Pagi itu di salah satu desa di negara Swiss terlihat seorang wanita berhijab duduk menyambut sang surya sambil meminum teh hangatnya di depan teras rumah sederhananya. Hari-hari yang dijalaninya selama kurang lebih enam bulan terakhir ini hanya duduk dekat danau dan berjalan-jalan seorang diri di sekitar danau. Keindahan danau Brienz membuat hatinya sedikit tenang. Danau Brientz adalah danau di utara Pegunungan Alpen, di kanton Bern, Swiss.
Desa Iseltweld. Siapa yang tidak tahu tentang desa ini. Salah satu tempat yang wajib dikunjungi jika mengunjungi negara yang disebut Land of Milk and Honey, sebab negara tersebut punya susu dan madu yang kualitasnya nomor satu di benua Eropa.
Iseltwald adalah sebuah desa dan kotamadya di pantai selatan Danau Brienz di wilayah Bernese Oberland di Swiss . Secara politis, munisipalitas terletak di distrik administratif Interlaken-Oberhasli di kanton Bern .
Di tempat inilah dia melabuhkan tujuannya untuk mengobati dirinya. Ya mengobati dirinya baik fisik maupun mental. Kejadian demi kejadian yang menimpanya selama setahun belakang sungguh menguras energi dan emosinya.
Dewi Anggraini, itulah namanya. Sebelumnya dia adalah sosok seorang gadis periang. Dimanapun dia berada, wanita ini selalu bisa menghidupkan suasana. Sosoknya yang hangat,ceria,baik hati membuat dia disayangi oleh orang-orang terdekatnya. Sampai suatu kejadian membuatnya menjadi sosok pendiam.
Diawal-awal kejadian naas itu, Dewi hanya duduk dan berbaring menatap kosong ke depan di kamar rumah sakit. Makanan dan minuman tak tersentuh olehnya. Dia juga tidak ingin bertemu dengan keluarganya kala itu. Hanya para sahabatnya Leo,Candra, dan Tania yang secara bergantian menemani Dewi dalam ruangan. Sungguh saat itu Dewi bagaikan mayat hidup.
Sampai akhirnya dia berbicara dan ingin meninggalkan negaranya untuk sementara waktu. Keluarga menyetujui dengan harapan setelah selesai berlibur Dewi bisa kembali seperti sedia kala. Semula Dewi tidak ingin ditemani dalam masa berliburnya ini, namun orangtua angkatnya tidak mengizinkannya. Dan akhirnya dia ditemani oleh salah seorang yang bekerja dirumahnya.
Dewi sadar kalau sekarang ini bukanlah dirinya. Pendiam dan tak ingin melakukan apapun. Dia ingin untuk bangkit, melanjutkan hidupnya. Tapi entah kenapa seakan semuanya sangat sulit untuk dia lakukan. Rasa penyesalan teramat sangat yang dirasakannya membuat Dewi enggan untuk bangkit.
Dewi biasanya tak bisa diam. Dewi yang berprofesi sebagai dokter saraf ini sering mengisi acara seminar. Selain itu dia juga mengisi harinya menjadi dosen di fakultas kedokteran di kampusnya terdahulu. Jika hari libur, dia akan mengisi liburannya dengan menikmati alam, seperti mendaki gunung,ataupun off road bersama sahabat-sahabatnya.
Sekali lagi, karena kehilangan yang menjadi salah satu penyemangat hidupnya itulah yang membuat sosok Dewi berubah. Dewi ingat, ketika dia harus kehilangan kedua orangtuanya karena kecelakaan motor saat dia duduk di bangku SMA, Dewi bisa bangkit untuk menjalani hidupnya. Dewi yang anak cerdas bisa menamatkan sekolahnya dengan nilai yang cemerlang sehingga dia bisa menjadi mahasiswa undangan fakultas kedokteran di universitas nomor satu di Indonesia.
“Non sarapan sudah siap,” ajakan Bik Asih membuyarkan lamunan Dewi.
“Iya Bik,” jawab Dewi.
Dewi bersama Bik Asih kemudian masuk ke dalam rumah dan menuju meja makan. Nasi goreng dan secangkir susu hangat menjadi menu sarapannya pagi itu.
“Non Dewi kapan rencananya mau pulang, Non,” tanya Bik Asih di sela-sela sarapannya.
“Dewi belum tau Bik. Kenapa? Bik Asih mau pulang ya? Kalau Bik Asih mau pulang gak apa-apa Dewi masih mau disini dulu soalnya,” ujar Dewi.
“Bibik enggak mungkin ninggalin Non Dewi sendirian disini. Lagipula tuan dan nyonya juga nitipin Non Dewi sama Bibik.”
“Emang Dewi anak kecil Bik sampai dititipin segala,” kekeh Dewi.
“Dewi belum siap untuk pulang ke rumah Bik,” lirihnya.
Bik Asih menatap sendu ke arah Dewi. Bik Asih paham akan kondisi Dewi saat ini. Bik Asih juga tahu alasan kenapa dia belum mau untuk pulang ke tanah air meskipun beberapa waktu lalu, Rena, kakak yang sangat ia sayangi harus berpulang dan Dewi juga tak pulang untuk menghadiri pemakaman Rena yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Kakak yang teramat sangat dia sayangi.
Melalui Rena Dewi bisa kenal dengan mami Lisa dan papi Arya yang kemudian dia diangkat menjadi anak oleh pasangan suami istri ini. Mereka yang memang tidak memiliki anak sejak awal pernikahan sangat menyayangi Dewi bagaikan putri kandung mereka.
Mami Lisa dan Papi Arya adalah Oom dan Tante pengganti orangtua Reza, suami Rena. Walaupun Rena berasal dari keluarga sederhana tidak membuat mereka gengsi bermenantu Rena. Padahal mereka termasuk keluarga kaya dan paling disegani di negaranya.
————-
“Guten morgen Dewi (selamat pagi Dewi),” sapa Briggita ketika melewati rumah Dewi. Briggita adalah salah seorang warga desa yang seusia dengan Dewi.
Dewi yang saat itu sedang membaca buku langsung mengangkat kepalanya dan melihat kearah Briggita. “Ja, guten Morgen auch. Sie wachen sehr schnell auf, normalerweise nicht. (Ya, selamat pagi juga. Kamu cepat sekali bangunnya, tidak biasanya).”
“Aku mau ke rumah Julian untuk mengantarkan sarapannya. Dia baru tiba dari Zurich tadi malam,”ujar Briggita.
“Kau mau menemaniku ke rumah Julian Dewi?” ajak Briggita.
“Tidak Bri, kau pergi saja sendiri menemui Julian. Dia pasti merindukanmu,” tolak Dewi.
Briggita pun masuk dan menemui Dewi di teras rumahnya.
“Ayolah Dewi. Sejak kedatanganmu enam bulan lalu kau sangat jarang keluar rumah. Dan kau juga selalu menolak ajakanku. Aku tak tau masalah apa yang sedang kau hadapi saat ini yang menjadikanmu menjadi sosok pendiam. Aku yakin sebelumnya kau tidak jauh lebih seperti aku yang tidak bisa diam ini. Semua jelas dari wajahmu Dew. Pasti tingkah bar-bar kita tidak jauh berbeda,” ucap Briggita panjang.
Ya Dewipun tampak mengiyakan tuturan Briggita. Melihat tingkah Briggita saat ini mengingatkan akan dirinya yang dulu. “Oh God kapan diriku akan kembali menjadi sosok Dewi yang dulu?” batin Dewi meringis.
“Sudahlah kau terlalu banyak mikir. Ayo cepetan.” Briggita langsung menarik tangan Dewi untuk mengikutinya.
“Tunggu sebentar Bri aku pamit dulu sama Bi Asih.”
————
Hai hai hai salam dari otor. Ini adalah karya pertama otor. Otor mohon maaf bila ada kesalahan disana sini ya. Otor juga menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun ya. Tapi ingat gunakanlah bahasa tutur kata yg baik. Karena apa? Karena hati otor ini rapuh. Ehehhe
Enjoy ya :) :)
Dewi dan Briggita berjalan berdampingan ke rumah Julian. Julian adalah kekasih Briggita selama dua tahun. Saat ini mereka harus menjalani Long Distance Relationship karena Julian bekerja di salah satu kantor swasta yang berada di kota Zurich.
Dewi begitu menikmati pemandangan sekitarnya. Iseltweld adalah tempat impian yang sangat ia kunjungi selama ini. Disepanjang perjalanan menuju rumah Julian, mata Dewi dimanjakan tidak hanya dari pemandangan pegunungan Alpen, tetapi juga lahan pertanian milik warga. Diujung juga terlihat sebuah kastil yang menjadi ikon terkenal di Iseltwald yang wajib didatangi.
Sebenarnya Dewi ingin datang ke tempat ini dalam keadaan hati yang tenang dan damai, tapi takdir berkata lain. Dia malah berkunjung kesini dalam keadaan hati yang penuh luka. Dan dia pun berharap setelah dari sini dia akan kembali menjadi dirinya yg dulu.
Setelah berjalan kaki selama sepuluh menit tibalah mereka di rumah Julian. Di rumah itu Julian tinggal bersama nenek dan juga ibunya.
“Halo sayang guten morgen (selamat pagi),” sapa Briggita ketika melihat Julian keluar dari rumahnya.
“Guten morgen ach (selamat pagi juga) sayang.” Julian langsung mengecup bibir kekasihnya itu.
“Oh aku tidak melihat dia sebelumnya.”
“Dia ini Dewi, Lian. Yang sering aku ceritakan kepadamu itu,” ujar Briggita.
“Hai aku Julian. Briggita sering bercerita tentangmu. Katanya dia mendapatkan teman baru di sini yang berasal dari Indonesia.”
“Hai juga Julian, aku Dewi. Aku yakin Briggita pasti menceritakan aku yang tidak baik kepadamu, kan.”
“Iya aku bercerita kepadanya tentang kamu yang tidak pernah mau aku ajak jalan dan selalu terlihat bermenung ataupun membaca buku diteras rumahmu. Aku takut sewaktu-waktu kamu malah melompat ke dalam danau,” canda Briggita.
Dewipun tersenyum. “Apakah wajahku terlihat seperti orang yang sangat putus asa?”
“Memang. Di wajah kamu tergambar kalau kamu baru baru kehilangan kekasih.”
Dewi hanya tersenyum mendengar ucapan Briggita.
“Huust sudah daritadi kalian berdua ribut saja,” tegur Julian. “Baby ajaklah Dewi masuk. Ada ibuku di dalam.”
Di dalam rumah tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik sedang menata bunga-bunganya. Rumah inipun terlihat hangat dan menyenangkan ketika dimasuki.
“Hi aunty. Aku datang membawa sarapan untuk aunty, Julian dan nenek. Oh iya nenek dimana aunty?”
“Hi juga sayang. Nenek ada di kamarnya. Nenek sedang kurang sehat,” jawab aunty Maria.
“Aku akan melihat nenek dikamarnya.”
Sepeninggal Briggita, Maria melihat seorang wanita berhijab yang berdiri menatap kepergian Briggita.
“Bukankah kamu orang Indonesia yang menyewa rumah Alex itu?” tanya aunty Maria ketika melihat Dewi.
“Halo aunty. Nama saya Dewi. Benar saya yang menyewa rumah uncle Alex,” ujar Dewi.
“Sering-seringlah main kesini sama Bri. Aunty kesepian karena Julian juga pergi bekerja.”
“Iya aunty aku sudah sering mengajaknya tapi dianya tidak mau. Entah ada angin ribut apa dia mau aku ajak hari ini,” teriak Briggita dari arah meja makan. Wanita itu langsung keluar dari kamar nenek setelah melihat nenek yang sedang tidur di ranjangnya dan langsung menuju meja makan untuk menyusun makanan yang dia bawa sebagai sarapan mereka
“Sudah ayo kita sarapan dulu. Ayo Dewi kamu ikut juga,” ajak aunty Maria.
“Saya sudah sarapan tadi di rumah sebelum Bri menjemputku,” ucap Dewi.
“Ayolah Dewi makan lagi. Tidak akan membuatmu menjadi gemuk,” ajak Briggita.
Tampak keraguan diwajah Dewi dan itu terlihat oleh Julian.
“Aku punya jus jeruk kemasan dan roti dari temanku yang berasal dari Turki. Aku tau kau tak bisa makan sembarangan. Temanku juga seorang muslim sama sepertimu,” kata Julian yang datang dari arah kamarnya.
“Danke schön (terima kasih banyak) Julian.”
“Bitte (sama-sama).”
Sarapan pagi itu dipenuhi obrolan canda tawa mereka semua. Dewi sesekali ikut menanggapi obrolan mereka. Dia kini sadar dia harus secepatnya memulihkan dan menyiapkan dirinya untuk kembali ke kehidupannya di tanah air. Banyak orang-orang yang menunggu kepulangannya. Mami Lisa dan Papi Arya,sahabat-sahabatnya Candra,Tania,dan Leo, para mahasiswanya, dan tentu saja pasien-pasiennya.
Orang itu, apakah dia juga menginginkan kepulangannya? Apakah orang itu masih memikirkannya? Hmm entahlah. Dewi sudah tidak mau memikirkannya lagi.
———
Sedangkan di tempat lain, ribuan kilometer dari Iseltweld tepatnya di ibukota Jakarta saat ini sedang tengah malam. Seorang pria terlihat sedang berbaring di samping kedua anaknya. Walaupun jarum jam menunjukkan angka dua pagi,matanya masih belum bisa terlelap. Rentetan peristiwa-peristiwa setahunan ini melintasi pandangannya.
Penyesalan demi penyesalan dirasakannya terus. Hari ini tepat dua bulan kepergian wanita yang sudah memberikannya dua orang anak yang tampan dan cantik. Wanita yang sangat dia cintai. Wanita yang memberikan warna dalam hidupnya. Wanita yang dengan setia bersamanya sejak enam tahun silam.
Menyesal karena tidak pernah memperhatikan kesehatan istrinya, sehingga wanita itu harus pergi karena sakitnya. Menyesal karena kebodohannya juga dia harus kehilangan tiga orang yang dia sayangi dalam waktu yang berdekatan. Entah dosa apa yang pernah dia lakukan sehingga Tuhan memberikan dia cobaan yang teramat berat untuk dia pikul.
Mungkin jika tidak ada putra dan putrinya, dia akan memilih untuk ikut bersama istrinya. Terlalu malu baginya untuk menghadapi dunia ini lagi. Pria inipun sudah tidak mempunyai muka untuk bertemu dengan om dan tantenya yang mana mereka sebagai pengganti orangtuanya sejak ayah dan ibunya meninggal dunia.
“Rena, kenapa kamu harus pergi begitu cepat? Apakah terlalu memuakkan hidup bersamaku sehingga kamu memilih untuk meninggalkanku? Apakah kamu tidak ingin melihat putra dan putri kita tumbuh dewasa dan menjadi sukses?” batin Reza.
“Ren,apakah dia sehat? Apakah dia sudah memaafkan aku, Ren? Aku mohon Ren jaga dia dari sana, Ren. Aku sungguh ingin meminta maaf padanya, Ren. Aku berharap dia mau memaafkan aku.
Renaku sayang, kenapa kamu bisa cinta sama pria bodoh seperti aku, Ren? Pria bodoh yang tidak bisa menjaga orang-orang yang dia sayangi? Tolong tanyakan pada Tuhan, Ren apa dosaku sampai-sampai aku harus kehilangan kalian.
Rena aku merindukanmu. Datanglah dalam mimpiku malam ini, Ren. Aku ingin memelukmu walau itu hanya dalam mimpi.” Reza pun mulai terlelap dengan tetesan air mata yang membasahi kedua pipinya.
———-
Hai hai gimana ni readers sampai sini ada minat gak buat lanjut buat baca?
Fyi kenapa saya memilih Iseltweld sebagai latar cerita. Karena jujur setelah kota Makkah dan Madinah, Iseltweld adalah tempat yang pengen banget saya kunjungi. Pengeeeen banget someday dengan hasil sendiri berkunjung ke tempat ini.
Kalau Mbak Kinan kan dreamnya itu ke Cappadocia, kalau saya ke Iseltweld, nah kalau kamu mau kemana??
Cup
Kecupan di pipi dari bibir lembut itu membangunkan Reza dari tidurnya. Diiringi dari goyangan pada bahunya membuat dia harus membuka matanya.
“Pa ayo dong bangun. Kan hari ini kita mau ke rumah barunya mama,” ucap Ara putri kecilnya.
“Iya-iya ini papa udah bangun sayang. Kiss papa lagi dong biar semangat.”
Cup cup cup
“Tu Adek udah kiss banak-banak. Ayo Papa mandi dulu. Abang sama nenek dan kakek udah nunggu Papa untuk sarapan.”
“Adek turun dulu Papa mandi sebentar.”
Reza turun dari ranjangnya, dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Rencananya pagi ini dia beserta kedua anak dan mertuanya akan berziarah ke makam Rena.
Kepalanya sedikit sakit. Mungkin karena tadi malam dia baru bisa tidur menjelang subuh.
Setelah berpakaian rapi Reza pun turun dari kamarnya dan langsung bergabung dengan yang lain yang sudah menunggunya di meja makan. Di meja makan tampak ada Ara yang sibuk bercerita dengan kakeknya, Andra putra pertama yang sibuk dengan game di handphonenya, dan Ibu Mertuanya yang sedang menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga.
Reza duduk dikursi yang biasa diduduki oleh Rena. Sedangkan kursi sebelahnya yang biasa diisi oleh Dia tampak diisi oleh ayah mertuanya. Reza mulai merindukan Dia. Merindukan suara ribut dari mulut cerewetnya. Bolehkah Reza merindukan Dia setelah apa yang sudah diperbuatnya?
“Nak Reza setelah dari makam nanti Nak Reza bisa langsung ke kantor saja. Ayah, Ibu dan anak-anak dijemput sama supir saja nanti,” suara sang Ayah Mertua membangunkan Reza dari lamunannya.
“Iya Yah. Maaf Reza harus pergi ke kantor hari ini karena ada meeting penting. Tak bisa diwakilkan,” jawab Reza.
“Iya tidak apa-apa. Beraktifitaslah seperti biasa Nak. Tidak ada yang berubah. Hidup kita harus tetap berlanjut.”
Reza tak menjawabnya. Pria itu hanya diam sambil meminum kopi dan menyantap sarapan yang telah dibuat oleh Ibu Mertuanya.
“Lusa Ayah akan pulang ke Bandung sendiri. Ibu akan tetap disini menemani anak-anak kamu,” sambung ayah.
“Maaf kalau Reza harus merepotkan Ibu dan Ayah.”
“Tidak ada yang merasa direpotkan nak. Ara dan Andra cucu Ibu, anak dari Rena,” jawab ibu.
“Kakek mau pulang ke Bandung? Teyus nanti Ara main sama siapa dong? Abang mah nakal, abang enggak mau main sama Ara,” tanya Ara dengan suara imutnya.
“Kamu kalau main berisik Dek. Kalau kalah suka nangis jadi malas abang main sama kamu,” jawab Andra dengan pandangan terus pada game yang ada di handphonenya.
“Kaan abang jahaaat. Huaaaaaaaa,” Ara pun mulai menangis.
“Ssst sudah-sudah adek enggak usah nangis. Ntar Adem main sama nenek aja ya,” bujuk Ibu
“Abang simpan handphonenya. Sedang makan enggak boleh sambil main handphone,” tegur Reza.
Setelah selesai sarapan mereka semua berangkat dengan mobil yang dikendarai sendiri oleh Reza. Suara celotehan Ara menghiasi perjalanan mereka. Setelah satu jam perjalanan tibalah mereka ke tempat pemakaman yang mewah itu. Makam Rena sendiri berada tepat di samping makam maminya Reza.
“Assalammualaykum mama. Adek datang sama Abang, Papa, Kakek dan Nenek juga lho, Ma.”
“Kita baca doa dulu ya sayang. Ara hafal kan surah Al-fatihah?” tanya Ibu pada cucu perempuannya.
“Ara tau nek. Kan sering diajarkan sama Mama dan Bunda juga”.
Selesai berdoa Ibu mengusap mencium batu nisan milik Ara.
“Rena yang tenang disana ya, Nak. Jangan memikirkan suami dan anak-anakmu. Andra dan Ara akan Ibu jaga mereka. Ibu juga berharap mereka bisa berkumpul kembali dengan Bunda mereka, Nak,” batin Ibu Ratna sambil meneteskan air mata.
“Ma doakan Abang bisa bawa Bunda kumpul kembali sama Abang ya, Ma. Bolehkan Ma?” tanya Andra dalam hati sambil menabur bunga dipusara mamanya.
“Renaku, mulai hari ini aku akan kembali bekerja. Anak-anak akan dijaga oleh Ibu. Kamu bantu jaga dari sana, ya,” ucap Reza dalam hati.
Setelah selesai berziarah, Reza kembali ke perusahaan yang sudah ia tinggalkan sejak istrinya meninggal. Kantor sudah membutuhkannya kembali sehingga dia memutuskan untuk kembali bekerja. Selain itu ia juga tidak ingin sedih yang berlarut. Reza masih mempunyai Andra dan Ara yang harus ia bahagiakan. Sementara Andra, Ara, Ibu Ratna dan Pak Soni dijemput oleh supirnya Reza.
————-
Malam harinya Reza sampai rumah pukul sebelas malam. Hari pertamanya mulai masuk kantor benar-benar menguras waktu dan tenaganya.
Pria itu naik keatas menuju kamarnya. Namun baru beberapa langkah anak tangga,dia dikejutkan oleh panggilan Ibu Ratna dari arah meja makan.
“Baru pulang Za?”
“Iya Bu, ada banyak laporan yang harus Reza cek,” jawab Reza sambil melangkah menuju meja makan tempat Ibu Ratna berada.
“Anak-anak sudah tidur, Bu?”
“Hmm mereka sudah tidur sejak pukul sembilan tadi.”
“Ibu kenapa belum tidur?”
“Ibu haus, minum dikamar sudah habis jadi ibu pergi ke dapur.”
Reza hanya mengangguk.
“Za apa kamu sudah tau dimana Dewi?”
Reza menundukan kepalanya dan menghembuskan nafasnya panjang. “Reza belum tau, Bu,” lirih Reza.
“Ibu ingin ketemu sama Dewi. Ibu salah sama Dewi, Za. Ibu tidak bisa menjaga anak dari sahabat Ibu itu”, ucap Ibu lirih. Terdengar penuh penyesalan dari mulutnya.
Reza tidak menjawab. Rezapun merasakan hal yang sama. Penyesalan selalu datang belakang.
“Yasudah Za kamu masuk kamar langsung istirahat ya. Ibu juga mau tidur lagi,” ucap Ibu dan langsung menuju kamarnya yang berada di lantai bawah.
Sepeninggal Ibu Ratna ke kamar, Reza masih duduk diam ditempatnya. Harus kemana Reza mencari Dewi. Reza sudah menyuruh orangnya untuk mencari Dewi ke rumah peninggalan orangtuanya di kota P tapi mereka tak menemukannya. Bahkan menurut tetangga Dewi sudah lama tidak pulang kesana.
Ingin bertanya kepada Om Arya dan Tante Lisa, Reza seakan tak punya muka kagi untuk bertemu mereka. Reza tahu ia pasti akan mendapatkan amukan lagi dari keduanya seperti waktu itu karena Reza telah menyakiti Dewi yang mereka sudah anggap seperti anak kandung.
Reza mendesah panjang dan kemudian naik ke atas menuju kamarnya. Sebelum masuk ke kamarnya untuk bebersih diri, Reza menyempatkan diri untuk melihat kedua anaknya. Dikecupnya kening kedua anaknya.
“Maafkan Papa, Nak.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!