir hidup ini cukup dengan makan cinta? Kami orang tuanya tak mungkin membiarkan dia hidup menderita dan kamu datang seperti peri kesiangan yang menjanjikan cinta, cinta yang bodoh! "
"Kakak aku mengku salah, namun Syakira ingin agar aku menjaga putrinya, ijinkan aku memenuhi tanggung jawabku. " Oma Mirna menangis sambil bersimpuh di kaki nenek.
"Pergi, aku mampu menjaga cucuku! jangan ganggu kami. Tugasmu hanya mengurus harta suamiku sampai saat nanti Arisya mampu mengurusnya. "
"Kakak"
Oma Mirna ingin mengatakan sesuatu namun
"Pergi....! "
teriakan Nenek menghentikan perkataannya. Pria yang bersamanya tadi bangkit dari tempat duduknya dan memapah oma Mirna berjalan kearah pintu tanpa berpamitan dan berbalik menatapku ketika sudah sampai di depan pintu, raut kesedihan tergurat dari wajah keduanya. Aku yang tidak mengerti hanya bisa melihat kejadian ini dengan perasaan yang tidak bisa aku pahami. Tadi oma berkali-kali menyebut nama ibuku dan siapa pria pedagang keliling yang disebut nenek tadi apakah dia ayahku?
Selama ini nenek menutup rapat apa pun yang berkaitan tentang siapa aku, yang ku tau aku cucu nenek dari putri satu-satunya yang bernama Syakira Maharani Atmaja,
Oma Mirna dan suaminya telah pergi, aku berusaha meminta penjelasan pada nenek namun nenek tak ingin mengatakan apapun
"Aku lelah ingin istirahat!" Hanya kata itu yang diucapkan nenek, Mama Lia mendorong kursi roda nenek dan meninggalkanku
Ku langkahkan kakiku ke kamar, ku jatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Ku pejamkan mata berusaha menyusun puzzle kata antara nenek dan oma barusan berharap ada sedikit gambaran tentang siapa aku, seandainya aku bisa bertemu dengan oma Mirna, mungkin aku akan tau siapa aku dan kenapa aku begini?
"Jeleeeeek, banguun ayo temenin aku main gitar! ayoo turun.. " Rian masuk ke kamar ku lalu menarik tanganku, seperti anak kecil
"Apaan sih ngantuk tauuu! "
"Jangan tidur terus nanti gendut, ayo main gitar! " Sambil menarik ku turun ke ruang keluarga.
Diruang keluarga aku masih cemberut memasang wajah mode ngamuk.
"Haaa... " Suara tawa Rian terdengar
"Kamu cakep banget tau klo ngambek gitu, foto ya, haa.. " Rian mengarahkan ponselnya ke arahku. Aku berusaha mengambilnya. Namun, ia menghindar dan berlari, membuatku yang sedang marah semakin ingin menangkapnya dan memberikan pelajaran padanya, ruangan yang tadinya rapi mendadak jadi seperti kapal pecah air di meja pun tumpah aku tak perduli dan masih berusaha menangkapnya. Namun, saat aku sudah akan menangkapnya kaki ku terpeleset tumpahan air, dan tubuh ku menabrak tubuh Rian hingga kami terjatuh kelantai dengan posisi tubuh ku menindih tubuh Rian, sesaat pandangan kami beradu, menciptakan perasaan nyaman setiap kali menatap matanya, seolah-olah mata itu memeluk hatiku, rasa hangat dan nyaman berbaur bersama getaran-getaran membuat perasaan menjadi sulit dijelaskan
"Riaaan, Arisyaa... Apa yang kalian lakukan? " Suara mama menggelegar menyadarkan kami. Kami pun bangun dengan salah tingkah, untung mama tak melihat ke arah kami, hingga akhirnya mama menoleh kearah kami, sambil melotot
"Bereskan! Kalian klo sudah bercanda kayak anak kecil, ga ada yang mau ngalah, huft! "
Mama Lia menghembus kan nafas dengan kasar, lalu pergi.
Mama Lia bukan lagi orang lain bagi ku, aku bahkan sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri sejak lahir nenek dan mama Lia lah yang mengasuh ku
"Kamu sih, " Ku senggol tubuh Rian dengan sengaja, kami merapikan kembali ruangan ini. Setelah selesai Rian tampak memegang gitar dan Memetiknya aku menyahut petikan gitar itu dengan bernyanyi. Bernyanyi bersama membuat ku melupakan kejadian siang ini.
"Jangan membuat nenek sedih, " ucap Rian sambil menatap ku seperti tau apa yang aku pikirkan, ia menghentikan permainan gitarnya lalu tangannya mengambil remote dan menyalakan film drakor kesukaan ku,
"Ya aku tau," Sambil merebut remote ditangannya
Mama Lia datang membawa cemilan dan ikut duduk di sampingku lalu memeluk ku, kami menonton hingga makan malam siap, namun nenek tidak ikut makan malam
"Nenek ga enak badan jadi kalian makanlah dulu," Ucap mama Lia
Setelah selesai makan ku sempatkan ke kamar nenek mencium kening perlahan agar tidak Membangunkannya, setelah itu aku pun ke kamar untuk tidur.
Saat alarm berbunyi tanda hari sudah pagi, seperti biasa setelah berganti baju aku menuju meja makan, terlihat nenek dan mama Lia sedang asik membicarakan mawar yang mereka tanam 3 minggu yang lalu kini sudah berbunga,
"Nenek, aku sayang nenek emuah, "
Ku peluk dari belakang wanita tua yang kini hanya bisa duduk di atas kursi rodanya itu, lalu mencium secara bertubi-tubi di pipinya yang keriput. Sejujurnya aku takut kehilangan wanita ini, wanita yang dengan bersusah payah menjaga ku.
"Selamat pagi wanita-wanita ku, pagi ini kalian terlihat cuantik sekali" Rian tersenyum lalu memasukkan gorengan kemulut nya
"Riaan ga sopan kamu, duduk dulu baru makan, lihat tuh anak gadisku sikapnya manis sekali, ga kayak kamu boro-boro nyium, bilang sayang aja ga pernah, " Gerutu mama Lia,
"Plak" Nenek memukul dengan lembut tangan mama Lia.
"Sudah ayo makan cucu-cucu ku sudah lapar tuh, kamu malah ngambek, mana ada anak bujang yang manis, anak bujang harus tegas dan bertanggung jawab seperti Rian, " Nenek memang selalu membela Rian, meskipun Rian hanya anak seorang pekerjanya, nenek tidak membeda-bedakan kami, kami bersekolah di sekolah yang sama dan mendapat uang jajan yang sama besarnya, bahkan setiap kali nenek membelikan sesuatu untukku maka nenek pun akan membelikan sesuatu untuk Rian, nenek selalu berpesan agar kami selalu saling menjaga karena nenek hanya memilikiku dan Rian.
Setelah sarapan kami pun berpamitan dan berangkat sekolah bersama. Namun saat motor kami keluar perumahan ada sebuah mobil mengikuti kami, mobil mewah berwarna merah dengan plat B.
"Wah ada yang ngikutin kita sya! "
"Trus gimana?"
"Ini jalur yang rame sya mereka ga mungkin melakukan sesuatu yang melanggar hukum jadi tenang dulu kita lihat apa mau nya. "
Tak lama mobil mewah itu mendekati kami, dan perlahan kaca mobil itu terlihat semakin terbuka hingga terlihat oma Mirna tersenyum ke arah kami dan ada juga suaminya yang sedang menyetir
"Arisya oma mau ngobrol, di depan sekolah kamu aja, boleh ga? klo boleh oma ikutin ya di belakang motor kalian? "
"Rian gimana, temuin ga?"
"Terserah kamu sya,"
"Tapi jagan bilang nenek ya yan,"
"Iya"
aku mengangguk kearah oma Mirna. Dan mereka memposisikan mobil mereka di belakang motor kami
Saat di depan sekolah Rian menghentikan motornya dan oma Mirna menghampiri kami, ia turun dan memelukku
"Sayang, oma cuma mau pamitan, oma akan kembali ke Jakarta. " Tangannya membelai pipiku, matanya terlihat teduh, kerutan diwajahnya bahkan tidak menghapus sisa-sisa kecantikan di masa lalu, wanita ini begitu cantik, anggun dan lembut
"Maaf oma aku ga tau harus bersikap seperti apa, sejak kecil aku hanya kenal nenek, mendengar kisah ibu yang hanya sebagian dari nenek, aku tak pernah tau yang sebenarnya, aku berharap oma bisa membantuku untuk menceritakan sesuatu?"
Oma menghembus kan nafas nya lalu mengambil tasnya dan menyerahkan sebuah buku,
"Ini buku diary yang ditulis ibumu, kamu tau ibumu sangat suka menulis tidak? Bahkan semasa hidup ia adalah salah satu penulis yang handal di novel toon, apa kamu tau itu?"
"Ya aku tau nenek menceritakan itu, dan aku sudah baca beberapa buku diary ibu ada beberapa buku diary saat ibu bersekolah, nenek yang berikan."
"Yah,, bacalah buku ini tapi jangan sampai nenek mu tau, dan di halaman akhir oma sudah selipkan no telfon hubungi oma jika butuh sesuatu. "
"Baik oma" Kami berpelukan dan berpisah.
Saat memasuki halaman sekolah bel masuk sudah berbunyi, aku berlari memasuki kelas
"Brug"
Suara benturan disusul teriakan
"Aduh maaf aku ga lihat jalan tadi, maaf nabrak. "
Bab 3
(Teman baru)
"Aduh maaf aku ga lihat jalan tadi, jadi aja nabrak. "
Seorang gadis berkulit putih, rambutnya lurus sebahu, terlihat begitu cantik di tambah mata coklat nya itu ia tampak begitu sempurna. Namun kini ia jatuh terduduk di hadapan ku sambil memegangi dahinya. Dilihat dari seragam yang ia kenakan ia bukan lah murid dari sekolah ini. Aku bangun dan mengulurkan tanganku
"Aku juga minta maaf, kamu mau ke mana?"
"Ke kelas 12 IPA 1," Meraih tangan Arisya lalu berdiri.
"Ayo aku juga mau kesana, itu kelas ku. "
"Betulkah, kenalin namaku Camilla, pake C ga pake k, dan jangan lupa dobel L ya. " Ia memperkenalkan diri dengan penuh percaya diri
"Aku baru pindah kesekolah ini eh malah terlambat,"
"Kenapa ga ke kantor cari Bu Viona dulu? "
"Udah tadi, tapi bu Vionanya ga ada."
"Eh nama mu siapa? "
"Arisya, gadis cupu berambut gembel. Kamu pasti jijik kan, tenang aja kita ga harus berteman kok, aku cuman mau tunjukan kelasnya setelah itu kamu boleh pura-pura ga kenal dengan ku. " ucapku dengan suara lirih. Aku harus mengatakan itu karena aku tau pasti tak mudah baginya menerima aku dengan rambutku yang seperti ini. Jujur aku takut jika menganggap nya teman, takut jika setelah pertemuan ini ia akan menghindariku dan mungkin ia akan menjadi bagian dari orang-orang itu yang setiap hari memandang rendah dan hina pada ku
Gadis itu berjalan di belakangku dengan tatapan bingung, dari pantulan kaca jendela aku melihat ia memandangku dari atas sampai bawah kemudian mengamati rambutku.
" Itu kelasnya aku masuk dulu! "
"Kenapa? " Ia memegang tanganku
"Sudah, nanti juga tau, " Sebenarnya jika dilihat dari caranya menatap ku dan memperlakukan ku, sepertinya ia gadis yang baik tapi dalam lingkungan sekolah ini semua memusuhi ku aku takut jika ia merasa tak nyaman jika harus berteman dengan ku.
"Anak-anak hari ini kita kedatangan murid baru namanya Camilla, ia pindahan dari LN jadi tolong bantu dia menyesuaikan diri ya," Bu Viona datang bersama Camilla yang entah bertemu di mana mereka.
"Camilla silahkan duduk di.... " Bu Viona tampak berpikir ada 2 kursi kosong yang satu di samping ku dan yang satu di samping Dewi.
"Saya duduk di sana saja bu, " Camilla menyela sambil menunjuk kearah ku
"Camilla jangan di sana! Di sini aja nih, masa kamu mau duduk sama gembel kaya dia? Coba kamu bayangin deh, klo kamu duduk ama dia trus ketularan kutu gimana? Hi. " Dewi berdiri sambil menarik kursi di sampingnya
"Camilla.... Klo kamu duduk disana kami akan merasa bersalah karena membiarkan gadis cantik sepertimu terkontaminasi virus gembel, " Aldo tertawa di ikuti murid yang lain.
"Sudah... Sudah! Camilla silahkan kamu pilih saja tempat yang cocok untuk mu ya. " Camilla berjalan kearah ku dan duduk disampingku.
" Hii...Klo nanti kamu mau pindah bilang aja ya, " Alcy yang duduk didepanku berbisik kepada Camilla
"Trimakasih, tapi aku suka kok di sini. " Alcy mencibir kan bibirnya.
Saat istirahat
"Camilla ke kantin yuk, aku traktir deh,, "
" Ga terimakasih, aku mau ke kantin bareng temen duduk ku aja, Arisya kamu mau kan anter aku ke kantin? aku ga tau tempatnya nih." Camilla menatap ku sambil memegang tangan ku, terasa ada sedikit tarikan di sana sehingga mau tak mau aku mengiyakan, meski filling ku mengatakan akan terjadi sesuatu yang tidak baik.
"Biasanya aku ga pernah ke kantin, jadi semoga kamu ga kecewa mengajak ku. " Kami berjalan kearah kantin, membuat semua mata menatap kami, mungkin dalam pandangan mereka ini sesuatu yang kontras dimana ada sicantik dan si gembel,
"Apa ada yang salah dengan ku? Kenapa mereka melihat ku seperti itu ya? "
"Karena kamu jalan sama aku, dan itu kesalahan yang fatal bagi mereka. "
"Apa salahnya jalan sama kamu? Kita kan teman memangnya kamu mau makan aku? "
"Haa... Apa kamu tidak melihat keadaanku, rambut ku ini bahkan lebih menjijijan dibanding sampah itu tu." Aku tertawa miris sambil menujuk tempat sampah dedepan ku
"Aku ga ngerasa gitu deh, Setiap orang itu terlahir unik dan indah. Tapi memang terkadang orang-orang memandang aneh atas keunikan itu mereka sulit menerima perbedaan. Tapi, sebagai sosok unik kita juga harus menghargai diri kita. Klo kita aja ga bisa menghargain diri sendiri apalagi orang lain." Setiap kata yang di ucapkan Camilla benar-benar menohok hatiku hingga kerelung terdalam.
Sesampainya di kantin kami mengambil 2 botol air mineral namun saat akan memesan makanan giovani yang membawa donat dengan sengaja menabrak ku hingga baju ku penuh noda coklat.
"Eh maaf ya gembel, aku ga sengaja, " Suara mengejek gio itu membuat ku sedih dan marah. Aku berbalik dan akan berlari pergi, tapi ada tangan yang menarikku
"Cuur"
"Eh maaf jugaaa gio, kirain botolnya udah ku tutup ternyata belum sory yaa.." Camilla menuang sebotol air mineral keatas kepala gio hingga tak tersisa, baru setelahnya kami pergi meninggalkan tempat itu.
"Maaf ya mill," ucapku dengan menunduk
"Jangan menunduk tegakkan kepala mu kamu bukan pesakitan yang selalu merasa bersalahkan. " Camilla diam sejenak
"untuk apa kamu minta maaf?"
"Bukannya gara-gara aku kamu ga jadi jajan, dan gara-gara aku juga kamu punya musuh."
Ketika sampai di kelas
"Nih aku bawa bekel dari nenek yuk kita makan! "
Ku buka kotak makan ku dan ternyata didalamnya berisi 4 buah burger.
" Wah banyak amat bekel mu sya? "
"Iya nenek selalu membawa kan ku bekal ekstra takut Rian datang, "
"Siapa Rian? "
"Emm, dia itu sahabat ku, saudara ku, pelindung ku dan tukang ojek ku. "
Tiba-tiba Rian datang dengan berlari
"Katanya gio ngisengin kamu ya? Apa kamu luka? Apa perlu kuantar pulang sekarang?"
Rian bertanya dengan wajah khawatir
"Rian, aku ga papa semua ini berkat bantuan Camilla, " Sambil ku tunjuk Camilla yang duduk disampingku sedangkan Rian menatap Camilla.
"Murid baru ya? Paling dia juga sama kayak yang lain. Siap-siap aja di abaikan kamu sya," Rian duduk menghadap kearah ku lalu mengambil Burger.
"Hist, kebiasaan, ayo Camilla ambillah sebelum diabisin Rian. "
Setelah selesai makan aku dan Camilla ke perpustakaan, Camilla sangat tertarik dengan kebudayaan Indonesia dia meminjam banyak buku tentang budaya dan kehidupan di Indonesia.
"Kamu tuh pinjam buku banyak banget sih Mill, " Ucap ku sambil melihat Camilla yang membawa setumpuk buku.
Saat di kelas bel berbunyi pertanda kelas akan dimulai kembali, kali ini aku merasa kelas tak seburuk biasanya, hari ini ada seseorang yang bisa ku sebut teman. Satu hari ini benar-benar terasa lebih cepat dari biasanya.
"Kriiiiing" Bel pulang terdengar, terlihat Rian yang berjalan kedalam kelas, mungkin dia masih takut kalau ada yang menggangguku seperti tadi dan kemarin.
"Yuk.. " Rian mengambil tasku
"Ayo mill turun bareng, " Ajakku pada Camilla
"Ayooo" Kami pun pulang bersama, sesampainya di area parkir tampak Camilla dijemput sebuah mobil sedangkan aku dan Rian seperti biasa pulang dengan menunggangi kuda besi ini.
Ditengah perjalanan pulang
"Sya, kamu ga lupakan sore ini aku ada pertandingan basket."
"Apa hubungannya dengan ku, toh ga ada yang mengharapkan aku datang, "
"Hei kamu ga mau nyemangati aku atau jangan-jangan kamu mau aku kalah ya, ingat aku berjuang demi blok kita sya, "
"Aku ga datang pun pasti banyak yang nyemangati kamu, bukannya kamu idola para gadis kompleks, hah, "
"Pokoknya nanti sore kita berangkat bareng, kamu harus ikut! "
"Heem, "
"Bukan hem tapi ok! ok sya, ok gitu! "
"Ya, ok"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!