"Nih, cuciin sepatuku!" masih pagi-pagi Melanie sudah ribut pada adiknya. "Pokonya nanti siang sudah harus kering!"
Aine yang sedang berjongkok mengerjap sejenak. Ia sedang mencuci setumpuk baju milik keluarganya di kamar mandi.
Ia sudah lelah. Sejak pagi tadi seisi keluarga itu mengantarkan pakaian kotor mereka bergantian. Kini lelahnya harus bertambah dengan kehadiran kakak tak berperasaan yang menyuruhnya mencuci sepatu.
Aine menghelai nafas. Ia menatap wajah cantik milik kakaknya. "Kayaknya kalo siang ini nggak bisa kering deh kak. Ini sudah jam sembilan, lagian cuaca hari ini agak mendung."
Bukannya mau menolak, tapi apa yang dia katakan benar adanya. Cuaca lagi nggak kompak. Matahari tidak kelihatan, malah awan-awan hitam yang mengambang diatas sana. Terus bagaimana dia mengeringkan sepatu itu?
"Aku nggak mau tau! Intinya siang ini harus sudah kering!" Melanie meninggalkan adiknya setelah mengatakan itu.
Aine menatap sepasang sepatu berwarna putih itu. Ingin sekali rasanya mencampakkan benda sialan itu. Tapi kalo sampai dia melakukannya, berarti dia siap dikubur hidup-hidup.
Sambil bersungut-sungut, gadis itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia memperkirakan bahwa kerja paksa yang ia lakukan saat ini kemungkinan akan selesai pada dua jam kedepan. Iyalah, butuh waktu lama untuk mencuci pakaian lima orang. Belum lagi dalaman sampai jaket yang digunakan. Sekarang malah bertambah sepatu yang kotornya kebangetan. Mengesalkan tingkat dewa!
"Aine?" kini Mama yang muncul setelah Melanie. "Mama mau pergi arisan. Jangan lupa masak. Entar kalo Vanya pulang, kasih tau kalo Mama arisannya dirumah jeng Sri. Terus jangan lupa bersihin kamar kakakmu."
"Hmmm." Jawab gadis itu singkat. Hampir tiap hari ia menerima perintah seperti itu.
"Kok cuman hmmm, sih!"
"Emang mau jawab apa lagi. Semua perintah Mama udah kurekam diotak ini. Emang Mama mau kujawab tidak?" gadis itu berkata kesal.
"Setidaknya jawab yang benar. Iya, Ma. Gitu kek,"
"Iya, Ma. Maaf." gadis itu menyerah. Ia tahu satu aturan terpenting dirumah itu. Tidak boleh membatah. Tapi anehnya, peraturan itu hanya berlaku padanya.
"Ya udah, kerja yang bener!" setelah mengucapkan itu wanita cantik yang masih modis itu meninggalkan Aine.
Begitulah hidup Aine selama ini. Diperlakukan seperti budak. Tidak punya kebebasan dan selalu tertekan. Hidupnya amat kosong.
Dalam hati yang sunyi, dia protes kepada yang Kuasa. Bertanya-tanya, kenapa Sang Pencipta membiarkan dia mendapat semua penderitaan itu. Berantipati kenapa dia berbeda. Tapi Kepercayaannya itupun seolah tidak mendengar keluhannya.
Aine hidup terbatas. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali dia bebas seperti kakaknya. Atau bisa menikmati waktu seenaknya seperti adiknya. Sudah lama ia ingin merasakan hidup diluar. Sehari saja.
Aine gadis yang buruk. Seperti itu pandangan keluarga terhadapnya. Sebenarnya bukan karena apa-apa sih, hanya saja fisik dan prestasinya berbeda dengan kedua saudaranya.
Melanie kakaknya, sangat cantik dan diakui pintar. Di umurnya yang masih 23 tahun, dia sudah berhasil naik jabatan lantaran kerjanya yang dianggap propesional. Belum lagi dia mampu menyelesaikan kuliahnya pada kurun waktu tiga setengah tahun. Benar-benar luar biasa.
Adiknya yang bernama Vanya juga demikian. Cantik, bahkan lebih cantik dari Melanie. Otaknya juga encer. Selalu mendapat juara umum sejak SMP. Bahkan kini adiknya itu sedang dipersiapkan untuk kuliah diluar negeri.
Dan Aine, secara fisik maupun otak benar-benar kalah jauh dari kedua saudarinya. Tak pernah mendapat juara bahkan selalu mendapat nilai merah. Fisiknya sangat memprihatikan. Kulit pucat, tubuh digandrungi lemak, rambut ikal, dan yang paling parahnya bekas sayatan panjang yang telentang diwajahnya. Dia buruk rupa.
Mungkin karena itulah dia diperlakukan seperti Cinderella di rumah itu.
Keluarganya kaya. Papanya bekerja di perusahaan terkenal dan memiliki jabatan cukup tinggi. Mamanya punya salon yang lumayan terkenal.
Karena Itulah kedua saudarinya selalu mendapat pendidikan di sekolah bergengsi. Mereka bisa mengikuti apa saja yang mereka inginkan.
Tapi anehnya, meski punya banyak uang, Papa ataupun Mamanya tidak mau mempekerjakan pembantu. Mereka beralasan bahwa Aine bisa mengerjakan segalanya. Katanya sayang banget menggaji pembantu padahal pembantu gratis ada--maksudnya Aine adalah pembantu dirumah itu. Kadang Aine malas dengan semua drama yang tercipta.
Gadis itu ingin sekali pergi dari rumah itu, tapi kemana dia akan pergi? Dia tidak punya tujuan. Tidak punya tempat untuk pulang. Hanya keluarga itu yang dia miliki.
Dan seandainya dia memilih pergi dari sana, itu artinya dia bersedia hidup di jalanan. Karena tidak ada profesi yang bisa ia geluti. Namanya juga tamat SMA doang. Zaman sekarang tamatan SMA nggak kepake lagi--- bagaimanapun juga menjadi pembantu dirumah sendiri akan lebih baik ketimbang hidup jadi gembel.
Aine memeras cuciannya. Akhirnya selesai juga. Capek, pake banget. Bayangin aja mencuci segunung pakaian dengan cara manual. Pake brush loh. Nggak mesin cuci. Orang dirumah itu pelitnya kebangetan emang.
Mesin cuci bukan benda yang mahal-mahal amat. Lagian hampir semua orang sudah menggunakannya. Tapi keluarga Aine menolak. Katanya sayang banget kalo pake mesin cuci. Listrik habis dan sebagainya adalah alasan mereka. Lagian ada tangan Aine kok yang jadi mesin dirumah itu. Memang hidupnya sakit banget sih.
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, Aine memilih istirahat. Ia tidak peduli dengan sepatu Melanie yang masih basah. Palingan nanti gadis itu hanya marah, atau nggak melemparkan sesuatu padanya---intinya nggak sampai dibunuh kok. Dan kalo pun hari ini Melanie berubah jadi psikopat gegara sepatu, setidaknya dia bisa memecahkan rekor sebagai manusia dengan kematian paling konyol. Okeh dia pasrah kok.
"Hubungin Alvan ah, mumpung lagi istirahat," gadis itu tersenyum lebar seraya meraih hapenya yang tergeletak di atas meja ruang utama.
Tut.... panggilan masuk.
Tidak perlu menunggu lama orang diseberang menjawab.
"Ain? Ada apa, sayang?" tanya orang diseberang.
"Nggak. Aku cuman kangen aja sama kamu," sambung Aine bahagia.
"Elle, kamu cuman buat baper doang. Padahal aslinya bohong, kan?" terdengar kekehan dari pria diseberang.
"Nggak, Alvan. Aku serius kok. Udah tiga hari kita nggak bertemu. Wajar dong kangen begini." Aine tersenyum malu-malu. Kalo udah bicara sama Alvan begini, biasanya dia melupakan semua penderitaannya--Alvan adalah Mood booster nya.
"Wih, jarang-jarang loh gadis ku lebay begini. Kira-kira karena apa, ya?" suara pria bernama Alvan itu terdengar menggoda.
"Hehehe." Aine hanya tertawa kecil. "Aku punya waktu senggang hari ini. Kita bisa nggak jalan bareng?"
Agak lama Alvan menjawab. "Benarkah? Wahhh aku senang banget,"
"Hehehehe. Kamu jam berapa bisanya?" tanya Alvan lagi.
Aine melirik jam di dinding. "Aku sih bebas jam berapa hari ini. Kamunya aja yang mungkin terhalang,"
"Aku sih bisanya pulang kantor. Jam empat keknya. Gimana, masih bisa?"
"Tentu saja bisa, Sayang." Jawab Aine girang.
"Ya udah, nanti ku jemput, ya. Love you Ain, sayangku."
"Love you too, Alvan my heart." Lanjut Aine.
"Bye. Aku nggak sabar ketemu kamu."
"Cih, kebiasaan gombal!"
"Hehehehe."
"Udah, ya. Aku mau siap-siap. bye." Aine memutuskan sambungan secara sepihak. Wajahnya bersemu merah karena terlalu bahagia.
***
Jam 16.30 di rumah Aine.
Sebuah mobil bermerek ternama memasuki gerbang rumah Aine. Tak lama setelah mobil itu terparkir, keluar seorang laki-laki yang sangat keren. Outfitnya oke banget, belum lagi parasnya yang emang rupawan. He's the true god of good looks.
"Halo, Aine nya ada?" ternyata dia adalah Alvan---pacar Aine. Ia bertanya pada Melanie yang sedang duduk di kursi teras.
Seketika wanita itu terbius melihat wujud Alvan. Ia belum pernah bertemu dengan pria setampan itu sebelumnya. Makanya ia sampai bengong tak menjawab.
"Maaf, apa Aine nya ada, Mba?" tanyanya sekali lagi.
"Ehhh, iya, ada kok." Jawabnya terbuyar.
"Bisa dipanggil sebentar?" tanyanya sopan.
"Tentu saja. Tunggu bentar ya," Melanie melengkungkan bibirnya seindah mungkin seraya masuk kedalam rumah.
Tiga menit berselang, Melanie kembali menemui Alvan. "Bentar lagi katanya. Dia lagi masak. Boleh dong duduk disini sambil nunggu," gadis itu menepuk kursi disampingnya.
Alvan tersenyum. Ia menurut untuk duduk di samping gadis itu.
"Btw, kamu siapanya, Aine?"
"Pacarnya, Mba." Jawab Alvan jujur.
"Oh." Gadis itu menatap wajah Alvan dari dekat. Jujur saja, dia langsung jatuh cinta pada pria itu. "Kok mau sih pacaran sama dia? Jelek banget, nggak cocok sama kamu,"
Alvan tersenyum kikuk. "Kok Mbak nya bilang gitu sih,"
"Kan emang bener. Kamu nggak malu apa? Wajah seganteng ini berhubungan dengan gadis buruk rupa sepertinya. Mending putusin aja deh," Melanie mulai meracuni otak Alvan. Dia ingin pria ini lepas dari Aine dan masuk ke pelukannya.
"Tapi Aine gadis yang baik. Aku nggak apa-apa kok dikatain orang. Aku bahagia bersamanya." Jawab Alvan.
"Kata siapa dia baik? Kamu salah. Dia kalo dirumah itu kerjanya cuman makan dan nonton doang. Bayangin ya, dari pagi sampai malam, kerjanya nyuruh orang aja. Kalo dia nikah sama kamu, apa yang akan terjadi. Aku yakin, kamu pasti malu banget. Udah gitu, pasti dikatain pria berselera rendah."
"Tapi..."
"Aku bukannya mau menghancurkan hubungan kalian, cuman kasihan aja gitu, pria setampan kamu berakhir tidak jelas. Emangnya apa yang bisa kau harapkan darinya? Nggak ada, kan? Dia nggak cantik, nggak pintar, nggak baik juga." Melanie berkata seolah apa yang dia katakan benar adanya. "Kalo aku jadi kamu sih, aku bakalan ninggalin dia dan cari yang baru."
Pria itu mulai berfikir. Dalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan gadis itu.
"Eh, lebih baik cari yang baru." Melanie mendekatkan wajahnya ke wajah Alvan. "Kayak aku misalnya,"
Dua tahun lalu ketika Aine masih SMA. Alvan yang menjadi idola banyak orang ditemukannya dalam keadaan memprihatinkan. Seluruh tubuh pria itu berdarah.
Kebetulan Aine mendapat kelas melukis hari itu. Makanya ia pulang agak malam.
Saat itu tidak ada yang menjemputnya. Nyari taksi juga susah, akhirnya memilih untuk berjalan kaki.
Dijalan dekat gang lah ia menemukan Alvan terkapar bersimbah darah. Pria itu masih sadar tapi sudah susah untuk bergerak.
Saat itu ia panik, tapi langsung mengambil keputusan untuk melarikan pria itu kerumah sakit. Keputusan yang tepat, karena nyawa Alvan jadi terselamatkan. Coba kalo gadis itu membiarkan Alvan tergeletak begitu saja, mungkin pria tidak akan ada lagi.
Peristiwa itu membuat Alvan merasa berutang pada Aine. Ia ingin membalasnya dengan membuat gadis itu senang. Makanya dia selalu bersikap manis kala mereka bertemu.
Alvan sering menceritakan bahwa dia adalah pria idola di kampus---saat itu Alvan masih kuliah. Dia bilang kenapa dia terkapar malam itu karena ada sekumpulan anak bandal yang menggebukinya. Katanya sih orang-orang itu iri sama Alvan. Karena pria itu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Aine sih percaya. Soalnya pria itu gantengnya kebangetan. Persis boyband Korea.
Awalnya Alvan tidak tertarik untuk memacari gadis seperti Aine. Tapi karena perempuan itu sangat baik, akhirnya memilih untuk menjalin hubungan. Dan hubungan itu semakin hari semakin baik saja.
Alvan mencintai Aine--- dia bukan pria pemandang fisik. Makanya Aine termasuk orang yang beruntung bertemu pria itu. Tapi ketimbang Alvan, sebenarnya rasa cinta Aine jauh lebih besar. Mungkin dikarenakan dia cowok satu-satunya yang mengaku menyukai Aine terlepas dari buruk rupanya.
Kejadian itu sudah berlalu dua tahun. Itu artinya, hubungan mereka juga sudah berumur dua tahun. Tapi sampai kini, Aine tidak pernah memberitahu siapapun kalo dia memiliki seorang kekasih. Bahkan kepada orangtua ataupun saudaranya.
Berbeda dengan Aine, Alvan malah sudah mengenalkan Aine pada kedua orangtuanya. Sebenernya orangtua Alvan tidak menyukai Aine. Tapi mau bagaimanapun mereka tidak berhak mengatur hidup Alvan. Makanya mereka hanya protes saja, tidak langsung melabrak Aine.
Tidak mudah menjalani hubungan itu.
Karena ada banyak orang yang tidak menyukai hubungan keduanya. Tapi meski demikian, Alvan merasa fine saja. Ia tetap pede menjalani hubungan itu dengan bahagia.
Sebenarnya kunci kelanggengan mereka adalah umur--- karena usia Alvan yang lebih tua lima tahun dari Aine. Pria itu sangat bijaksana secara umur ataupun watak. Makanya dia bisa menjalani hubungan secara dewasa pula. Pokonya mereka adalah The real best couple.
***
Sudah dua bulan sejak terakhir kali Aine jalan bareng Alvan. Hari itu mereka memutuskan untuk keluar. Tapi Alvan jadi aneh sejak itu. Dia bukan lagi pria yang romantis seperti sebelumnya. Malah jadi cowok yang ketus dan dingin.
Contohnya aja pagi ini. Aine sudah menghubungi pria itu lima kali, tapi yang dilakukan Alvan adalah me-reject panggilannya.
Kadang Aine stres gara-gara memikirkan itu. Ia mencoba mengingat semua perlakuannya, dan sepertinya nggak ada yang salah deh. Kayaknya dia pacar yang baik. Tidak pernah marah atau mengatur laki-laki itu. Tapi kenapa Alvan berubah?
Aine sudah pernah mencoba ingin bicara baik-baik pada Alvan. Ia ingin memastikan apa yang salah. Tapi pria itu malah mengaku sibuk--- lebih tepatnya tidak mau bertemu dengan Aine lagi.
Hal itu membuat Aine sedih.
Hari ini ia sangat sedih. Tapi disela-sela kesedihannya, ia mendapat pesan dari Melanie.
"Datanglah ke hotel x. Aku ingin memberikan kejutan padamu."
Begitu kira-kira isi pesannya.
Aine yang penasaran langsung pergi kesana. Menghampiri kamar yang dimaksud kakaknya.
Dan apa yang dia lihat benar-benar menjadi salah satu keruntuhannya. Bagaimana tidak jika Alvan yang dia cintai sedang berciuman dengan Kakaknya.
Seketika kedua matanya berair. Menyaksikan keduanya begini membuat ia semakin yakin bahwa Alvan tak mencintainya lagi. Tiba-tiba dua bulir air bening jatuh dari pelupuk matanya.
"Van...." ucapnya tergetar. Ia menatap pria yang sudah melepaskan bajunya itu.
Pria itu menoleh. Tentu terkejut, hingga dia melepaskan ciumannya dengan terpaksa.
"Ain? Kamu..."
"Kenapa begini? Apa kau tidak mencintaiku lagi?" sela Aine. Air matanya terus mengucur sedari tadi.
Pria itu terdiam.
"Hari itu kau berjanji padaku, bahwa aku akan selalu menjadi satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi apa ini?" Aine benar-benar frustasi. "Kau pembohong, Van..."
Alvan hanya terus terdiam sambil menatap wajah kekasihnya.
Di atas ranjang, Melanie tersenyum puas melihat kehancuran hubungan keduanya. Dia berhasil merebut Alvan dalam waktu yang terbilang cukup singkat. Dia hebat dalam menghancurkan orang lain.
"Ain, kurasa kita tidak bisa bersama lagi. Lebih baik kita pu...."
"Tidak! Aku tidak mau, Van! Aku sangat mencintaimu! Jangan seperti ini padaku..." Aine menjadi gadis yang sangat menyedihkan sekarang. Satu-satunya semangat hidup yang dia miliki pun turut direbut oleh saudarinya sendiri.
"Ain, tolong jangan egois. Aku tidak mencintaimu lagi!"
"Nggak! Nggak, Van! Kau masih mencintaiku, aku tau itu!"
"Nggak, Ain!"
"Kenapa?"
"Karena aku sudah mencintai Melanie, kakakmu." Jawab Alvan lirih.
Gadis itu langsung tumbang. Tubuhnya duduk terhempas dihadapan Alvan. "Inilah alasan kenapa aku melarang mu untuk mengenali keluargaku, karena dari awal aku sudah memprediksi ini, hiks," tangis gadis itu.
"Tapi kau berjanji hari itu, secantik apapun saudariku, kau tidak akan menyukai mereka. Tapi inilah kenyataan..." Aine menunduk. Kedua tangannya bertumpu pada lantai.
"Kita tidak bisa menyalahkan perasaan, Ain! Kau tidak cantik, harusnya kau sadar akan hal itu!"
Untuk pertama kalinya kata-kata itu keluar dari mulut Alvan. Selama ini, selama mereka berpacaran, Alvan lah satu-satunya manusia yang tidak pernah mempermasalahkan fisiknya. Tapi sekarang, pria itu sudah berubah status. Ia sudah sama dengan yang lain.
Aine menatap lantai. Bayangannya terlihat jelas disana. Ya, harusnya dia sadar siapa dirinya. Dia tidak pantas untuk Alvan, sama sekali tidak. Huh, bahkan lantai itupun seakan iba padanya saat ini.
"Van..." gadis itu bangkit. "Katakan kau hanya bercanda. Aku akan percaya, kok,"
Aine tidak lagi menangis. Ia mencoba tersenyum.
"Nggak, Ain, aku serius. Aku dan Melanie sudah berpacaran." Pria itu mendekat ke arah Aine. "Jadi kita putus. Oke?"
Aine berusaha membendung air matanya. Rasanya sakit sekali. Harapan hidup yang dia miliki hanya Alvan, dan diapun sudah meninggalkan Aine.
"Nggak, Van...aku nggak mau. Katakan ini hanya bercandaan. Aku nggak akan marah kok," tangis Aine berusaha bangkit.
"Kenapa sih kau susah mengerti? Sudah kubilang, KITA PUTUS! AKU NGGAK MENCINTAIMU LAGI, AINE!"
Deg! namanya dipanggil. Itu artinya Alvan serius dengan perkataannya. Karena pria itu akan memanggilnya Ain kalo saja dia masih dicintai. Tidak ada harapan lagi.
Aine mengepalkan tangannya. Sorot matanya menajam saat bertemu dengan mata kakaknya yang duduk diatas ranjang. Wanita itu tersenyum sinis padanya.
"Melanie, kau benar-benar tidak punya hati!" ketus Aine.
"Heh! Dimana etikamu?" seru Melanie marah.
"Kau sudah menghancurkan hidupku. Aku membencimu. Dasar pelakorrr!"
"Plok!" seseorang menamparnya. Bukan Melanie, tapi Alvan.
"Berhentilah menyalahkan orang lain, Aine! Mulailah menyalahkan takdirmu yang begitu buruk!" kata Alvan pedas.
Gadis itu refleks memegang wajahnya yang terasa perih. Bukan hanya wajahnya yang perih, tapi hatinya juga. Alvan, pria yang dia bangga banggakan selama ini menamparnya karena wanita lain? Benar-benar keterlaluan.
"Pergilah! Kami mau melanjutkan acara kami!" Alvan mendorong tubuh Aine. "Jangan ganggu aku lagi,"
Gadis itu terdorong sampai pintu keluar.
"BRENGSEK!!!!" seru Aine di puncak emosinya.
Tidak ada sahutan, Alvan malah menutup pintu dengan santai. Dia berlagak seperti tidak punya masalah.
Aine menangis lebih lama. Ia tidak peduli dengan pandangan aneh orang-orang.
Sambil berjalan, ia menitikkan air matanya dengan pandangan ke bawah. Ia tidak menyangka bahwa dia akan mendapat masalah seberat ini.
Pacarnya berkhianat dengan kakak kandungnya. Dan yang paling sakit, dia diputuskan saat itu juga. Sakit yang teramat sangat sangat sangat sakit.
Gadis itu terus berjalan. Tapi kali ini otaknya menerawang ke bulan lalu. Pantasan pria itu berubah, rupanya sudah ada musuh dalam selimut.
Dan Melanie, pantas saja gadis itu sok-sok baik akhir-akhir ini. Sok-sok menanyakan apa makanan hingga warna kesukaan Alvan, teryata dia ingin menyedot banyak informasi.
Betapa bodohnya dia tidak menyadari semua itu.
Saat sudah diluar hotel, dia berteriak sekencang-kencangnya. "BAJINGAN KAU ALVAN! TEGA KAMU MELAKUKAN ITU PADAKU! AAAAA AKU BENCI KALIAN SEMUA!!!"
Ia tidak peduli lagi dengan apapun itu. Pandang atau tertawaan orang sudah seperti angin baginya. Intinya dia sakit teramat sangat sakit.
Dia sudah hancur.
***
Sudah malam, Aine menangis di sebuah gudang yang tidak terpakai lagi. Ia meringkuk disudut ruangan dengan air mata yang kendur secara alami.
Sakitnya tidak terdefinisi kan. Bagai seribu panah yang melesat menghujam seluruh tubuhnya. Dan lihat, bahkan Alvan yang dia harapkan kedatangannya benar-benar tidak peduli lagi dengannya. Sekedar menelfon juga tidak!
Aine mengambil hapenya dari saku celana. Ingin melihat waktu. Ternyata sudah jam 20.00. Artinya, dia sudah meringkuk disana lebih dari lima jam. Pantas saja dia ingin tidur. Rupanya sudah terlalu lelah.
Bagaimanapun juga, ia tidak punya tempat tujuan selain rumahnya. Ia harus kembali kesana. Dan ia harus mengambil haknya. Ya, malam ini dia berniat meminta bantuan orangtuanya. Satu-satunya cara adalah mengadukan Melanie. Mungkin dengan demikian ia bisa mendapat simpati dan akhirnya Alvan bisa kembali ke pelukannya.
Gadis itu melangkah ngontai. Ia lelah. Tapi sialnya, jalan yang harus dia tempuh masih panjang.
Seandainya saja ada yang bisa mengantarkannya.
Sekitar satu jam berjalan, akhirnya dia sampai di rumah. Masih jam 23.12, jadi dia masih punya kesempatan untuk bicara dengan orang tuanya seandainya saja kedua orang itu belum tidur. Ya, keberuntungan untuknya, karena kebetulan Papa sama mamanya sedang duduk diatas sofa sambil berbincang riang dengan seorang pria seumur papa.
"Pa ..Ma..." lirihnya.
"Eh, Aine," Mama tersenyum kearahnya. "Sini sayang..."
Tumben banget mamanya berubah begitu. "Duduk disini, yuk. Di samping Mama," wanita itu menepuk sofa disampingnya.
Aine jelas heran, seheran-herannya. Tapi ia tetap menurut untuk duduk di samping Mamanya.
"Ne... kenalin, dia Monata." Papa memberitahu saat Aine baru saja mendudukkan pantatnya.
Gadis itu hanya menunduk tersenyum.
"Ne, dia calon suami kamu." Kata Mama tiba-tiba.
Deg! Jantung Aine langsung mengombak tak karuan.
"Maksud Mama?" tanya Aine bergetar.
"Maksud Mama, kamu akan menikah dengannya. Dia baik kok, tampan, kaya raya, apa yang kurang coba," lanjut Mama.
Seketika semuanya remuk. Cobaan apa lagi ini? Haruskah semua penderitaan ini datang bertubi-tubi?
"Mama udah gila!" ucap Aine ketus.
"Maksudmu mengatakan itu apa sayang?" lihatlah, wanita itu nggak marah, malah melembutkan suaranya. Dan panggilan sayang? Sejak kapan wanita itu mau memanggilnya demikian? Kayaknya ini pertama kalinya deh.
"Mama apa-apaan menyuruhku menikah dengan pria dewasa sepertinya," gadis itu mulai menangis kembali. Hidupnya memang sudah hancur sekarang.
"Eh, jangan salah, sayang... dia duda yang hebat kok. Kaya raya, kau akan hidup bahagia dengannya." Mama kembali berdrama. Itu sangat menjijikkan bagi Aine.
"Kalian semua itu kenapa sih! Tidak cukup puas menyiksaku selama ini! Semua hal sudah kulakukan, tapi kenapa kalian tetap begini padaku! AKU BENCI KALIAN SEMUA!" gadis itu menangis dengan pilu.
"Hei! Kau nggak sadar, ya! Kamu itu gadis bodoh dan jelek! Masih untung aku berniat menikahimu!" kini Monata yang bicara. "Kalian itu jelas nggak, sih! Kalo putrimu ini seperti ini, mending 2M-nya kembalikan!"
Papa Aine langsung berubah mimik. "Eh, pak Monata kok begitu. Pernikahannya tetap jadi kok. Mungkin Aine lagi shock gara-gara mendadak begini. Kami janji kok akan membujuknya. Pak Monata nggak usah khawatir." Pria itu benar-benar tega mengatakan itu.
"Aku nggak mau, Pa!!" gadis itu langsung berlari meninggalkan ketiganya.
Saat ingin memasuki kamarnya yang ada dibelakang, Aine berpapasan dengan Melanie. Gadis itu tersenyum puas melihatnya hancur.
"Kau...." Aine berhenti tepat didepan Melanie. "Pasti kau kan yang merencanakan ini semua!"
Melanie menyilangkan tangannya didepan dada. "Kalo iya, kenapa?" tanya gadis itu tanda dosa.
"Kau tega!"
"Tentu saja. Emangnya kau siapa berhak dikasihani!" ucap Melanie sambil mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. "Lagian Om Monata cocok kok sama kamu. Ambil aja. Hidupmu terjamin bersamanya,"
"Kau!" Aine berada dipuncak emosinya. "Kau sudah merebut segalanya dariku, Melanie! Hidupku, kebahagiaanku bahkan orang yang ku cintai! Apa kau belum puas juga! Dan sekarang kau malah menjebakku dengan menyuruh Papa menikahkan ku dengan om-om!"
Suara Aine mulai serak. Mungkin karena menangis terlalu banyak.
"Entah kenapa kau tega melakukan ini padaku. Padahal aku nggak pernah jahat padamu!"
"Hmmmm, kau mau tau kenapa? Karena orang sepertimu tidak pantas bahagia. Kau juga tidak pantas mendapatkan Alvan. Yang pantas untukmu itu adalah hidup bersama Om Monata. Jelas?"
"Jika memang benar demikian, maka aku tidak akan pernah menyesali ini!" tiba-tiba Aine merenggut kepala kakaknya. Menjambak rambut wanita itu dengan ganas--- sebelumnya dia tidak pernah seberani itu.
"Aaaaaa," Melanie menjerit. Ia sengaja tidak membalas perbuatan Aine agar semua pengisi rumah itu menyalahkan Aine lagi. Dan ya, segalanya benar-benar terjadi sesuai keinginan Melanie.
"Plok!!!!"
Aine masuk kedalam kamarnya. Wajah pucatnya terlihat memerah akibat tamparan keras Mamanya.
Tadi saat dia berantam dengan Melanie, tiba-tiba mama dan papanya muncul. Tentu saja Aine yang menjadi sasaran utama, sama seperti sebelum-sebelumnya. Ia yang selalu disalahkan meski bukan dia yang memulai.
Melanie ataupun Vanya selalu saja berhasil membuatnya seolah-olah gadis penindas.
Begitulah jalan hidup yang dia terima dari Sang Pencipta.
Gadis itu menangis. mengunci pintu dengan emosional kemudian diikuti umpatan kasar. Ia melakukan hal yang sewajarnya.
Ia duduk didepan meja rias. Sejenak memperhatikan wajahnya yang benar-benar jauh dari kata cantik.
Sebenarnya dia cantik apabila saja dia pintar mengurus diri seperti kedua saudarinya. Matanya bagus, hidungnya mancung, garis wajahnya tegas. Hanya saja, sayatan panjang yang mengotori wajahnya menghalangi kecantikannya yang sebenarnya.
"Kamu jelek, kamu bodoh, kamu buruk, kamu tidak berguna, kamu tidak pernah benar, dan kamu adalah sampah." Aine mengatakan itu pada bayangannya. "Harusnya kamu mati dari dulu."
Gadis itu mengeluarkan air mata dibarengi senyuman aneh di bibirnya.
"Kau sebaiknya mati, Aine. Tidak ada lagi gunanya menjalani hidup ini. Alvan, satu-satunya manusia yang kau harapkan juga sudah pergi meninggalkanmu. Mari menutup mata dengan damai."
***
Pagi hari, Vanya bangun duluan--terpaksa karena masuk sekolah. Ia terkejut saat tidak ada yang memasak. Padahal biasanya jam segini Aine sudah mempersiapkan segala keperluan dan kepentingnya.
"Ma...Kak Aine nggak masak!" gadis kelas tiga SMA itu memberitahu mamanya. Kebetulan mamanya itu baru saja selesai mandi. Dan sedang duduk menghadap meja rias.
"Kenapa?"
"Nggak tau, Ma. Kayaknya dia belum bangun deh,"
"Belum bangun? Dasar gadis pemalas!" wanita itu berdiri, menatap Vanya sebentar, lalu keluar dari kamar.
"Aine!!!" Mama menggendor pintu kamar gadis itu.
Tidak ada sahutan.
"Hei, pemalas! Vanya mau sekolah, apa kau mau membunuhnya dengan tidak memasak sesuatu untuk sarapan paginya?" wanita itu marah dari luar.
"Wah, jadi sudah berani melawan sekarang?"
Tetap tidak ada jawaban. Kamar itu lengang, amat lengang.
"Kau mau mati? Belum puas merasakan tamparan ku? Buka Aine! Kalo nggak kubunuh kau!"
Wanita itu meraih gagang pintu--- bermaksud menggendor, tapi ternyata pintunya tidak terkunci. Sayang sekali dia berteriak-teriak dari tadi.
"Aine!" ia terkejut saat mendapati kamar itu kosong.
"Kemana perginya si bodoh itu," ujar Mama menghampiri meja rias yang terletak di dekat ranjang. Disitulah dia menemukan sebuah surat.
Dari Aine.
Untuk semua orang yang tinggal dirumah ini.
Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku sudah terlalu banyak menderita. Kalian semua selalu memperlakukan dengan buruk. Membuatku tertekan untuk waktu yang lama.
Aku pergi. Semoga kalian bahagia. Semoga apa yang kalian inginkan bisa tercapai.
Aku akan mengakhiri segalanya. Rasa sakit ini akan berlalu sama seperti berlalunya nyawaku. Itu yang terbaik.
Aku tau kalian tidak akan mencari ku. Tapi jika tiba-tiba hati kalian tergerak untuk mencariku gara-gara uang 2M itu, maka hentikanlah. Kalian tidak akan menemukan ku lagi.
Aku akan menghantui kalian. Menunjukkan bahwa aku bukan orang tolol yang selalu saja menjadi budak dirumah kalian.
Teruntuk Vanya, terimakasih telah mengotori wajahku ini. Terimakasih telah mendorongku hingga bekas ini menjadi aib bagiku. Suatu saat aku akan membuatmu merasakan ini.
Teruntuk Melanie, terimakasih juga sudah merebut segalanya dariku. Apalagi Alvan, terimakasih banget. Bahagialah dalam mimpi buruk yang akan menghantuimu.
Untuk Mama dan papa, terimakasih karena telah menciptakan kasta dirumah neraka ini. Aku bangga dengan kalian.
Teruntuk kalian semua, AKU MEMBENCI KALIAN.
Salam dari kematian.
***
Aine terus berjalan kearah selatan. Sudah jam setengah dua belas dan dia belum menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidup.
Padahal, dia sudah berjalan jauh sekali dari rumahnya.
Langkahnya ngontai. Matanya sayu. Wajah pucatnya kelihatan lelah.
Ia berjalan tanpa membawa apa-apa. Hanya pakaian yang tertempel ditubuhnya. Tidak ada koper, tidak ada uang atau apapun itu---iyalah, kan dia berniat bunuh diri bukan mau ngungsi.
Akhirnya setelah berjalan sekitar dua puluh menit lagi, ia menemukan jembatan gantung yang lumayan megah. Jembatan itu tinggi. Dibawahnya air sungai mengalir deras. Ia pikir, sekarang hidupnya akan berlalu seperti berlalunya air sungai itu.
Hujan datang hari ini. Tapi tidak lebat. Hanya sekumpulan hujan yang lebih besar dari gerimis. Tapi air itu berhasil membasahi seluruh tubuhnya.
Tidak mengapa, baginya hujan itu yang mendorongnya agar melompat sekarang juga.
Aine naik ke penghalang jembatan. Ia melebarkan kedua tangannya. Bersiap melompat.
"Semuanya....ayo kita lakukan!" serunya ditengah rintikan hujan.
Hampir ia melompat, tiba-tiba seseorang muncul didekatnya.
"Bunuh diri kok tanggung!" ujar orang itu.
Aine terkejut mendengarnya. Ia menoleh kebelakang dan melihat seorang pria yang mengenakan masker dan topi berwarna hitam sedang memegang payung untuk melindungi dirinya dari hujan.
"Siapa kamu!" Aine malah bertanya.
Pria itu mengangkat bahunya.
"Pergilah kalo tidak ada urusan dengan ku!" ketus Aine.
"Kenapa kamu yang ngatur? Emang jembatan ini punya nenekmu?" tanya pria itu.
Gadis itu langsung cemberut.
"Kuberi tahu ya, sebenarnya bunuh diri itu hanya dilakukan oleh orang bodoh." Ujar pria itu santai.
"Aku memang bodoh." lanjut Aine cepat.
"Iyakah?" ujar pria itu datar. "Kalo begitu, kamu mau nggak berubah jadi orang pintar?"
Aine mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"
Pria itu meninggikan payungnya. "Jangan bunuh diri dulu. Perpanjang waktunya..."
Gadis itu tidak mengerti maksud perkataan pria itu. Jadi dia langsung bersiap melompat. Hampir kakinya lepas, tapi tidak jadi jatuh karena pria itu langsung menarik tangannya.
Payung pria itu terbang dan jatuh ke sungai. Sebagai gantinya, tubuh Aine berhasil dia tangkap.
Mata mereka bertatapan di antara jutaan tetes hujan.
"Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu seraya tersenyum dibalik maskernya, menatap mata Aine yang dihalangi kacamata. Bahkan ketika ingin mengakhiri hidupnya, Aine masih setia dengan kacamata itu.
Aine menggeleng. "Tidak, aku sudah hancur." jawabnya lemah.
"Pulanglah bersamaku, kau bisa memulihkan kondisimu disana." tawar pria itu.
"Ta-tapi..."
"Lupakan bunuh diri. Itu hal yang konyol. Terlepas dari apapun masalahmu, bunuh diri bukanlah jalan yang terbaik. Jika memang kau ingin bunuh diri gara-gara percintaan, kau kan bisa membalasnya." Pria itu berkata seraya menegakkan tubuh Aine.
Gadis itu menunduk. "Apa yang kulakukan ini salah?"
"Tidak sepenuhnya. Rasa sakit yang tidak bisa ditahan yang membuat orang-orang memilih mati. Itu wajar," kata pria itu lembut. "Jangan menangis seperti itu, kau bisa berubah lebih baik kok. Ayo pergi bersamaku,"
Pria itu menarik tangannya. Membawanya masuk ke mobil yang terparkir diujung jembatan.
Pria itu basah, begitu juga dengan Aine. Tapi Aine yang lebih parah, karena dia basah sampai pakaian terdalamnya.
Mobil sudah melaju. Aine menatap jalanan didepannya. Meski tatapannya tertuju pada jalan, tapi pikirannya mengambang. Mengira-ngira bahwa keluarganya sedang berpesta karena kepergiannya.
"Aku bukan cowok yang ramah. Tapi padamu aku akan ramah." Pria itu tiba-tiba mengatakan itu.
Aine menoleh kearah pria yang sedang menyetir itu. Dia hanya tersenyum kecil. Menunjukkan dengan jelas bahwa dia tidak mood menjawab.
"Kamu mau bunuh diri karena apa?" tanya pria itu.
Gadis itu kembali menunduk. Rasanya tidak mungkin dia memberitahu masalahnya pada pria asing. Tapi...sesak dihatinya juga perlu dikuakkan. Minimal untuk mengurangi rasa sakit.
Jadilah Aine menceritakan semua kehidupannya yang menyedihkan. Mulai dari kasta dirumahnya hingga penghianatan pacarnya. Dia bercerita sambil menangis.
"Makanya aku ingin bunuh diri. Tapi kau menggagalkannya!"
Tidak tau bagaimana ekspresi pria itu, karena wajahnya tertutupi oleh masker.
"Aku sih nggak masalah kau bunuh diri. Tapi kasihan aja kalo bunuh dirinya nanggung." ucap pria itu.
"Maksudnya?"
"Kau itu nggak mikir apa? Ketinggian jembatan yang tadi hanya enam meter dari sungai. Jadi setiap orang yang jatuh dari atas jembatan, kemungkinan besar tidak akan mati. Bayangin aja, kau melompat, terus kakimu yang membentur batu runcing. Wahhh sakitnya itu tidak terbayangkan. Terus, kau dibawa oleh arus air sambil terus menangis karena kesakitan. Padahal tujuanmu bunuh diri kan untuk menghilangkan rasa sakit. Ini malah nambah. Masih untung kamu langsung mati, bagaimana kalo kau diberikan hidup mengambang di sungai selama tiga hari. Ih, nggak kebayang, kan? Aku sih hanya kasihan aja," pria itu berkata panjang lebar.
Dalam hati, Aine membenarkan semua yang dikatakan oleh pria itu. Kenapa dia tidak berfikir sampai kesana?
"Kalo kamu mau, aku bisa memberikan tips bunuh diri yang efektif anti gagal." katanya kalem.
"Caranya?"
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap jalanan sejenak. "Aku pernah baca panduan untuk bunuh diri. Katanya, cara terbaik untuk menghilangkan nyawa adalah melompat dari atas gedung. Dengan syarat, gedungnya tinggi. Dan saat melompat, kau harus mengarahkan kepalamu kebawah."
"Aku sih yakin itu berhasil. Tapi kamu berani, nggak?"
Gadis itu meremas tangannya. Ia tidak bisa membayangkan itu. "Lebih baik minum racun," sahutnya.
"Nggak lah. Itu malah lebih buruk. Minum racun butuh waktu sekitar satu jam untuk mati. Itupun kalo dosisnya tinggi. Bayangin kamu menahan rasa sakit yang teramat sangat sekitar empat puluh lima menit. Pasti akhirnya kau akan memilih meminta bantuan dan akhirnya diselamatkan. Setelah kau hidup kembali, aibmu akan tersebar."
Sekali lagi Aine membenarkan perkataan pria itu. "Bagaimana kalo gantung diri?"
"Percayalah, itu bahkan lebih parah. Demikian juga dengan yang lain, contohnya membakar diri ataupun menenggelamkan diri. Kau tidak akan sanggup menahannya. Atau dengan kata lain, kau akan menyesalinya."
"Tapi kalo melompat dari atas gedung, kau dijamin mati dalam hitungan detik. Orang kepalamu udah hancur. Makanya, itu adalah bunuh diri anti gagal."
Gadis itu merenung. Benar juga yang dikatakan pria ini. Sepertinya dia orang yang sangat cerdas.
"Jadi menurutku, kau lebih baik membalas mereka ketimbang bunuh diri. Karena kuyakin, kau nggak bakalan sanggup melompat. Iya, kan?"
Aine mengangguk. "Jadi bagaimana caraku membalas dendam? Aku tidak punya apa-apa dihidup ini..."
"Aku bisa membantumu...." pria itu tersenyum dibalik maskernya.
***
Mobil hitam yang ditumpangi Aine berhenti di depan sebuah rumah kecil. Hunian yang sunyi, jauh dari keramaian. Sebuah rumah yang terletak di pinggir kota.
"Turun yuk, kau bisa tinggal disini untuk beberapa waktu. Sampai kau memilih apa yang ingin kau lakukan." pria bermasker itu turun dari mobil, tanpa menoleh langsung berlari ke teras rumah.
Aine merenung sejenak. Mempertimbangkan perkataan pria misterius itu. Benar sih, rugi banget kalo bunuh diri. Tidak akan ada gunanya dia melakukan hal konyol itu. Toh keluarganya tidak akan menyesal, malah pasti jadi senang. Belum lagi dia tidak diterima oleh Yang Kuasa karena memilih mengakhiri hidup. Hidupnya akan sial selamanya.
Kemungkinan yang akan dia lakukan adalah change appearance.
Sebenarnya dia setuju untuk merubah penampilannya. Tapi dia tidak tau bagaimana caranya. Orang dia tidak terpikir kesana dari dulu. Tapi sudahlah, dia bisa mulai bertindak sekarang.
Gadis itu mengepalkan tangannya. Apapun itu, pokoknya dia harus berubah. Demi membalas perlakuan keluarganya. Yah, dia harus bisa.
Mata gadis itu terangkat, menatap pria tertutup yang sedang berdiri di teras--sepertinya tidak masuk gara-gara nungguin dia.
Akhirnya Aine keluar, menghampiri pria itu. Dia sedikit berlari demi menghindari hujan yang semakin lebat saja.
"Maaf ya, aku membuatmu repot," Aine menatap pria itu.
Yang ditatap terpaku. Tidak tahu bagaimana ekspresinya dibalik masker hitam itu.
Bukannya membalas dengan tepat, pria itu malah melarikan topik. "Ma-Maaf, tapi ada yang aneh dengan wajahmu," pria itu menunjuk wajah Aine yang aneh.
Gadis itu mengerutkan keningnya. "Apa?"
"Bekas lukamu luntur," ujar pria itu.
Aine langsung menyadari sesuatu. Mampus! Dia lupa kalo wajahnya tidak bisa kena air, karena otomatis luka sayatan panjang itu akan luntur--benar, itu hanyalah luka tipuan, aslinya tidak demikian.
"Benarkah?"
Pria itu langsung mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Ternyata hanya selarik tisu yang sudah rengsa. Kemudian hal yang tak terduga dilakukannya. Ia membersihkan wajah Aine dengan tissue ditangannya.
Aine tidak bisa menolak. Ia hanya bisa pasrah dengan perbuatan pria itu.
"Kau?" pria itu terkejut setelah melihat wajah asli Aine. Ternyata wajah gadis itu mulus, tidak ada bekas apa-apa disana. Kulit aslinya juga tidak pucat seperti yang tadi.
Aine terdiam.
"Kenapa kau melakukan itu?" tanya pria itu dingin. Ia terus menatap wajah Aine yang cantik meski bulat karena lemak.
"A-aku... aku melakukan itu karena sesuatu hal... ta-tapi," entah kenapa tiba-tiba Aine jadi gugup seperti ini.
"Baiklah. Aku tau kau tidak mau menceritakannya sekarang. Tidak apa-apa, kau bisa menyimpannya. Aku juga tidak terlalu penasaran." Lalu pria itu masuk kedalam rumah.
Aine mengikuti dari belakang. "Apa kamu marah?"
"Tidak. Kenapa marah? Itukan privasimu." jawab pria itu sambil terus melangkah.
Gadis itu tersenyum. Ia menemukan seseorang yang baik disisinya. Entah siapa itu, tapi dia bersyukur dipertemukan dengannya.
Pria itu berhenti pas di tengah ruangan. Aine juga melakukan hal yang sama.
"Hmmm, ini rumahku. Kecil memang, tapi cukup untuk kita tinggal berdua. Disini ada dua kamar, kau bisa memakai yang itu," pria itu menunjuk ke kamar yang pintunya tertutup.
Aine mengangguk seraya menyapukan pandangannya ke sekeliling rumah. Hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Hunian yang kecil tapi sepertinya nyaman.
"Makasih." ujarnya tulus.
Pria itu mengangguk seraya bertanya, "Btw namamu siapa?"
"Aine. Aine fourie lebih tepatnya," jawabnya.
"Oh."
"Kalo namamu?" tanya Aine balik.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia masih sempat-sempatnya memperbaiki topinya.
"Panggil saja Udin."
Aine mengerutkan keningnya. "Namamu Udin?"
"Bukan sih,"
"Jadi kenapa ingin dipanggil begitu? Apa namamu terkutuk?" terka Aine.
"Sembarangan! Namaku itu privasi. Nggak bisa diketahui sembarangan orang. Jadi panggil saja aku Udin, gimana?"
Aine tersenyum. "Kamu lucu. Mana ada orang yang namanya disembunyikan. Emang kau Zeus apa! Tapi kalo emang namamu nggak bisa ku ketahui, bagaimana kalo kupanggil Iraz?"
"Iraz? Terdengar menarik. Tapi kenapa Iraz?" tanya pria itu.
"Itu nama favoritku. Juga karakter paling kusukai di novel," jawab Aine.
"Oh." Setelah mengucapkan itu, pria yang diberi nama Iraz itu masuk ke kamarnya.
Lima menit kemudian dia keluar dengan pakaian yang berbeda. Maskernya juga sudah diganti. Tapi kali ini, rambutnya tidak ditutupi oleh topi lagi. Rambut model comma hair berwarna agak coklat milik pria itu terlihat memikat. Ia ganteng banget kalo melepaskan rambutnya.
"Aku tidak punya pakaian perempuan. Bagaimana kalo memakai ini untuk sementara? Sampai kamu punya pakaian," pria itu menyodorkan kaos jumbo berwarna hitam plus celana bahan berwarna biru.
Aine menatap pria itu, kemudian beralih ke pakaian, menerima dan mengucapkan terimakasih lagi.
"Kau tidak punya pakaian dalam?" tanya Aine yang menyadari bahwa ********** juga basah.
"Punya, tapi untuk pria."
"Sial. Pakaian dalamku basah semua. Bagaimana ini?"
Iraz menggaruk kepalanya. "Kalo itu aku nggak tau,"
"Ya udah, nggak apa-apa deh," gadis itu meninggalkan Iraz dan masuk kekamar mandi. Ia membersihkan diri disana.
Tiga puluh menit kemudian dia keluar. Gayanya absurd banget. Kaos jumbo itu benar-benar pas-pasan ditubuhnya. Akibatnya kedua gunungnya terlihat jelas tidak mengenakan beha.
Ia menghampiri Iraz yang duduk diatas sofa. Pria itu sedang sibuk mengutak-atik hape.
Iraz menoleh kearah gadis itu. Aish, dia kaget banget liat kaosnya jadi seksi seperti itu. Kaos polos yang berubah menjadi pendosa. Bagaimana tidak jika bentuk tubuh gadis itu terlihat jelas di bawah baju yang ia kenakan. Apalagi pucuk itu benar-benar membuat matanya berdosa banget.
Aine duduk dihadapan Iraz. Ia tau apa yang sedang dilihat pria itu. Tapi ia bodoh amat.
"Jadi bagaimana caramu membantuku?" tanya Aine.
Iraz berusaha mengalihkan pandangannya dari tubuh Aine. Sebisa mungkin dia menatap hapenya sekarang.
"Tenang aja, aku sudah merancangnya. Kita akan memulai dengan pergi ke dokter gizi."
"Diet?"
"Ya. Kau harus kurus untuk terlihat cantik. Setelah itu kau hanya perlu mengikuti prosedurku." kata Iraz menutup mata.
"Oh."
"Aduh, aku tidak tahan." gumam pria itu. "Tapi sebelum itu semua, kita harus belanja sekarang. Mengubah takdirmu tidak sepenting mengenakan dalaman."
"Ha?" Aine jadi bingung sendiri.
"Kalo kamu seperti ini, aku jamin kau akan keluar dari rumah ini tanpa kehormatan," pria itu berdiri lalu menarik tangan Aine. "Niatku memang tidak ada, tapi kesempatan yang ada."
Terka sendiri maksud pria itu.
_Perubahan Takdir Dimulai_
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!