NovelToon NovelToon

Menikah Muda

1. Pagi Menyebalkan

Berkali-kali Lyra menghela napas, menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja, kemudian kembali mendongak dan menatap sekeliling yang masih terlihat sepi.

Bosan dengan posisi itu, gadis cantik berwajah bulat, bibir mungil dan hidung kecil mancung, serta mata belo di tumbuhi bulu mata lentik itu bangkit dari duduknya. Melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang hanya berisikan kursi dan meja, juga papan tulis putih dan kembali duduk di kursi panjang depan kelas menatap ke bawah, dimana lapangan basket berada.

“Oy, ngapain lo duduk sendirian gitu? Jomlo ya?” tepukan pada bahu yang cukup keras membuat Lyra meringis dan juga terkejut. Ia menatap orang yang melakukan tindakan tersebut dengan tajam dan menusuk.

“Lo kalau nepuk bisa santai dikit gak sih?! Sakit ini pundak gue. Kalau jantung gue copot gimana coba, lo mau ganti?”

“Najis lebay." Devi, yang tak lain sahabat dekat Lyra memutar bola matanya. "Tumben lo pagi-pagi udah nongkrong disini aja, biasanya datang pas dekat-dekat bel masuk?" tanyanya dengan kening berkerut.

Lyra mendengus kesal lalu melipat kedua tangannya di dada. “Gara-gara Si Levin sialan tuh, jam di ponsel sama di kamar dia cepetin. Gue gak sadar kalau hari masih gelap, keburu panik waktu lihat jam udah nunjukin pukul setengah delapan."

“Haha, ma**us!” bulir di mata Devi jatuh saking puasnya dia tertawa, sedangkan Lyra semakin mendengus kesal, dan pergi sambil menghentak-hentakan kakinya kesal. Meninggalkan Devi yang masih juga belum menghentikan tawa. Berjalan melewati koridor yang belum terlalu ramai menuju kantin.

Setelah selesai memesan nasi goreng dan juga jus wortel kesukaannya, Lyra duduk seorang diri di bangku yang berada di tengah-tengah. Ia melirik kanan kiri, ada beberapa orang yang juga tengah menikmati sarapannya. Selama hampir dua tahun sekolah di SMA 2 KEBAPERAN baru pertama kalinya Lyra datang sepagi ini dan sarapan di kantin.

Devi yang menyusul langsung duduk di bangku yang berhadapan dengan Lyra. Menampilkan cengirannya, gadis cantik dengan pipi sedikit berisi, serta mata bulat dan hidung bangir itu langsung meneguk jus wortel yang belum sedikitpun Lyra cicipi.

“Jus gue!”

“Haus gue Ra, pelit amat lo!" balasnya lalu kembali meneguk minuman tersebut hingga tersisa setengahnya.

Lyra membulatkan matanya, kemudian berkata, “Udah, lo abisin aja deh sekalian, Dev.”

“Yakin, Ra?” Lyra mengangguk sebelum kembali menyuapkan nasi gorengnya hingga sarapannya itu habis, lalu kembali menatap Devi yang tengah menghabiskan minumannya.

“Sekalian lo yang bayar ya," lanjut Lyra dengan santai, lalu bangkit dari duduknya, meninggalkan Devi yang tersedak minumannya sendiri. Kaget saat mendengar kata ‘bayar’ yang di ucapkan sahabatnya itu.

“Sial deh gue!” desahnya, kemudian bangkit dan melangkahkan kaki menuju Bibi penjual, sebelum akhirnya berlari mengejar Lyra.

“Lo gak ikut rapat OSIS?” tanya Devi saat langkahnya sudah sejajar.

“Malas!” jawabnya singkat.

“Lo 'kan wakil ketua, masa gak ikut sih?”

“Wakil cuma buat gantikan kalau ketua gak ada. Di rapat ini kan ketuanya hadir, jadi buat apa gue ikutan kalau akhirnya cuma jadi pendengar?” Devi mengangguk mengerti.

Ketika masuk ke kelas, Lyra menghela napas lega saat di lihatnya kini sudah banyak orang yang mengisi bangku-bangku yang semula kosong. Ia bahagia karena itu artinya sebentar lagi bel akan segera berbunyi.

“Selamat pagi rakyat-rakyatku,” sapa Lyra dengan manis di depan papan tulis.

“Ogah banget gue jadi rakyat lo!” delik laki-laki jangkung bertubuh kurus dan rambut acak-acakan yang kini tengah duduk bergerombol bersama teman-temannya yang lain.

“Ya udah, silahkan lo keluar dari kelas ini.” Titah Lyra masih dengan menampilkan senyum manisnya.

“Iya, nanti gue keluar waktu jam istirahat.”

“Jangan balik ke sini lagi ya,”

“Kenawhy Baby?”

“Bukannya lo bilang sendiri gak mau jadi rakyat gue? Ya udah, pindah kelas sana!"

“Gue kan cuma becanda, Ra. Jahat amat lo jadi ketua kelas.”

“Bodo amat, Revan!” laki-laki bernama Revan itu terkekeh saat Lyra bergidik jijik dengan kedipan yang dilayangkannya.

Bel masuk sudah berbunyi, menandakan bahwa pelajaran pertama akan segera di mulai. Lyra duduk di bangkunya, bersampingan dengan Devi. Mengeluarkan buku ekonomi yang memang menjadi pelajaran jam pertama di hari selasa ini.

Pak Brian, selaku guru di pelajaran ini masuk dengan tampannya, membuat beberapa siswi yang mengidolakan senyum-senyum bahkan ada juga yang menjerit terpesona.

“Selamat pagi sayang-sayangnya Bapak,” sapanya sambil mengerlingkan sebelah mata menggoda.

“Selamat pagi juga Bapak ganteng.”

Itu jawaban dari siswa perempuan, kecuali, Lyra dan Devi karena setiap guru ekonomi itu masuk, murid laki-laki jarang menyapa balik beliau. Mereka merasa geli hanya mendengar sapaan guru genit tersebut.

Pelajar di mulai dengan semana mestinya, meskipun kebanyakan di isi dengan gombalan-gombalan dari guru kecakepan itu. Devi dan Lyra merasa bosan, dan ingin segera mengakhiri pelajaran hitung-hitungan laba, kredit, debit dan kawan-kawannya. Oke, ekonomi ini belajar menghitung nominal uang, tapi akan lebih menyenangkan jika uangnya itu ada 'kan? Bukan seperti ini, menghitung yang jelas-jelas uangnya entah punya siapa dan berada dimana. Lyra pusing dibuatnya. Mungkin bukan hanya Lyra, tapi juga hampir kebanyakan orang.

Lyra mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok seragamnya, terdapat beberapa chat masuk dari beberapa grup, termasuk grup OSIS juga teman-temannya yang lain. Semuanya hampir menanyakan ke mana dirinya dan kenapa tidak mengikuti rapat. Bertambah sudah kebosanan Lyra pagi ini.

“Pak Bri, Lyra bosan. Boleh keluar aja gak?” Lyra menganggat sebelah tangannya sebelum bicara, memotong gurunya yang sedang menjelaskan di depan.

“Kok bosan sih? Harusnya kamu itu semangat, Ra, apa lagi di pelajaran saya.”

“Lyra pusing. Bapak ngajarin ngitung uang yang gak ada. Coba kalau uangnya nyata ada di depan mata, Lyra rela deh ngitung sampai malam suntuk.”

“Kalau gitu kamu jadi istri saya aja gimana?” kedipan genit kembali melayang dari guru muda itu, membuat Lyra bergidik ngeri juga jijik.

“Gak deh Pak. Lyra masih sayang keturunan.”

❄❄❄

Devi duduk di pinggir lapangan, meneguk air mineral dingin yang baru di belinya, sambil melihat Lyra yang tengah bermain volley bersama beberapa teman sekelasnya. Di jam ketiga dan keempat ini memang jadwalnya olahraga. Berhubung guru sedang mendampingi yang lomba, jadilah kelas XI IPS A ini bebas, asal berada di lapangan.

Bukan hanya Devi yang duduk di pinggiran lapangan, tapi juga banyak siswa-siswi lainnya menyaksikan permaian volley ini, dan akan bersorak jika yang didukung mencetak angka. Lyra menghampiri Devi seraya mengusap peluh yang keluar dari dahinya, merebut botol dari pegangan sahabatnya itu dan langsung meneguk hingga habis.

“Cape gila!” ucapnya dengan napas yang terengah.

“Ganti baju aja yuk, Ra, mumpung yang lain masih pada asik disini. Lima belas menit lagi juga bel istirahat kok.” Ajak Devi yang dengan cepat di angguki oleh Lyra.

Keduanya berjalan bersamaan, ditemani obrolan-obrolan ringan yang sesekali mengundang tawa. Di pertengahan jalan, Lyra melihat laki-laki tinggi yang tampan berjalan seorang diri dengan tumpukan buku di kedua tangannya. Lyra berlari meninggalkan Devi yang tengah bercerita. Tanpa mau memperdulikan teriakan kesal sahabatnya itu, Lyta terus berlari kecil menghampiri laki-laki yang baru saja masuk ke ruang guru, menunggu sosoknya kembali keluar sambil bersandar di sisi pintu.

“Hallo Bebebku, ke mana aja sih gak ada nyamperin dari pagi?” tanya Lyra dengan senyum manis di bibir mungilnya. Laki-laki yang baru keluar itu terlonjak kaget. Namun segera memperbaiki ekspresinya kembali menjadi datar.

“Lo yang ke mana aja, di tunggu rapat gak datang-datang!” satu dengusan kecil terdengar. Lyra terkekeh geli lalu berjalan mengikuti laki-laki tampan bertubuh atletis dengan kulit putih bersihnya yang mirip oppa-oppa korea itu.

“Kan lo ada, jadi wakil gak perlu lah hadir juga.”

“Iya, lo benar. Buat apa juga lo hadir kalau cuma buat ngerusuhin rapat gue." Cuek laki-laki itu sambil mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali.

“Gue bukan ngerusuh, tapi meramaikan suasana biar gak pada ngantuk dengar kicauan lo yang membosankan itu.” Lyra berbicara dengan santai, tidak perduli sang lawan bicara sudah kembali mengeluarkan dengusannya.

Lyra masuk ke dalam kelas, menghampiri Devi setelah selesai mengobrol sebentar bersama laki-laki bernama Pandu yang menjabat sebagai ketua OSIS. Tadi laki-laki tampan idola semua perempuan itu sempat mengatakan bahwa nanti sepulang sekolah akan ada lagi rapat, melanjutkan yang tadi pagi karena terganggu dengan bel masuknya pelajaran. Lyra tentu saja menanggapi dengan tidak perduli dan lebih memilih meninggalkan laki-laki itu.

Setelah selesai mengganti pakaian dan memperbaiki penampilan, Lyra juga Devi bergegas menuju kantin karena beberapa menit lalu bel istirahat sudah berbunyi, dan perut pun sudah berdisko minta di isi. Satu per satu sahabat Lyra dan Devi yang berbeda kelas datang menghampiri dan duduk di meja yang sama. Luna berada di kelas IPS C dan Amel satu-satunya yang berada di IPA. Bukan hanya karena kepintarannya, tapi karena tuntutan orang tua yang menginginkan anaknya itu menjadi seorang dokter nantinya.

“Ra, tadi pagi Si Pandu ngomel-ngomel waktu rapat, gara-gara lo gak datang,” adu Luna seraya menyuapkan bakso kemulutnya.

“Emang deh itu cowok, saking kangennya sama gue sampai kayak gitu. Heran gue, apa segitu cintanyakah dia sampai-sampai mesti gue ada di samping dia?” ketiga orang lainnya yang berada duduk semeja dengan Lyra berlaku seolah ingin muntah mendengar ucapan percaya diri sahabatnya itu.

“Emang tadi rapat ngomongin apaan, Lun?”

“Buat acara ulang tahun sekolah.” Lyra mengangguk kemudian menyuapkan sosis bakar yang di belinya dengan suapan besar hingga terlihat mulutnya begitu penuh.

“OSIS boleh tampil gak di acaranya nanti?” tanya Lyra lagi.

“Gak tahu, rapatnya kan belum selesai. Makanya nanti pulang sekolah lo ikut deh biar jelas.” Kembali Lyra mengangguk dan sekarang lebih semangat.

Dalam otak cerdasnya, Lyra sudah merencanakan ide-ide untuk menyusun acara ulang tahun sekolah nanti, sudah berencana juga untuk nanti ia menyumbang penampilan. Lyra bertekad dia harus tampil di atas panggung. Bibir mungil yang hanya di oles lipbalm itu tersenyum-senyum sendiri, membuat ketiga temannya bergidik ngeri.

“Kok minuman gue abis sih, siapa yang ngabisin?” teriak Lyra kesal saat baru sadar bahwa gelas yang semula berisi es teh manis itu, kini sudah kosong dan hanya menyisakan beberapa butir es batu.

“Makanya, lo jangan banyak ngelamun apalagi sambil senyum-senyum sendiri, gila kan akhirnya!” cibir Amel pedas.

Lyra memberenggut kesal, tangannya menopang dagu melihat ke tiga sahabatnya yang menikmati bakso yang masih tersisa dengan kuah yang merah dan kental. Lyra bergidik membayangkan perutnya yang akan sakit jika memakan makanan pedas tersebut. Meskipun ia merasa sedikit ngiler, karena ketiga temannya begitu menikmati makanan mereka masing-masing. Memang, di antara keempatnya hanya Lyra sendiri yang tidak menyukai pedas, bukan hanya tidak menyukai tapi juga sangat menghindari.

“Pandu!” teriak Lyra saat sosok tampan ketua OSIS-nya itu memasuki kantin bersama kedua teman lainnya, Leo dan Dimas.

“Hallo, Lily cantik,” sapa Leo sambil mengedipkan sebelah matanya genit.

“Juga Lele jelek,” balasnyanya dengan datar dan menggeser duduknya agar ketiga laki-laki itu duduk di bangku panjang yang dirinya duduki.

“Lo gitu ya sekarang, dulu aja waktu SMP, masih dekil-dekilnya lo ngejar-ngejar cinta gue!” dengus Leo.

“Itu kan dulu, Le. Salah siapa coba dulu lo nolak gue, nyesel kan sekarang akhirnya.”

“Di ulang lagi aja atuh, janji deh kali ini gue gak akan nolak lo kayak dulu,” ucap Leo duduk menyamping memandang langsung wajah Lyra dan kembali mengedipkan sebelah matanya.

Lyra membalas tatapan Leo dengan lembut, menggenggam tangan laki-laki tampan itu. Senyum manis, Lyra berikan membuat Leo tertular akan senyuman gadis cantik di depannya. Kelima orang di meja itu menatap dengan tak sabar, menunggu Lyra mengeluakan suaranya. Adapun beberapa murid lain yang kebetulan meja meraka berdekatan ikut fokus pada dua orang itu.

“Le, lo tahu kan dulu gue suka sama lo? Ngejar-ngejar cinta lo sampai gak tahu artinya lelah. Bahkan tanpa tahu malu, gue ngungkapin perasaan gue di depan orang banyak. Gue, yang dulu lo sebut si buruk rupa itu sekarang udah berubah. Lo bisa lihat 'kan betapa cantiknya gue sekarang?”

Leo mengangguk dan senyumnya semakin mengembang, tangannya masih di genggam Lyra, dan kini dadanya sudah berdebar dengan kencang. Semua orang yang menyaksikan menunggu dengan tak sabar, begitupun lima orang yang berada di meja yang sama, menunggu dengan harap-harap cemas juga penasaran.

“Dan disini, di depan banyak orang …,”

Leo menatap sekeliling yang sudah di penuhi siswa-siswi kebaperan mengelilingi mejanya. Leo semakin deg-degan, namun senyumnya tak juga luntur. Lyra masih menatap lembut mata laki-laki di depannya.

“Gue mau bilang ... kalau lo bukan lagi tipe gue."

Gelak tawa terdengar memenuhi kantin. Bahkan, Dimas yang duduk di sebelah Leo sampai memukul-mukul bahu sahabatnya itu, puas menertawakan wajah cengo Leo. Lyra meminum jus wortel yang beberapa menit lalu di pesannya dengan santai.

“Yang sabar ya, Bro.” Pandu menepuk pundak sahabatnya itu dua kali.

Luna, Devi dan Amel tertawa hingga mengeluarkan air mata, sedangkan Leo merasa harga dirinya jatuh, sejatuh-jatuhnya, juga malu karena hampir semua isi kantin menyaksikan. Ia menyesal terlalu mendalami peran yang niatnya tadi hanya untuk menjahili sahabat sejak oroknya itu, tapi malah berakhir dengan dia baper sendiri gara-gara tatapan lembut yang di berikan perempuan cantik berwajah bulat itu.

“Lily jahat banget sama gue, harga diri cowok tampan sejagat raya ini jatuh gara-gara lo,” ucap Leo mendramatisir dengan menampilkan wajah terlukanya yang sengaja ia buat semenyedihkan mungkin.

“Jijik Lele!”

2. Perjodohan

Saat jam sudah menunjukan pukul lima sore, Lyra baru saja sampai di rumah. Dengan langkah lesu, Lyra masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tengah. Celingak-celinguk saat tak mendapati siapa pun, lalu bangkit dari duduknya memaksakan langkah menuju dapur demi untuk meneguk segelas air.

Tiba di dapur masih tidak ada siapa pun. Rumah besar bernuansa serba putih ini sangat sepi membuat Lyra heran, karena tidak biasanya di jam-jam sore seperti ini penghuni rumah tidak ada.

Setelah dirasa tenggorokannya sudah basah, barulah ia melanjutkan langkahnya menuju kamar yang berada di lantai atas.

Saking lelahnya, Lyra tanpa mengganti seragam terlebih dulu langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang Queen size-nya. Dan baru saja ia terlelap suara teriakan yang amat memekakan telinga terdengar dari lantai bawah, tapi karena rasa kantuk yang sudah amat menyiksa akhirnya Lyra memilih tidur dan tidak memedulikan teriakan itu.

“Lily bangun.”

“Lily capek, Ma ngantuk juga, please biarin Lily tidur untuk sejenak. Lily terlalu lelah dengan semua ini.” Jawaban ngaco yang keluar dari mulut Lyra, yang masih dengan mata terpejam itu membuat Linda - mama Lyra mengernyitkan keningnya.

“Bangun dong, Ly. Mama mau bicara serius sama kamu.” Lagi Linda menguncang tubuh anaknya.

“Lily ngantuk banget, Ma. Bicaranya nanti aja ya, beneran Lily gak sanggup lagi meskipun untuk melek.” Linda akhirnya mengalah dan membiarkan anak perempuan cantiknya itu untuk istirahat. Tidak tega juga ia melihat wajah capek Lyra yang sangat ketara.

Linda menyalakan pendingin kamar, menarik selimut hingga batas perut Lyra kemudian melenggang keluar dan tidak lupa menutup pintu bercat putih tersebut.

Di sofa ruang tengah sudah menunggu dua orang laki-laki beda usia, namun sama tampannya. Linda membuang napasnya lebih dulu sebelum menatap satu per satu laki-laki kesayangannya itu.

“Gimana Ma?” tanya laki-laki yang lebih tua. Linda menggelengkan kepalanya membuat kedua laki-laki yang duduk mengampit perempuan cantik berusia 45 tahun itu menghela napas kecewa.

“Tuh, kan, kata Levin juga apa, Lily gak akan ma…”

“Lily tidur jadi, Mama belum bicara.” Potong Linda sebelum anaknya itu selesai bicara.

“Kirain dia nolak,” ucap Leon menghela napas lega.

Linda meninggalkan kedua laki-laki kesayangannya itu menuju dapur saat dilihatnya jam sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Bi nani, ART keluarga Leonard Michael Atamaya tengah berkutat dengan penggorengan dan teman-temannya, menyiapkan untuk makan malam nanti. Perempuan cantik yang sudah berusia empat puluh lima itu menghampiri wanita baya berbobot lumayan gendut, berusia di atas lima puluh itu dan mengambil alih pekerjaannya.

“Bibi kerjain yang lain aja, biar saya yang lanjutkan goreng ayamnya.” Ramah Linda berucap. Wanita tua itu tersenyum kemudian mengangguk dan melangkah menuju wastafel untuk mencuci perabotan dapur yang kotor bekas dirinya gunakan.

Jam sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Levin adalah orang pertama yang duduk di kursi meja makan, lalu dua menit kemudian di susul oleh Leon dan juga istrinya. Tinggal menunggu satu orang lagi, yaitu Lyra, anak perempuan dari pasangan Linda-Leon.

Sepuluh menit menunggu, namun gadis berusia 16 tahun itu belum juga menampakan diri, sedangkan Levin sudah tidak sabar ingin segera melahap makanan yang berada di depannya, tapi aturan tetaplah aturan dimana dalam keluarganya jangan dulu ada yang makan jika belum berkumpul semua.

Levin bangkit dari duduknya, berlari menaiki tangga dengan cepat menuju kamar Lyra, tanpa menoleh sedikitpun ketika kedua orang tuanya memanggil.

Di mulai dari ketukan halus dan panggilan yang lembut Levin lakukan untuk memanggil sang adik untuk keluar, tapi sudah tiga kali, belum juga ada suara yang menyahut dari dalam. Ketukan berubah jadi kencang dan tidak sabaran, tapi masih juga tidak ada sahutan.

Akhirnya Levin menerobos masuk ke kamar Lyra yang gelap dan jendela yang masih terbuka. Berdecak sambil menghentakkan kakinya kesal, Levin menghidupkan lampu dan menarik selimut yang membalut tubuh mungil Lyra dengan kasar. Kembali laki-laki tinggi dengan wajah tampannya itu berdecak saat tak ada juga pergerakan dari adiknya itu.

“Woy Lily bangun!” teriak Levin tepat di depan telinga Lyra. Gadis cantik yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu langsung terlonjak bangun saking kagetnya.

“Astaga kaget gue. Levin sialan lo! Gak bisa apa banguninnya lembut dikit?”

“Buruan lo cuci muka, ganti baju, terus turun ke bawah. Mama, Papa udah nunggu buat makan malam.” Levin menarik adiknya itu ke dalam kamar mandi.

“Cepat Lily, gue udah lapar!” sentak Levin saat melihat Lyra yang malah menampilkan wajah bengong bodohnya.

Setelah menyaksikan sendiri sang adik membasuh wajah, barulah Levin keluar dari kamar Lyra dan kembali menuju ruang makan dimana orang tuanya berada. Sepuluh menit kemudian Lyra turun dengan pakaian tidur bergambar kucing berwarna putih, dan duduk di samping kakaknya.

“Kamu lama banget sih, Cess,” kata Leon pada putri bungsunya dengan wajah cemberut.

“Maafin Princess, Daddy. Princess lelah banget di sekolah,” jawab Lyra merasa bersalah.

“Udah, stop nge-drama. Sekarang makan!” Levin dengan cepat memotong saat Leon baru saja akan membalas ucapan sang putri.

“Anak sama Bapak sama-sama tukang drama, heran gue.” Dengus Levin sangat pelan.

Selesai dengan makan malam. Linda menyingkirkan semua piring dan juga lauk serta nasi yang masih tersisa, menggantinya dengan piring-piring kecil dan satu Loyang puding coklat yang siang tadi dirinya buat. Dengan telaten Linda memotong dan mengisi piring-piring kecil itu degan puding yang kemudian ia lumuri fla susu.

“Ekheemm!”

Deheman yang cukup keras mengalihkan semunya dari hidangan manis itu dan menatap Leon. Tatapan laki-laki berusia 46 tahun itu tertuju pada Lyra, membuat si bungsu menaikan sebelah alisnya, bertanya.

“Princess usia kamu sekarang berapa?” Leon mulai mengeluarkan suara.

“Masa Daddy lupa sama usia anak sendiri,” jawab Lyra cemberut.

“Bukan lupa, tapi cuma mau memastikan.”

Lyra mengangguk-anggukan kepala. "Kenapa emang tanya umur?"

“Daddy mau jodohin kamu sama anak temannya Daddy.” Lanjut Leon dengan ragu.

Kedua mata Lyra yang bulat semakin membulat saat mendengar kata ‘jodoh' keluar dari mulut Leon.

“What! Daddy, ini beneran? Daddy gak bercanda?”

“Daddy serius Pricess. Daddy lakuin ini kar…”

“Lily harus nikah diusia yang sangat muda ini?” tanyanya tak percaya.

Mata Lyra sudah berkaca-kaca, menatap satu per satu orang yang duduk di sana.

Levin adalah yang paling tidak tega melihat adiknya yang sudah akan menangis, laki-laki 20 tahun itu membawa adiknya ke dalam pelukan, sedangkan kedua orang tuanya menunduk dengan rasa menyesal.

“Mama, apa benar Lily akan menikah di usia yang masih sangat muda ini?” Linda mengangguk pelan.

“Oh my god, oh my god, Lily gak percaya ini nyata.” Ketiga orang itu menatap aneh Lyra.

“Siapa calon suaminya Lily, Daddy? Masih muda 'kan? Ganteng gak?” tanya Lyra dengan semangat. Levin menarik tangannya yang semula memeluk sang adik, lalu menoyor kepala Lyra cukup keras.

“Gue kira lo bakalan nolak, nangis-nangis nge-drama. Mogok makan dan kabur gara-gara gak mau di jodohin. Taunya ...!” Levin menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.

“Lo tuh yang kebanyakan nonton drama, pikirannya jadi drama semua. Sadar woy, lo hidup di dunia nyata bukan di dunia khayalan!” satu jitakan mendarat di dahi Levin.

“Jadi, Princess-nya Daddy mau nih di jodohin?” tanya Leon memastikan. Lyra mengangguk.

“Kamu yakin?” kini giliran Linda yang bertanya. Sekali lagi Lyra mengangguk dengan yakin.

“Eh, tapi calonnya masih muda kan, ganteng, tinggi, putih, pokoknya kaya pangeran-pangeran di cerita dongeng?” tanya Lyra. Pasangan suami istri itu mengangguk dan Lyra menghela napas lega.

“Emang siapa cowoknya, Pa?” tanya Levin penasaran.

“Besok kalian siap-siap aja, kita akan makan malam bersama keluarga calon suaminya Lily.” Jawab Linda.

“Bukan Leo kan, Dadd?” Leon menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Kembali Lyra menghela napas lega.

“Se-gak mau itu lo di jodohin sama Leo? Bukannya dulu lo naksir berat sama dia?” tanya Levin menggoda sang adik.

“Gak usah bahas itu lagi deh, sebel gue.” Tawa Leon, Levin dan Linda membahana di ruang makan. Sedangkan sang objek tertawaan semakin memajukan bibirnya.

♥♥♥

Hari ini Lyra tidak lagi datang sangat pagi seperti kemarin karena dirinya sudah membenarkan jam di ponsel, juga jam weker di kamarnya. Setelah turun dari bis yang menjemputnya tadi, Lyra dengan santai melangkahkan kakinya menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua, tidak jauh dari kelasnya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu Lyra langsung membuka pintu berwarna coklat itu dan menampilkan senyum manisnya saat kurang lebih dua puluh pasang mata menatapnya dengan tatapan berbeda.

“Selamat pagi semuanya,” sapa Lyra tanpa merasa bersalah.

“Kenapa lo kebiasaan banget datang telat? Gue kemarin udah bilang untuk datang lebih awal!” omel laki-laki tinggi, berkulit putih dan tatapan tajam itu.

“Maafin Lyra ya, Pak Ketu, semalam Lyra gak bisa tidur karena sibuk menghayal.” Senyum Lyra masih mengembang, meskipun tatapan sang ketua OSIS sangat menusuk.

“Duduk!” Lyra menurut dan duduk di kursi kosong satu-satunya, tepat berada di dekat Pandu.

Rapat kembali berlanjut hingga bel masuk berbunyi, dan satu per satu meninggalkan ruangan untuk kembali ke kelas masing-masing. Lyra masih duduk di tempat, meski ruangan berangsur kosong.

“Kenapa lo belum pergi, bel udah bunyi, Ra.” Suara datar itu terdengar indah di telinga Lyra.

“Ke kelas bareng yuk, gue pengen ngabisin waktu jalan berdua sama lo untuk hari ini, karena besok mungkin gue gak bisa selalu dekat sama cowok.” Lyra berucap lalu mengedip-ngedipkan matanya sedikit menggoda.

“Kenapa?” kening Pandu mengernyit bingung.

“Gue harus jaga hati calon suami gue.” Pandu mendengus sebal, lalu melenggang pergi meninggalkan Lyra seorang diri di ruangan sedikit luas itu.

Devi menatap aneh pada Lyra yang sedari memasuki kelas terus tersenyum. Pelajaran Matematika yang selalu membuat Lyra bosan dan tidur pun kali ini tidak terjadi pada perempuan cantik itu. Devi mencubit kecil lengan Lyra yang tengah memainkan balpoin pink-nya masih dengan senyum yang mengembang.

“Lo kenapa sih senyum-senyum terus dari tadi, gila?” bisik Devi.

Lyra menoleh sebentar lalu kemudian menatap ke arah depan kembali. Senyumnya tidak juga luntur dan malah semakin lebar. Devi mengusap leher belakangnya, kemudian bergidik ngeri.

Revan yang duduk di bangku belakang menarik rambut sepunggung Lyra yang sedikit bergelombang cukup kuat hingga sang empu rambut menoleh dan menatap laki-laki cungkring itu dengan tajam, tapi kemudian senyum itu kembali terbit dan mengedipkan sebelah matanya pada Revan sebelum kembali menatap guru yang sedang menjelaskan di depan sana.

Laki-laki tipis dengan tinggi yang menjulang meski sedang duduk, terdiam melongo mendapat kedipan dari gadis cantik yang biasanya galak dan ketus saat bicara itu, takjub juga terpesona karena perempuan galak di kelas ini bisa semanis itu dengan mata genitnya.

“Lo cacingan, Ra?” kembali Revan menarik rambut Lyra.

“Revan diguna-guna! Kalau tangan lo gak bisa diam juga, silahkan keluar!” ucap Lyra dengan galak.

“Gue cuma mau mastiin kalau lo masih galak atau udah berubah jadi cewek manis. Gue repot soalnya kalau nanti lo berubah manis, gue takut naksir,” ucap Revan. Lyra memutarkan matanya jengah.

🍒🍒🍒

Bell istirahat pertama berbunyi. Devi yang sedari tadi penasaran langsung menatap sahabatnya itu dan menanyakan ada apa dengan Lyra yang hari ini lebih banyak tersenyum. Perempuan cantik dengan rambut yang di urai indah itu hanya mengedikan bahunya singkat, lalu berdiri dari duduknya dan berjalan meninggalkan Devi.

“Ra, ayo dong cerita. Gue kepo nih,” ucap Devi saat langkahnya sudah sejajar.

Lyra merangkul pundak sahabatnya, “ceritanya di kantin aja ya sayang, gue lapar.”

Ternyata Luna dan Amel sudah lebih dulu sampai di kantin, bahkan sudah menikmati makanannya. Untuk Lyra dan juga Devi sudah tersedia, membuat dua gadis yang baru tiba itu tersenyum senang.

“Tahu aja lo gue udah laper,” ucap Devi lalu melahap mie ayam di depannya.

“Nanti kalian berdua yang bayar ya, gue lagi boke.” Santai Amel bicara.

“Hari ini biar gue yang teraktir deh, mumpung lagi bahagia,” ucap Lyra tanpa menatap ketiga temannya.

“Tumben? Biasanya lo paling pelit!” heran Luna yang diangguki Amel dan Devi.

“Gak usah banyak nanya, makan aja deh!" Lyra memutar bola matanya jengah.

Tidak lama ketiga laki-laki tampan duduk di bangku yang di isi oleh keempat perempuan itu. Lyra hanya melirik sekilas dan tersenyum, lalu kembali sibuk dengan makanannya. Leo menggeser sedikit mangkuk mie ayam Lyra lalu mengambil garpu di tempat sendok yang berada di tengah-tengah meja itu, dan ikut makan mie ayam milik Lyra tanpa meminta izin terlebih dulu. Makan semangkuk berdua memang sudah biasa keduanya lakukan dan Lyra tidak terlalu mempermasalahkan itu. Ia senang-senang saja karena dengan begitu makanannya akan habis, tidak terbuang percuma. Kelima orang lainnya sudah terbiasa dengan pemandangan itu dan tidak merasa risi lagi.

Lyra lebih dulu menyelesaikan makannya lalu meneguk es jeruk di depannya hingga habis setengahnya, menatap satu persatu teman dekatnya yang masih menikmati makanannya masing-masing, sesekali di selangi dengan obrolan dan candaan dari salah satunya.

“Gue di jodohin, guys,” Lyra membuka suara setelah semua menyelesaikan makannya. Enam pasang mata itu menatap Lyra dengan tatapan tak percaya.

“Serius lo, Ly?” tanya Leo. Lyra mengangguk.

“Siapa cowok yang di jodohin sama lo?” kali ini Pandu yang bertanya.

“Gue belum tahu, baru nanti malam mau ketemu."

“Terus lo setuju gitu, Ra di jodohin?” Dimas ikut bertanya. Lyra kembali mengangguk.

“Kok, lo mau-mau aja sih di jodohin di usia semuda ini. Lo tahu kan, kalau di jodohin itu artinya lo bakalan nikah muda?” tanya Amel. Lagi Lyra mengangguk, namun kali ini di barengin dengan senyuman manis andalannya.

“Gue malah senang di jodohin, nikah muda. Ah, gak sabar gue ketemu calon suami,” ucapnya sambil tersenyum-senyum dan telapak tangannya Lyra gunakan untuk menangkup pipinya.

Luna menoyor kepala Lyra, “lo yakin mau nikah muda? Ingat, Ra pernikahan bukan untuk main-main, ini menyangkut mas depan lo juga.”

“Iya gue tahu.”

3. Malam Pertemuan

Lyra menatap cermin besar yang ada di kamarnya. Pantulan dirinya yang mengenakan dress selutut lengan panjang berwarna biru muda itu sangat cantik terlihat, wajahnya yang sudah di bumbui make up tipis dan natural memberi kesan segar dan manis. Puas dengan penampilannya, Lyra mengambil tas selempang kecil berwarna hitam yang senada dengan wedges 5cm-nya dan keluar dari kamar untuk menghampiri orang tua juga sang kakak.

Berjalan dengan anggun menuruni tangga membuat ketiga orang di bawah sana terpesona. Leon berjalan mendekati tangga paling bawah, menunggu sang putri dan segera mengulurkan tangannya saat Lyra sudah berada di dua tangga terakhir. Mengampit lengan mungil itu dan berjalan menghampiri Levin juga Linda.

“Putri Mama cantik banget sih,” puji Linda seraya mengusap lembut pipi kanan Lyra.

“Harus cantik dong, Ma 'kan mau ketemu calon suami,” ucap Lyra terkekeh kecil. Levin mengusak rambut adiknya dengan gemas lalu memiting kepala Lyra dan membawanya keluar dari rumah.

“Abang lepasin ih, dandanan gue jadi ancur nih gara-gara lo. Nanti kalau yang di jodohin sama gue gak mau nikahin gue gimana? Masa gue gak jadi nikah!”

“Gampang itu, nanti Abang nikahin aja kamu sama Leo.”

“Dih ogah!”

Leon, Levin dan Linda tertawa, sementara Lyra cemberut seraya memperbaiki tatanan rambut dan make up-nya yang kebetulan perlengkapan itu ia bawa di dalam tas selempang kecilnya.

Sekitar 45 menit dalam perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah rumah makan yang cukup terkenal di kotanya. Lyra merapikan rambutnya menggunakan jari juga dres birunya yang sedikit berantakan akibat duduk tadi. Leon kembali mengampit lengan sang putri, sedangkan Linda yang berstatus sebagai istri dibiarkan berjalan tanpa pegangan bersama Levin yang berada di belakang Ayah-anak itu.

“Daddy, Princess deg-degan nih,” bisik Lyra pada sang Ayah. Leon tersenyum dan mengecup singkat kening sang putri.

“Rileks, Cess. Kalau gugup nanti cantiknya gak kelihatan.”

“Mama, Lily masih cantik gak?” Linda tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban, ia sebagai seorang ibu mengerti kegugupan anak perempuan semata mayangnya karena dulu pun dia merasakan hal yang sama dimana Leon yang saat itu melamarnya.

Seorang pelayan mengantar ke empat orang itu masuk ke dalam ruang privat yang sudah di pesan oleh Leon terlebih dulu. Di ruangan luas dengan meja makan cukup panjang dan lebar itu sudah duduk tiga orang laki-laki beda usia dan juga satu perempuan seusia Linda, Lyra menebak bahwa mereka satu keluarga kecil dan ia juga seakan tidak asing dengan mereka. Lyra menundukan kepalanya belum siap melihat sang calon suami saat Leon berhasil menuntunnya untuk duduk.

Levin menyikut tangan tangan Lyra pelan. “Dek, coba lo lihat laki-laki yang duduk berhadapan sama lo, gue yakin dia yang akan jadi suami lo,” bisik Levin tepat di telinga Lyra. Perlahan Lyra menganggat kepalanya menuruti titah sang kakak.

“Oh my god, bebeb Pandu ada disini? Jangan-jangan lo, yang di jodohin sama gue?” heboh Lyra saat di dapatinya laki-laki yang duduk di depannya adalah Pandu, si Ketua OSIS SMA Negeri 2 Kebaperan. Cowok datar dan jarang berekspresi.

“Lily, Adik Abang yang cantik kayak nenek sihir, coba mana tingkah anggun yang tadi di perlihatkan saat di rumah?” ucapan bernada rendah, syarat akan ejekkan itu Levin layangkan. Lyra berdehem pelan kemudian mengubah posisinya dan bersikap seanggun mungkin. Semua orang yang berada di sana tertawa merasa lucu dengan wanita muda itu, kecuali Pandu. Laki-laki itu tetap menampakan wajah datarnya.

“Percaya diri banget sih kalau Pandu yang bakal di jodohin sama kamu,” ujar sang Mama saat menghentikan tawanya.

“Ah iya, ada kak Panji juga ternyata.” Lyra mengangguk-anggukan kepala beberapa kali dengan cengiran manisnya.

“Papa Bayu, duh ganteng banget sih malam ini. Udah lama rasanya Lyra gak ketemu. Rindu ini semakin menumpuk dan tak ingin menyusut.” Kembali semua tertawa mendengar celotehan gadis 16 tahun itu.

“Ekhemm!” Lyra berdehem sebentar kemudian menatap Ratih, ibu dari Panji-Pandu.

“Mama Ratih yang cantik, jadi anak Mama yang mana nih yang bakal jadi pendamping Lyra di pelaminan?” tanya Lyra dengan penasaran. Kedua orang tua saling bertatapan dan tersenyum bersamaan. “Pandu deh pasti ini mah, kan kak Panji udah punya gandengan,” tebak Lyra yang sudah tak sabar.

“Dih pede banget lo!” jawaban datar dari Pandu keluar mengalihkan tatapan semua orang termasuk Lyra. Gadis itu tersenyum manis, menatap Pandu yang menatapnya datar.

“Tapi Kak Panji juga gak apa-apa deh, gak kalah ganteng dari Pandu dan ada plus-nya, yaitu ramah dan murah senyum,” ucap Lyra mengalihkan tatapannya pada Panji yang juga tengah tersenyum lembut kearahnya. “Gak kayak adeknya yang datar tanpa ekspresi!” lanjut Lyra, mendelik pada laki-laki di depannya, yang tak lain adalah Pandu.

“Sudah-sudah, lebih baik kita makan dulu, nanti di lanjut lagi obrolannya.” Lerai Bayu.

Makan malam ini terasa lebih berwarna dan hangat karena celotehan Lyra yang selalu menghidupkan suasana, juga Leon yang tak jarang ber-drama dengan anak perempuan satu-satunya itu. Lyra tidak menyangka akan di jodohkan dengan anak dari keluarga Bayu Athala Sahreza. Ia emang tahu bahwa Ayahnya adalah Adik tingkat Bayu semasa kuliah dulu dan Ratih adalah sahabat sedari kecilnya.

Lyra juga memang sudah beberapa kali main kerumah Pandu, karena tugas OSIS . Bertemu dengan Panji yang asik diajak ngobrol. Juga kedua orang tua mereka yang memang kerap kali berkunjung. Lyra masih tidak mempercayai ini, tapi juga pikirannya bertanya-tanya tentang siapa diantara kedua pria itu yang akan menjadi suaminya nanti. Ia sedikit berharap bahwa laki-laki itu adalah Pandu, pria yang memang Lyra sukai. Tapi jika pun Panji, Lyra tetap tidak akan menolak, karena baginya Panji mau pun Pandu sama saja.

“Jadi apa alasan kalian dalam perjodohan ini?” tanya Levin saat acara makan-makan sudah selesai.

“Alasannya kare..."

“Apa pun yang menjadi alasannya Lyra terima kok perjodohan ini. Jadi, kapan nikahannya?” tanya Lyra tak sabar memotong ucapan Leon.

“Princess kamu yakin gak mau dengar alasannnya?” Lyra membalikan tubuhnya, menatap sang Ayah dengan seksama. Menangkup wajah tampan Leon yang di tumbuhi bulu-bulu tipis.

“Daddy, Princess sering baca novel, nonton drama juga. Princess tahu perjodohan dilakukan karena ada perjanjian, entah bisnis, wasiat orang tua atau emang kesepakatan yang lainnya, tapi Princess menyetujui pernikahan ini bukan karena terpaksa menuruti keinginan kalian. Apa pun alasan kalian, Princess tahu itu yang terbaik, dan berhubung Princess juga memang ingin menikah muda dan kalian berniat menjodohkan, ya, udah Princess setuju, apa lagi di jodohinnya sama salah satu diantara dua laki-laki beda karakter itu, tapi kalau sama dua-duanya boleh juga.” Panjang lebar Lyra memberi penjelasan yang membuat kedua orang tua itu mendesah lega.

“Maruk amat sih, Dek sampai pengen dua-duanya." Levin Mengusak gemas rambut Lyra, yang dibalas kekehan oleh wanita muda itu.

“Jika sudah seperti ini, Papa senang jadinya. Jadi kita langsung saja bicarakan pertunangannya, bagaimana, Ly?” tanya Bayu.

“Tunangan dulu ya, Pa? Lyra kira langsung nikah minggu depan.” Ucapan polos yang gadis cantik itu layangkan membuat Levin menjitak kepala Adiknya dengan sadis.

“Lo kebelet kawin, Dek?

“Kakakku yang jomblo diam aja, oke.” Levin mendengus kesal dan melipat kedua tangannya di dada. Mendengarkan kedua keluarga yang membicarakan pertunangan yang akan diadakan dua hari lagi, di susul dengan pernikahan yang akan di laksanakan seminggu kemudian.

Tepat pukul sebelas malam Lyra dan orang tua juga kakaknya baru sampai di rumah. Merasa lelah dan juga ngantuk, Lyra pamit untuk langsung ke kamar dan istirahat. Setelah membersihkan wajah dari make up yang dikenakan juga mengganti pakaian menjadi baju tidur, barulah Lyra membaringkan tubuh lelahnya.

☻☻

Sosis bakar adalah kesukaan Lyra, dan di jam istirahat kedua ini, gadis cantik dengan rambut kuncir satu di pinggir kiri itu sudah menghabiskan 3 sosis bakar dengan ukuran besar. Amel yang memiliki tubuh langsing ideal artis-artis korea itu bergidik ngeri melihat porsi makan Lyra, sedangkan Luna dan Devi merasa sudah biasa dan malas berkomentar karena gadis itu tidak akan berhenti sebelum perutnya merasa kenyang.

“Hallo Lily cantik, hari ini sudah habis berapa sosis bakarnya?” tanya Leo yang baru saja menginjakan kaki di kantin bersama kedua sahabatnya, Pandu dan Dimas.

“Baru tiga.” Jawab Lyra santai.

“Lo bilang baru? Gila, emang lo niat ngabisin berapa biji, Ra?” tanya Dimas menggeleng tidak percaya.

“Tuh, Pak Beno masih bakarin lima sosis lagi buat gue.” Jawab Lyra sambil menunjuk ke arah stand Sosis bakar di belakang sana dengan santai. Semua orang yang duduk semeja dengannya membelalakan mata.

“Yakin lo mau habisin semua itu?” tanya Pandu. Lyra mengangguk dan terus melahap Sosis yang tinggal sedikit.

Lyra melirik ke arah Leo duduk, menampilkan mata kucingnya. “ Lele bayarin semua sosisnya, ya?”

Leo yang sedang memakan baksonya yang pedas tersedak hingga wajahnya memerah dan tenggorokannya sakit. Habis es teh satu gelas baru lah Leo melirik teman kecilnya itu dengan tatapan horror.

“Emang Lily pesan berapa Sosisnya?” Lyra menunjukan kesepuluh jarinya dan melipatnya dua sambil tersenyum semanis mungkin. Lagi, Leo tersedak, tapi kali ini oleh liurnya sendiri.

“15 ribu di kali 8 berapa, Pan?” tanya Leo pada Pandu yang duduk di sebelahnya.

“120 ribu.” Jawaban singkat Pandu adalah keterkejutan Leo dan kebahagaian bagi temannya yang lain.

Mata Lyra berbinar saat Pak Beno, si penjual sosis bakar datang mengantarkan pesanannya. Gadis itu berkata bahwa Leo lah yang akan membayar dan diangguki oleh si penjual tersebut, sedangkan Leo meneguk ludahnya susah payah membayangkan nasib uang jajannya selama tiga hari ini habis dalam sekejap oleh perempuan yang memiliki bibir mungil, tapi jago makan itu.

Lyra mengambil steropom berisi sosis bakar yang masih hangat itu lalu bediri dari duduknya. Mengecup singkat pipi Leo dan tidak lupa mengucapkan terima kasih sebelum dirinya benar-bener pergi meninggalkan kantin dan juga teman-temannya yang melongo, termasuk Leo sendiri yang mendapat kecupan hangat itu.

“Kalau balasannya kecupan sih gue rela beliin lo sosis bakar se-truk juga, Ly.” Senyum di bibir tipis Leo terbit, dan tangannya menyentuh pipi kiri yang di kecup Lyra tadi. Pandu berdiri dari duduknya meninggalkan ke lima orang di meja itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Lyra dengan santai bejalan melewati koridor-koridor yang lumayan ramai oleh penghuni sekolah sambil memakan sosis bakarnya. Tersenyum saat ada yang menyapa atau pun menggodanya. Pandu mensejajarkan langkahnya dengan gadis mungil itu dan membawanya ke ruang osis yang memang sudah tidak jauh dari posisi mereka.

“Lo apa-apaan sih cium-cium Leo gitu?!” datar dan ketus Pandu berucap.

“Kenapa Pandu sayang, lo cemburu?” tanya Lyra menggoda.

“Mana ada!” sanggahnya cepat.

Lyra tersenyum simpul, “duh lucu banget sih calon suami, eh, apa calon adik ipar ya?”

Pandu mendengus kesal saat dirasanya perempuan aneh itu selalu tidak bisa diajak bicara serius. Selalu saja tingkah dan ucapan konyol yang diberikan gadis mungil itu.

“Pan, mau gak?” tawar Lyra sambil menyodorkan sosis bakar terakhirnya. Pandu menaikan satu alisnya.

“Yakin mau di kasih sama gue?”

Lyra menggeleng, “satu berdua!”

cepat Pandu menggelengkan kepalanya. Lyra mengedikan bahunya acuh kemudian melahap sosis bakar tersebut.

Melihat cara Lyra makan dan juga mencium bau enak dari sosis tersebut membuat Pandu tergiur dan menalan ludahnya susah payah. Tinggal setengah lagi, dengan cepat Pandu melahap sosis yang berada di tangan mungil Lyra. Namun, siapa sangka akan berbarengan dengan Lyra yang juga berniat untuk melahap sosis tersebut. Jadilah bibir Lyra dan pandu bertabrakan, sementara sosis yang berada di tangan Lyra terjatuh kelantai karena ia tidak cukup erat memegangnya.

Mata mereka saling bertemu dan menampakan keterkejutan, tapi bibir keduanya masih tetap menempel. Lyra menjauhkan wajahnya, tapi sebelum itu berhasil Lyra lakukan, bibir Pandu lebih dulu meraih bibir mungil itu untuk memperdalam ciuman mereka. Bertambah keterkejutannya membuat Lyra bingung harus berbuat apa. Pandu melepaskan ciumannya saat dirasa napas Lyra mulai menipis.

“Astaga bibir gue yang suci ternodai!” panik Lyra seraya menyentuh bibirnya yang sedikit membengkak dan terasa kebas.

“Sorry, Gue kebablasan. Abis enak, gimana dong?” Pandu menggaruk tengkuknya salah tingkah.

“Lo kalau mau cium bilang-bilang dong, Pan! Jadi, gue bisa siap-siap, dan tahu harus ngerespon kayak gimana.” Gerutu Lyra yang membuat Pandu melongo tak percaya. Ia bingung dengan perempuan di depannya. Antara polos dan b*g* memang sulit untuk dibedakan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!