Seorang gadis berperawakan tinggi baru saja menginjakkan kakinya ditanah air setelah menempuh perjalanan berjam-jam. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan nya untuk meraih gelar S1 nya.
Senyumnya tak pernah surut membayangkan akan seperti apa terkejutnya orang tua dan kakaknya. Apalagi dengan lelaki yang sudah mengisi hari-harinya selama belasan tahun. Ia sudah tidak sabar memberikan kejutan pada semua orang terkasihnya.
"Maaf kak.."
Gadis itu menunduk saat seorang anak lelaki menabrak dirinya. Rupanya anak lelaki itu sedang dikejar oleh temannya.
"Gapapa..hati-hati nanti kamu jatuh". Ucapnya lembut dijawab anggukan kepala oleh anak lelaki itu.
Sepeninggal anak lelaki itu, gadis cantik bernama Diandra itu teringat pertemuan pertama nya dengan seorang lelaki yang kini menjadi pemilik hatinya.
flashback on
Malam itu Diandra bersama kedua orang tuanya dan kakak perempuannya sedang berada disebuah pasar malam. Diandra gadis kecil yang ramah dan ceria. Ia selalu dengan mudah memiliki teman baru.
" Papa..Di mau kesana. Bolehkah??". Gadis kecil berusia lima tahun itu menunjuk sebuah stan peramal yang masih terlihat oleh sang papa.
"Kamu berani??". Tanya Sang ayah mengangkat tubuh mungil putrinya.
" Hmm..tentu. Di anak yang pembelani sepelti papa.."
"Kamu memang anak hebat. Berhati-hatilah.." Sang ayah kembali menurunkan Diandra setelah menciumi wajahnya.
Diandra kecil berlari menghampiri seorang wanita yang berpenampilan seperti seorang penyihir.
"Hai anak manis..mau diramal??". Tanya Si wanita ramah membuat Diandra kecil mengangguk semangat
Bersamaan dengan itu, seorang anak lelaki yang mungkin seusia dengan kakaknya juga datang ke stan itu.
" Baiklah..kalian akan aku ramal. Tunjuk kartu mana yang kalian mau.."
Tangan mungil kedua bocah itu menyentuh satu kartu yang sama. Keduanya saling berpandangan, dan seperti biasa. Diandra akan tersenyum sangat manis. Karena memang pembawaan gadis mungil itu selalu ramah dan ceria terhadap siapapun.
"Biar aku baca". Si anak lelaki mengambil kartunya. Sementara wanita penjaga stand itu hanya mengangguk dan tersenyum lucu melihat kepolosan dua bocah didepannya ini.
" Kalian akan bersama selamanya". Anak lelaki itu kemudian menoleh, menatap mata jernih gadis kecil disampingnya.
"Apakah itu altinya kita akan selalu belsama??" Mata jernih itu menatap dengan binar kebahagiaan.
"Hm..Sepertinya begitu". Senyum dari Diandra kecil menular pada anak lelaki itu. Pun dengan si wanita penyihir yang terlihat sangat gemas menyaksikan dan mendengarkan obrolan bocah-bocah kecil itu.
" Apakah benal kami akan selalu belsama tante??". Tanya Diandra menatap si wanita penyihir yang tersenyum cerah.
"Tentu..kartu ramalanku tidak pernah meleset". Ia menjembel pipi chubby Diandra karena sudah tidak tahan dengan kelucuannya.
" Waaah..lalu siapa nama kakak?? Namaku Diandla.." Diandra yang masih belum fasih menyebutkan namanya langsung menyodorkan tangannya pada anak lelaki itu.
"Abi..namaku Abi..Abimana Argantara".
" Abi..nama kakak Abi? Sanat bagus.." Diandra bertepuk tangan kegirangan.
Entahlah, Abi senang melihat senyum manis gadis kecil itu. Wajahnya semakin menggemaskan saat tersenyum, matanya terlihat menyipit karena senyuman lebarnya
"Kak Abi..kita akan belsama selama-lamanya". Ucap Diandra polos.
" Sudah sayang??".
"Papa..." Diandra berlari menyongsong lelaki matang yang sepertinya adalah ayahnya.
"Papa..Di dilamal tadi.." Diandra langsung berceloteh ketika berada dalam gendongan sang ayah.
"Oh ya..apa isi ramalannya??"
"Di..akan belsama kak Abi, selamana.." Diandra melebarkan tangannya dengan senyum yang tak pernah luntur.
"Oh ya..siapa kak Abi??". Tanya sang ayah tidak ingin mengecewakan putrinya.
" Itu.." Diandra menunjuk seorang anak lelaki yang masih berdiri didepan stand si peramal.
"Baiklah..jadi dia calon menantu papa".
" Menantu apa??". Diandra balik bertanya hingga membuat Herman, sang ayah tertawa gemas dan menciumi pipi anaknya.
"Papa..geli.." Diandra tertawa karena kegelian seluruh wajahnya dicium oleh sang ayah.
"Kita pulang ya..mama dan kakak sudah menunggu". Diandra mengangguk dan mengalungkan kedua tangannya dileher kokoh cinta pertamanya didunia ini.
" Daaaaa kak Abi.." Diandra melambaikan tangannya pada Abi yang membalas lambaian tangan nya.
Abi bergegas meninggalkan stand itu dan menghampiri ayah serta ibunya yang duduk tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini.
Sudah beberapa bulan setelah pertemuan tidak sengaja itu. Seperti anak pada umumnya, Diandra sudah melupakan kejadian malam itu.
Gadis itu kembali menjalani hari-harinya dengan belajar menulis dan membaca seperti anak seusianya.
Ia memiliki seorang kakak bernama Deanita, umur keduanya terpaut 5tahun. Jadi Diandra selalu manja kepada kedua orang tuanya dan juga sang kakak.
"Kakak..Di mewalnai. Cantik sekali.." Diandra menghampiri Deanita dan menunjukkan hasil kerja kerasnya mewarnai seorang putri
"Waaah..cantik sekali seperti adikku ini". Deanita memangku tubuh mungil adiknya dan menciuminya dengan penuh kasih sayang. Ya, Deanita sangat menyayangi Diandra. Seluruh kasih sayang dan perhatian ia curahkan pada sang adik meski umurnya baru saja menginjak 10tahun.
" Di sayaaaang kakak banak-banak.." Diandra membentuk lingkaran besar kemudian memeluk sang kakak dengan erat.
"Kakak juga sayang Di banyaaaaaak banget.." Deanita kembali menciumi wajah adiknya yang terkekeh kegelian.
Mama Dita yang melihat kedua putrinya begitu akur sangat bersyukur. Ia bahagia memiliki dua putri yang saling menyayangi satu sama lain.
"Dea...ajak Di makan sayang. Mama sudah masak makanan kesukaan kalian". Mama Dita sedikit berteriak dari ruang makan.
" Iya ma.." Sahut Deanita
" Ayam bakal.." Pekik Diandra kegirangan ketika mendengar sang ibu memasak makanan kesukaan nya.
"Let's go..." Deanita menggendong tubuh gempal adiknya ke ruang makan. Meski tubuhnya tidak terlalu besar, namun sebisa mungkin Deanita selalu menggendong adiknya, Diandra.
"Mamaaaa..kakak gendong Di". Diandra berteriak agar sang ibu melihat kakak nya menggendong dirinya.
" Waaaah..kakak hebat sekali ya". Mama Dita menghampiri Deanita yang terlihat kepayahan menggendong adiknya, sang mama mengambil alih tubuh gembul putri bungsunya.
Ketiga wanita berbeda usia itu akhirnya makan dengan diselingi canda tawa. Namun lebih banyak Diandra yang berceloteh menceritakan kegiatannya disekolah tadi.
Entah hanya kebetulan atau memang takdir yang kembali mempertemukan Diandra dengan anak lelaki bernama Abi itu.
Setelah hampir 6bulan, tanpa diduga kedua orang tua Abi pindah dan menempati rumah yang berhadapan dengan rumah milik papa Herman, ayah Diandra.
"Kakak lamalan..." Teriak Diandra dari halaman rumahnya ketika melihat sosok Abi berada dihalaman rumah yang ada diseberangnya. Ia mengingat wajah itu, namun ia lupa siapa namanya.
"Diandra?". Tidak seperti Diandra yang melupakan namanya, rupanya Abi masih sangat mengingat wajah cantik gadis kecil yang ia temui dipasar malam beberapa bulan lalu itu.
" Kakak lamalan disini?". Tanya Diandra yang sudah menyeberang dan kini berdiri didepan Abi.
"Ini lumah kakak Kilana. Kenapa kakak lamalan disini?". Kirana adalah nama anak pemilik rumah itu sebelum dibeli oleh kedua orang tua Abi.
" Ini sekarang rumahku. Dan namaku Abi..bukan ramalan gadis kecil". Abi mencubit gemas hidung mancung Diandra.
Sejak saat itu, Diandra sering bermain ke rumah Abi. Bahkan kedua orang tua Abi sudah sangat hafal dengan gadis kecil berparas ayu itu.
"Tante Ana..." Teriak Diandra mencari ibu dari Abi.
"Diandra sayang.." Seorang wanita cantik berjalan mendekatinya dan langsung mengangkat tubuh mungilnya.
"Kak Abi belum pulang..Di main sama tante ya". Ana merasa senang, kehadiran Diandra selalu berhasil mengusir rasa sepinya ketika sang suami sedang ke kantor dan putra semata wayangnya belum pulang dari sekolah.
" Sudah pamit sama mama??". Tanya Ana yang tahu kebiasaan Diandra yang pergi tanpa berpamitan pada ibunya. Hingga beberapa kali ibu dan kakaknya dibuat kelimpungan mencari gadis mungil itu.
Kepala Diandra mengangguk lucu hingga membuat Ana tidak tahan untuk tidak menciumi seluruh wajah gadis itu.
"Tante..geli". Diandra tertawa karena kegelian.
Ana selalu berkata pada sang suami jika Diandra adalah calon menantunya. Entah lah, melihat keceriaan gadis kecil itu selalu membuatnya semakin sayang padanya tiap harinya.
flashback off
Diandra tersenyum ketika sekelebat bayangan masa kecilnya melintas dipikirannya. Ia semakin tidak sabar untuk sampai ke rumah dan melihat betapa terkejutnya keluarga yang ia cintai itu ketika melihatnya pulang lebih awal.
Diandra bergegas mengambil bagasinya dan mengantri taksi bandara. Wajahnya selalu dihiasi senyum, bayangan wajah tampan lelaki yang sudah mengisi hatinya belasan tahun itu membuat senyumnya semakin merekah dan menambah nilai kecantikannya.
" Mas Abi..aku udah balik.."
Diandra turun dari taksi, membayar ongkosnya setelah sang supir membantunya menurunkan koper miliknya dari bagasi. Ia bahkan memberi komisi lebih pada si supir sebagai bentuk kebahagiaannya bisa kembali ke tengah-tengah keluarganya.
Kaki jenjangnya melangkah dengan ringan menuju ruangan pertama rumah megah itu. Senyum dibibirnya pun tak pernah luntur.
Perlahan tangan nya membuka pintu utama rumah sang ayah, sangat perlahan..Diandra benar-benar berniat memberikan kejutan pada kedua orang tua dan kakaknya. Hari ini adalah hari minggu, jadi pasti kedua orang tua dan kakaknya ada dirumah.
Namun kenyataan tak selalu sesuai harapan. Apa yang disaksikannya saat ini membuat otaknya bekerja keras untuk mencernanya. Pun dengan tubuhnya yang seolah kehilangan tenaga hanya untuk menopang berat tubuhnya.
Bahkan tas tangan yang sejak tadi ia genggam erat sudah terjatuh hingga menimbulkan bunyi yang berhasil mengusik orang-orang yang sedang mengobrol dengan raut bahagia itu.
Diandra hampir kehilangan kesadarannya melihat semua yang ada didepannya, pandangannya mengabur karena desakan air mata yang memberontak ingin keluar. Namun sebisa mungkin ia menahannya. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa seperti ini.
Sama seperti Diandra, kedua orang tua dan kakaknya pun sama terkejutnya melihat sosoknya berada disana. Pun dengan lelaki yang langsung beringsut menjauh dari wanita berperut buncit yang tadi ia rangkul begitu mesranya.
"Diandra.." Hampir semua orang menggumamkan namanya.
"Sayang..kamu sudah pulang nak???". Dita yang sudah mampu menguasai rasa terkejutnya segera menghampiri anaknya dan hendak memeluknya. Namun langkahnya terhenti saat Diandra mundur beberapa langkah. Menatap sang ibu dengan wajah penuh pertanyaan.
" Bukankah kamu pulang besok nak??". Herman sang ayah ikut membantu istrinya. Namun sama, Diandra hanya menatap keduanya dalam diam.
"Kita bicarakan sambil makan nak. Kamu pasti lelah". Dita langsung menatap suaminya pertanda tak setuju. Sementara Herman meraih pergelangan tangan anaknya dan membawanya ke meja makan.
" Makan yang banyak ya sayang..mama sudah masak makanan kesukaanmu". Dita terus mengisi piring Diandra dengan nasi dan lauk pauk. Namun tak seujung sendokpun Diandra menyentuhnya.
Matanya tetap terfokus pada dua orang yang sejak tadi hanya diam duduk berdampingan dengan wajah terus menunduk itu.
"Bukankah papa bilang akan membicarakannya?". Tidak ada suara ramah Diandra seperti yang mereka dengar selama ini. Pun dengan wajahnya yang hanya menunjukkan ekspresi dingin tanpa sedikitpun senyum menghiasinya.
Herman terlihat menghela nafas berat, sudah satu tahun berlalu. Mungkin memang sudah waktunya putri bungsunya tahu kenyataan yang mereka tutupi selama satu tahun ini.
" Dia harus tahu ma..kita hanya akan semakin berdosa jika terus menutupinya". Herman mengatakannya dengan mata terfokus pada Diandra yang menunggu penjelasan tentang semua ini. Sementara Dita sudah menangis, perasaan bersalah pada putri bungsunya membuat nafasnya tercekat. Akan seperti apa kebencian dan kekecewaan putrinya itu padanya. Sungguh Dita tidak siap.
Diandra bukan lagi gadis berusia belasan tahun. Ia sudah cukup dewasa untuk mengetahui situasi apa yang ada didepannya kini. Namun dirinya masih berharap jika apa yang dipikirkannya bukanlah seperti apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu belum makan sesuap pun sayang..makan dulu ya". Dita yang sudah berderai air mata mencoba membujuk Diandra nya. Namun hanya tatapan dingin yang menjawab semua perlakuan hangatnya itu. Hatinya semakin sakit ketika melihat putri bungsunya yang biasa ceria itu berubah menjadi pribadi yang tak lagi mereka kenal.
" Aku tidak sedang ingin makan. Bukankah kalian akan menjelaskan sesuatu? ".
" Dea hamil.." Kata-kata yang meluncur dari mulut Herman hanya ditanggapi senyuman sinis oleh Diandra.
"Aku melihatnya". Sahutnya sinis.
Sementara kakaknya, Deanita. Wanita itu bahkan tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap adik tersayangnya. Perasaan bersalahnya jauh lebih besar ia rasakan. Harusnya ia tahu jika saat-saat seperti ini pasti akan terjadi, namun dirinya belum siap, bahkan mungkin tidak akan siap menghadapi kebencian adik tersayangnya itu.
" Kamu hamil? Hamil anak lelaki ini?". Deanita bungkam, hatinya serasa tertusuk ribuan jarum ketika tak ada lagi sapaan hangat adiknya.
Sementara Diandra, gadis itu menatap tak percaya pada lelaki yang ia percayakan seluruh hati dan harapannya selama ini. Benarkah ini?? Benarkah lelaki yang selalu membuatnya tersenyum itu sama seperti laki-laki ba jingan yang ada dihadapannya saat ini??
"Sayang..mama bisa jelaskan". Dita memegang lengan Diandra. Namun dengan perlahan Diandra menyingkirkan tangan lembut yang sudah merawat dirinya sejak bayi itu.
" Tidak perlu menjelaskan. Bukankah yang aku lihat sudah lebih dari jelas". Tak ada getaran sedikitpun dari suara Diandra, namun percayalah jika hatinya sudah hancur. Sangat hancur.
"Aku pergi. Permisi". Diandra bangkit setelah berpamitan. Ia berjalan menuju koper yang teronggok didepan pintu utama rumah ayahnya itu.
" Sayang..dengarkan mama". Dita menangis meraung memegang lengan putrinya. Sungguh ia tidak akan sanggup jika putrinya pergi dengan membawa kebencian dan kekecewaan seperti ini.
"Dek..dengarkan kakak. Kakak mohon.." Deanita juga menangis menatap penuh permohonan pada adiknya.
"Maafkan kami sayang..maafkan mama". Dita memeluk Diandra yang kaku dan tak membalas pelukannya sama sekali. Tatapan matanya penuh luka dan kebencian.
" Kenapa??". Deanita mengangkat wajahnya. Melihat mata adiknya sudah berembun didalam pelukan ibunya.
Ah..dia merasa jadi manusia paling jahat sekarang. Ia lah yang menyebabkan gadis ceria itu menjadi seperti sekarang. Jika bisa, ia ingin mengubah waktu dan memperbaiki kesalahannya.
"Maaf nak..kami punya penjelasan tentang semua ini". Herman tak sanggup melihat kehancuran salah satu putrinya.
" Kenapa?? Apa sekarang aku juga harus mengalah memberikan separuh hidupku untuk kakak?". Pertanyaan Diandra membuat kedua orang tuanya terhenyak.
Sementara Deanita menggeleng kuat saat bibir adiknya menyunggingkan senyuman yang begitu sinis menatap benci padanya.
"Aku nggak sekuat itu ma. Sejak kecil aku selalu mengalah dan memberikan mainanku pada Dea". Tangis Dea semakin pecah saat mulut adiknya menyebut namanya tanpa embel-embel kakak. Sedangkan Abi hanya bisa menunduk melihat kegaduhan yang dirinya juga termasuk penyebabnya.
#####
Selow-selow dulu aja ya bab awalnya..
Jumlah katanya nggak sebanyak cerita sebelumnya..
Semoga masih setia menunggu kelanjutannya. Jangan lupa dukungannya..
"Apa karena aku lebih sehat??". Dita menggeleng, ia semakin memeluk erat anak bungsunya itu.
" Sejak kecil kalian selalu lebih menyayangi Dea. Apa sekarang aku juga harus mengalah?? Memberikan Abi padanya?? Katakan!". Suara Diandra sudah serak menahan tangisan.
"Ah..aku lupa. Laki-laki itu bahkan sudah menjadi milik Dea. Jadi untuk apa kalian harus repot-repot memintaku memberikannya". Bagai teriris sembilu, hati kedua orang tau Diandra seolah disayat ribuan pisau mendengar betapa kecewanya anaknya itu.
"Enggak sayang..mama nggak pernah berpikir seperti itu". Dita semakin meraung, tak pernah ia bayangkan jika Diandra nya akan berpikir seperti itu. Kasih sayangnya terhadap kedua putrinya sama besarnya. Memang tak ia pungkiri jika Diandra lebih banyak mengalah karena sang kakak memiliki penyakit bawaan sejak lahir. Namun sungguh, Dita tak pernah membedakan kasih sayangnya. Ia tidak menyangka jika apa yang ia lakukan dan sang suami akan membuat Diandra merasa tersisih.
" Sudah berapa lama kalian menipuku?? Setahun? Dua tahun?? Atau sudah bertahun-tahun lalu?". Semua orang bungkam atas pertanyaan Diandra.
Diandra kembali mengusap kasar air mata yang akhirnya luruh juga itu. Ia kembali menatap kakaknya dan lelaki yang statusnya kini bahkan masih kekasihnya. Karena memang Abi tidak pernah memutuskan hubungan diantara keduanya. Tatapan penuh luka dan penuh kebencian ia berikan pada dua orang yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam padanya. Ia tidak akan pernah melupakan ini semua.
"Bahkan menantu pengecutmu itu tidak pernah memutuskan hubungan nya denganku". Sinis Naya membuat Abi menatapnya sekilas lalu kembali menunduk.
Perlahan ia melepaskan pelukan sang ibu. Berjalan mundur satu langkah dan menatap semua orang yang berdiri dihadapannya kini. Orang-orang yang begitu ia sayangi dan begitu ia percayai. Namun juga orang yang sudah membunuhnya, membunuh hatinya hingga ia tidak dapat lagi merasakan semua perasaan lain selain kekecewaan dan kemarahan.
"Selamat. Selamat atas keberhasilan kalian menghancurkan aku. Semoga hidup kalian bahagia". Diandra berbalik, meraih kopernya dan berjalan keluar.
" Diandra..sayang jangan pergi nak". Dita terus menangis meraung hingga beberapa saat kemudian sudah tak terdengar lagi suaranya.
" Mamaaaa!!!". Teriakan sang kakak tak sedikitpun membuatnya berniat untuk berbalik lagi.
"Ya Allah..ibu". Suara itu, suara itulah yang akhirnya membuat Diandra mengurungkan niatnya. Ia berbalik, menatap datar tubuh tergolek Dita yang kini ada didalam gendongan Herman.
Diandra hanya menatap datar drama yang ada didepannya, setelah apa yang mereka lakukan, Diandra tidak dapat lagi membedakan mana yang jujur dan pura-pura.
Ia melihat Dea menangis karena Herman melarangnya ikut ke rumah sakit. Tatapan muak ia layangkan saat melihat Abi memeluk dan menenangkan sang kakak.
" Kamu dirumah saja..kondisimu sedang tidak baik". Ucap Herman yang sudah siap didalam mobil.
"Dengarkan papa Dea..nanti kita akan menyusul". Abi menasehatinya dengan sangat sabar.
Sementara wanita tua yang membuat Diandra bertahan tengah berjalan menghampiri nya.
" Non Di.." Mbok Tun, wanita tua yang sudah merawatnya sejak kecil itu terlihat masih sama menurut Diandra.
"Mbok Tun, sehat?". Tanya Diandra dengan senyum yang dipaksakan. Bagaimana ia bisa tersenyum tulus jika hatinya sedang terkoyak dan terluka dalam.
" Baik non..Non Di??". Mbok Tun balik bertanya, Diandra dapat melihat dengan jelas jika dimata eanita itu juga menyimpan penyesalan yang dalam.
"Sehat..aku pamit mbok. Jaga kesehatan". Rupanya rasa kecewanya sudah terlalu dalam, hingga tak sedikutpun Diandra mengkhawatirkan kondisi sang ibu. Atau lebih tepatnya ia berusaha tak peduli. Ia tidak mau lagi terluka saat dirinya memperdulikan orang-orang itu.
" Non.." Mbok Tun tidak dapat menahan anak majikannya melangkah pergi.
"Dek..kakak mohon jangan pergi. Kasian mama.." Deanita memegang lengan Diandra.
"Dia mama mu, bukan mama ku". Balas Diandra sengit hingga membuat hati Deanita mencelos.
Tak ada lagi tatapan kekaguman dimata adiknya, tatapan yang biasanya penuh kekaguman dan kasih sayang itu tak lagi bisa ia lihat. Yang ada dimata adiknya kini hanya tatapan kecewa dan penuh kebencian. Deanita hancur melihatnya, namun ia sadar jika rasa sakitnya tak sebanding dengan apa yang dirasakan adiknya atas kesalahan yang telah ia lakukan.
" Enggak dek..mama sayang sama kamu". Deanita menggeleng kuat membuat Diandra kembali menyunggingkan senyum sinis.
"Oh ya? Apa dengan memberikan lelaki yang dicintai anaknya kepada anaknya yang lain? Itu maksudmu?". Sengit Diandra membuat Deanita semakin menangis histeris.
" Singkirkan tanganmu dariku". Diandra menepis kasar tangan kakaknya dan menatapnya tajam.
"Kamu nggak perlu sampai seperti ini Di!!". Bentak Abi yang melihat Diandra menepis kasar tangan wanita yang tengah mengandung anaknya itu.
Diandra kembali tersenyum, senyum penuh kepahitan. Bahkan kini lelaki yang selalu bersikap lembut padanya itu membentaknya hanya untuk melindungi Dea? Sungguh lengkap bukan penderitaannya.
" Kau ingin aku bersikap bagaimana tuan Abimana??". Tanya Diandra dengan menegaskan nama Abi.
"Kau ingin aku memeluknya dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya mengahancurkan hidup dan mimpiku?". Abi terdiam, ia menyesali sikapnya yang berteriak dan membentak Diandra, gadis yang selalu mengisi harinya selama belasan tahun, bahkan mungkin hingga kini.
" Ini bukan kamu Di.." Lirih Abi yang masih merangkul pundak Deanita.
Diandra maju selangkah hingga jarak antara dirinya dan sang kakak serta kakak iparnya hanya berjarak satu langkah saja.
"Diandra sudah mati!! Dan kalian lah pembunuhnya!!". Tegas Diandra membuat Deanita menangis histeris.
" Maafkan kakak dek..maaf". Deanita bahkan bersimpuh dikaki adiknya yang tak sedikitpun tersentuh dengan apa yang dilakukan kakaknya itu.
"Bangun Dea..kamu nggak perlu seperti ini". Deanita tetap bersikukuh bersimpuh dikaki Diandra meski Abi berusaha membuatnya bangkit.
" Dengarkan apa yang dikatakan suamimu ini, kak. Hiduplah dengan bahagia selagi kalian masih bisa, aku doakan semoga tuhan tidak mengutuk kalian".
"Di...jangan pergi kakak mohon". Deanita memohon.
" Setidaknya tunggu sampai mama sadar. Mama akan sedih saat sadar dan tidak menemukan kamu". Diandra menghentikan langkahnya tanpa berbalik.
"Dia bukan lagi mamaku sejak dia bersekongkol dengan kalian menutupi kebenaran ini". Diandra kembali melangkah kan kakinya.
" Aku akan bicara dengannya". Abi membantu Deanita duduk kemudian mengejar Diandra.
"Di..!!" Abi mencekal tangan Diandra yang langsung dihempaskan secara kasar oleh Diandra.
"Kenapa kamu seperti ini Di. Ini bukan Diandra yang aku kenal.." Tatapan mata itu masih sama, selalu bisa melemahkan Diandra. Namun tidak kali ini.
"Lalu?? Kamu ingin aku Seperti apa??". Tanya Diandra sarkas.
Hati Abi mencelos mendapati tatapan tajam gadis ceria itu. Ia sudah benar-benar tidak mengenal Diandra nya lagi. Ah, bahkan sepertinya ia sudah tidak pantas menyebut Diandra sebagai miliknya lagi.
Ini salahnya, ia terlalu pengecut untuk mengakhiri hubungannya dengan Diandra dan berkata jujur jika dirinya sudah menukahi kakak dari gadis itu. Seandainya ia jujur, mungkin keadaannya tidak akan serumit ini.
" Aku mohon tinggallah..mama akan sedih nantinya". Pinta Abi. Diandra hanya menatap datar wajah lelaki yang tengah memohon padanya itu. Lukanya sudah menutup semua rasa cintanya selama ini.
"Kakak janji tidak akan menampakkan diri didepanmu dek. Tapi kakak mohon tinggallah sebentar. Hanya sampai mama sadar". Rupanya Deanita langsung menyusul keluar. Ia takut Abi tidak bisa membujuk Diandra.
" Aku harap kalian benar-benar tidak akan muncul didepanku!!". Diandra menarik kopernya masuk kembali kedalam rumah, membawanya ke kamar miliknya yang sudah satu tahun lebih ia tinggal. Semuanya masih nampak sama, hanya sekarang situasinya yang tak akan pernah sama lagi.
Bukan untuk sang ibu dirinya bertahan disana. Namun tubuhnya terlalu lelah setelah perjalanan panjangnya. Dirinya juga harus memikirkan matang-matang langkah apa yang akan ia ambil setelah ini.
"Non..mbok boleh masuk?". Diandra menatap pintu, dimana suara mbok Tun berada dibalik pintu itu.
" Masuk mbok..nggak dikunci".
Wajah tua itu tersenyum sedih menatap Diandra yang duduk diatas ranjangnya. Ia berjalan dengan membawa nampan yang berisi mi goreng kesukaan Diandra.
"Makan dulu ya non.." Bujuk mbok Tun.
"Aku nggak laper mbok.." Lirih Diandra. Ketegasan dan ketegarannya ketika ada dihadapan orang-orang yang menghianatinya hilang sudah, kini hanya nampak Diandra terluka yang rapuh.
"Mbok yakin non bisa..non orang baik". Mbok Tun memeluk Diandra penuh kasih sayang, hingga akhirnya Diandra menangis sesenggukan didalam pelukan pengasuhnya.
" Mereka jahat mbok..kenapa mereka tega?". Mbok Tun mengelus punggung anakmajikannya itu.
"Allah sedang menguji non untuk menaikkan derajat non, mbok yakin non akan bahagia suatu saat nanti. Dimanapun nanti non tinggal, non pasti bahagia". Diandra menumpahkan segala pahit hidupnya didalam dekapan mbok Tun.
" Sekarang makan ya..mbok sudah buatkan mie kesukaan non". Mbok Tun perlahan melepaskan pelukannya.
"Tapi suapin ya mbok.." Pinta Diandra membuat mbok Tun tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Makan yang banyak ya non..mbok ndak mau non Di sakit". Dengan telaten, wanita tua itu menyuapi gadis yang sudah ia rawat sejak kecil. Dalam hati ia mendoakan dengan tulus kebahagiaan gadis ceria itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!