Keisha PoV
"SAH!"
1 Kata yang membuat hidupku terasa hancur dan kehilangan semangat hidup. Kenapa mesti ayahnya yang menikah dengan ibuku? Aku tidak rela, benar-benar tidak rela.
Kak Darren adalah satu-satunya pria yang aku cintai selama 3 tahun ini. Tapi kenapa sekarang dia malah berubah status menjadi kakak tiriku. Dan, yang lebih parahnya lagi, alasan utama kak Darren menikahkan ayahnya begitu terburu-buru adalah, karena dia juga ingin segera menikahi kekasihnya. Katanya, dia tidak akan menikah sebelum ayahnya menikah lagi dan ada yang mengurus.
Hiks. Lagu mendiang Olga Syahputra terus saja aku lantunkan dalam hati.
Hancur hancur hatiku, hancur hancur hatiku. Hancur hancur hatiku, hatiku hancur ....
Setelah ibuku dan ayahnya, eh salah, maksudku orang tua kami sah menjadi sepasang suami istri, aku melirik kak Darren yang saat ini duduk tidak jauh dariku. Hatiku yang hancur semakin hancur tidak karuan saat melihatnya tersenyum bahagia dengan raut penuh kelegaan sambil menggenggam erat tangan kekasihnya yang saat ini duduk di sampingnya. Keduanya terlihat tersenyum bahagia dan saling menatap.
Ah, aku langsung memalingkan wajahku dengan cepat melihat pemandangan itu. Rupanya saat ini bukan hanya hatiku yang hancur, tapi mataku juga ikutan sakit. Aku merasa saat ini aku patut mendapatkan julukan gadis paling menyedihkan di dunia.
Karena sudah tidak tahan lagi, aku pun memutuskan untuk berpamitan pada ibuku. Aku berbohong kalau siang ini aku akan ada ujian di kampus, padahal sebenarnya tidak ada. Tapi ibuku langsung percaya begitu saja karena sebentar lagi aku akan wisuda.
Di saat seperti ini, aku hanya butuh waktu untuk menyendiri. Aku ingin menenangkan pikiran dan hatiku yang saat ini sedang kacau balau.
...----------------...
Tidak terasa jam sudah menunjuk waktu pukul 7 malam, dan aku baru kembali ke rumah. Ku lihat ibuku bersama suami baru beserta anak tirinya sedang duduk bersama di meja makan. Dan terlihat jelas bahwa mereka bertiga sedang menungguku untuk makan malam bersama.
"Dari mana saja kamu, Kei?" tanya Ibu.
Namaku adalah Keisha Maharani, biasa dipanggil Kei.
Jika saja saat ini hanya ada aku berdua dengan ibu di rumah, sudah pasti ibu akan marah besar padaku. Ibu sangat tidak suka putri semata wayangnya keluyuran di luar dan baru pulang saat hari sudah malam.
"Dari rumah Laras, Bu," jawabku sembari duduk di kursi meja makan yang kosong, tepatnya di samping kakak tiriku, kak Darren.
Saat ini aku tidak mempedulikan tatapan ibuku yang menahan kekesalannya padaku. Aku lebih memilih bersikap acuh dan membersihkan perlengkapan makanku menggunakan tissu. Padahal, piring, sendok, beserta garpunya sudah sangat bersih.
Aku juga sama sekali tidak melirik ke arah kak Darren yang saat ini duduk tepat di sampingku, apalagi menyapanya. Pokoknya, mulai detik ini aku berjanji, aku akan membuang pria itu dari dalam hati dan pikiranku. Sudah cukup dia mematahkan hatiku selama ini. Apalagi sekarang kami adalah saudara, meski pun bukan saudara kandung, dan hanya saudara tiri. Tapi tetap saja, sekarang ini kami berdua sudah menjadi saudara.
Lupakan saja pernyataan cintaku yang pernah dia tolak dua kali. Anggap saja kejadian memalukan itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Saat kami tengah makan bersama, om Gilang, suami baru ibuku, tiba-tiba saja angkat bicara.
"Keisha."
"Iya, Om," jawabku spontan.
Aku memang sudah terbiasa memanggil ayah tiriku dengan sebutan om Gilang. Sejak kecil, aku memang sudah mengenal keluarga mereka. Om Gilang, mendiang tante Lisa, dan kak Darren dulunya sangat baik pada keluargaku.
Dulu, sebelum mendiang tante Lisa, ibunya kak Darren meninggal, kami tinggal di kompleks yang sama dan kami adalah tetangga yang cukup dekat dan akrab. Tapi setelah ibunya kak Darren meninggal, om Gilang dan kak Darren pindah dan tinggal di Kota AB. Kira-kira sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu aku baru berusia 12 tahun dan kak Darren 17 tahun.
Aku dan kak Darren bertemu kembali sejak 4 tahun yang lalu. Saat itu aku dan teman-temanku sedang merayakan pesta kelulusanku di kafe miliknya. Waktu itu aku juga tidak pernah menyangka bahwa ternyata kafe baru itu adalah milik kak Darren.
Karena kami sudah saling mengenal sejak kecil, kak Darren menjadi sangat baik padaku. Namun sayangnya, aku malah menyalah artikan hal tersebut. Aku malah jatuh cinta pada pria yang usianya lebih tua 5 tahun dariku itu.
Setelah bertahun-tahun memendam perasaan sukaku padanya, aku akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya. Dan hasilnya, aku ditolak sebanyak dua kali. Sangat miris bukan? Huft, memalukan sekali. 🙈
Oke, kembali ke percakapan kami di meja makan.
"Jangan panggil Om lagi dong. Panggil Ayah." Ayah tiriku berkata seraya tersenyum ramah padaku.
Dari dulu om Gilang, eh maksudku ayah Gilang memang seperti itu orangnya. Orangnya memang sangat baik, ramah, dan juga penyayang. Jadi jangan sampai ada yang berpikir kalau beliau seperti itu karena dia ingin mengambil hati anak tirinya. Tidak sama sekali. Beliau memang sosok ayah yang sangat baik, sama seperti mendiang ayah kandungku.
"Iya ... Ayah," jawabku agak canggung dan ragu-ragu.
Memanggil pria lain dengan sebutan ayah membuatku kembali teringat pada mendiang ayahku yang meninggal 7 tahun yang lalu. Rasanya aneh saja memanggil laki-laki lain selain beliau dengan sebutan yang sama. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus terbiasa karena sekarang ayah Gilang memang sudah menjadi ayahku.
"Lusa, Ayah dan Ibumu akan berangkat ke kota AB. Kamu tidak keberatan 'kan, Kei?" Ayah Gilang bertanya padaku, sambil menatapku dengan ibu secara bergantian. Beliau tahu persis kalau sebelumnya aku tidak pernah tinggal terpisah dengan ibuku.
Untuk saat ini aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ini semua terjadi secara mendadak. Tapi sebagai anak yang usianya bisa dibilang sudah cukup dewasa, seharusnya aku tidak ada masalah dengan hal itu.
Aku tahu, aku tidak boleh egois. Saat ini ibuku baru saja memulai untuk menempuh kehidupan barunya bersama ayah Gilang. Aku sangat ingin ibu bahagia, dan aku yakin, ayah Gilang pasti bisa membahagiakan ibuku.
"Kei." Ibuku tiba-tiba saja menyentuh punggung tanganku, dan itu membuatku sedikit terkejut karena ternyata tadi aku sempat melamun.
"I-iya, Bu."
"Nak, Ibu minta maaf karena harus tinggal terpisah dengan kamu," ucap ibuku. Aku merasakan ibu menggengam tanganku dengan cukup erat.
Aku berusaha tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. "Nggak apa-apa, Bu. Kei 'kan sudah besar, sebentar lagi juga wisuda. Jadi Ibu nggak perlu khawatir kalau Ibu harus tinggal jauh dari Kei."
Aku berusaha meyakinkan Ibu kalau aku akan baik-baik saja tanpa beliau ke depannya.
Mata ibu nampak berkaca-kaca mendengar ucapanku. Aku tahu, pasti ada perasaan bersalah dan tidak tega di dalam hati beliau harus meninggalkan aku di rumah kami seorang diri.
"Jangan khawatir, Kei. Saat kami nanti berangkat dan tinggal di luar kota, ada Masmu yang akan menjagamu," ucap ayah Gilang sambil tersenyum.
Ucapan ayah Gilang cukup membuatku terkejut. What? Masku?
Wait wait wait. What? Masku?
Ah ... iya, aku lupa. Sekarang 'kan aku sudah punya kakak laki-laki, yaitu kak Darren. Eh salah, maksudku mm ... mas Darren. Iya, mas Darren. Mulai sekarang, aku harus memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
Tapi maaf ayah, ibu, Kei tidak perlu dijaga oleh mas Darren. Kei bisa menjaga diri Kei sendiri. Dan mulai sekarang, Kei akan belajar hidup mandiri. Lagi pula, Kei baru saja berusaha untuk menghapus semua perasaan Kei terhadap mas Darren, jadi jangan ada yang berusaha untuk menggagalkan usaha Kei. Oke.
"Iya, Sayang. Ibu juga bisa merasa tenang jika kamu dijaga oleh Masmu. Selama ini 'kan kalian berdua memang sudah sangat dekat dan akrab, memang sudah seperti saudara. Jadi Ibu bisa merasa jauh lebih tenang jika kamu Ibu tinggal," ucap Ibu yang kemudian beralih bertanya pada anak tirinya. "Iya, 'kan, Darren?"
"Iya, Ibu Lani." Mas Darren menjawabnya sambil tersenyum.
Huft .... aku hanya bisa menarik napasku dalam-dalam mendengar ucapan mereka. Tidak mungkin 'kan aku menceritakan yang sebenarnya pada ibuku dan ayah Gilang.
Memang benar apa yang dikatakan oleh ibuku bahwa kami berdua sangat dekat dan akrab. Tapi itu dulu, sebelum aku menyatakan cintaku untuk yang kedua kalinya pada kakak tiriku tersebut.
Ah, sudahlah. Aku tidak mau lagi mengingat kejadian memalukan itu. Mulai sekarang, nama Darren harus aku hempaskan secara perlahan dari hati dan pikiranku. Harus.
...****************...
Singkat cerita, beberapa hari kemudian. Aku dan mas Darren mengantar kepergian ibu dan Ayah Gilang sampai ke bandara. Setelah pesawat yang ditumpangi oleh ibu dan ayah kami terbang menuju Kota AB, aku pun memutuskan untuk pulang. Tapi kali ini aku ingin pulang menggunakan taxi yang sudah aku pesan sejak beberapa menit yang lalu. Aku tidak ingin pulang satu mobil dengan kakak tiriku itu. Bisa-bisa usahaku untuk melupakannya menjadi sia-sia begitu saja.
"Kei!"
Suara teriakan mas Darren terdengar sangat dekat di belakangku. Sepertinya dia berlari menyusul langkahku karena tadi aku pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu padanya.
Bukannya menghentikan langkahku saat aku mendengar teriakannya, aku malah semakin mempercepat langkahku. Sebisa mungkin aku harus menghindar dan menjauhi pria itu.
"Kei! Tunggu! Keisha!" Tangan besar mas Darren mencengkeram pergelangan tanganku dari belakang, membuatku menghentikan langkah.
"Kamu mau ke mana? Parkirannya bukan di sana, tapi di sana." Mas Darren menunjuk arah yang berbeda dari arah jalan keluar yang aku tuju.
"Maaf, Mas. Kei buru-buru." Aku berkata seraya melepaskan tanganku dari cengkeraman tangannya.
"Kalau kamu buru-buru, aku bisa mengantarmu. Memangnya kamu mau ke mana?" tanya mas Darren. Nada bicaranya terdengar sama seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami.
"Ke rumah teman, Mas. Kei pergi dulu. Permisi." Dengan cepat aku memutar badan dan berlari meninggalkan mas Darren. Aku tidak mempedulikan teriakannya yang berteriak memanggil namaku beberapa kali.
...****************...
Tidak terasa jam sudah menunjuk pukul 8 malam, dan aku baru saja kembali. Seharian ini aku menghabiskan waktu di rumah Laras. Dan saat ini aku pulang di antar oleh Laras dan kakak laki-lakinya.
"Kalian berdua hati-hati, ya?!" Aku berteriak melambaikan tangan ke arah mobil kakaknya Laras yang baru saja melaju kembali menuju rumah mereka.
Setelah melihat mobil yang mengantarku tadi melaju pergi, aku pun segera memutar badan sambil mengeluarkan kunci pagar rumahku dari dalam tas. Namun, aku sempat dibuat kebingungan saat melihat pintu gerbang rumahku tidak terkunci.
Apa tadi ibu lupa menguncinya, ya? Pikirku dalam hati.
Apa jangan-jangan ...? Ah, sudahlah. Mungkin ibu memang lupa mengunci gerbangnya sebelum kami berangkat ke bandara tadi pagi.
Saat aku berjalan menuju teras, aku melihat seorang pria yang tidak asing sedang duduk di kursi teras rumahku.
Ck, kenapa dia bisa ada di sini sih? Apa jangan-jangan, dia juga punya kunci rumahku? Hng, sepertinya begitu. Pasti ibu yang sudah memberikan kunci serep padanya. Tidak salah lagi.
Dengan langkah malas aku berjalan ke arah pria itu. Seharian ini aku sengaja memblokir nomor teleponnya agar dia berhenti menghubungiku terus. Ternyata ujung-ujungnya dia malah datang ke sini.
Dasar menyebalkan. Disaat aku berusaha keras untuk melupakannya, kenapa malah dia yang selalu muncul sendiri di hadapanku. Sepertinya aku harus berusaha ektra lebih keras lagi untuk menyingkirkan namanya dari dalam hatiku.
"Dari mana saja kamu, Dek? Seharian ini Mas terus menghubungi kamu tapi nomor kamu tidak pernah aktif." Mas Darren bertanya padaku.
What? Dek?!! Sekarang dia mengubah panggilannya padaku, dari 'Kei' menjadi 'Dek'. Ya, memang tidak ada salahnya, karena sekarang kami adalah saudara. Tapi ... aku merasa aneh saja. Rasanya ... aku belum terbiasa dipanggil 'Dek' olehnya.
Jika saja sekarang ibuku dan ayahnya belum menikah, aku pasti akan merasa sangat senang bak melayang-layang di udara saat dipanggil 'Dek' oleh mas Darren. Tapi entah mengapa sekarang aku malah tambah sakit hati? Entahlah.
"Dek, kok diam? Mas dari tadi siang terus berusaha menghubungi kamu loh. Tapi nomor kamu tidak kunjung aktif. Hp kamu rusak, ya? Mau Mas belikan yang baru?" Mas Darren kembali mengulangi sebagian ucapannya.
Hah? Aku sempat melongo mendengar ucapan mas Darren. Perasaan, dulu dia tidak secerewet ini. Ditambah lagi gaya bicaranya yang terdengar seperti kami berdua ini sangat akrab sebagai kakak adik benaran.
"Mas sehat?" tanyaku padanya.
Jika saja kami berdua tidak pernah ada masalah sebelumnya, mungkin aku sudah menyentuh keningnya untuk mengecek apakah dia sakit ataukah baik-baik saja.
"Tentu saja. Mas baik-baik saja. Kenapa?" ucapnya, balik bertanya. Dia malah terlihat bingung mendengar ucapanku.
Aku menggeleng. "Nggak, nggak apa-apa. Hanya saja ... Kei merasa ada yang aneh dengan Mas Darren malam ini."
"Aneh? Aneh kenapa? Apa salah jika Mas perhatian pada adik Mas sendiri?"
Mendengar pertanyaannya, aku kembali menggeleng. "Kalau begitu Kei masuk dulu, Mas. Mas Darren boleh pulang sekarang."
Aku memilih mengusirnya secara halus. Jujur saja, aku tidak sanggup jika harus mengobrol dengannya lebih lama seperti sekarang ini. Bisa-bisa usahaku untuk melupakannya gagal total.
"Loh, Dek? Kamu mengusir, Mas? Bukannya ayah dan ibu sudah bilang kalau kamu harus ikut dan tinggal bersama Mas di rumah Mas. Tadi pagi kamu juga sudah setuju, 'kan? Mas ke sini mau menjemput kamu."
Astaga orang ini. Benar-benar menguji kesabaranku ya. Dia ini polos apa pura-pura polos sih. Sepertinya kami berdua harus membicarakan sesuatu.
"Mas, sepertinya Kei harus memperjelas sesuatu. Dan Kei yakin, Mas pasti bisa mengerti alasannya kenapa Kei tidak mau tinggal satu atap dengan Mas Darren."
Mas Darren terdiam, lalu kemudian berkata, "Dek, jangan bilang kamu masih mempermasalahkan masalah yang waktu itu. Masalah itu sudah lama berlalu. Mas saja sudah melupakan semuanya."
"Mas benar. Kei memang masih mempermasalahkan masalah yang waktu itu. Dan yang perlu Mas tahu, Kei dan Mas itu berbeda. Ini masalah hati, Mas. Mas Darren mana bisa mengerti gimana perasaan Kei? Gimana rasanya jadi Kei. Sangat mudah buat Mas Darren melupakan semuanya, tapi itu sangat sulit bagi Kei, Mas. Saat ini saja Kei sedang berusaha sekeras mungkin untuk melupakan Mas Darren. Tapi kenapa, malah Mas Darren sendiri yang selalu muncul di hadapan Kei? Kenapa, Mas?! Kenapa?!!"
Aku membentak di akhir kalimatku, dan seketika itu juga air mataku menetes. Entah kenapa aku menjadi sangat mudah menangis jika mengingat semua masalah yang menggerogoti hati dan pikiranku akhir-akhir ini. Aku tidak sanggup lagi menahan agar air mataku tidak terjatuh di hadapannya.
"Kei, please. Berhenti menangis. Aku melakukan semua ini karena aku ingin memperbaiki hubungan kita kembali. Hubungan yang beberapa bulan ini sempat merenggang. Aku ingin memperbaiki hubungan kita agar kembali seperti sedia kala," jelasnya, tapi aku tidak peduli.
Entah mungkin karena aku sudah terlanjur emosi atau apa, rasanya aku sudah tidak ingin lagi memperbaiki hubunganku dengannya. Karena sepertinya, hal itu hanya akan membuat hatiku semakin sakit.
"Mas Darren please. Kei bisa minta tolong? Tolong biarkan Kei sendiri. Kei ingin menyembuhkan hati Kei yang saat ini sangat rapuh. Jika ibu atau pun ayah bertanya mengenai keadaan atau pun keberadaan Kei, Mas jawab saja dengan jawaban yang masuk akal. Mas Darren nggak perlu menambah beban Mas untuk menjaga Kei. Dan please, berhenti menjadi sosok kakak yang baik untuk Kei, karena itu membuat Kei semakin sakit hati."
...****************...
Setelah kejadian malam itu, kakak tiriku tidak pernah lagi datang menemuiku, apalagi memaksaku untuk tinggal bersamanya.
Beberapa minggu kemudian, aku mendapat kabar kalau pernikahannya akan dipercepat. 2 Minggu lagi mas Darren akan menikahi Felicya, wanita yang dia pacari semenjak 3 tahun yang lalu.
Sejujurnya aku merasa sedih mendengar kabar tersebut. Rupanya setelah hampir satu bulan tidak bertemu dengannya, hatiku ternyata belum sembuh. Rasanya masih saja sama, masih sama sakitnya seperti sebelumnya. Bahkan rasanya, sekarang ini jauh lebih sakit lagi setelah mendengar kabar mengenai pernikahannya.
Sepertinya harapanku untuk bersama Mas Darren sudah pupus dan sirnalah sudah. Tidak ada lagi harapan untuk aku bisa bersama dengan pria yang aku cintai itu. Sebentar lagi dia akan dimiliki oleh wanita lain seutuhnya. Hiks.
Saat aku mendapat kabar bahwa ibu dan ayah akan kembali dari kota AB, aku sendiri yang berinisiatif untuk menghubungi kakak tiriku itu. Aku ingin segera mengemasi barang-barangku dan segera pindah ke rumahnya. Karena kalau tidak, rahasiaku selama ini pasti akan terbongkar. Aku yakin, ibu pasti akan marah karena aku tidak menurut.
📨 Mas Darren, tolong jemput Kei 2 jam lagi. Kei ingin pindah ke rumah Mas sebelum ibu dan ayah sampai di kota ini.
Aku melihat pesanku sudah dibaca olehnya, namun tidak dia balas. Aku bingung, apa dia masih marah karena kejadian waktu itu atau mungkin ... ah, sudahlah. Aku tidak peduli dia mau marah atau tidak. Itu terserah dia. Yang jelas, kalau dia tidak datang menjemputku, aku bisa berangkat sendiri ke rumahnya menggunakan taksi.
Oh iya, aku lupa menjelaskan. Tadi, sebelum aku mengirim pesan whatsapp padanya, aku sudah membuka blokir nomor kontaknya. Jadi dia bisa membaca pesan yang aku kirimkan padanya.
Namun, baru 1 jam berlalu semenjak aku mengirim pesan tersebut, mas Darren sudah sampai di rumah lebih awal. Untung saja aku mengemas barang-barangku lebih cepat dari yang aku perkirakan sebelumnya.
"Kamu mau berangkat sekarang?" tanyanya saat tidak sengaja bertemu denganku di dekat tangga.
Aku mengangguk seraya bergumam, "Hem."
"Sini barang-barang kamu biar Mas yang bawa," ucapnya seraya mengambil alih dua koper berukuran besar yang aku bawa.
Aduh, bisa tidak gaya bicaranya itu di ubah? Dia tidak usah menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'Mas' saat berbicara denganku. Aku lebih suka dia memakai kata 'aku' ketimbang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'Mas'. Karena kalau begini 'kan kesannya kami berdua ini sangat akrab, padahal sebenarnya tidak. Jujur saja, aku merasa risih dengan gaya bicara mas Darren padaku yang seperti itu.
.
.
Saat dalam perjalanan menuju rumahnya, aku memilih untuk diam dan terus melihat ke arah luar. Aku merasa enggan untuk melirik apalagi menatap wajahnya. Bukan karena aku benci padanya, bukan. Hanya saja, aku masih berusaha keras untuk melupakan rasa cintaku padanya.
Bagaimana dengan keseharianku selanjutnya, tentunya kami akan selalu bertemu setiap harinya?
Ah, itu bisa diatur. Meski pun nantinya kami tinggal satu atap, tapi aku bisa membuat keberadaannya tidak mengusik kehidupanku. Dan sebaiknya, hal ini memang wajib kami bicarakan, seperti sebelumnya.
Begitu kami sampai di rumahnya, mas Darren ingin membawa barang-barangku ke lantai atas, tapi aku langsung mencegahnya.
"Mas, nggak usah. Kei maunya tinggal di kamar tamu yang ada di lantai bawah aja."
"Kenapa, Dek? Di atas itu ada 3 kamar. Kamar Mas, kamar ayah dan ibu, dan yang kosong itu bisa kamu tempati," ucapnya seraya menatapku.
"Nggak usah, Mas. Kei tinggal di lantai bawah aja. Kei capek kalau harus naik turun tangga terus setiap hari," jawabku beralasan. Padahal, di rumahku sendiri kamarku terletak di lantai 2.
"Baiklah, Dek terserah kamu saja. Mas juga tidak bisa memaksa," ujarnya.
Huft. Untungnya mas Darren ini tipe orang yang tidak suka memaksa. Dia menurut-menurut saja apa kataku. Sama seperti sebelumnya, aku memintanya untuk tidak datang menemuiku dan dia benar-benar tidak datang. Dia baru datang saat aku sendiri yang memintanya untuk datang menjemputku. Sejauh aku mengenalnya, dia tipe orang yang tidak suka ribet.
Setelah mas Darren menunjukkan kamarku, aku pun akhirnya menyatakan semua yang ada di dalam pikiranku, bahwa aku tinggal di rumahnya karena aku tidak mau dimarahi oleh ibu. Begitu pesta pernikahannya usai dan aku selesai wisuda, aku akan kembali ke rumahku begitu ibu dan ayah kembali ke kota AB.
"Baiklah, Dek. Mas tidak ada masalah. Tapi bisakah kamu berpura-pura kita berdua ini baik-baik saja di hadapan ayah dan ibu. Mas hanya tidak ingin mereka berdua khawatir dan menganggap Mas tidak becus menjaga kamu," pintanya.
Meski pun berat, tapi mau tidak mau aku harus menyanggupi permintaannya. Setidaknya aku harus bertahan hingga 20 hari ke depannya. Kenapa 20 hari? Karena, 4 hari setelah pesta pernikahan mas Darren dengan Felicya, aku akan wisuda. Dan selepas aku wisuda, ibu dan ayah baru akan kembali ke kota AB.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!