Kanaya Anggari baru saja menerima kabar buruk tentang pembatalan beasiswa S2-nya di sebuah universitas ternama di Negara Amerika. Sikapnya masih santai saja karena murni kesalahan ada pada pihak universitas. Hal yang berikutnya terjadi adalah motor kesayangannya mogok di jalan saat matahari sedang bersinar sangat cerah.
Kanaya terpaksa mendorong motor matic keluaran luar negeri itu, ke bengkel terdekat. Rupanya motor itu mogok karena ada gangguan dengan arus listriknya. Sambil menunggu motornya diperbaiki, Kanaya mengipasi tubuhnya yang berkeringat. Meskipun memiliki mobil mewah dan sopir yang siap mengantarnya kemanapun, Kanaya lebih suka pergi kemana-mana mengendarai motornya itu.
Belum selesai sampai disitu, ketika Kanaya akhirnya tiba di apartemen kekasihnya, Aliando Borman Wijaya, dia tidak bisa masuk lantaran kunci kartu kamar pria itu hilang dari tasnya. Berbekal nomor telepon keamanan di gedung itu, akhirnya Kanaya bisa masuk dengan mudahnya ke apartemen Aliando.
Baru saja menutup pintu unit apartemen Aliando, dia melihat pakaian pria itu berserakan di lantai. Wanita berusia 25 tahun itu pun tersenyum lalu mengambil satu persatu pakaian milik Aliando. Saat dia mengambil kemeja, seonggok benda tipis jatuh ke lantai begitu saja.
Kanaya mengerutkan keningnya menatap benda itu. Bentuknya sama seperti yang sedang dipakainya saat ini, hanya berbeda ukuran. Kanaya pun menunduk lalu memungut benda berbentuk segitiga itu. Belum sempat otaknya mencerna, kenapa benda itu ada di apartemen Aliando, Kanaya mendengar suara seorang wanita.
"Jangan nakal, Al."
DEG!
Jantung Kanaya seketika berdetak cepat. Dia langsung menoleh ke arah sumber suara, kamar Aliando. Ada celah di pintu kamar pria itu yang cukup untuk Kanaya bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Diatas ranjang besar milik Aliando, pria itu sedang bergerak maju mundur dengan konstan di atas tubuh seseorang. Sudah pasti seorang wanita yang berada di bawah Aliando. Kalau sampai seorang pria, hati Kanaya akan benar-benar hancur berkeping-keping.
"Apa kau tidak takut pacarmu akan datang kesini?" tanya wanita itu sambil terus mengeluarkan suara yang menjijikkan di telinga Kanaya. Nada suaranya saat menyebut kata 'pacarmu' terdengar seperti sedang mengejek.
"Kenapa suaranya sangat familiar ya?" batin Kanaya semakin penasaran.
Lihatlah tingkah nyelenehnya sekarang, bukannya membuka pintu kamar, Kanaya justru merekam aksi perselingkuhan kekasihnya dengan wanita lain. Sebuah bukti yang cukup untuk menunjukkan seperti apa wajah yang sesungguhnya dari wanita ular itu dan kekasihnya yang brengsek.
"Dia tidak akan bisa masuk. Aku sudah mengambil kartu apartemenku dari tasnya. Kita bisa bersenang-senang sampai pagi, Al," sahut Aliando masih memacu pinggangnya mengebor tubuh wanita itu.
"Al? Apa maksudnya Aliya?" batin Kanaya semakin kepo.
Aliya adalah sahabat baik Aliando sejak SMP. Mereka bertemu dengan Kanaya di bangku SMU dan Aliando saat itu mengejar cinta Kanaya. Selama bertahun-tahun mereka bersama, kemana-mana selalu bertiga. Sampai Aliando dan Aliya sama-sama diterima bekerja di perusahaan peninggalan almarhum papa Kanaya.
Berkat koneksi dari Kanaya, Aliando diangkat menjadi general manajer perusahaan Kanaya. Wanita itu benar-benar mencintai Aliando sampai membiarkan perusahaannya dikelola oleh kekasihnya itu. Aliya juga segera diangkat menjadi sekretaris Aliando.
Kanaya tidak pernah menyangka kalau hubungan persahabatan yang selalu digembar-gemborkan Aliando dan Aliya selama ini, palsu belaka. Di belakang Kanaya mereka menjalin cinta terlarang yang menjijikkan. Padahal baru saja Aliando dan Kanaya merencanakan pernikahan mereka bulan depan, tapi ternyata semuanya hanya tinggal rencana.
“Lebih cepat, Al,” desah Aliya mengapit kakinya di pinggang Aliando.
Kanaya menggenggam keras ponsel di tangannya. Menyaksikan Aliando dan Aliya bertelanjang bulat di atas tempat tidur dengan posisi saling menempel satu sama lain. Membuat wanita itu sangat marah sampai menangis tertahan. Tanpa sadar Kanaya mendorong pintu kamar terbuka lebar.
TAK!
Pintu kamar Aliando membentur dinding kamar dan menimbulkan suara keras. Dengan suara sekeras itu, seharusnya Aliando dan Aliya sadar kalau ada orang lain di apartemen itu. Tapi keduanya malah semakin asyik memacu tubuh masing-masing untuk mencapai kepuasan mereka.
“Aliando!” pekik Kanaya yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Aliando.
Pria itu menoleh cepat ke arah asal suara lalu melepaskan penyatuannya dengan Aliya. Begitu pula dengan Aliya yang melotot kaget menatap Kanaya berdiri di hadapan mereka. Tubuh tambun Kanaya tampak bergerak naik turun dengan nafas tersengal. Aliando menarik selimut menutupi tubuh telanjangnya dan tubuh Aliya.
“Kanaya?!” pekik Aliando kaget.
“Kenapa? Nggak nyangka aku bisa masuk kesini. Kamu tega ya. Kalian bilang kalau hubungan diantara kalian hanya persahabatan. Sahabat macam apa yang main gila diatas ranjang?!” jerit Kanaya sambil melemparkan semua pakaian Aliando ke wajah pria itu.
“Naya, aku bisa jelasin,” rengek Aliya dengan wajah merona merah. Rambut wanita itu sangat berantakan dan lipstik di bibirnya sudah meleber di sekitar bibirnya. Kanaya bisa melihat di leher Aliya banyak tanda merah.
Kanaya berdecih sinis seraya menatap Aliya yang sibuk menutupi tubuhnya. Wanita ular yang pintar berpura-pura baik dihadapan Kanaya, nyatanya menusuk dari belakang. Kanaya mengusap pipinya yang basah lalu menyedot ingusnya yang nyaris keluar.
“Jelasin apa lagi? Semuanya sudah jelas. Aku nggak buta, Al. Kalian ini memang sama-sama tidak tahu malu. Pasangan selingkuh terhebat abad ini,” sindir Kanaya menahan amarahnya.
Nafasnya terasa sesak dan sakit sekali rasanya hati Kanaya melihat Aliando hanya diam tidak mengatakan apa-apa. Pria yang sangat dicintainya itu tega berselingkuh di belakangnya. Selama ini Aliando sangat baik dan terlihat mencintai Kanaya. Wanita itu benar-benar sudah tertipu mulut manis Aliando.
“Sudah, Al. Tidak perlu berpura-pura lagi. Toh, semuanya sudah aku dapatkan,” ucap Aliando tenang. Pria itu berdiri dari atas tempat tidur lalu mengambil celana pendeknya. Tanpa malu, Aliando memakai celananya di hadapan Kanaya.
Aliando duduk lagi di pinggir tempat tidur lalu meraih dagu Aliya dan menciumnya di hadapan Kanaya. Tidak lagi berpura-pura, Aliya membalas ciuman Aliando dengan penuh gairah. Kanaya hampir melempar ponselnya ke kepala Aliando.
“Kau tahu bedanya kamu dengan Aliya? Tubuhnya sangat indah seperti gitar Spanyol. Suaranya juga sangat merdu terutama saat kami bercinta. Penampilannya selalu mempesona, dengan atau tanpa pakaian apapun. Sedangkan kamu, gendut penuh lemak dan tidak menarik. Kamu lihat wajahmu itu? Penuh jerawat. Aku sudah pernah bilang ‘kan? Pakai skincare, minum obat diet, dan berhenti makan diatas jam enam sore. Kau itu jelek!” bentak Aliando kejam.
“Hahaha … mana mungkin dia sadar, sayang. Aku juga sudah menasehatinya. Tapi Kanaya bilang kalau Aliando mencintainya apa adanya,” sahut Aliya ikut mengejek Kanaya.
“Kalian!” bentak Kanaya marah.
“Jangan berisik! Kau sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang, Kanaya Anggari. Semua harta dan perusahaanmu sudah menjadi milikku. Kau sudah tidak berguna lagi,” ucap Aliando sambil tersenyum smirk.
“Apa?! Tidak mungkin! Bagaimana--.”
TRING! TRING! TRING!
Kanaya tidak bisa melanjutkan ucapannya ketika ponselnya berdering nyaring. Itu telepon dari Paman Zhou, pengurus rumah keluarga Kanaya. Kanaya tidak mengangkat telepon itu dan menolak panggilannya. Tapi lagi-lagi Paman Zhou menelpon Kanaya lagi.
“Angkat aja. Itu pasti kabar baik … untukku. Hahahahaha …!” Aliando tertawa terbahak-bahak menertawai kebodohan Kanaya. Dia memeluk Aliya yang juga tertawa melihat wajah Kanaya yang pucat.
Melihat Aliando dan Aliya tertawa bahagia membuat Kanaya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak mungkin rasanya semua milik Kanaya bisa jatuh ke tangan Aliando. Kanaya tidak pernah merasa menandatangani pemindahan hak milik atas hartanya kepada Aliando.
“Ha--halo, Paman?” sapa Kanaya gugup setelah mengangkat telepon dari Paman Zhou.
[“Nona, rumah dan mobil Nona sudah disita oleh Tuan Aliando. Kami semua diusir keluar dari rumah Nona Kanaya. Nona ada dimana sekarang?”] tanya Paman Zhou terdengar sedih
“Apa?!” pekik Kanaya lemas.
Tubuh Kanaya terhuyung sampai membentur tembok di belakangnya. Semua yang dikatakan Aliando memang benar. Seluruh harta kekayaan peninggalan orang tua Kanaya, saham perusahaan, perusahaan, dan semua asetnya sudah menjadi milik Aliando.
Paman Zhou membacakan surat perintah pengusiran yang dibawa pengacara Aliando dan beberapa pria berbadan besar. Seluruh pelayan yang tinggal di rumah itu hanya diberi waktu setengah jam untuk membereskan barang-barang pribadi mereka dan keluar dari rumah.
Dibawah ancaman para pria berbadan besar itu, satu persatu pelayan rumah Kanaya termasuk Paman Zhou melangkah meninggalkan rumah yang sudah mereka tinggali beberapa tahun ini.
“Gimana? Sudah tahu sekarang? Kau tidak lebih dari sampah di jalanan, Kanaya. Tanpa kekayaan orang tuamu, kau bukan apa-apa. Hanya sampah!” ejek Aliando semakin keras tertawa.
“Sekarang dia terlihat cocok dengan pakaiannya yang kuno itu. Miskin dan jelek. Lengkap semuanya. Hahahaha …!” Aliya menunjuk-nunjuk ke arah Kanaya sambil terus tertawa.
Kanaya menatap tajam kearah Aliando dan Aliya yang masih tertawa-tawa melihat wanita itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Manik matanya melirik kursi meja rias di sebelahnya. Kanaya nekat ketika akal sehatnya sudah tidak menguasai tubuhnya lagi. Dengan sekali tarikan, Kanaya berhasil menarik kursi meja rias itu lalu melemparkannya ke arah Aliando.
“KYA!” pekik Aliya melihat benda padat itu melayang ke arahnya.
BRAK!
Aliando berhasil menangkis kursi meja rias itu hingga jatuh membentur lemari. Tapi tangannya terluka hingga mengeluarkan darah. Kanaya merasa sedikit takut ketika melihat perbuatannya barusan. Dia sadar kalau hampir saja membunuh seseorang karena emosinya yang tidak terkendali.
“Kurang ajar!” bentak Aliando emosi.
Pria tampan bertubuh proporsional itu segera bangkit dari atas tempat tidurnya dan mendekati Kanaya dengan cepat. Salah satu tangannya yang tidak terluka langsung mencengkeram leher gemuk Kanaya. Aliando ingin mencekik Kanaya sampai mati. Dia tidak peduli lagi dengan kebaikan hati Kanaya padanya selama ini.
“Ack …,” suara Kanaya sedang tercekik terdengar memilukan. Dia berusaha melepaskan tangan Aliando dari lehernya, tapi pria itu semakin keras menekannya ke dinding. Kanaya mencoba menggapai ke depan, ingin memukul wajah Aliando tapi dia tidak bisa meraihnya.
“Lepaskan dia, Al!” pekik Aliya sebelum terjadi sesuatu yang akan membuat mereka dipenjara.
“Dia berani melempar kursi padaku! Aku harus melaporkannya ke polisi! Cepat telpon polisi!” pekik Aliando pada Aliya.
“Jangan laporkan dia. Kantor polisi lebih nyaman untuknya. Lebih baik dia mati di jalanan, Al,” pinta Aliya manja. Wanita itu tersenyum smirk saat melihat Kanaya nyaris mati tercekik.
Aliando melepaskan tangannya dari leher Kanaya yang langsung meluncur jatuh dan terbatuk-batuk. Kanaya berusaha meraih oksigen sebanyak-banyaknya sampai tubuhnya naik turun dengan nafas tersengal-sengal. Belum sempat Kanaya bisa bernafas dengan baik, Aliando menyeret tubuh wanita itu keluar dari kamarnya.
Bukan hanya lengan Kanaya, Aliando dengan kejamnya menarik rambut wanita itu agar mau bergerak sesuai kemauannya. Aliando terus menyeret Kanaya sampai keluar dari apartemennya. Dengan kasar Aliando mencampakkan tubuh Kanaya keluar hingga jatuh terjerembab.
“Pergi kau! Jangan coba-coba menunjukkan wajahmu yang jelek itu di hadapanku!” seru Aliando mengusir Kanaya dengan kejam.
“Nih, barang-barangmu. Kamu nggak perlu kartu kredit lagi kan? Apalagi kartu debit. Masih mending aku nggak mengambil semua uang di dompetmu,” ujar Aliya yang menyusul Aliando. Aliya melemparkan tas dan ponsel Kanaya ke tubuh wanita itu sebelum berbalik memeluk Aliando.
“Kita lanjutin lagi ya, sayang. Tadi aku belum keluar,” ucap Aliya sensual sambil mencium Aliando.
“Iya, sayang. Kamu udah basah banget tadi. Gara-gara gelandangan tidak tahu diri ini, kita harus mulai dari awal lagi,” sahut Aliando mencebik kesal ke arah Kanaya.
“Aku masih sanggup, Al. Ayo lanjut lagi,” ucap Aliya lalu mendorong tubuh Aliando kembali ke dalam apartemen pria itu.
BRAK!
Pintu apartemen tertutup dengan keras dan Kanaya masih bisa mendengar ******* menjijikkan yang keluar dari mulut Aliya. Kanaya meraih ponselnya dan hampir melemparkan benda berharga satu-satunya itu ke pintu apartemen Aliando. Tapi dia mengurungkan niatnya. Ponselnya tidak akan berguna kalau hancur.
Kanaya meraih tas selempangnya lalu memasukkan dompet dan ponselnya kembali dalam sana. Sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya, Kanaya mencoba bangkit dari lantai. Dia kembali terjatuh saat kakinya yang gemetar tidak bisa menahan berat tubuhnya.
BRUK!
Isak tangis penuh kesedihan, kemarahan, dan kebencian terdengar dari mulut Kanaya saat dirinya kembali terjerembab ke lantai. Kedua tangan Kanaya terkepal keras memukul-mukul lantai di bawahnya. Kanaya menangisi kebodohannya karena percaya pada seorang pria brengsek yang tidak tahu malu seperti Aliando.
Cintanya pada Aliando telah membutakan matanya dari perselingkuhan yang selama ini dilakukan pria itu dengan Aliya. Seharusnya Kanaya sudah curiga sejak dia memergoki Aliando dan Aliya keluar dari sebuah hotel. Kanaya dengan bodohnya percaya kalau mereka baru saja menemui client perusahaan.
Tiba-tiba Kanaya tersadar kalau ini bukan saatnya untuk bersedih. Di rumah keluarganya saat ini bukan hanya Paman Zhou yang tinggal disana. Masih ada beberapa pelayan, tukang kebun, dan juga security. Kalau mereka semua diusir dari rumah itu, kemana mereka akan pergi. Rata-rata dari mereka sudah bekerja puluhan tahun pada keluarga Kanaya.
“Aku harus cepat pulang. Paman Zhou dan yang lainnya membutuhkanku,” gumam Kanaya.
Sekali lagi wanita itu mencoba untuk berdiri sambil berpegangan pada dinding yang dingin. Dia mengusap air matanya sambil bersandar pada dinding lalu merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Tertatih-tatih Kanaya berjalan mendekati lift lalu menekan tombol lift itu.
Saat pintu lift terbuka, Kanaya hanya bisa menunduk dari pandangan orang-orang yang menatapnya sekilas. Kanaya memasuki lift yang sudah kosong setelah orang-orang yang tadi berada di dalam lift, sudah keluar semua. Pintu lift menutup dengan cepat dan membawa Kanaya turun ke basement apartemen.
Segera setelah pintu lift terbuka di basement, Kanaya bergegas keluar dan mendekati motornya. Wanita itu segera mengendarai motornya pulang ke rumah. Dia sedikit memacu motornya agar bisa segera sampai dan bertemu dengan Paman Zhou.
Setelah Kanaya tiba di rumahnya, tidak ada seorang pun yang terlihat di depan rumah itu. Suasana di halaman dan di dalam rumah juga sangat sepi. Kanaya menekan bel pintu berkali-kali untuk memanggil siapapun yang masih tersisa, tapi tidak ada satupun yang membukakan pintu untuknya.
“Dimana mereka?” gumam Kanaya bingung.
Wanita itu segera meraih ponselnya di dalam tas dan mencoba menghubungi Paman Zhou. Saat menunggu panggilannya dijawab, Kanaya melihat beberapa orang berpakaian hitam berlari ke arahnya. Salah satu pria itu menunjuk-nunjuk ke arah Kanaya dan berteriak keras kepada rekan-rekannya.
“Cepat tangkap dia!”
Kanaya menoleh ke belakang dan tidak melihat siapapun di belakangnya membuat wanita itu menyadari kalau dirinya yang sedang dikejar. Tanpa pikir panjang, Kanaya langsung menstarter motornya lagi. Sialnya, motornya tidak mau menyala meskipun Kanaya sudah berkali-kali menekan tombol starternya.
Melihat jarak pengejarnya sudah semakin dekat, Kanaya kembali menstarter motor maticnya. Kali ini motornya mau menyala. Buru-buru Kanaya melarikan motor itu dengan kecepatan tinggi menjauh dari orang-orang yang mengejarnya. Karena panik, Kanaya terus melirik ke belakang dan tidak memperhatikan arah motornya.
Tiba-tiba …
CKIITT!
BRAK!
Motor yang dikendarai Kanaya menabrak sebuah mobil mewah yang melaju dari arah berlawanan. Tubuh Kanaya terlempar dari motornya dan jatuh terguling di aspal. Beruntung wanita itu masih mengenakan helm mahal di kepalanya hingga tidak mengalami cidera kepala. Kanaya mengaduh dan meringis kesakitan seraya memegangi sikunya yang terluka.
Segera saja para pengejar Kanaya mengelilingi tubuh wanita itu. Salah satu dari mereka hampir menyentuh Kanaya ketika suara bariton seorang pria menghentikan mereka.
“Berhenti! Cepat menjauh,” titah seorang pria dewasa dari dalam mobil yang barusan ditabrak Kanaya.
Anehnya para pria yang mengejar Kanaya, sontak menjauh dan berbaris dengan rapi. Pria itu turun dari dalam mobilnya dan mendekati Kanaya yang masih terbaring di atas aspal. Kanaya bisa melihat sosok pria itu menatap tubuhnya dengan pandangan aneh. Seketika itu juga Kanaya merasa sangat malu dengan bentuk tubuhnya yang tambun. Kanaya berusaha bangun dari berbaringnya dibantu pria itu.
“Kamu nggak apa-apa ‘kan? Dimana saja lukanya?” tanya pria itu sambil memegang lengan Kanaya yang terluka.
“Aduh!” pekik Kanaya kesakitan membuat pria itu melepaskan tangannya dari lengan Kanaya.
Wanita itu melirik motornya yang masih tergeletak di depan mobil pria itu. Wajah Kanaya pucat seketika menyadari kalau dirinya baru saja menabrak sebuah mobil mewah. Kanaya langsung berpikir bagaimana cara mengganti rugi kepada pria itu karena kartu kredit dan kartu debitnya sudah diambil Aliya.
“Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja menabrak mobil Bapak,” ucap Kanaya ketakutan.
“Jangan pikirkan itu. Namaku Bram. Siapa namamu?” tanya Bram berusaha menenangkan Kanaya.
“Sa--saya Kanaya, Pak Bram. Sekali lagi maaf, Pak. Saya akan mengganti kerugian mobil Bapak. Ta--tapi saya minta waktu. Saya baru saja tertimpa angin topan,” ucap Kanaya mulai kacau karena rasa takutnya yang besar.
Bram terkekeh geli mendengar ucapan Kanaya. Pria itu ingin menggendong Kanaya, tapi memilih mengulurkan tangannya untuk membantu Kanaya berdiri. Daripada beresiko sakit pinggang dan tidak bisa menggunakannya, Bram menuntun Kanaya mendekati mobilnya.
“Masuklah. Kita ke rumah sakit dulu ya. Lukamu harus diobati,” ucap Bram lembut.
Kanaya ingin menolak pertolongan Bram, apalagi mobil pria itu pasti rusak parah karena tabrakan barusan. Tapi hanya Bram yang bisa menolongnya saat ini. Kanaya akan memikirkan cara membayar Bram nanti setelah dirinya diobati. Sambil meringis kesakitan menahan sakit di lengan dan kakinya, Kanaya kembali teringat pada perbuatan Aliando dan Aliya. Rasa sakit yang dirasakannya saat ini tidak sebanding dengan sakit hati Kanaya.
“Aku tidak akan membiarkan kalian berdua hidup tenang. Akan kupastikan kalian membayar semua perbuatan kalian padaku, terutama kau, Aliando. Semua milikku akan kurebut kembali,” batin Kanaya penuh dendam. Sorot mata Kanaya yang biasanya penuh dengan kelembutan, sudah berganti menjadi penuh api dendam yang membara.
Setelah Bram berbicara dengan para pria berbadan besar di dekat mobilnya, pria itu segera menyusul masuk ke dalan mobil dan duduk di samping Kanaya. Melihat Kanaya yang duduk sangat dekat dengan pintu mobil, Bram menarik lengan Kanaya perlahan.
"Duduklah dengan nyaman. Tidak apa-apa," ucap Bram lembut membuat Kanaya menurut untuk bergeser lebih ke tengah.
"Boleh aku melepas helm-mu? Sudah aman di dalam mobil dan sepertinya tidak perlu memakai helm lagi," sambungnya sambil terkekeh geli sekali lagi.
Kanaya hanya mengangguk lalu menoleh menatap ke arah Bram. Dia bisa melihat wajah Bram lebih dekat dan menyadari pria dewasa di sampingnya itu cukup tampan. Meskipun terlihat seperti om-om, aura Bram terasa sangat menenangkan.
"Sudah. Sekarang kita ke rumah sakit? Atau kamu masih mau menatapku?" goda Bram tiba-tiba.
Kanaya terhenyak lalu kembali menunduk sambil duduk bersandar ke kursi belakang mobil mewah itu. Lengannya yang terluka, tidak sengaja membentur sandaran kursi dan membuat Kanaya meringis lagi.
"Hati-hati, Kanaya. Pak Kasim, cepat jalan. Kita ke rumah sakit," titah Bram pada sopirnya.
"Baik, Pak," sahut Pak Kasim.
Mobil Bram meluncur menjauh dari areal rumah Kanaya. Wanita itu sempat melirik keluar jendela, menatap rumah keluarganya yang kini telah menjadi milik Aliando. Tanpa sadar air mata Kanaya kembali menetes di pipinya. Biar bagaimanapun, Kanaya sangat menyayangi rumah itu. Disanalah dirinya dibesarkan dengan penuh kasih sayang.
"Ada apa, Kanaya? Dimana yang sakit?" tanya Bram dengan wajah khawatir.
Melihat ada seseorang yang peduli padanya saat terpuruk seperti ini membuat Kanaya luruh dan semakin keras menangis. Bram buru-buru mengambil tisu dan memberikannya pada Kanaya. Dia tidak bertanya lagi dan membiarkan Kanaya melampiaskan perasaannya dengan menangis sedih.
Tidak ada suara yang terdengar di dalam mobil Bram selain isak tangis Kanaya yang memilukan. Ketika hampir mendekati rumah sakit, isak tangis Kanaya perlahan mulai mereda. Wanita itu mengambil tisu lebih banyak dan membersihkan ingus yang memenuhi hidungnya.
SROT!
Tanpa rasa malu, Kanaya mengeluarkan semua cairan keruh itu dari dalam hidungnya sampai bersih. Dia juga mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan cepat. Saat Kanaya menarik nafas panjang, untuk menenangkan dirinya, Bram menyodorkan sebotol air mineral padanya.
"Minumlah dulu," ucap Bram.
"Terima kasih, Pak Bram," sahut Kanaya sambil tersenyum tipis.
Meskipun bertubuh tambun dan jerawatan, Kanaya sebenarnya sangat manis dengan wajah oval, kulit putih, dan senyuman yang menenangkan. Bram sampai ikut tersenyum melihat Kanaya mengulum senyum semakin lebar setelah meneguk air di dalam botol itu. Pria itu mengusap sudut bibir Kanaya yang basah karena air yang barusan diminumnya.
"Ach, maafkan aku," ucap Bram ketika menyadari perbuatannya yang tidak sopan.
"Tidak apa-apa, Pak Bram," sahut Kanaya sambil mengusap sudut bibirnya yang disentuh Bram tadi.
Ketika Bram hampir bicara lagi, mereka sudah sampai di lobby rumah sakit. Pak Kasim buru-buru turun untuk memberi tahu suster kalau ada pasien kecelakaan di dalam mobil.
Seorang suster dan security segera mendorong brankar mendekati mobil Bram. Pak Kasim membuka pintu mobil dan berniat membantu Kanaya untuk turun. Tapi Bram sudah lebih dulu keluar dari mobilnya dan menyodorkan tangannya pada Kanaya.
"Ayo turun. Pelan-pelan," pinta Bram lembut.
Kanaya meringis kesakitan ketika kakinya menjejak ke paving di bawahnya. Beberapa menit setelah kejadian saltonya di aspal, Kanaya baru merasakan tubuhnya remuk redam. Dibantu security, akhirnya Kanaya bisa berbaring di brankar. Suster dan security langsung mendorong brankar itu masuk ke UGD.
Bram yang menyusul Kanaya, dihentikan suster yang memintanya mengurus administrasi rumah sakit. Pria itu berbelok ke tempat pendaftaran lalu menyebutkan nama Kanaya dan menceritakan apa yang terjadi tadi. Setelah mendapatkan selembar kertas pendaftaran, Bram menyusul Kanaya ke ruang UGD.
Tampak seorang dokter dan suster baru selesai membersihkan luka-luka Kanaya. Pakaiannya harus dibuka semua untuk memeriksa luka lain yang tidak terlihat. Kanaya merapatkan selimut menutupi gumpalan lemak di lengannya saat melihat Bram menatapnya.
"Bagaimana dokter? Apa lukanya parah?" tanya Bram setelah dokter menarik gorden penutup sekat tempat Kanaya berada.
"Ada beberapa luka luar dan lebam. Tapi tidak parah. Selama beberapa hari ke depan, lukanya tidak boleh terkena air. Saya akan tulis resep obat penghilang rasa sakit agar dia bisa tidur nyenyak. Oh, kalau boleh tahu Bapak ini siapa ya? Ada hubungan apa dengan pasien?" tanya Dokter jaga yang merawat Kanaya.
"Saya calon--." Bram hampir menjawab pertanyaan dokter itu tapi dia memikirkan kembali jawabannya. Akhirnya Bram mengatakan kalau dia adalah pemilik mobil yang ditabrak Kanaya.
Dokter itu memuji sikap Bram yang mementingkan menolong orang lebih dulu. Dia mengajak Bram duduk di kursi sementara dokter itu menuliskan resep.
"Dok, apa Kanaya tidak memakai pakaian?" tanya Bram setelah melihat kondisi Kanaya tadi. Kedua lutut dan lengannya tampak di perban.
"Iya, pak. Kami terpaksa menggunting pakaiannya untuk melihat luka lain. Kalau Bapak mau, kami bisa melakukan rontgen juga untuk mengecek luka dalam," ucap Dokter itu.
"Lakukan pemeriksaan menyeluruh, Dokter. Berapapun biayanya, saya bayar," sahut Bram yakin. Berkat pertolongan Bram, Kanaya dipindahkan ke ruang CT Scan dan menjalani pemeriksaan menyeluruh malam itu juga.
Asisten Bram, Zaki segera menyusul Bram ke rumah sakit setelah mengetahui kejadian yang menimpa bosnya itu. Dia ditugaskan oleh Bram untuk menyelidiki penyebab kebangkrutan perusahaan Kanaya dan siapa yang mengambil alih kekayaan wanita itu.
"Bagaimana, Zaki?" tanya Bram ketika asistennya itu melapor padanya. Mereka berdua berdiri di depan ruang CT Scan dan sedang melihat tubuh Kanaya memasuki alat pemeriksa tubuh itu.
"Tuan, saya masih menyelidiki tentang kebangkrutan Nona Kanaya. Ada dua hal yang penting yang harus saya sampaikan. Pertama, perusahaan itu sama sekali tidak berada dalam masalah keuangan dan terus mengalami peningkatan yang baik. Kedua, nama orang yang mengambil alih perusahaan itu tidak bisa saya temukan dimana-mana. Identitasnya sangat dirahasiakan. Saya yakin kalau surat-surat yang asli disimpan oleh orang yang mengambil alih perusahaan Nona Kanaya," lapor Zaki.
Bram tampak berpikir serius mendengar laporan Zaki. Pria itu menatap Kanaya yang masih berada di mesin CT Scan. Zaki memperhatikan cara Bram menatap Kanaya dan perlahan tersenyum tipis. Baru kali ini Zaki melihat Bram sangat peduli pada seorang wanita yang bahkan jauh dari standar wanita yang cocok untuk pria itu.
“Tuan, kalau saya boleh tahu, apa yang membuat Tuan sangat perhatian pada Nona Kanaya?” tanya Zaki penasaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!