Arfan membawa timnya kembali ke club setelah bertanding malam ini di lapangan futsal, kekalahan di babak final membuat hatinya begitu kecewa.
Bagi Arfan hanya ada satu kata menang atau kalah, tidak ada juara kedua dalam kamusnya.
Meskipun mereka kalah tipis dengan tim lawan, tetapi hatinya begitu hancur. Kekalahan sekecil apapun tetaplah sebuah kesalahan.
Dia ingin anak-anak muda yang di bawah pengasuhannya mampu meraih juara dari tingkat nasional hingga ke tingkat internasional.
Arfan Reynar Wijaya Pria matang berusia Tiga Puluh tahun seorang mantan pemain nasional pada cabang olahraga futsal sekaligus seorang dosen jurusan olahraga di Universitas Z, masih lajang dan belum pernah memiliki seorang kekasih.
Ayah dan ibunya telah tiada, dia tinggal bersama neneknya sejak kecil. Masa mudanya dia habiskan di lapangan futsal, berlatih dan berlatih bersama timnya. Berharap dapat mencapai puncak di kejuaraan nasional, namun sepuluh tahun lalu tim mereka harus bubar karena sebab yang membuat mereka memutuskan untuk pensiun.
Semenjak timnya bubar Arfan memutuskan kembali ke Spanyol dan tinggal bersama Nenek dari Ayahnya. Mereka memang bukan asli dari sana tetapi Nenek Arfan dulunya bekerja di Spanyol hingga akhirnya mereka menetap disana.
Spanyol merupakan rumah kedua bagi keluarga Wijaya untuk pulang. Arfan kembali ke Spanyol selain untuk melanjutkan pendidikannya dia juga menggunakan uang yang ditinggalkan oleh Ayahnya untuk membangun sebuah club futsal dengan nama A&W dan sudah setahun ini dia kembali ke tempat kelahirannya, membuka cabang club A&W.
Club ini sudah berkali-kali menjuarai berbagai macam kejuaraan, meskipun tergolong club baru namun kekuatan mereka tidak dapat diragukan lagi karena mereka mampu bersaing dengan club yang sudah lama terbentuk.
Malam ini Arfan dan anak asuhnya kalah dari club yang diasuh oleh mantan teman satu timnya sebelum mereka memutuskan untuk pensiun.
Arfan begitu kesal hingga dia memutuskan untuk turun di tengah jalan dari bus yang mereka naiki, dengan menggunakan jaket tebal dia menembus musim dingin yang menusuk tulang.
Menuju sebuah tempat untuk menepi dan merenung, Arfan memang pemuda dengan tekad yang begitu kuat dan irit bicara. Dia tidak mudah bergaul sehingga lebih dari seperempat abad kehidupannya dia tidak memiliki seseorang untuk melabuhkan hatinya.
Arfan termasuk pemuda yang tampan dengan tubuh yang atlestis, namun kerasnya hidup membuatnya memilih untuk meraih cita-cita dibandingkan harus memikirkan seorang perempuan untuk dicintai. Ditinggalkan oleh kedua orangtua sejak kecil membuatnya harus bisa mandiri dan harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Arfan sampai di sebuah toko buku yang buka sampai malam, dia memang sangat suka membaca. Bahkan dia akan menghabiskan waktunya berjam-jam hanya untuk membaca, baginya buku adalah jendelanya meraih mimpi. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan olahraga.
Arfan memasuki toko tersebut dan disambut oleh seorang penjaga toko dengan senyum terbaiknya, seorang gadis belia yang memandang Arfan lekat tanpa berkedip.
"Nona saya membutuhkan buku terkait olahraga futsal, ada dirak mana kira-kira buku itu?" tanya Arfan kepada sang gadis yang terus menatapnya.
"Hei Nona apakah kau mendengarku?" tanya Arfan lagi.
"Ah ya maaf Tuan, buku yang anda cari ada di rak nomor Tujuh."
Arfan berlalu meninggalkan gadis itu, sedangkan gadis itu masih memandang punggung Arfan yang mendekati rak yang dimaksud.
"Sedang apa kau Mentari, kenapa mengendap-endap seperti tikus?" tanya Bintang sepupu Mentari.
Malam ini Mentari datang ke toko milik keluarga Bintang yang merupakan sepupu laki-lakinya dari Adik Ibunya karena diminta oleh keluarga Bintang agar mereka menjaga toko bersama selagi mereka libur kuliah.
"Ah tidak ada, aku hanya sedang menata buku-buku ini," kilah Mentari.
"Baiklah cepatlah kau bereskan karena sebentar lagi kita akan tutup,"
"Tutup? Baru jam berapa ini kenapa kita tutup secepat ini, bukankah biasanya jam sepuluh kita baru tutup Bin?"
"Kau tidak ingat, malam ini akan turun hujan lihatlah di luar sudah mendung dan langit semakin gelap. Apa kau mau kita kehujanan karena kita hanya membawa sepeda, hah!" Terang Bintang.
Jarak rumah mereka dengan toko memang tidaklah jauh sehingga tadi mereka berangkat dengan naik sepeda.
Mentari Mahendra merupakan putri dari pasangan Mahendra dan Kartika, Ayahnya seorang Dokter spesialis jantung dan Ibunya merupakan Kepala Sekolah Dasar.
Mentari merupakan anak satu-satunya di keluarga Mahendra. Dia baru berusia Sembilan Belas tahun dan kini sedang menempuh S2 pada Jurusan Matematika di Universitas Z.
Mentari merupakan gadis yang sangat cerdas bahkan dia mengikuti program akselerasi yang membuatnya bisa menjadi mahasiswa S2 termuda di Jurusannya, ketika kuliah S1 dia mampu menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 3,5 tahun saja.
Mentari terduduk dikursi dibalik meja kasir, Arfan mendekat dan menyodorkan buku yang telah dipilihnya untuk ia bayar.
"Nona berapa total semuanya?" tanya Arfan.
Mentari menerima buku yang Arfan berikan untuk mengecek harganya, namun lagi-lagi Mentari dibuat terpukau dengan ketampanan pemuda di depannya itu. Rahangnya begitu kuat dengan jakun yang menonjol, rambut hitam yang tertata rapi dan guratan otot-otot tangan yang terlihat begitu jelas, gambaran tubuh atletis dibalik jaket tebal yang Arfan kenakan terlintas di otak Mentari.
Ketampanan Arfan tergambar jelas dimatanya, bagi Mentari Arfan adalah pemuda pertama yang menurutnya begitu sempurna dan menarik hatinya.
"Nona...," tegur Arfan membuyarkan lamunan Mentari.
"Iya Tuan maafkan aku,"
"Tolong KTP dan nomor ponselnya Tuan untuk melengkapi administrasi karena toko kami sedang mengadakan undian berhadiah dan yang beruntung akan mendapatkan hadiah istimewa dari kami!"
Arfan mengeluarkan KTP dari dompetnya dan memberikan kepada Mentari sekaligus menyuruh gadis itu untuk mencatat nomor telfonnya.
Mentari dengan sigap memasukan data milik Arfan, kemudian menghitung berapa jumlah belanjaan Arfan dan memberikan belanjaan pemuda itu kepada pemiliknya.
"Apabila saya menang tidak perlu menghubungi saya, hadiah itu untuk kalian saja!" pesan Arfan kepada Mentari.
"Ta-tapi Tuan...,"
Arfan berlalu pergi dan keluar dari toko itu tanpa menoleh lagi ke belakang.
Mentari menyadari ada sesuatu milik Arfan tadi yang tertinggal. Kemudian dia mengejar Arfan sampai diluar, Mentari celingukan karena sosok yang dia cari sudah tidak ada disana. Tiba-tiba Arfan muncul dari arah belakang dimana posisi Mentari berdiri.
"Apakah kamu mencariku?" tanya Arfan yang membuat Mentari melompat seketika ke pelukan Arfan dengan posisi kedua kakinya mengapit pinggang pemuda itu, Arfan dengan reflek pun menangkapnya. Untuk sepersekian detik mereka saling berpandangan.
Mentari tersadar dan buru-buru melepaskan diri dari pelukan Arfan.
"Maafkan saya Tuan, tadi saya reflek karena kaget," Mentari menelungkupkan kedua tangannya di depan dada memohon agar dimaafkan.
"Kenapa kamu mencariku?!" Arfan tidak menjawab permohonan maaf Mentari dan justru balik bertanya kepadanya dengan nada yang sangat datar.
"I-ini Tuan, aku mau mengembalikkan ini kepadamu!" Mentari menyodorkan KTP Arfan kepada pemiliknya.
"Gadis kecil terimakasih," Arfan berlalu dari hadapan Mentari.
Arfan tiba-tiba menghentikkan langkahnya dan berbalik.
"Tidak baik gadis kecil sepertimu malam-malam begini berkeliaran di luar rumah!"
"Masuklah dan aku akan melihatmu sampai menghilang dibalik pintu itu, jika sudah selesai bekerja segera pulanglah. Malam tidak baik untuk seorang gadis." Sambung Arfan menasehati.
Mentari mengangguk patuh kemudian mengayunkan kaki kecilnya masuk ke dalam toko.
Arfan melanjutkan langkah, malam ini juga dia akan pergi menemui sahabat lamanya di luar kota.
----------------------------------------------------------------
Hai Kak, dukung karya terbaru Author ya. Jangan lupa like, komen, vote dan jadikan favourite ya Kak agar tidak ketinggalan jika Author update lagi. Yuk tekan tanda love nya. 😘😘😘💕💕💕
Arfan tiba di Surabaya, masih dengan jaket tebal dan tas punggungnya. Dia menempuh perjalanan malam yang membuatnya dapat sampai di pagi buta.
Udara pagi menelusup ke dalam jaket yang dia kenakan, Arfan akan menemui sahabatnya di kota ini.
Langkah kaki Arfan melangkah ke tempat sahabat lamanya, sahabat yang dulu pernah berjuang bersama dalam suka maupun duka.
Arfan disambut oleh keluarga Ilham dengan sangat ramah, mereka sudah menganggap Arfan seperti anak mereka sendiri.
Arfan bertemu dengan sahabatnya dengan keharuan yang dalam.
"Akhirnya kamu kembali Fan," Ilham memeluk Arfan erat.
"Aku datang untuk menjemputmu kembali,"
"Aku sudah terlalu tua untuk sebuah pertandingan Fan,"
"Aku tidak memintamu untuk menjadi pemain, cukup berdiri disampingku dan menjadikan mereka bintang yang bersinar."
"Mereka?" tanya Ilham.
"Aku kembali dari Spanyol untuk membentuk clubku sendiri dan kini aku sudah bisa mewujudkannya,"
"Benarkah?"
"Kamu memang hebat dari dulu, sayang sekali permasalahan kita membuat tim kita bubar dan kalian pensiun, jika tidak tentu saja kita sudah berada pada puncak tertinggi saat ini." Ucap Ilham dengan nada penyesalan yang cukup dalam.
"Sudahlah kawan, semua telah berlalu."
"Kau masih seperti dulu, selalu membuat kami tidak terbebani."
"Lalu bagaimana keputusanmu?" tanya Arfan.
"Aku akan pikirkan, tinggallah malam ini kita makan malam bersama dulu. Aku akan pertemukan kamu dengan seseorang."
Arfan masih berada di rumah keluarga Ilham, sementara Mentari yang sudah mendapatkan nomor ponsel Arfan berkali-kali mengirimkan pesan promosi untuknya.
[Silahkan mampir ke toko kami kembali, kami sedang mengadakan promo untuk semua jenis buku sampai dengan 50%, happy shoping]~~ Toko buku Gaharu.
Arfan hanya membaca saja pesan itu, merasa tidak tertarik sama sekali dengan promosi yang mereka tawarkan. Arfan berniat untuk menghapus pesan dan memblokir nomor pengirim pesan itu, namun berkali-kali pula dia urungkan.
Malam ini Arfan memenuhi janjinya untuk menemui Ilham di sebuah restoran, tadi sore Arfan pamit dari rumah keluarga Ilham karena ada urusan lain di kota Surabaya.
Arfan memasuki restoran sesuai alamat yang Ilham kirimkan kepadanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat Ilham tidak sendirian, Ilham bersama dua orang yang lainnya. Ketika Arfan semakin dekat, dia tahu disana ada Zaki dan juga Arman.
"Arfan sudah lama kita tidak berjumpa," sapa Zaki.
Tatapan mata Arfan sudah tak seramah saat bertemu Ilham tadi pagi.
"Duduklah dulu Fan, akan aku jelaskan!" ucap Ilham paham dengan situasi yang ada.
"Aku tidak butuh penjelasan kalian!"
Arfan keluar dari dalam restoran dengan dada yang naik turun menahan emosi, dia menerjang hujan yang mulai turun.
Rasanya sangat sulit untuk bisa menerima mereka berada dalam satu meja apalagi dia harus bergabung di dalamnya, terlebih ada Zaki diantara mereka.
Rasa sakit dihatinya belumlah surut, jurang pemisah masih menganga lebar diantara mereka, setelah sepuluh tahun dia begitu menderita dan kini dia kembali agar dapat tersenyum, namun mungkin belum saatnya.
Malam itu juga Arfan kembali ke Jakarta, dia sudah tidak lagi memperdulikan dirinya yang sudah basah kuyup tersiram derasnya hujan.
Dia menangis sesenggukan seorang diri, begitu lemah Arfan saat ini seperti sepuluh tahun lalu, dia memilih untuk meninggalkan teman-temannya dan pensiun dari arena pertandingan.
Hatinya memang keras namun jiwanya begitu rapuh, entah bagaimana jadinya jika ada mahasiswanya atau anak-anak asuhnya di club yang melihat dirinya selemah ini. Arfan yang dikenal sebagai Dosen yang perfeksionis juga Bos yang disiplin dan keras kepala ternyata memiliki sisi lain sebagai seorang manusia biasa pada umumnya.
Arfan sampai di club selepas subuh, dia begitu lelah.
Sebelum menghempaskan tubuhnya di kasur dia membersihkan dirinya kemudian mengecek ponselnya, melihat beberapa pesan yang masuk salah satunya dari toko buku Gaharu yang lagi-lagi memberikan promosi kepadanya.
Arfan membuang sembarangan ponselnya, tubuhnya terasa lelah dan penat, tubuhnya sudah tidak mampu mentorerir lagi untuk tidak segera beristirahat.
Pagi begitu cepat menyingsing, cahaya matahari masuk melalui celah kamar Arfan. Dia masih merasa mengantuk dan malas hanya untuk sekedar bangkit dari tempat tidur jika tidak ingat jika sore nanti dia harus membawa timnya ke arena pertandingan di Bandung, sudah barang tentu mereka harus bersiap sejak pagi ini, melakukan latihan dan olahraga ringan sebelum berangkat.
Tok...tok...tok...
Pintu kamar Arfan diketuk oleh seseorang.
"Siapa?" jawab Arfan malas.
"Aku Bos," jawab seseorang dari luar.
Sudah saatnya kita berlatih Bos," sahutnya lagi.
"Tunggu aku di lapangan, kalian pemanasan dulu!" perintah Arfan tanpa membiarkan orang itu masuk ke dalam kamarnya.
Arfan bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Disaat yang sama Mentari juga sedang bersiap untuk pergi ke Bandung dalam acara seminar karya ilmiah yang dia susun bersama dengan kelompoknya.
Mentari tidak pergi bersama rombongan sebab ada hal yang harus dia urus terlebih dahulu sebelum berangkat, saat mentari tiba di Kota Kembang. Dia melihat segerombolan orang dengan pakaian serba hitam menaiki sebuah bus dengan logo tim futsal dari sebuah club.
Mentari melihat pemuda yang bertemu dengannya tempo hari di toko buku milik sepupunya berada di atas bus yang tadi dilihatnya, karena penasaran Mentari mengikuti laju bus tersebut yang berjalan perlahan.
Tidak jauh dari sana mereka semua turun dari bus untuk memasuki arena pertandingan, Mentari ikut berdesak-desakan dengan para suporter yang tengah memegang spanduk meneriaki tim kesayangan mereka yang baru saja tiba.
Tubuh kecil mentari terdorong-dorong oleh para suporter fanatik, hingga dia terpental ke depan hampir terjerembab ke bagian yang berbatu, beruntung Arfan tidak sengaja reflek menangkap tubuh mungil Mentari.
Pandangan mereka saling bertemu, lagi-lagi Mentari terkesima dengan kharisma yang terpancar dari wajah sempurna Arfan.
"Nona kecil apakah kau bisa berdiri?" tanya Arfan membuyarkan lamunan Mentari.
"Te-tentu saja aku bisa!"
"Baguslah...ayo!" Arfan menarik tangan Mentari untuk mengikutinya masuk ke dalam arena pertandingan.
"Duduklah!" perintah Arfan.
"Katakan siapa namamu?" tanya Arfan ketika Mentari sudah duduk.
"Mentari...," jawab Mentari singkat.
"Mentari kecil kenapa kamu mengikuti kami hingga kesini?"
"Katakanlah, apa kamu salah satu fans kami?"
"Atau pacarmu ada diantara bocah-bocah ini?"
Arfan menunjuk satu persatu pemainnya.
Mentari menggeleng.
"Jujur saja pada kami, tidak usah malu. Tapi aku sarankan sebagai pacar yang baik kau tidak boleh menganggu karir pacarmu itu, biarkan dia berkembang dan kau belajarlah yang benar agar nilaimu bagus, bukankah gadis kecil sepertimu seharusnya masih duduk dibangku kuliah semester awal?"
"Tidak baik hanya karena ingin bertemu dengan pacarmu, kau harus jauh-jauh sampai datang kesini,"
Mentari masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa sebab mereka bertemu juga karena tidak disengaja.
"Cepat katakan! Kau datang untuk siapa?"
"Waktuku tidak banyak karena mereka harus segera memasuki arena pertandingan!"
Mentari masih diam, dia merasa cemas sebab teman-temannya pasti sudah menunggunya.
"Baiklah kalau kau masih diam, tunggulah disini sampai pertandingan usai!"
Mentari tidak memiliki pilihan lain selain patuh dan tetap diam. Seminar akan dilaksanakan esok hari, sebenarnya sore ini mereka akan mematangkan kembali materi yang akan mereka bawakan besok, namun Mentari tidak ingin terjadi kesalahpahaman bahwa dirinya tengah mengikuti pacarnya, dia akan mencoba meluruskan setelah pertandingan usai.
Mentari mengirimkan pesan ke grup mengatakan bahwa dia akan sampai di hotel sedikit terlambat karena sesuatu hal.
"Dilarang mengambil foto apapun selama pertandingan, jika melanggar kau akan tahu akibatnya!" ancam Arfan.
Mentari memperlihatkan ponselnya yang sedang dia gunakan untuk mengirim pesan agar pria tampan dan galak disebelahnya itu percaya kepadanya, selebihnya dia memilih memasukkan ponsel ke dalam tas slempangnya.
Pertandingan pun usai, semua pemain masuk kembali ke dalam ruang ganti. Mentari tak luput dari hal ini, padahal dia sudah menolak namun Arfan masih tidak ingin melepaskannya. Dia sepertinya masih ingin tahu siapa sebenarnya pacar dari gadis kecil itu yang akhir-akhir ini sering bertemu dengannya.
"Cepat katakan, siapa pacar kamu diantara mereka!"
Bocah-bocah yang baru saja selesai bertanding itu semua memberikan kode agar jangan sampai salah satu dari mereka ditunjuk oleh Mentari sebab akan terjadi masalah besar jika hal itu sampai terjadi, sebab mereka tidak ada yang mengenal Mentari satupun.
"Aku bilang cepat!" Arfan sedikit berteriak.
Mentari memberanikan diri untuk mengangkat telunjuknya, dia mengarahkan telunjuknya ke Arfan yang tentu saja kaget dengan hal itu.
"Aku?" Arfan mengarahkan telunjuknya ke depan mukanya sendiri.
Mentari mengangguk.
"Ah Bos ternyata masalah percintaan kamu sendiri," salah seorang bocah itu berkata tanpa rem yang dicegah oleh teman-temannya dengan menggetok kepalanya yang kurang peka dengan keadaan.
"Kalian semuanya keluar!"
"Kau Dio, panggilkan taksi!"
Bocah bernama Dio bergegas memesan taksi melalui telephone pintarnya.
"Gadis kecil kemarilah!"
Mentari menggeleng merasa takut dengan tatapan Arfan yang seperti seekor Elang hendak memangsa buruannya.
Mentari yang ketakutan terus berjalan mundur yang diikuti oleh Arfan, hingga pada akhirnya mentok di depan tembok.
"K-kau mau apa?!" tanya Mentari gugup.
Arfan hanya menyeringai dan terus mendekat, karena takut Mentari memejamkan matanya sambil memalingkan wajah ke sebelah kiri. Hembusan nafas Arfan terdengar begitu dekat.
"Rasakan kau gadis kecil nakal, berani mempermainkan aku lihat saja akibatnya." Batin Arfan.
Arfan sebenarnya hanya ingin menakut-nakuti gadis di depannya saja, tidak ada niat untuk melakukan sebuah pelecehan sama sekali apalagi dengan gadis kecil seperti yang ada dihadapannya ini.
Melihat Mentari yang pucat pasi, Arfan tertawa puas di dalam hatinya.
"Dasar Mentari kecil, cuma begini sajakah nyalimu?" guman Arfan lirih.
Ketika Mentari sedang ketakutan, Dio masuk ke dalam ruang ganti dan melihat jika Bosnya sedang menindas seorang gadis kecil.
"Bos taksinya sudah di depan!"
Suara Dio membuat Arfan menarik kepalanya dari hadapan Mentari.
Mentari merasa sedikit lega, paling tidak dia tidak dalam kondisi ketakutan seperti tadi.
"Ikut aku!" perintah Arfan kepada Mentari.
Arfan mamasukkan barang-barang Mentari ke dalam bagasi mobil, kemudian menyuruh Mentari masuk ke dalam taksi.
"Masuk!"
Mentari memandangi Arfan dengan raut muka sedih, namun Arfan tetap terlihat datar tanpa ekspresi.
Mentari patuh masuk ke dalam taksi dan duduk di kursi penumpang dengan anteng.
"Tolong antarkan dia ke hotel pak, pastikan dia selamat sampai tujuan!"
"Baik Tuan," jawab si Supir taksi.
Mobilpun melaju, Mentari masih memandangi Arfan dengan sendu. Entah kapan dia bisa bertemu dengan pemuda itu lagi. Air mata Mentari mulai jatuh ketika dia berbalik ke belakang memandangi Arfan melalui kaca mobil bagian belakang, Arfan yang masih berdiri sambil menelfon seseorang tidak memandangnya sama sekali.
Jatuh cinta terkadang memang menyakitkan jika cinta kita bertepuk sebelah tangan.
Mentari sampai di hotel dan langsung menuju ke kamar dimana Siska menginap, Siska
bersama dua orang lainnya sudah sampai sejak sore tadi.
"Ya ampun Tar, kamu lama banget sih. Kita sampai kering nungguin kamu tahu nggak!" Keluh Siska begitu melihat Mentari datang dengan wajah kusut.
"Maafkan aku Sis," jawab Mentari memelas.
"Ok deh nggak apa-apa Tari sayang, dah mandi dulu sana! Setelah ini kita akan bahas materi sebentar sebelum beristirahat mengumpulkan energi untuk besok."
Seminar ini dilakukan secara berkelompok, di dalam kelompok Mentari ada empat orang, selain Mentari dan Siska ada dua orang cowok yang lain yaitu Ilyas dan Azka yang merupakan kakak tingkat mereka di kampus.
Saat ini mereka sedang berkumpul di kamar Siska dan Mentari untuk berdiskusi mengenai materi seminar, sedangkan kamar mereka berdua ada di sebelah.
Mentari keluar dari kamar mandi dengan kondisi yang jauh lebih segar.
"Bagaimana kalau kita mulai saja diskusinya?" usul Siska yang disetujui oleh semua temannya.
Mereka berdiskusi cukup lama, seminar kali ini harus mereka persiapkan dengan baik karena akan kedatangan mahasiswa dan Dosen dari fakultas lain di Universitas Z.
****
Mentari dan teman-temannya sudah berada di ruangan seminar sejak pagi, mereka sudah bersiap dengan sangat matang hanya tinggal menunggu acara dimulai.
Satu persatu para peserta seminar berdatangan. Tepat pukul Sembilan pagi acara dimulai. Di kursi peserta tampak Arfan duduk di kursinya dengan tenang, saking banyaknya peserta yang hadir, Mentari tidak menyadari jika pemuda yang disukainya berada di tengah-tengahnya kali ini.
Ilyas adalah orang pertama yang memaparkan materi seminarnya, dilanjutkan dengan teman-temannya yang lain. Sedangkan Mentari mendapatkan giliran terakhir, sejak kedatangan Arfan tadi dia terus memperhatikan Mentari.
Dia memandanginya lekat, bahkan bayangan kejadian kemarin membuatnya tersenyum simpul.
Mentari memaparkan materinya dengan sangat lancar dan lantang, terlihat sekali jika gadis itu memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang cukup luas menurut Arfan sehingga mampu menguasai audiens dengan mudah.
Sesi tanya jawab pun dimulai, kelompok Mentari dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para peserta dengan sangat baik. Terutama Mentari yang berhasil menjawab banyak pertanyaan yang bisa dibilang cukup sulit dari para peserta.
Arfan menahan diri untuk tidak bertanya karena dia tidak mau keberadaannya disini disadari oleh Mentari yang kemarin sempat ia tindas.
Acara seminar ditutup ketika jam makan siang, setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dan makan siang bersama, mereka berempat sepakat untuk pulang hari ini juga karena esok hari tugas yang lain masih menunggu, meskipun sebenarnya mereka sedang liburan semesteran.
"Mentari kecil?" sapa Arfan ketika melihat Mentari sedang membawa barang-barangnya menuju mobil.
"Kau kenapa ada disini?" tanya Mentari heran.
"Kesinikan barangmu biar aku bawakan!" ucap Arfan tanpa menjawab pertanyaan Mentari.
Mentari masih bingung dengan sikap orang di depannya yang tiba-tiba berubah menjadi baik.
"Tidak perlu, nanti merepotkan." Sanggah Mentari.
Siska yang melihat interaksi keduanya, menyikut lengan Mentari mencoba meminta penjelasan dengan tatapan matanya. Mentari berbisik di telinga Siska.
"Dia temanku, kau jangan khawatir."
Mendengar penjelasan Mentari, membuat Siska merasa lega. Hanya saja dia tidak pernah bertemu sebelumnya dengan teman Mentari yang satu ini.
Arfan tidak mau mendengarkan penolakan Mentari, dia malah membawa koper Mentari begitu saja dan membuat Mentari harus mengejarnya.
"Sinikan barangku, aku mau pulang!"
Arfan tidak mendengarkan perkataan Mentari, malah dia menaikan koper milik Mentari ke dalam mobilnya.
"Hei apa yang kau lakukan, teman-temanku sedang menungguku."
Mentari melihat Siska yang melambaikan tangan ke arah dirinya, menyuruhnya agar cepat.
"Kau tunggu disini!"
Arfan mendekati mobil teman-teman Mentari, berbicara kepada mereka dan kembali ke mobilnya. Dalam hal ini yang sangat tidak rela adalah Ilyas, karena dalam seminar kali ini dia tidak bisa bersama dengan Mentari.
"Lho kenapa teman-temanku malah jalan duluan?" Mentari cemberut merasa ditinggal oleh teman-temannya.
"Ayo naik!" perintah Arfan.
Mentari berpikir sejenak tidak mungkin dia menolak sedangkan barang-barangnya ada di mobil Arfan ditambah teman-temannya yang sudah pulang terlebih dahulu.
"Mau naik tidak?" ucap Arfan dari dalam mobil karena Mentari masih diam ditempat.
Mentari pada akhirnya naik ke mobil Arfan, duduk, diam dan kesal. Mentari menyilangkan kedua tangannya di dada, memilih membuang mukanya ke arah jendela mobil Arfan.
Arfan pun melakukan hal yang sama sepanjang perjalanan dia hanya diam.
Perjalanan yang cukup jauh membuat Mentari merasa bosan dan mengantuk, pada akhirnya dia tertidur. Arfan sesekali memandang gadis kecil disebalahnya.
"Cantik...," gumam Arfan.
"Apa sih yang aku pikirkan, apa otakku sedang kemasukan air?" Arfan mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri karena tidak percaya jika dirinya tertarik dengan Mentari kecil, sebuah hal yang sejak dulu tidak pernah dirasakannya.
Perlahan hujan menyapa mereka di tengah perjalanan, suara petir yang menyambar sebuah kayu besar di depan mereka membuat Mentari terbangun. Beruntung Arfan dengan sigap mengerem laju mobilnya sehingga tidak tertimpa pohon yang tumbang.
Mentari beristighfar berkali-kali, dia tampak pucat dan ketakutan.
"Jangan takut kita akan putar balik, jalan ini tidak mungkin kita lewati karena tertutup pohon yang tumbang."
Mentari yang masih ketakutan tidak menjawab apapun, dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia juga berdo'a semoga teman-temannya baik-baik saja dalam perjalanan.
Setelah dirinya sedikit tenang, Mentari menghubungi Siska melalui sambungan telefon dan beruntung Siska dan yang lainnya sudah berada di sebuah hotel sekarang karena tidak mungkin melanjutkan perjalanan dengan kondisi cuaca yang tiba-tiba menjadi sangat buruk, khawatir terjadi sesuatu di jalan sehingga mereka memutuskan untuk menunda perjalanan hingga esok hari.
"Mentari kecil kita tidak mungkin meneruskan perjalanan kali ini!"
"Seharusnya kau tidak menghalangiku tadi untuk pulang bersama dengan teman-temanku, kau malah membuatku terjebak disini," Mentari merasa marah dengan Arfan dan sedikit menyalahkannya.
"Kita cari penginapan di dekat sini!"
"Tidak...aku tidak mau, kau pasti mau mencari kesempatan kan?" tolak Mentari sambil menutupi dada dengan kedua tangannya.
"Kamu pikir aku tertarik dengan gadis kecil sepertimu?"
"Terserah kau saja, aku mau turun!"
"Masih hujan nanti kau sakit!" cegah Arfan.
"Aku suka hujan dari pada disini,"
Mentari turun dari dalam mobil, membiarkan hujan menyapu wajahnya dan membasahi seluruh tubuhnya. Kali ini mereka sedang berada di depan sebuah penginapan, namun Mentari enggan untuk masuk malah bermain hujan-hujanan di pelataran penginapan itu.
Arfan masih berada di dalam mobil memperhatikan langkah kecil Mentari yang bergerak kesana kemari, begitu lucu gadis kecil itu menurut Arfan.
Arfan pada akhirnya menuruti kata hatinya untuk ikut turun dan bermain hujan bersama Mentari kecil.
Arfan sudah lama tidak merasakan sebahagia ini hanya dengan bermain di bawah hujan, membuat tubuhnya basah oleh hujan, hal sederhana yang membuat dirinya bisa tertawa begitu lepas.
Petir kembali menyapa mereka meskipun tidak menyambar pohon seperti di jalan tadi, karena kaget Mentari melompat ke arah Arfan dan menyilangkan kakinya mengapit pinggang Arfan, dengan cekatan Arfan menangkap tubuh kecil dan ramping Mentari membawa ke pelukannya.
"Aku takut petir!" ucap Mentari.
"Kau akan baik-baik saja tenanglah!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!