Hidup itu amat singkat. Terlalu menyebalkan untuk bisa menjadi sempurna di saat keadaan tak begitu mendukung.
Suri christabel Jocelyn itu adalah namaku. Aku baru menetas menjadi manusia yang siap menyongsong masa depan. Bersama kawan-kawan ku yang paripurna aku melangkah ingin hidup bahagia selamanya. Menjadi mahasiswi adalah tujuan utama. Berangan-angan bisa kuliah di universitas terbaik di mana saja aku mau. Asal tidak di tengah hutan karena itu pasti akan merepotkan.
Tapi seketika mimpi itu lenyap sudah. Mengatakan ini wajahku begitu kusut dan lusuh. takdir terasa berat dan tidak adil.
.
.
Sky Antony Barata.
Laki-laki tampan penuh karisma. Rahang amat kuat dan tegas, matanya tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Memposisikan diri sebagai pria jahat dan bengis adalah julukan yang disukainya. Seharusnya tak ada yang mampu menolak karisma seorang Sky, tapi para gadis seolah enggan mendekat.
Rumor tak terbantahkan tentangnya bak ujian tiada akhir bagi keluarganya.
Dirinya lahir amat sangat sempurna, di bandingkan satu kakaknya yang cacat tak dapat berjalan, Ketampanan yang di milikinya tak di dapat sang kakak, padahal mereka lahir dari rahim yang sama dan ayah yang sama pula. Tapi ketika Kakak Sky lahir ke dunia orangtuanya merasa sedih atas semua musibah yang menimpa si sulung. Tak ingin menimpa keturunan selanjutnya. Kedua orang tua Sky mendatangi seorang peramal yang sudah terkenal seantero kota tempat mereka tinggal.
Peramal wanita tua mengatakan.
"Kalian akan di karuniai seorang anak laki-laki, dia akan-
"Saya mohon, berikan saya syarat apa saja. Asalkan keturunan kami selanjutnya bisa lahir dengan sehat dan sempurna."
Wanita belum terlalu tua itu memohon dengan derai air mata. Mengapit kedua tangan ke arah wanita tua. Si peramal adalah julukannya. Katanya semua yang keluar dari mulutnya adalah hal yang benar, dan akan terjadi. Semua orang yang percaya akan datang dan mengangguk ketika sebuah perintah harus di laksanakan.
"Saya tidak mau mempunyai keturunan yang cacat lagi, bagaimana bisa kami hidup bergelimang harta sedangkan keturunan kami tak ada yang sempurna." Kali ini pria penuh wibawa bersuara, wajahnya memelas nyata. Menatap si peramal penuh harap.
"Saya akan memberikan apapun kepada Mama, asal Mama bisa memberikan kami keturunan baik dan tidak cacat." Tambahnya lemas.
Mama peramal itu mengangguk terus, mendengarkan semua keluh kesah pasiennya yang sudah pasti orang berduit tebal.
"Kalian tenang saja! Keturunan kalian kali ini akan sempurna!"
Kedua suami istri itu saling tatap tak percaya.
"Mama bersungguh-sungguh?" Tanya keduanya antusias. Saling rangkul saking bahagianya.
Mama peramal mengangguk sambil memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam, disusul gelengan kepala amat cepat.
Kedua suami istri itu lantas terdiam. Saling tatap lagi karena heran.
"Mama?" Panggilan keduanya khawatir. Apalagi si peramal masih betah komat-kamit tak jelas.
"Kelak dewasa nanti, dia akan menjadi anak yang akan membuat kalian sial!" Mulut komat-kamit tadi kini bersuara bernada tinggi dan berat. "Ini jelas sebuah kutukan?" Lanjutnya.
"Kutukan?" Ucap kedua suami istri itu bingung. Baru saja mendapatkan kabar bahagia tentang si calon anak. Kini datang kabar yang tidak sedap di dengar.
Mama peramal mengangguk lemas. Perlahan membuka mata. Bergantian menatap kedua suami istri itu penuh ketakutan.
"Dia memang sempurna seperti yang kalian mau! Tapi watak dan kepribadiannya akan menjadi pembawa sial untuk keluarga kalian, apa kalian sanggup?"
"Apa yang harus kami lakukan untuk itu, Mama? kami ingin dia seperti anak pertama kami, anak baik dan penuh perhatian." Tanya si wanita muda itu pasrah.
Sang suami mendekap tubuh istrinya. Memberi kekuatan padahal jelas dirinya juga merasa terpukul akan kabar buruk itu.
"Setiap penyakit pasti ada obatnya, Dan itu juga berlaku untuk sebuah kutukan."
"Apa itu Mama?" Tanya keduanya.
"Beri nama dia Sky, dan kelak ketika usianya sudah 24 tahun, segera nikahkan dia dengan gadis berinisial sama seperti nama depannya."
"Setelah Sky menikah nanti, apa dia akan berubah?"
"Tergantung padanya? Dia akan berubah kalau gadis itu benar-benar mencintai Sky."
.
.
23 tahun kemudian....
Gedung tinggi nan besar tengah di tatap gadis muda berkacamata. Merenung tak percaya ketika kakinya dapat menginjak area kampus elit itu takjub. Mendongak untuk melihat tulisan besar di depannya.
UNIVERSITAS BARATA
Ga percaya bisa kuliah di kampus ini, Papa emang the best.
Gadis itu bergumam riang sembari berjalan melewati para mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu lalang tak terkendali. Diam-diam memperhatikan diri yang tidak mencolok. Tak ada yang menatapnya atau terpesona dengan penampilannya. Penampilan mereka yang jauh di atas dirinya. Brand terkenal begitu melekat di tubuh mereka. Itu pasti, karena kampus elit itu terkenal dengan muridnya yang berasal dari keluarga kaya bahkan konglomerat.
Sedangkan dirinya hanya gadis lugu yang dulu hidup enak kini menjelma menjadi gadis biasa tak berarti.
Bisa masuk ke Kampus sebagus ini papaku harus berjuang.
Lupakan itu, sekarang kelas yang di tuju sudah di depan mata. Tak terasa berjalan dengan mata tak fokus menggiring dirinya ke depan kelas tempatnya menuntut ilmu.
Empat tahun menunggu untuk ini. Sekarang aku harus membuktikan kalau aku bisa,
Si gadis berkacamata menarik napas panjang, memasang senyum merekah bersiap menyapa kawan-kawannya yang sudah duduk rapi di dalam kelas.
"Selamat pagi."
Seorang wanita matang dengan pakaian serba mini menoleh. Mengangguk meminta dirinya untuk masuk.
Sedangkan murid yang lain hanya diam memperhatikan kedatangan si gadis berkacamata. Mencibir penampilan si gadis dengan tatapan tak suka.
"Si cupu!" Celetuk mahasiswa laki-laki yang ada di barisan ke tiga. Alhasil yang mendengar semuanya tertawa termasuk si dosen.
Hahahaha...
"Sudah...Sudah.. Ayo perkenalkan namamu?" pinta Ibu Dosen itu sembari menahan tawa.
Si gadis berkacamata mengangguk patuh. maju dua langkah dengan malu-malu. Menahan rasa sakit hati setelah di perlakukan tidak baik. Penyambutannya amat buruk.
"Perkenalkan namaku-
"Miss! Beri dia pengeras suara! Kami bahkan tidak bisa mendengar suaranya." Teriak lagi murid yang lain. Di susul suara riuh dari semua mulut para murid.
"Apa kamu belum makan?" Tanya Ibu Dosen. masih tetap berdiri di mejanya.
"Sudah Miss." Jawabnya pelan.
"Baiklah. Sekarang perbaiki nada suaramu." Titah Bu Dosen.
Si gadis berkacamata mengangguk lagi membuka mulut seperti orang yang berteriak.
"Namaku Suri. Mohon bimbingannya."
Seketika semua orang yang ada di dalam ruangan itu diam membisu, sedangkan si ibu Dosen nampak kebingungan ketika Suri memperkenalkan diri. Segera keluar kelas membawa wajah pucat dan pergi meninggalkan Suri yang nampak kebingungan. Memperhatikan semua teman-temannya yang juga diam menatapnya kosong.
Ada apa? Apa mereka tidak menyukai namaku?
Cukup lama Suri berdiri dan Bu dosen tak juga kunjung datang. Suri memberanikan diri untuk berjalan melewati para mahasiswa yang kini diam membisu. Diam-diam menatapnya datar. Tak ada lagi cibiran atau cemoohan seperti tadi. Suri tak ambil pusing, mungkin sekarang mereka sudah puas memberinya sambutan buruk.
Bangku kosong yang ada di barisan kelima Suri duduki. Mencoba acuh ketika mata para murid menatap lagi. Suri membuka tas yang di bawa dan mulai mengeluarkan buku.
Murid yang ada di belakang dirinya mengayunkan tangan dan menepuk pundak Suri. Suri menoleh menatap gadis muda mungkin seusianya.
"Apa kamu tidak tau tentang kampus ini?"
Suri mengerutkan kening karena bingung.
"Yang aku tau, kampus ini bagus."
"Bukan itu?" Ucap si gadis itu tak percaya. Menatap Suri seperti gadis yang malang.
"Lantas?"
Apa yang tidak aku tau tentang kampus ini. Selain bagus dan mahal.
"Namamu begitu mencolok." Kata si gadis cantik itu.
Suri mengangguk. "Memang namaku tak cocok di kota besar dan moderen seperti kota ini." ucapnya lemas..
Nama Suri di berikan sang ibu ketika dirinya lahir, dulu Mamanya bercerita bermimpi di datangi wanita amat cantik dan mengelus perutnya, wanita itu mengatakan.
"Dia akan seperti ku, Suri namaku."
Suri Anak perempuan pertama yang cantik jelita dan taat akan Tuhan.
Nama itu benar-benar di sematkan padanya, berharap membawa keberuntungan di kemudian hari. Nama unik itu membuahkan hasil. Suri lahir menjadi anak perempuan yang cantik, pintar dan baik hati, Kedua orangtuanya amat bahagia ketika dirinya lahir.
Suri tersenyum ketika mengingat cerita itu dan ingin sekali lagi mendengarnya.
Nanti Suri liat Mama.
"Hey,"
"Iya." Suri terperanjat.
"Kamu akan menyesal-
"Suri, mari ikuti saya." Tiba-tiba suara Bu Dosen terdengar. Suri dan si gadis tanpa nama itu menoleh di ikuti semua murid yang lain, menatap Bu Dosen yang setia berdiri di ambang pintu kelas.
"Menyesal kenapa?" Tanya Suri sembari beranjak bangun.
Si gadis itu menggeleng kemudian kembali fokus menatap ponselnya.
Suri berjalan bersama Bu Dosen. Masuk kedalam ruangan tanpa mempertanyakan mengapa dirinya di minta untuk menghadap petinggi Kampus.
"Silakan duduk." Titah Bu Dosen.
Suri merasa terintimidasi dengan tatapan orang-orang di dalamnya. Kenapa mereka sangat senang menatapnya seperti manusia udik dan kampungan pikir Suri.
Suri duduk berhadapan dengan pria tua pastinya petinggi kampus.
Seperti pernah melihat? Tapi siapa?
Batin Suri bertanya sesaat seperti pernah melihat siapa gerangan laki-laki tua itu.
Astaga, profesor Anderson, jadi dia.
profesor Anderson adalah seorang dosen yang sudah mempunyai nama besar. Dan ternyata dia menjadi pengurus kampus Barata. Salah satu Universitas terbaik di kotanya.
Suri celingukan menatap ke empat orang yang tengah mengelilingi dirinya. Menatapnya tanpa kata sampai suara langkah kaki berirama terdengar.
"Di mana Gadis itu?"
Seorang pria tua lainnya datang membawa wajah berbunga dan damai. Tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Suri.
Itukan Tuan Diki pemilik kampus ini?
Pikir Suri, Masih menatap si pria tua tak percaya.
Suri tidak tau apa yang tengah terjadi, dirinya sibuk menatap laki-laki seumuran ayahnya. Mengabaikan pembicaraan antara semua orang yang ada di ruangan besar itu.
"Bagaimana orangtuanya? apa sudah di hubungi?" Bisik Tuan Diki kepada pengurus kampus.
"Sudah Tuan. Sebentar lagi mereka Sampai."
Belum juga Tuan Diki mengajukan pertanyaan lain. Pintu kembali di buka.
Semua menoleh termasuk Suri.
Seketika Suri tersadar dari lamunan. Mengerutkan kening ketika sang ayah datang dengan tergesa-gesa bersama wanita cukup matang.
Papa, Mama mereka datang. Tapi kenapa?
"Apa yang terjadi? Kenapa kami di minta datang?" Ayah Suri menjabat tangan semua orang di ikuti sang istri yang senantiasa mendampingi.
"Silakan duduk, Tuan." Titah Tuan Diki.
Kedua orang tua itu duduk mengapit Suri yang masih diam kebingungan.
"Pa, ada apa ini? Suri tidak membuat kesalahan." Bisik Suri tak enak. Apalagi melihat wajah lesu sang ayah. Sedangkan wanita yang ada di sampingnya hanya diam saja.
"Papa, juga tidak tau sayang." Balas sang ayah.
"Tuan kris, Saya akan memberikan anda uang yang banyak, asal Anda mau memberikan putri Tuan untuk saya nikahkan dengan putra kedua saya!"
Tanpa basa-basi, Tuan Diki mengutarakan maksud dan tujuannya. Jelas hal itu membuat ketiganya melongo mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan pria tua di hadapan mereka.
"Satu triliun? Maka kami akan memberikan putri kami."
"Deal!"
"Mama!"
Suri menatap wanita di sebelah dengan mata berkaca-kaca. Tak percaya dengan apa yang dilakukan olehnya.
"Apa maksudnya? Aku bukan barang, aku-
Suri segera menoleh ke arah sang ayah, menggenggam kuat tangan laki-laki yang dicintainya, menatap wajah pucat pria yang semasa hidup ia banggakan itu lekat. Tapi sang ayah hanya diam membisu seolah membenarkan perkataan istrinya.
"Pa, kenapa Papa diam saja? Katakan sesuatu! Suri bukan barang. Kenapa, kenapa Papa hanya diam!" Suri menuntut, masih menatap sang ayah, sedikit mengguncang tubuh kokohnya.
Suri muak dengan sikap sang Ayah yang terus saja diam, merenung sejenak disaat sang Mama sibuk bersalaman dengan Tuan Diki yang terhormat.
'Suri, Kami berhasil mendaftarkan kamu di Universitas Barata.'
'Papa sudah memenuhi keinginan kamu Sayang, Maaf kamu harus menunggu lama untuk bisa kuliah.'
'Pa, terimakasih. Suri akan rajin belajar dan mendapat nilai tinggi, dengan begitu Papa tidak perlu mengeluarkan biaya lagi.'
Suri menerawang kejadian satu Minggu yang lalu, kejadian dimana dirinya mendapatkan kabar kalau ia akan kuliah di Universitas terbaik itu. Kebetulan atau memang ini sudah di rencanakan? Suri melirik sang ayah dan Mamanya. Menggelikan kalau tebakannya benar.
Tapi kenapa aku? Kenapa aku yang mereka pilih untuk menikah dengan anak laki-laki Tuan Diki ini?
Seketika Suri tersadar, beralih menatap Tuan Diki yang terhormat penuh tanya, Berdiri dengan cepat. Sontak semua orang terkejut termasuk Tuan Diki.
"Tidak, saya tidak mau! Maaf Tuan." Suri membungkuk kearah Tuan Diki. "Saya permisi."
Suri berjalan cepat, atau lebih tepatnya berlari mengabaikan teriakan sang ayah dan Mamanya.
"Aku bukan barang! Aku masih muda, aku masih ingin mengejar pendidikan tanpa harus di bebani dengan pernikahan!" Ucap Suri lirih,
berlari masuk kedalam kelas yang mana kedatangannya di sambut tatapan para murid.
Suri acuh, dirinya bergegas menyambar tas dan memasukan buku terlebih dahulu. Berlari lagi keluar kelas tanpa sepatah kata dari teman-temannya.
"Terakhir kali gadis yang menjadi tumbal keluarga Barata, mati mengenaskan karena bunuh diri? Apa kali ini Suri kita juga akan melakukan itu?"
Si gadis cantik yang tadi mengajak Suri berbincang bersuara. Tanpa menatap wajah teman-temannya yang saling tatap takut akan fakta buruk itu.
Dulu tepatnya satu tahun yang lalu, ada mahasiswi baru amat cantik. Lugu seperti Suri. Panggil saja namanya Suri Nama yang sama seperti Suri christabel Jocelyn.
Suri lain juga mendapatkan perlakukan yang sama ketika masuk kelas untuk yang pertama kalinya, Seperti tadi Suri alami. Tapi para murid mendadak terdiam ketika Suri itu memperkenalkan diri.
Nama keramat incaran keluarga Barata.
Akan tetapi seisi kampus Barata di gemparkan dengan kabar buruk tentang kematian Suri.
Di mana Suri mati bunuh diri dengan cara mengiris pergelangan tangan dan lehernya. Suri jelas tak selamat. Fakta yang tersiar mengatakan. Kalau Mendiang Suri tak ingin di nikahkan dengan anak kedua Barata karena dirinya tau siapa laki-laki itu. Yang sebenarnya pernikahan itu akan di langsungkan satu tahun kemudian tepatnya tahun ini, menunggu si putra kedua Batara menginjak usia 24 tahun yang artinya. Sebentar lagi pernikahan akan di langsungkan.
Tapi Suri memilih mati dari pada harus menjadi pelampiasan putra kedua Batara yang jelas belum pernah di temuinya.
Keluarga mending Suri cukup mapan jadi tak ada asalan untuk menerima perjodohan itu.
Tapi bagi keluarga Barata penolakan itu tidak dapat di terima. Tuan Diki bermain kotor! Merusak kehidupan keluarga damai Suri, sampai perusahaan ayahnya bangkrut dengan cepat. Keluarga harmonis itu hancur dan sampai saat ini ayah mending Suri menghilangkan entah kemana bersama sang istri dan kedua anaknya. Sudah satu tahun berlalu tapi kejadian mengerikan itu masih lekat di ingatan. Terutama para mahasiswa dan mahasiswi yang saat itu menjadi teman sekelas Suri.
.
.
"Suri, sayang!" Dari kejauhan sang ayah bersama istrinya berlari mengejar Suri memanggil namanya dengan sekuat tenaga. besarnya kampus dan luasnya halaman membuat keduanya ketar ketir.
Melihat itu Suri menambah laju larinya tak ingin mendengar atau melihat kedua orang tua itu.
"Kenapa mereka rela menjual anaknya sendiri." Ucapnya marah, mengepalkan tangan karena keadaan.
Aku baru saja merasakan nyamannya bangku kuliah.
"Suri, Papa mohon berhentilah." Teriak lagi Papa Suri, berlari menghampiri sang putri yang terus berlari menghindar.
Tangan Suri di tarik sang ayah. Berhenti dari larinya, tapi Suri tidak berbalik atau sekedar memaki sang ayah yang sudah membuat dirinya kecewa teramat dalam.
"Tunggu Nak, dengarkan papa dulu." Pinta si pria tua penuh harap. Merasakan tangan sang putri bergetar.
"Suri tidak ingin melihat Papa lagi." Suri mulai menangis senyap, mengusap pipinya yang basah.
Tak lama datang sang Mama yang tadi menjual dirinya sebegitu mudahnya.
"Kami akan jelaskan semuanya, sayang." Ucap sang Mama tenang. Berusaha berbicara dengan napas tersengal karena harus berlari mengejar anak dan bapak itu.
Suri menggeleng cepat. Kemudian menghempas tangan sang ayah. Kembali berjalan tanpa berkata.
"Papa punya banyak hutang Suri! Usaha Papa gagal, hutang Papa tak terkendali Nak, uang kita habis untuk membiayai pengobatan Mama mu."
Seketika kaki Suri berhenti. Mematung tanpa bisa bergerak, napasnya memburu. Derai air mata kembali tumpah, Suri berbalik. Menghampiri sang ayah dan Mamanya dengan mata basah.
"Kenapa Papa bawa-bawa Mama dalam hal ini? Papa tidak berhak mengatakan itu." Teriak Suri lantang yang mana mendapatkan tamparan dari wanita yang di anggapnya Mama.
"Suri! Kecilkan suaramu. Kamu tidak berhak mengatakan itu kepada Papamu, kami berjuang demi Mamamu, Kakakku sendiri."
Ketika Suri berusia 11 tahun. Sang Mama mengalami perubahan dalam berprilaku. Nyonya Luna, mengidap penyakit Bipolar. Tahun bertambah perubahan perilakunya tak dapat terkendali. Puncaknya ketika Suri berusia 11 tahun sampai sekarang sang Mama tercinta masih setia di rawat di RS Jiwa.
Mendapati kenyataan pahit itu membuat Suri terkulai lemas, tersungkur kemudian. Menangis seketika, Hiks....hiks...hiks...."Mama."
Ayah Suri dengan dorongan semua keluarga termasuk mending kedua orangtuanya kala itu, mau tidak mau harus menikahi Adik dari istrinya. Alasan yang nyata adalah Suri kecil butuh perhatian seorang ibu, Nyonya Luna tak dapat menjaga Suri ketika perilakunya semakin menjadi.
Suri begitu bahagia bisa di temani tidur oleh Tantenya. Dirinya juga merasa bahagia ketika Papanya menikahi Adik dari mamanya sendiri. Tapi itu dulu. Setelah Suri dewasa. Suri merasa tak nyaman ketika sang ayah satu kamar dengan Tantenya. Tapi seiring berjalannya waktu dan kelembutan sang Tante, Suri luluh. mulai menerima kenyataan bahwa Papanya mempunyai dua istri.
Tepatnya Papa Suri menikahi kakak beradik.
"Maafkan Mama Sayang, Kami terpaksa menikahkan kamu dengan putra Tuan Diki, berharap ini jalan yang benar,"
Tidak, tidak, aku tidak ingin menikah. Aku bahkan belum pernah melihat seperti apa putra kedua Batara.
.
.
"Pelayan! Pelayan!!"
Teriakan tak terkendali menggema. Pelayan yang mendengar teriakkan itu bergegas menghadap. Berdiri didepan si pemilik suara.
"Saya, Tuan." Si pelayan pria membungkuk. Menunduk tanpa bisa menatap wajah laki-laki muda di depan matanya.
Saat ini keduanya tengah berada di suatu ruangan besar dan moderen. Kamar Sky tepatnya.
"Aku mendengar, kalau Papa berhasil menemukan gadis yang akan menjadi istriku! cih. Tumbal keluarga Barata!"
Mendengar kalimat itu, si pelayan tersedak saking terkejut. Memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Melirik pria muda di depannya itu takut.
Kepala si pelayan mengangguk membenarkan.
"Betul, Tuan."
Suara tepuk tangan menggema kuat, berhasil menyentak kejiwaan si pelayan. Sebenarnya untuk menghadap si putra kedua Batara seperti di giring masuk kedalam lembah Kematian. Aura negatif yang muncul di sekitar laki-laki tampan itu amat kuat.
"Aku ingin keluar. Siapkan mobil." Titah Sky dengan raut wajah menakutkan. Ekspresi wajahnya berubah cepat. Tawa dan senyum merekah kini menghilang.
Si pelayan mengangguk cepat segera membungkuk dan berlalu keluar kamar.
"Astaga, Tuan Sky selalu menyeramkan." Gumam si pelayan, berlari menuruni tangga untuk segera mencari mobil di garasi. Tak ingin membuat si putra kedua Batara menunggu dan menghajarnya seperti dulu.
Alasan salah memberi sepatu berbuah pukulan di sekujur tubuh si pelayan. Bukan hanya itu, Semua pelayan yang bekerja di rumah Tuan Diki di paksa untuk menerima semua perlakuan buruk Sky. Uang lagi-lagi bertahta di atas segalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!