...📢Novel ini akan update senin sampai jumat 3 kali sehari minimal 1000 kata, dan sabtu-minggu serta tanggal merah akan update 1 bab saja, jika memungkinkan bisa double up😊...
...❗❗❗Novel ini murni karangan dan imajinasi dari author, jika berkenan membaca, author ucapkan terimakasih 🙏 Jika ingin memberikan kritik dan saran yang membangun juga silakan. Jika merasa tidak suka juga tidak dipaksa untuk lanjut membaca🙏...
...SELAMAT MEMBACA...
Suatu pagi di kota Metropolis, terlihat seorang gadis belia tampak mengayuh sepedanya dengan sekeranjang besar susu di bagian belakang, dan setumpuk koran di bagian depan sepedanya.
Gadis itu tampak melewati beberapa blok gedung apartemen di salah satu sudut kota yang tak pernah sepi itu.
Matahari bahkan belum muncul, saat gadis dengan penutup wajah serta topi apollo, sedang menjelajahi jalanan kota Metropolis.
Dia menghampiri beberapa apartemen di wilayah tersebut, sambil mengantarkan susu dan koran yang dia bawa.
Upah yang dia dapatkan per hari dari pekerjaannya sebesar tiga dolar. Jika dia bisa membawa dua kali lipat, dia bisa mendapat tujuh dolar untuk sehari.
Dia sudah melakukan pekerjaan itu sekitar lima tahun lalu, tepatnya sejak gadis itu masih berusia empat belas tahun.
Orang-orang di sekitar sana sering memanggilnya gadis bertopeng, karena penampilannya yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik masker.
Bukan tanpa alasan dia selalu memakainya. Karena polusi? Tidak. Karena alergi? Juga tidak. Tapi karena wajahnya hancur, kulitnya memutih bekas melepuh tersiram air panas, saat dirinya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Sejak saat itulah, dia selalu dipanggil monster oleh orang yang tinggal di sekitarnya, hingga di kemudian hari, gadis itu memutuskan untuk menyembunyikan wajah cacatnya dengan benda tersebut.
Kini, dia terlihat memasuki sebuah gedung apartemen di blok G, blok pertama dari rute perjalanannya. Di blok G, ada cukup banyak pelanggan yang menunggu susu dan surat kabar darinya setiap pagi.
Dia mulai dari lantai paling bawah, hingga lantai paling atas. Setiap apartemen memiliki fasilitas umum dan ruang hijau terbuka bagi masing-masing penghuninya. Oleh karena itu, pemerintah kota memberikan aturan untuk hanya membangun satu apartemen saja dalam satu blok.
Setelah selesai di blok G, si gadis akan menuju ke blok H, Blok F, dan terakhir blok I yang berada paling ujung dari jalan utama di wilayah tersebut.
Dia akan bekerja dari pukul lima pagi sampai setengah tujuh. Setelah itu, dia akan pulang dan bersiap untuk pergi kuliah.
Dia sedang menempuh pendidikan di sebuah universitas negeri di kota tersebut, karena berhasil mendapatkan beasiswa dari jalur prestasi.
Si gadis mengambil jurusan arsitektur, karena dia berpikir dengan parasnya yang buruk rupa, tak mungkin dia bisa mendapatkan pekerjaan kantoran. Hanya pekerjaan kasar yang bisa ia dapatkan.
Meskipun dia dijauhi oleh semua orang karena parasnya, namun rasa percaya diri dan semangat juangnya begitu besar, demi cita-cita sederhananya, yaitu pergi dari rumah yang saat ini ditinggalinya.
Sejak kedua orang tuanya meninggal sepuluh tahun lalu, gadis belia itu harus mau tinggal bersama dengan bibinya, Caroline Yu, adik dari ibunya, Vivian Yu.
Sang bibi memiliki seorang putri yang berusia sama dengan gadis itu, yang bernama Jessica Zhang. Dialah yang menyiramkan air mendidih ke wajah sang gadis, karena merasa iri selalu kalah darinya.
Baik dari parasnya, prestasinya, hingga perhatian dari teman lawan jenis yang selalu memperhatikan gadis itu.
Bahkan, setiap yang dimiliki oleh sang gadis, selalu direbut oleh sepupunya. Sehingga, tak satu pun barang yang melekat di tubuh gadis tersebut, yang merupakan barang baru.
Sejak dia paham dengan sikap sepupunya, gadis itu selalu berusaha untuk lebih rendah darinya. Pakaian pun, dia selalu mengambil dari tempat daur ulang pakaian bekas. Sehingga, tak mungkin sepupunya itu akan mengambil darinya.
Begitu pun dengan pendidikan, sang gadis memilih masuk universitas yang bukan favorit, dan memilih jalur beasiswa agar tak bisa diambil oleh sepupunya yang selalu saja iri dengan apa yang dia punya.
Saat ini, si gadis belia itu, tengah mengembalikan botol-botol kosong, serta uang setoran yang diberikan oleh setiap orang yang berlangganan susu dan juga koran dari bosnya.
“Hei, Liana!” panggil pegawai kasir yang mengurus setoran setiap pegawainya.
Gadis bernama Liana Yu itu pun menoleh. Dia berjalan menghampiri kasir tersebut.
“Iya, Kak,” sahutnya.
“Kamu lupa upahmu,” ucapnya sambil menyerahkan uang sebesar tujuh puluh ribu.
“Aku nggak lupa kok, Kak. Tadi cuma mau benerin rantai sepeda aja. Makasih,” sahut Liana sambil menerima upahnya.
Gadis itu pun kemudian berjalan pergi, dan mengayuh sepedanya kembali ke rumah yang lebih mirip neraka baginya.
Sesampainya ia di sana, Liana masuk lewat pintu belakang dan memarkirkan sepedanya di pagar belakang rumah bibinya yang selalu sepi.
Sebelum masuk, dia selalu menyembunyikan uang hasil bekerjanya di sela-sela anyaman keranjang belakang sepeda. Bukan tanpa alasan, Liana selalu melakukan hal tersebut karena bibi dan sepupunya yang selalu saja merampas uang hasil jerih payahnya.
Setelah itu, dia kemudian masuk dan melihat jika semua orang sedang sarapan, tentu saja tanpa menunggunya pulang.
Terlihat sepupunya itu berbisik kepada ibunya, sambil melirik ke arah gadis yang baru saja datang tadi.
“Bu, Liana pasti pulang bawa uang. Mintain dong buat nambahin uang saku ku,” pintanya.
Si bibi itu pun kemudian memanggil Liana, untuk mendekat ke arahnya.
“Liana, mana upahmu hari ini?” tanya Bibi Carol.
“Tidak ada, Bi. Memangnya ada apa?” tanya Mentari.
“Jangan percaya, Bu. Pasti disembunyikan sama dia, biar kita nggak bisa ngambilnya,” sanggah Jessica, sepupu Liana.
“Aku nggak bohong, Jes. Uangnya emang udah nggak ada,” sahut Mentari.
“Geledah aja, Bu!” seru Jessica yang kembali memprovokasi ibunya.
Caroline pun berdiri dan menghampiri keponakannya yang masih berada di tempatnya. Dia mulai membuka jaket dan kemeja yang dikenakan oleh Liana satu per satu, hingga tersisa baju dalamnya yang sangat tipis.
“Nggak ada," gumam Caroline.
Dia kemudian mundur dan mengambil jarak dari keponakannya. Dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya, wanita paruh baya itu kembali berkata.
"Besok-besok, kalau kamu pulang habis kerja, kasih duitnya ke bibi. Ingat, kamu itu harus bayar untuk semua kebutuhan selama numpang di rumah ini. Ngerti!” bentak Bibi Caroline.
Liana diam. Dia tak ingin menjawab apa pun yang dikatakan oleh bibinya itu. Dia sudah muak akan semua perlakuan wanita tua itu terhadap dirinya.
Memangnya aku sebodoh dulu, yang dengan mudahnya percaya pada ucapan kalian berdua? Aku tidak akan tertipu lagi. Mimpi saja kalian bisa menikmati hasil jerih payahku, batin Liana.
Setelah memunguti pakaiannya, Liana berjalan menuju kamarnya, yang lebih tepat disebut gudang. Tidak ada tempat tidur, yang ada hanya sebuah matras tipis yang biasa dipakai oleh Liana sebagai alas untuk tidur.
Temboknya pun lapuk dengan warna yang begitu kusam, cenderung kelabu. Bahkan di beberapa bagian nampak mengelupas. Pencahayaan yang minim, membuat Liana sulit untuk belajar ketika berada di rumah.
Dia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus saat dirinya sedang banyak tugas.
Di sana, selain penuh dengan referensi, tapi juga suasananya sangat nyaman untuk belajar.
Liana lebih banyak menghabiskan waktu luangnya di sana. Pulang baginya hanya untuk sekedar mandi dan berganti pakaian.
Selama ini dia bekerja, karena Liana ingin mengambil harta peninggalan kedua orang tuanya yang disimpan oleh sang bibi sebagai jaminan atas mengurus dirinya.
Dia pun sebenarnya tidak terlalu paham akan rupa dari harta tersebut. Tapi Liana berjanji, sebelum dia pergi dari rumah sangat bibi, dia akan mengambil kembali semua miliknya.
Setelah selesai bersiap, Liana pun kemudian berangkat ke kampus untuk menuntut ilmu, agar kelak dia mampu hidup mandiri dengan penghasilannya sendiri.
Saat dirinya keluar dari ruang pengap itu, kedua wanita yang selalu ingin merampok uangnya sudah tidak ada lagi di meja makan. Liana tak melihat sedikit pun ke arah meja tempat bersantap itu.
Bukan tanpa alasan. Sejak awal, tak pernah ada makanan untuknya di sana, sekali pun ada, tak pernah bisa dibilang layak makan. Selalu saja makanan sisa yang diberikan kepada Liana, dan lebih mirip seperti makanan untuk kucing jalanan.
Selama ini, Liana selalu mencari makan sendiri di luaran, bahkan saat awal-awal dia memberontak, Liana mencari makan di antara sampah-sampah restoran yang berada di tak jauh dari tempat tinggalnya, hingga akhirnya, dia berhasil mendapatkan pekerjaan di usia yang begitu muda.
Sejak saat itu lah, tekadnya untuk bangkit dan maju begitu besar.
.
.
.
.
Mohon dukungan untuk cerita ini😊🙏
Jangan lupa like dan komentar yah😘
Universitas Negeri kota Metropolis, sebuah perguruan tinggi yang menyediakan beasiswa untuk para pelajar yang memiliki prestasi yang gemilang. Salah satunya adalah Liana.
Gadis itu tampak memasuki lobi kampusnya, dan berjalan menuju ke arah kelasnya yang berada di lantai tiga.
Meski bukan termasuk favorit, namun lembaga pendidikan ini memiliki fasilitas yang terbilang sangat lengkap.
Bahkan setiap lantai dilengkapi dengan fasilitas eskalator untuk memudahkan para mahasiswanya menuju ke tempat tujuan.
Saat dirinya tiba di lantai dua, Tiba-tiba saja kakinya serasa tersandung sesuatu hingga gadis itu pun jatuh, dan membuat buku-buku yang dipegangnya berserakan.
“Eh ... Upik abu udah dateng. Seperti biasa, dia selalu sembunyiin wajah jeleknya,” ejek seorang mahasiswi bernama Lusy Jung yang tiba-tiba Muncul di sana.
Liana tak peduli dengan ejekan dari teman sesama mahasiswanya itu. Dia lebih memilih bangun dan memunguti buku-bukunya kembali.
Bukan hal baru dia mendapatkan perlakuan semacam itu. Hampir semua mahasiswa di sana menjauhinya dan selalu merendahkan Liana karena parasnya yang buruk rupa.
Namun, lain halnya dengan Lusy. Dia selalu mencari gara-gara dengan Liana, hampir setiap kali mereka bertemu. Meski begitu, tak jarang Liana hanya membiarkan saja dan memilih segera menjauh dari gadis sombong nanti angkuh itu.
Seperti saat ini. Setelah selesai memunguti bukunya, Liana kembali berdiri dan hendak melangkah pergi. Dia tak ingin berurusan dengan gadis manja yang selalu pamer harta orang tuanya.
Namun, Lusy kembali menepis tangan Liana, hingga buku-buku yang pegangnya kembali berjatuhan. Dia pun kembali berjongkok dan memunguti semuanya.
“Hahahaha ... Kasian banget sih. Tahu nggak, aku tuh seneng lihat kamu kayak gini. Kenapa? Karena posisi kamu saat ini tuh pas banget. Rendah. Hampir sama rendahnya kek lantai. Mines,” hina Lusy.
Teman-temannya yang lain menimpalinya dengan tawa mengejek. Namun, Lagi-lagi, Liana tak melawan dan hanya memungut kembali buku-buku itu.
Saat Liana kembali hendak pergi, Lusy lagi-lagi membuat ulah, dengan mendorong Liana dari belakang hingga membuat buku-buku tadi kembali berserakan.
Liana diam, saat semua yang ada di sana menertawakan dirinya. Namun, dia tak segera berjongkok untuk mengambil bukunya kembali, melainkan berbalik dan menatap tajam ke arah Lusy.
“Mau kamu apa sih, hah? Urusan kamu sama aku itu apa? Emang pernah aku ganggu hidup kamu? Kalo iya, coba ingetin aku kapan?” tanya Liana dengan menahan emosinya.
“Mau aku? Mau aku, kamu itu jauh-jauh dari Crhis! Dia itu pacar ku! Tapi, kamu yang kegatelan udah berani godain dia, pake muka buruk rupa kamu itu. Jijik tau,” sarkas Lusy.
“Hah? Hahahaha... Hahaha... Jadi, semua ini gara-gara Crhis? Hahahaha... Lusy... Lusy... kamu bilang kalau aku ini buruk rupa, tapi kenapa kamu yang sempurna ini, malah ngerasa insecure sama Crhis yang deketin aku? Aneh,” cibir Liana.
“Heh, upik abu! Itik buruk rupa! Elu itu jangan ke ge er an ya. Jangan mentang-mentang selama ini Crhis baik sama kamu, terus kamu bisa berani sama aku. Inget, kamu itu manusia rendah yang bisa di sini hanya karena belas kasihan para dermawan. Aku bisa aja suruh daddy ku buat cabut beasiswa kamu. Ngerti kan,” ancam Lusy.
Liana tak terlihat takut sedikit pun. Dia justru melangkah maju, dan semakin mendekat ke arah Lusy.
Gadis sombong itu justru merasa terintimidasi akan tatapan tajam dari Liana. Dia mundur dan tak memperhatikan langkahnya, hingga Lusy pun terjungkal karena high heels membuatnya terpeleset dan hampir jatuh ke atas eskalator, kalau saja tidak ada teman-temannya di sana yang menahannya.
Liana menyeringai di balik penutup wajahnya, dengan sebelah sudut bibirnya terangkat, tanda mengejek lawan di hadapannya.
Dia kemudian berbalik kembali dan mengambil semua buku-bukunya yang berserakan, dan dengan segera pergi dari tempat tersebut.
Liana pun berlalu pergi meninggalkan kerumunan orang-orang yang melihat kejadian tadi.
...👑👑👑👑👑...
Seusai mengikuti mata kuliah, Liana menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan, sambil menunggu waktu kerja paruh waktunya yang lain dimulai, pada pukul tiga sore nanti.
Tempat tenang tersebut menjadi surga tersendiri bagi Liana. Di samping dia bisa mendapatkan referensi bacaan secara gratis, dia juga bisa dengan tenang untuk belajar, mengerjakan tugas atau bahkan sekedar membunuh waktu.
Selain itu, di perpustakaan pun, Liana bisa menyempatkan untuk tidur siang. Sebuah hal yang begitu mahal untuk seseorang yang harus mengejar waktu demi uang seperti dirinya.
Dia akan pergi ke lorong-lorong rak buku yang jarang dilewati orang lain, dan duduk bersandar pada salah satu dindingnya.
Ada seseorang yang selalu mengamati setiap gerak geriknya, dan selalu berada di sampingnya saat dirinya tertidur.
Seperti saat ini, seorang pemuda tampak duduk di samping Liana, sambil menghalau siapa saja yang akan lewat dan membuat tidur Liana terganggu.
“Ssstt! Tolong lewat sana,” bisiknya pada seseorang yang hendak melewatinya.
Orang tersebut pun terlihat berputar di lorong sebelumnya, dan muncul di lorong sesudah Liana berada.
Wajah tampannya, selalu menarik perhatian mahasiswa lain, terutama kaum perempuan. Lusy salah satunya.
Dia selalu saja mencari gara-gara dengan Liana, karena perhatian pemuda ini yang selalu saja membantu gadis tersebut.
Pemuda itu tak lain adalah Christopher Chen. Seorang mahasiswa semester enam jurusan jurnalistik. Senior yang tercuri hatinya oleh keunikan gadis bernama Liana, sejak acara penyambutan mahasiswa baru setahun yang lalu.
Sejak itu juga, dia selalu mengikutinya ke perpustakaan, hingga dia menemukan gadis itu yang hampir setiap hari tertidur dengan pulasnya, bahkan pada posisi duduk, dan wajah yang tertelungkup di antara kedua lututnya.
Pemuda itu pun selalu mengalihkan jalur orang-orang yang berlalu lalang di perpustakaan, agar tidak mengganggu tidur Liana.
Christopher mengira jika apa yang dilakukannya itu, tak diketahui oleh Liana. Padahal, gadis itu tahu semuanya, karena dia tak pernah benar-benar tertidur pulas.
Liana tak pernah menegur perbuatan Christopher, karena menurutnya, hal itu justru menguntungkan. Dengan adanya pemuda itu, dia tak perlu khawatir akan diusir atau diganggu oleh orang lain, karena beristirahat di tempat tersebut.
Setelah pukul setengah tiga, Liana bangun, dan bersiap untuk pergi ke sebuah restoran yang menyediakan menu masakan oriental.
Selain bekerja sebagai tukang antar susu dan koran pada pagi hari, dia pun bekerja di sebuah restoran oriental sebagai tukang cuci piring dan bersih-bersih.
Wajahnya yang buruk rupa, membuatnya selalu mendapatkan pekerjaan yang kasar, yang bahkan tak melihat jenis kelamin orang tersebut.
Meski seorang gadis belia, namun pekerjaan di restoran tersebut terbilang berat. Akan tetapi, sedikitpun Liana tak pernah mengeluh dan terus mengerjakan apa pun, agar dia bisa menabung sedikit demi sedikit uang, sehingga dirinya bisa lepas dari jerat bibi Caroline nya yang jahat.
Seorang wanita bernama Selena Tan, adalah pemilik dari resto tersebut. Wanita berusia sekitar lima puluh lima tahun itu, selalu saja memakai pakaian bergaya congsam, yang menjadi identitas bagi kaumnya.
Dia termasuk seorang bos yang dermawan. Dia tak pernah melarang Liana untuk mengambil sisa makanan yang ada di piring pelanggan. Bahkan, tak jarang Liana mendapat bonus setiap kali restoran itu kebanjiran pelanggan.
Gadis itu adalah satu-satunya pekerja lepas di sana. Nyonya Selena tidak bisa memberikan Liana status sebagai karyawan kontrak atau magang karena pekerjaannya yang hanya seorang tukang cuci piring.
Pukul setengah satu malam, Liana baru pulang ke rumah bibinya. Dia selalu lewat pintu belakang, karena bibinya menempatkannya di kamar paling ujung, yang lebih cocok disebut gudang itu.
.
.
.
.
Mohon dukungan untuk cerita ini😊🙏
Jangan lupa like dan komentar yah😘
Saat Liana baru saja pulang, dengan tubuh yang lelah dan letih. Waktu pun saat itu sudah lewat tengah malam. Dia benar-benar berharap untuk bisa beristirahat saat ini, karena tubuhnya sudah seperti remuk.
Dia yang selalu keluar masuk lewat pintu belakang, dikagetkan dengan keberadaan bibinya yang tengah duduk di meja makan.
"Sudah pulang rupanya. Kemari kamu!" seru Caroline ketus.
Wanita itu tak pernah sekali pun bersikap ramah apa lagi lemah lembut kepada keponakannya.
Liana pun tak menyahut, namun dia segera menutup pintu dan berjalan ke arah sangat bibi berada.
"Aku pulang," ucap Liana lirih dan terdengar malas.
"Cepat berikan aku uangnya. Aku yakin kamu selalu mendapatkan uang setiap hari. Mana cepat berikan pada bibimu ini!" seru Caroline dengan nada meninggi.
Rupanya, kejadian tadi pagi membuatnya kembali ingin merampas hasil keringat keponakan malangnya itu.
"Aku tidak bawa pulang uang, Bi. Aku lelah. Biarkan aku istirahat sekarang," sahut Liana datar.
Caroline nampak geram dengan sikap Liana yang semakin hari semakin berani membantahnya. Dia pun berdiri dan menatap tajam ke arah mata hitam gadis itu.
"Di mana kamu sembunyikan uangmu? Cepat katakan! Ingat ya, Liana. Kalau bukan karena bibi yang mau menampung mu di sini, kamu sudah lama jadi gelandangan. Atau bahkan, kamu sudah menyusul ibumu ke surga sana. Jadi, tau dirilah sedikit dan cepat berikan uangmu. Cepat!" ejek Caroline.
"Maaf, Bi. Aku benar-benar tidak membawa uang. Kalau tidak ada urusan lagi, aku....," ucap Liana.
PLAAAAK!!!
Sebuah tamparan menyela perkataan Liana. Gadis itu meringis menahan perih yang terasa di sudut bibirnya. Dia merasakan asin di dalam mulutnya, pertanda ada darah yang mengalir ke luar.
Liana tak peduli, dan mengacuhkan sangat bibi yang masih terlihat marah. Dia memilih untuk berbalik dan berjalan ke arah kamarnya.
Namun, belum sampai di depan pintu, Caroline kembali membuat ulah. Dia menarik rambut Liana hingga gadis itu mendongak ke atas sambil menahan rambutnya.
"Dasar kurang ajar! Berani kamu melawan Bibi?" bentak Caroline.
Dengan membabi buta, Liana menginjak kaki Caroline hingga wanita paruh baya itu mengaduh kesakitan dan melepaskan genggamannya dari rambut Liana.
Gadis itu pun berbalik dan menatap tajam mata sangat bibi yang merah tak kalah emosi dengannya.
"Bibi, dengar ya! Aku, Liana, Bersumpah demi nama ibu ku, Vivian, kalau aku akan mengambil kembali benda peninggalannya yang selama ini disembunyikan oleh bibi. Aku sudah berjanji untuk menebusnya dengan uang yang aku kumpulkan. Jadi, kalau bibi mau macam-macam dengan uangku, maka sampai kapan pun aku nggak akan mau menebus benda itu, tapi akan ku ambil secara paksa! Aku tau di mana bibi menyembunyikannya," ancam Liana.
Caroline semakin geram. Namun mendengar hal itu, dia pun urung kembali mendesak Liana untuk menyerahkan uang kepadanya.
Dia memilih untuk pergi dari sana meninggalkan Liana, yang masih berdiri menatap ke arahnya tajam.
Aku harus cari cara lain untuk membayar si tua gila Paulo, batin Caroline.
...👑👑👑👑👑...
Keesokan harinya, Liana bangun seperti biasa di awal pagi. Penghuni rumah itu pun belum ada satu pun yang bangun kecuali dirinya.
Gadis itu terlihat sedang menyapu seisi rumah dan membersihkan sofa yang usang, dan terlihat pegas yang terlepas di beberapa bagian.
Bibi Carol bukanlah orang kaya. Rumah yang saat ini ditempatinya pun sebenarnya adalah rumah orang tuanya yang tak lain adalah nenek dari Liana sendiri.
Namun, gaya hidupnya dan sang putri yang sangat tinggi, sehingga membuatnya terus terlilit hutang di sana sini, menyebabkan Liana terus saja dibuat pusing, karena bibi dan juga sepupunya terus saja meminta uang kepadanya.
Untunglah, Liana menyimpan uangnya di sebuah bank swasta, dan menyembunyikan buku tabungannya di salah satu toko pegadaian milik kerabat ibunya, yang mendukung usaha Liana untuk bisa keluar dari rumah Caroline.
Setelah selesai membersihkan seisi rumah itu, dia pun mulai bersiap untuk menjalankan aktivitas paginya, yaitu mengantarkan susu dan juga surat kabar.
Dia mengayuh sepedanya menuju ke depot susu dan juga agen surat kabar yang biasa ia datangi.
Hari ini, sepertinya dia harus bekerja ekstra, karena bosnya meminta dia untuk mengambil jatah dari salah satu pekerja lain, yang kebetulan hari ini tidak bisa datang.
Alhasil, dua keranjang besar susu di bagian belakang dan dua ikat besar surat kabar di keranjang depan, harus ia bawa berkeliling di setiap blok kota Metropolis.
Seperti biasa, Liana akan berpacu dengan waktu, karena hari ini pun dia harus pergi ke kampus untuk menimba ilmu. Dia bergerak cepat, berlomba dengan matahari pagi agar tidak sampai terlambat datang ke kelas.
Saat dia sampai di blok A, sebuah kompleks hunian yang cukup terbilang Elit, dia meletakkan dua botol susu di depan sebuah pintu apartemen yang terletak di lantai dua.
Namun dia tak melihat botol kosong yang seharusnya ia bawa kembali ke depot pengolahan susu. Liana pun terpaksa mengetuk pintu apartemen tersebut, hendak meminta botol kosong yang seharusnya sudah ada di depan sana.
Beberapa kali gadis itu mengetuk pintu, akhirnya, gagang pun berputar. Pintu terbuka dan seseorang menyembulkan kepalanya keluar.
“Permisi, botolnya...,” ucap Liana terputus.
Matanya membola saat melihat seorang pemuda yang sangat familier berada di balik pintu.
.
.
.
.
Mohon dukungan untuk cerita ini😊🙏
Jangan lupa like dan komentar yah😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!