"Kak Ashton!!!" Terdengar suara lelaki belia yang memanggil sambil berlari ke arah si pemilik nama.
"Sudah kakak bilang kan kau tidak boleh berlarian begini di istana, bahaya jika kau terjatuh" ucap sang kakak sambil menghampiri adiknya.
"Sedang apa kakak disini? Apa yang sedang kakak perhatikan?" Tanya sang adik penasaran.
Kini mereka berdua sedang berdiri di balkon lantai 3 istana, menghadap mentari terbenam dengan pemandangan rumah rumah warga yang tampak dari tembok istana.
"Memperhatikan negara kita" jawab Ashton
"Eyy bukankah itu membosankan? Kakak sudah sering memperhatikan pemandangan yang sama berkali-kali" celetus sang adik.
"Xavier, dengarkan kakak, kelak suatu hari kau akan menjadi raja negeri ini. Raja yang baik adalah raja yang selalu memperhatikan dan mengkhawatirkan rakyatnya." Ashton berucap lembut kepada adiknya baru saja menginjak usia 8 tahun.
"Toh lagipula aku tidak mau menjadi raja, lebih baik kakak saja yang jadi raja negeri ini. Jika aku jadi raja, aku tidak bisa lagi bermain dan harus berkutat dengan dokumen dokumen yang tiada habisnya di ruang kerja seperti ayah." Celoteh Xavier membuat Ashton tertawa kecil.
"Sejak kapan kau jadi pandai berbicara seperti ini, hah? Kau sudah besar rupanya."
"Tentu, aku juga akan jadi lebih tinggi daripada kakak" ejek Xavier sambil berlari meninggalkan kakaknya.
"Hei kemari sini! Bukankah harusnya kau belajar di perpustakaan? Xavier kemari!"
Kedua kakak beradik ini berlarian di lorong istana, usia keduanya yang terpaut berbeda 9 tahun tidak menjadi alasan hubungan mereka renggang. Ashton sangat menyayangi adiknya, Xavier, begitu pula sebaliknya. Keadaan istana menjadi lebih berwarna dengan kehadiran dua pangeran bersaudara ini. Meski tingkah mereka yang usil terkadang membuat para pelayan kewalahan, semua orang di istana sangat menyayangi kedua pangeran ini.
"Xavier kemari!" Teriak Ashton di sepanjang koridor istana Cassania.
Langkah mereka terhenti ketika sekretaris raja berdiri menghadang mereka "Yang Mulia kenapa berlarian disini?"
"Oh Paman Elthon?" Ucap keduanya serempak
"Hormat saya Yang Mulia Pangeran Nathaniel dan Yang Mulia Pangeran Xavier." Ucap Elthon sambil membungkuk. Kedua pangeran itu membalas salam Elthon.
"Ada apa paman? Tak biasanya paman berkunjung ke sayap istana." Tanya Ashton penasaran.
"Yang Mulia Paduka Raja menyuruh hamba menemui Pangeran Nathaniel, paduka bilang ada yang ingin ia sampaikan kepada Yang Mulia." Jelas Elthon
"Oh benarkah? Apa yang ingin ayah sampaikan? Sepertinya sangat penting hingga menyuruhmu kemari."
"Maaf Yang Mulia, hamba kurang tahu. Lebih baik Yang Mulia segera pergi menemui paduka di aula kerajaan."
"Baiklah kalau begitu. Xavier kembalilah ke perpustakaan, kita bermain lagi nanti." Ucap Ashton kepada adiknya
"Selalu saja ayah mengganggu waktu kita bermain. Baiklah...." Jawab Xavier dengan ketus.
Ashton pergi ke aula untuk menemui ayahnya disana. Ia melihat ayahnya yang sudah berdiri dari kejauhan. Saat ini ayahnya sedang menghadap ke jendela, entah apa yang sedang ia pikirkan di benaknya.
"Ayah... Ku dengar kau memanggilku, ada apa?" Ashton bertanya dengan lembut
"Nathaniel Ashton Rayton... Berapa umurmu tahun ini?"
"17 tahun yah, memangnya kenapa?"
"Sudah waktunya kau masuk pelatihan militer."
"Pelatihan militer?! Bukankah itu terlalu cepat ayah?" Tanya Ashton yang tidak percaya apa yang ayahnya katakan
"Nathaniel... Kau akan menjadi raja suatu hari kelak, kau putra mahkota negeri ini maka dari itu kau harus bisa melindungi rakyatmu. Pikirkan baik baik, negara kita masih dalam keadaan berperang, dan ayah akan sangat senang jika kau bisa menjadi komandan pasukanmu." Jelas sang ayah dengan panjang lebar
"Ayah tapi aku baru saja menyelesaikan pelatihan dasarku tahun lalu, bukankah ini terlalu cepat ayah?"
"Nathaniel, ini permintaan ayah kepadamu. Kau tidak pernah tahu kapan musuhmu menembakkan pelurunya kepada kita, tidak ada salahnya untuk bersiap. Pikirkan olehmu Nathaniel, ayah akan merekomendasikanmu untuk masuk angkatan udara, bukankah sedari kecil kau senang dengan pesawat tempur nak?"
"Aku mengerti ayah, akan kupikirkan."
"Kau punya waktu hingga akhir bulan depan, pikirkanlah matang-matang."
Ashton keluar dari aula dengan langkah yang berat, banyak hal terbesit di benaknya. Sedari kecil ia dididik dengan cara militer oleh ayahnya. Disipilin, tegas dan bertanggung jawab. Meski begitu, ia mewarisi sifat lembut ibunya, mendiang Ratu Issabela. Permintaan ayahnya seringkali menyesakkan dadanya, ketika anak-anak lain bermain dengan riangnya di taman, ia berkutat dengan buku sejarah kerajaan di perpustakaan istana. Ia terlahir dengan mahkota di kepalanya, ia mengerti akan tanggung jawab yang ada di pundaknya sebagai pewaris takhta kerajaan.
Kelahiran Xavier, sang adik setelah 9 tahun layaknya angin segar bagi Ashton. Ia yang tidak memiliki teman di istana, akhirnya memiliki kawan untuk bermain dan belajar bersama. Sehingga itulah yang membuat Ashton termat sangat menyayangi adiknya.
Berbeda dengan Ashton, sang ayah tidak terlalu mengekang Xavier. Sudah menjadi rahasia umum di istana bahwa kedua pangeran ini memiliki sifat yang bertolak belakang. Ashton mewarisi sifat ibunya yang lembut dan tak pernah menolak apa kata ayahnya, sedangkan Xavier lebih memberontak dan terbuka. Kemiripan kedua bersaudara ini hanya terletak pada warna mata biru safir mereka yang begitu indah, mewarisi sang ayah.
"Kak Ashton! Apa yang ayah katakan tadi?" Xavier berlari menghampiri kakaknya yang sedang termenung duduk di bawah pohon. Namun ashton hanya tersenyum kepada adiknya dan berkata,
"Kurasa ayahmu menginginkan kakak untuk belajar tentang pesawat tempur."
"Pesawat tempur? Bukankah itu sangat keren kak?" Ucap Xavier dengan mata yang berbinar-binar.
"Benarkah? Apa kau juga suka pesawat tempur?"
"Tidak, aku lebih suka kapal tempur. Aku melihat foto kakek mengenakan baju militer angkatan laut dan itu terlihat sangat keren."
"Apa kau mau masuk angkatan laut kelak?"
"Entahlah, lagipula aku masih kecil, mereka tidak akan menerimaku." Ucap Xavier sambil tertawa
"Xavier... Apa kau tak apa jika berjauhan denganku untuk waktu yang lama?"
"Memangnya kakak mau kemana?"
Benar. 4 tahun lalu, Ratu Issabela meninggal akibat sakit parah. Xavier masih berusia 4 tahun saat itu, ia yang sadar bahwa ibunya sudah tiada mengalami demam tinggi selama 5 hari. Sejak saat itu, Ashton menjadi sosok kakak juga ibu untuknya. Bagi Ashton, berpisah dengan Xavier bukanlah hal yang mudah. Adiknya ini masih belum mengerti akan banyak hal.
"Ayah meminta kakak untuk ikut pelatihan militer angkatan udara, dan kurasa itu akan memakan waktu 4 tahun."
"Itu... Permintaan ayah?"
"Ya, ayah memintanya langsung."
"Kalau begitu ikut saja kak, pasti ada alasan kenapa ayah meminta kakak untuk ikut pelatihan, bukan begitu? Lagipula kakak terlihat keren mengenakan seragan militer." Ucap Xavier sambil tersenyum menampakkan giginya.
"Kau ini mudah sekali mengambil keputusan ya sepertinya?"
"Kalau itu hal baik, tidak perlu waktu lama untuk memutuskan kak."
Meski masih belia, Xavier seringkali terkesan lebih dewasa daripada kakaknya. Ketika Ashton kebingungan, Xavier kerap kali memberikan jalan untuk masalah masalahnya. Ashton bersyukur memilik Xavier sebagai adiknya, orang yang akan selalu mendukung keputusannya.
"Baiklah, kakak akan masuk angkatan udara kalau begitu!" Seru Ashton sembari beranjak dari duduknya.
Satu bulan kemudian
Sesuai perkataan ayahnya, pelatihan dimulai bulan ini. Di aula istana, Ashton sudah bersiap untuk pergi ke pangkalan militer bersama para ajudannya.
"Lakukanlah pelatihanmu dengan baik"
"Baik ayah."
Pintu aula terbuka, dan terdengarlah suara si pangeran bungsu.
"KAK ASHTON!!!" dengan suara yang terengah engah, siapapun tahu Xavier berlari kemari.
"Kakak sudah mau berangkat? Benarkah?" Suara Xavier mulai terdengar pilu dan bulir bulir air matanya sudah menumpuk di matanya.
"Xavier... Kau menangis? Seorang Xavier Hellen Rayton menangis? Kakak tidak akan lama dan kakak pasti akan kembali. Selama kakak tidak ada, dengarkan apa kata ayah dan jangan merepotkan para pelayan, kau mengerti?" Ucap Ashton sembari berlutut memeluk menenangkan adiknya.
Xavier mengangguk kecil, hatinya terasa berat melihat kakaknya pergi. Meski ia yakin kakaknya akan kembali, tetapi tetap saja 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar.
"Jangan lupa untuk menyelesaikan pembelajaran filial dan sejarah kerajaan. Berjanjilah kau tidak akan nakal selama kakak pergi."
"Baik kak, pulanglah dengan selamat."
"Pastinya. Oh dan ini, pakailah gelang ini, jagalah baik-baik. Kau mengerti ini?" Ashton memakaikan sebuah gelang merah di lengan savier.
"Bukannya ini gelang dari ibu kak?"
"Betul. Sekarang kau yang menjaganya, oke?"
"Hm." Xavier mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ashton kemudian bangkit dan mengusap rambut sang adik.
"Yang Mulia, mobilnya sudah siap." Ucap salah satu ajudan.
"Baiklah ayah, Xavier, aku pergi."
Ashton dengan kedua ajudan pribadinya beranjak dari aula istana. Mereka pergi menuju markas besar militer angkatan udara kerajaan untuk mendapat pelatihan selama 4 tahun. Sudah menjadi tradisi bagi anggota laki-laki keluarga kerajaan untuk mengenyam pendidikan di akademi militer, biasanya saat berusia 16 atau 17 tahun. Sang ayah, Raja Arthur mengambil pendidikan militer di angkatan udara. Sedangkan mendiang kakeknya menjadi komando angkatan laut kerajaan.
Meski menjalani pendidikan militer adalah tradisi, pihak Kerajaan Zinnia tidak melarang anggota keluarga kerajaan untuk mengenyam pendidikan di bidang lain. Ini dilakukan agar para penerus memiliki pengetahuan seluas mungkin. Seperti halnya Pangeran Ashton yang sembari menjalani pendidikan dasar kemiliteran yang dimulainya pada usia 14 tahun, ia juga mempelajari tentang ilmu kesehatan di sekolah kerajaan semenjak menginjak usia 12 tahun. Berbeda dengan sang adik yang lebih condong ke arah seni liberal dan tata hukum kerajaan.
Berpendidikan tinggi dan memiliki tata krama yang baik merupakan hal penting bagi para penerus takhta. Sehingga sudah hal wajar bagi mereka untuk mendapatkan bermacam-macam pendidikan dari usia dini.
Ketidakhadiran Ashton di istana sangat terasa oleh Xavier. Istana Cassania yang begitu luas amat terasa hampa untuknya. Ia tidak bisa seenaknya keluar dari tembok istana atau sekadar mengajak ayahnya bermain. Ayahnya terlalu sibuk dengan tugas negara dan dinas keluar. Hanya pelayan dan bibi pengurusnya lah yang menjadi temannya saat ini.
Hingga suatu hari Xavier berpikiran untuk meminta kepada ayahnya untuk bersekolah formal di luar tembok istana. Selama ini ia hanya mendapat pendidikan dari pengajarnya di dalam istana saja. Cukup sulit baginya untuk bersosialisasi.
Suatu malam ketika sang ayah sudah selesai dengan pekerjaannya, Xavier datang ke kamarnya.
"Ayah, apa kau ada di dalam?" Ucap Xavier sambil mengetuk pintu kamar ayahnya
"Masuklah nak."
Kemudian Xavier membuka pintu kamar ayahnya dengan tangan mungilnya itu. Meski sudah larut malam, terlihat bahwa Raja Arthur masih bergelut dengan tumpukan kertas yang tak ada habisnya di meja kerjanya.
"Ayah belum tidur?"
"Belum, masih ada dokumen yang harus ayah baca. Kau sendiri kenapa belum tidur?"
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan yah."
"Ada apa? Tak biasanya kau datang ke kamar ayah selarut ini?"
"Aku ingin sekolah formal yah."
"Sekolah formal? Maksudmu di sekolah kerajaan Helling Rosé?"
"Iya yah, memangnya dimana lagi."
"Apa kau tak suka pengajarmu? Ayah dapat mencarikan yang lain jika perlu."
"Bukan begitu yah, aku juga ingin pergi ke sekolah formal seperti Kak Ashton. Belajar dengan teman-teman di kelas, bukan hanya dengan pengajar di perpustakaan istana yah."
"Begitukah? Apa ada bidang pelajaran yang kau senangi saat ini?"
"Aku tertarik dengan seni liberal dan tata hukum kerajaan yah."
"Benarkah? Itu bukan bidang yang umum disukai keluarga kerajaan."
"Tapi aku sangat menyukainya yah. Bolehkan aku bersekolah disana? Bolehkan???" Rengek Xavier kepada sang ayah.
Paduka raja hanya tertawa mendengar rengekan anak bungsunya ini.
"Tentu saja boleh. Asalkan kau harus belajar dengan giat dan tetap berhati-hati disana."
"Tentu saja yah, aku akan belajar dengan giat!"
"Ayah akan menghubungi mereka besok pagi, sekarang kembalilah ke kamarmu, ini sudah larut kau harus tidur."
"Baik yah, Xavier sayang ayah!" Seru Xavier sambil mengecup pipi sang ayah kemudian berlari menuju kamarnya.
Sekolah Kerajaan Helling Rosé merupakan sekolah swasta yang didirikan oleh pihak kerajaan puluhan tahun silam, sekolah ini sepenuhnya dibiyai oleh pihak kerajaan. Tujuan didirikannya yaitu untuk para anggota kerajaan. Tak banyak yang bisa masuk kesini jika bukan anggota keluarga kerajaan, bukan masalah biaya masuknya, melainkan tes masuk yang sangat sulit bahkan untuk jenjang pendidikan dasar. Selain itu juga terdapat penilaian sikap serta tata krama. Meski begitu, tak banyak anggota kerajaan yang bersekolah disini. Mereka lebih memilih untuk menggunakan pengajar pribadi dan belajar di dalam tembok istana. Alhasil sekolah tersebut lebih banyak diisi oleh anak para bangsawan maupun anak-anak pejabat negara, sebagian besar dari mereka akan berakhir menjadi pegawai di instansi-instansi pemerintahan.
Keesokan paginya, Raja Arthur secara pribadi menghubungi pihak sekolah perihal anaknya yang akan bersekolah disana. Merupakan sebuah kehormatan bagi sekolah untuk mendidik penerus takhta.
"Elthon, panggil Xavier kesini"
"Baik, Yang Mulia."
Elthon pergi menuju perpustakaan istana, tempat favorit Pangeran Xavier untuk menghabiskan harinya. Ia melihat Pangeran Xavier sedang membaca buku dengan serius di salah satu kursi.
"Hormat saya Yang Mulia" ucap Elthon menghaturkan salamnya.
"Oh Paman Elthon! Ada apa gerangan hingga kau jauh jauh kemari?"
"Paduka raja meminta Yang Mulia menemuinya di ruang kerja pribadinya."
"Oh benarkah?"
"Ya... Yang Mulia." Belum sempat Elthon selesai menjawab, Xavier sudah berlari dari kursinya.
"YANG MULIA ANDA TIDAK BOLEH BERLARI!" teriak Elthon sambil mengejar pangeran muda itu.
Tak butuh waktu lama, Xavier sudah sampai di ruang kerja pribadi sang ayah.
"Ayah memanggilku?"
"Kau sudah disini rupanya. Ayah sudah menghubungi pihak sekolah, dan katanya kau bisa mulai bersekolah minggu depan."
"Benarkah yah?" Tanya Xavier dengan mata yang berbinar, ia benar-benar tak sabar dengan kehidupan di sekolah barunya.
"Benar, ayah akan menyuruh para pelayan untuk mempersiapkan hal-hal yang kau butuhkan nanti."
"Asik!!! Ayah memang hebat! Aku sayang ayah!"
...Xavier Hellen Rayton...
...Nickname : Xavier / Pangeran Xavier...
...Age : 18 tahun...
...Status : Putra Mahkota, Pangeran ke-2 Kerajaan Zinnia...
...Xavier naik menjadi putra mahkota di umur 13 tahun menggantikan kakaknya. Sosoknya periang, supel dan ramah, tapi terkadang kata-katanya terlalu 'jujur' sehingga menusuk hati yang mendengar...
...Oliver Luxia de Mauren...
...Nickname : Oliver / Putri Luxia...
...Age : 17 tahun...
...Status : Putri tunggal dari keluarga bangsawan kelas III, Keluarga de Mauren...
...Ayahnya, Tuan Mauren bekerja sebagai sekretaris di kementerian dalam negeri. Bercita-cita menjadi jurnalis terkemuka....
...Louis Anthoni Gilbert...
...Nickname : Louis...
...Age : 18 tahun...
...Status : Putra sulung dari keluarga bangsawan kelas I, Keluarga Gilbert....
...Teman satu kelas Xavier dari umur 8 tahun. Pribadinya yang tenang dan mudah berteman dengan siapa saja. Walau terlihat dingin, Ia dikenal sebagai orang yang senang bercanda. Ayahnya adalah menteri pertahanan Zinnia. Seringkali dituntut ini itu oleh sang ayah....
...Eveline Alexandra Gilbert...
...Nickname : Eveline...
...Age : 17 tahun...
...Status : Putri bungsu Keluarga Gilbert, adik tiri Louis...
...Pemilik mata berwarna ungu amethyst yang cantik warisan sang ibu. Ibunya menikah lagi dengan Tuan Gilbert saat usianya masih 1 tahun. Adik kesayangan Louis. Sahabat kecil Oliver karena pergi ke akademi yang sama....
...Nathaniel Ashton Rayton...
...Nickname : Nathaniel / Pangeran Nathaniel / Kak Ashton...
...Age of Death : 22 tahun...
...Status : Pangeran pertama, putra mahkota Zinnia yang sesungguhnya...
...Lahir dengan mahkota di kepalanya tak menjadikan Nathaniel pribadi yang arogan. Ia tumbuh sebagai sosok yang lembut, penurut dan penyayang. Sosoknya disayangi oleh seantero negeri....
...William Vamor Rayton...
...Nama Resmi : Raja Arthur...
...Age : 42 tahun...
...Status : Raja ke-17 kerajaan Zinnia...
...Naik takhta di usia muda, Raja Arthur terkenal sebagai raja yang berwibawa. Masa pemerintahannya membawa Zinnia ke masa kejayaan setelah berperang dengan negeri tetangga....
...Eden Philip de Mauren...
...Nickname : Tuan Eden...
...Age : 40 tahun...
...Status : Bangsawan kelas III, sekretaris menteri dalam negeri Zinnia...
...Istrinya, Luciana van Heien meninggal saat Oliver berusia 5 tahun. Semenjak itu ia mengurus semua urusan rumah tangga sendirian, hanya ditemani beberapa pelayan setia di rumahnya. Usut punya usut, Keluarga de Mauren adalah sahabat lama keluarga kerajaan....
...Morgan Antonio Gilbert...
...Nickname : Tuan Morgan...
...Age : 42 tahun...
...Status : Bangsawan kelas I, menteri pertahanan Zinnia...
...Setelah ibunya Louis meninggal, dirinya menikah lagi dengan seorang wanita dari keluarga bangsawan kelas IV yang juga merupakan temannya semasa kuliah dulu. Tuan Morgan sempat beberapa kali menjadi buah bibir orang-orang di parlemen karena sifatnya yang terkenal angkuh....
...Elthon...
...Nickname : Elthon...
...Age : 45 tahun...
...Status : Sekretaris Raja Arthur, Ajudan sekaligus tangan kanan Raja Arthur, Kepala staf urusan rumah tangga kerajaan....
...Dirinya mengabdi semenjak Raja Arthur naik takhta 20 tahun silam. Ayahnya juga ajudan dari raja sebelumnya....
...Liam...
...Nickname : Liam...
...Age : 25 tahun...
...Status : Ajudan Pangeran Xavier...
...Dirinya bekerja sebagai ajudan sedari remaja. Sudah menjadi sahabat dan ajudan untuk Xavier. Hatinya tak bisa jika melihat Xavier terluka....
...Lucas Van Meyer...
...Nickname : Lucas...
...Age : 16 tahun...
...Status : Kepala Institut Penelitian Zinnia, Teman kecil Xavier. Ia memiliki hubungan rumit dengan keluarga kerajaan....
...Lucas menjadi kepala institusi di usia muda. Dirinya terkenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan tegas. Xavier menjulukinya sebagai buku ensiklopedia berjalan....
...Aiden Abigail Rayton...
...Nickname : Aiden...
...Age : 19 tahun...
...Status : Ahli senapan, bekerja sebagai pasukan khusus kerajaan, sepupu Xavier...
...Ayahnya adalah adik dari Raja Arthur. Aiden berada di urutan keempat sebagai pewaris takhta. Tapi secara pribadi, ia tak tertarik dengan kekuasaan dan lebih memilih untuk melayani negeri....
...Foto di atas hanyalah visualisasi dari tokoh cerita, agar mudah dimengerti dan terbayangkan dengan baik oleh pembaca. ⚠️TIDAK ADA KAITAN DENGAN ASLINYA⚠️...
*) Patokan umur karakter-karakter di atas adalah ketika Xavier berumur 18 tahun (Kecuali Nathaniel, umurnya adalah ketika dia gugur di medan perang)
Another characters soon to be revealed. Karakter akan diperkenalkan satu-persatu seiring berjalannya cerita.
TBC, XOXO!
"Apa kau sudah dengar? Katanya adik dari putra mahkota akan bersekolah di sekolah kita"
"Maksudmu Pangeran Xavier?"
"Iya, lagipula siapa lagi adiknya."
"Benarkah? Mengapa dia ingin bersekolah disini?"
"Kudengar, Pangeran Nathaniel sedang pergi ke akademi militer, mungkin dia bosan makanya dia bersekolah di mari."
"Wah aku tidak bisa membayangkan betapa kerennya Pangeran Nathaniel mengenakam seragam militer angkatan udara."
Di pagi hari yang cerah dimulai dengan celotehan para siswi di koridor kelas, kabar burung mengenai Pangeran Xavier yang akan bersekolah di Sekolah Kerajaan Helling Rosé sudah ramai diperbincangkan. Entah karena merasa aneh atau penasaran dengan kehadiran sang pangeran, yang jelas pagi itu mereka semua terlihat antusias dan bersemangat.
"Hai Eveline!"
"Oh! Hai Oliver."
Perkenalkan, putri tunggal keluarga de Mauren, Oliver Luxia de Mauren. Ayahnya, Tuan Eden kini bekerja sebagai sekretaris di kementrian dalam negeri. Sosoknya yang periang dan mudah berteman, membuat semua orang di sekolah ini termasuk guru-guru mengenalnya.
Di meja sebelahnya, duduklah seorang putri bungsu keluarga Gilbert bernama Eveline Alexandra Gilbert. Ayahnya, Tuan Gilbert adalah menteri pertahanan saat ini. Berbanding terbalik dengan Oliver, Eveline sangatlah pemalu dan tidak mudah bergaul. Sehingga hanya Oliver lah teman dekatnya saat ini. Memiliki mata berwarna ungu layaknya permata amethyst menambah kesan anggun dan elegan pada diri Eveline. Keduanya kini duduk di tingkat pertama sekolah dasar.
"Wah melelahkan sekali, mengapa sekolah ini terlalu besar untuk kakiku yang pendek." Oliver menarik kursinya dan meletakkan tas di loker mejanya.
"Kau rajin sekali sudah membuka bukumu pagi-pagi begini." Ucap Oliver yang melihat Eveline sibuk membulak balik halaman buku matematikanya.
"Kau lupa? Hari ini akan ada kuis, kau sudah belajar?"
"KUIS?! Kenapa tidak bilang ada kuis dadakan?!"
"Ah... Sepertinya kau lupa ya, pak guru mengumumkan akan ada kuis minggu lalu."
"Yang benar saja, habislah aku..."
"Tenang saja Oliver, lagipula ini bukan ulangan sungguhan."
Entah di belahan dunia manapun, kuis dadakan di pagi hari adalah hal yang paling dibenci para pelajar, terutama kuis matematika.
Pukul tujuh lewat lima belas, terdengar bel sekolah yang nyaring berbunyi, menandakan bahwa kelas akan dimulai.
"Anak-anak mari kita mulai kuisnya."
"Yahhhhh." Ucap semua murid serempak.
Selama beberapa saat hanya terdengar bunyi detak jarum jam yang tak henti hentinya berputar. Hingga terdengarlah bunyi nyaring bel yang menandakan waktu istirahat.
"Baiklah, kita akhiri pertemuan kali ini. Silahkan beristirahat."
"Terima kasih pak."
Para siswa berlarian keluar, kegiatan istirahat singkat mereka ini diisi dengan berbagai kegiatan. Ada yang pergi ke kantin, bermain di lapangan, melanjutkan pelajaran mereka, atau sekadar bersenda gurau bersama teman.
Oliver yang kini terlihat mulai mengantuk setelah kuis matematika tadi menutup novel yang ia baca dan meletakkan pipi kanannya di meja. Sayup-sayup matanya mulai tertutup. Kawannya, Eveline, masih asyik membaca materi untuk pelajaran berikutnya. Kelas mereka terasa hening, karena lebih banyak siswa yang kini berada di luar kelas.
Keheningan itu tak bertahan lama. Ketika ada seorang siswa dari kelas lain yang berlari di sepanjang koridor sembari berteriak,
"PANGERAN XAVIER SUDAH DATANG! PANGERAN XAVIER SUDAH DATANG!"
Para murid yang tersisa di dalam kelas berbondong berlarian keluar untuk melihat rupa sang pangeran.
Namun bukannya berlari, Oliver malah dilanda kebingungan ketika melihat teman-temannya yang lain berlarian keluar.
"Pangeran? Apa maksudnya pangeran?" Tanya Oliver kepada Eveline di sebelahnya.
"Kau tidak tahu? Katanya Pangeran Xavier akan mulai bersekolah disini."
"Bersekolah disini? Lantas mengapa semuanya sangat heboh begini? Menganggu tidurku saja."
"Mereka hanya antusias melihat sang pangeran"
Eveline kemudian beranjak dari kursinya, ia kemudian menarik lengan Oliver yang saat itu masih ingin melanjutkan tidurnya untuk ikut bersamanya.
"Ayolah... Kita ke bawah juga yuk! Apa kau tak tertarik melihat wajah pangeran negeri ini?"
"Tidak. Aku tidak tertarik." Jawaban itu hanya membuat Eveline kian menarik lengannya dengan paksa.
"Aku ingin tidur Eveline...."
"Kau bisa tidur di rumah, tapi tidak dengan melihat pangeran, jadi ayo!"
"Oke oke, aku ikut. TAPI JANGAN TARIK LENGANKU!"
Mau tak mau Oliver beranjak dari bangkunya, kini mereka pergi ke arah kerumunan orang-orang. Mereka berdiam di balkon lantai dua di mana gerbang dalam sekolah mereka dapat terlihat jelas dari sana. Terlihat dari jauh bahwa sang pangeran dikawal oleh banyak sekali pengawal istana. Mereka berpakaian rapih mengenakan jas hitam, dengan sigap mengatur jalan bagi sang atasan.
"Lihatlah para bodyguard itu, untuk apa pangeran bersekolah di sini? Merepotkan." Ucap Oliver sinis
"Hei, jaga ucapanmu Oliver. Bagaimanapun juga dia seorang pangeran."
"Memangnya kenapa? Lagipula ketika ia menginjakkan kakinya di sini, maka ia hanya seorang murid sama seperti kita."
"Sudahlah diam, aku ingin melihat wajahnya."
"Lihat saja sana hingga matamu keluar! Jelas-jelas mukanya sudah ada di mana-mana, seperti tak pernah lihat saja." Kini Oliver melipat kedua tangannya di depan dadanya, meski kesal, tapi nyatanya ia tak berpindah barang selangkah pun dari tempatnya berdiri.
Mata amethyst milik Eveline tak bisa sedetik pun beralih dari melihat sang pangeran.
"Hei hei hei Oliver, bukankah dia tampan?"
"Seleraku masih tetap Pangeran Nathaniel."
Kini sang pangeran berjalan ke arah tangga, menuju lantai dua dengan para ajudannya. Para siswa yang sedang berdiri langsung menepi memberi ruang, kemudian membungkuk memberi hormat. Langkahnya terhenti saat ia sampai di depan ruang kelas yang tampaknya adalah ruang kelas 2-A.
"Hei Eveline, bukankah itu ruang kelas kakakmu Louis?" Tanya Oliver yang sedang memperhatikan dari jauh.
"Kau benar, itu kelas kakakku. Apa itu artinya mereka sekelas? WAH HEBAT!" Ucap Eveline sembari lompat-lompat kegirangan.
"Hebat apanya?"
"Kalau begitu akan kutanyakan pada kakakku sepulang sekolah nanti."
Meski sang pangeran sudah masuk ke kelasnya, kerumunan para siswa masih berdiam di luar, hingga akhirnya salah satu guru menyuruh mereka kembali ke kelas.
"Anak-anak kembalilah ke kelas kalian sekarang! Pelajaran akan segera dimulai, ayo bubar bubar!" Teriak salah seorang guru.
Bel pelajaran kedua pun berdering. Kehadiran pangeran di sekolah cukup membuat atensi para siswa teralihkan. Namun apa boleh buat, kegiatan belajar mesti harus dilanjutkan.
Keadaan di kelas 2-A terbilang cukup canggung. Xavier yang kini duduk di kursi baris tengah ke dua dari belakang sangat menyita perhatian. Mata sang pangeran dengan sibuknya melihat ke sana kemari berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Terlihat ia duduk dengan sangat sopan, dengan punggung yang tegak dan tangan yg dilipat diletakkan di atas meja. Jelas, pendidikan tata krama adalah hal pertama yang diajarkan kepada anggota kerajaan. Bagaimana caranya duduk, berdiri, berbicara, makan, minum, memegang gelas bahkan alat makan haruslah menggambarkan bahwa ia adalah seorang anggota keluarga kerajaan. Tak sia-sia pengajarnya mengajarkan tata krama kerajaan pada Xavier berjam jam, walaupun pelajaran tersebut adalah hal yang paling ia benci karena mengharuskannya bergerak layaknya robot.
Tak hanya Xavier yang canggung, tapi semua teman sekelasnya pun sama. Bayangkan, berada satu kelas dengan laki-laki paling dihormati ketiga di seluruh negeri. Mereka bingung harus bertindak apa, hingga akhirnya guru mata pelajaran jam selanjutnya masuk.
Tak lama, seorang lelaki paruh baya dengan banyak buku di tangannya masuk ke kelas tersebut tuk memecah keheningan.
"Selamat pagi anak-anak."
"Selamat pagi Profesor Archie." Ucap para murid serentak.
Lelaki itu bernama Archie Alexander adalah seorang profesor di bidang sejarah, namanya cukup populer di Zinnia. Perjalanan karirnya yang panjang serta pernah menjadi guru Raja Arthur saat muda dulu membuatnya memiliki pamor yang bagus hingga hari tuanya.
Kini lelaki berusia kepala 6 itu mengabdikan dirinya menjadi seorang pengajar di beberapa sekolah dasar, termasuk Sekolah Kerajaan Helling Rosé.
"Oh tampaknya ada wajah baru disini. Yang Mulia, apakah anda berkenan berdiri dan memperkenalkan diri anda? Walau kurasa tak ada yang tak mengenalmu di negeri ini, Yang Mulia." Ucap Profesor Archie yang diikuti kekehan kecil membuat para siswa lainnya ikut tertawa.
Xavier berdiri dari kursinya, "Selamat pagi semuanya, namaku Xavier Hellen Rayton. Putra kedua dari Raja Arthur. Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah di sini, senang berkenalan dengan kalian."
Para siswa lainnya bertepuk tangan setelah itu, namun suasana hening datang kembali setelahnya.
"Pangeran, ini kali pertama saya melihat Yang Mulia secara langsung. Tak ku sangka, wajah Yang Mulia benar-benar mirip wajah baginda raja ketika masih kecil. Sungguh menarik."
Xavier hanya tersenyum ketika mendengarnya.
"Aku tak pernah mendengar ada yang mengatakan itu sebelumnya, orang-orang selalu berkata bahwa aku mirip ibuku."
"Aura kecantikan baginda ratu terwarisi kepada anda Yang Mulia."
"Benarkah?"
"Tentu saja."
"Senang mendengarnya. Ah, profesor tidak perlu memanggilku 'Yang Mulia' ketika di lingkungan sekolah, dan juga perlakukan aku seperti murid yang lain. Bagaimanapun juga profesor adalah guruku sekarang."
"Akan terdengar tidak sopan dan canggung bagiku, tapi akan aku usahakan." Profesor Archie tersenyum ke arah Xavier, kemudian ia mulai sibuk membuka buku sejarah yang ia bawa tadi.
"Baik anak-anak, buka halaman 34 buku paket kalian."
Seperti itulah pelajaran pertama Xavier di kelas barunya dimulai.
Tak terasa pelajaran berlalu cepat, jam sudah menunjukkan pukul dua belas, waktunya untuk makan siang. Sejauh ini belum ada yang berani untuk menyapa Xavier duluan, alhasil mau tak mau kini ia duduk sendirian di bangkunya ketika murid-murid lain sudah berbondong-bondong keluar menuju kantin.
Kini Xavier berdiri dari bangkunya, berjalan ke arah jendela di kelasnya yang menghadap langsung lapangan yang tak begitu luas di luar. Ia melihat banyak yang sedang bermain bola di sana, begitu menyenangkan.
Cukup lama Xavier memandang keluar, sampai salah satu ajudannya mengetuk pelan pintu kelas, "Yang Mulia, apa anda ingin makan siang? Kami dapat menyiapkannya."
"Bolehkah aku makan di kantin bawah seperti yang lain?"
"Tentu saja Yang Mulia, akan kami persiapkan."
"Baiklah."
Kini Xavier berjalan menuju kantin, murid murid lain yang melihatnya langsung berdiri dan memberi hormat. Sejujurnya, bagi Xavier ini cukup memalukan dan merepotkan. Batinnya bertanya-tanya, mengapa ayahnya mengutus banyak sekali ajudan? Toh ia hanya akan bersekolah, bukan pergi ke area musuh. Tak mungkin ada yang akan menyakitinya, dua hingga tiga ajudan saja cukup untuk mengawalnya.
Tetapi protokol tetaplah protokol yang harus diikuti. Bagi tiap orangtua nyawa anaknya berharga lebih dari apapun. Kini ajudannya berjalan lebih dulu untuk menunjukkan di mana Xavier bisa duduk.
"Silakan duduk di sini Yang Mulia."
"Terima kasih."
Tanpa tunggu lama, koki dan para pelayan datang untuk menyajikan makanan. Cukup banyak jenis menu yang dihidangkan atau bahkan terbilang sangat banyak untuk ukuran menu makan siang siswa sekolahan.
"Sebuah kehormatan bagi kami Yang Mulia bersedia mencoba masakan sederhana yang kami buat." Ucap salah satu koki.
"Terima kasih banyak, tapi bukankah ini terlalu mewah? Kalian cukup menghidangkan makanan yang biasa kalian masak untuk anak-anak lain."
"Tentu saja tidak merepotkan, Yang Mulia."
"Baiklah aku akan makan dengan banyak."
Koki dan para pelayan itu kembali melanjutkan pekerjaannya, meninggalkan Xavier yang mulai menyantap makan siangnya.
"TUNGGU YANG MULIA! Biarkan saya yang mencobanya terlebih dulu."
Ajudan itu mengambil sebuah piring kecil terpisah, dan mencoba beberapa sendok dari menu yang disediakan. Hal ini dilakukan untuk mencegah anggota keluarga kerajaan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan, contohnya seperti keracunan.
Sebenarnya, hal ini adalah protokol kerajaan yang sudah jarang dilakukan. Semenjak Raja Arthur naik takhta, mendiang Ratu Issabela memerintahkan kepala pelayan istana untuk selalu memastikan bahwa tidak ada bahan bahan berbahaya yang masuk ke dapur istana. Pengecekan ketat juga dilakukan terhadap koki dan para pelayan istana, ratu ingin tidak ada bahan-bahan berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan maupun alergi. Posisi juru pengecap kerajaan juga sudah jarang ditemukan, kecuali jika anggota keluarga kerajaan pergi ke sebuah pertemuan atau jamuan asing yang belum terjamin keamanannya. Seperti halnya kantin sekolah yang baru pertama kali Xavier datangi hari ini.
"Sudah?" Tanya Xavier kepada ajudannya.
"Silakan Yang Mulia."
"Lagipula apa yang mereka dapatkan dengan meracunku, bisa-bisa ayah memenggal kepala mereka. Kalian terlalu berlebihan."
"Maaf Yang Mulia. Silakan dinikmati."
Xavier yang sudah lapar menyantap makanannya dengan lahap. Dikelilingi suasana kantin yang terbilang bising, tak terdengar sedikitpun suara alat makan yang beradu dengan piring ataupun suara kunyahan dari mulut Xavier, pangeran kecil ini makan dengan tenang.
Banyaknya menu yang dihidangkan tak menjadikan Xavier rakus dengan memakan semuanya, ia hanya mengambil apa yang dapat ia habiskan.
Kini Xavier membersihkan mulutnya dengan serbet yang tersedia. Kegiatan makan siangnya selesai.
"Sudah selesai Yang Mulia? Apa sekarang Anda akan kembali ke kelas?"
"Tidak, masih ada sisa waktu istirahat, aku ingin pergi ke lapang." Tanpa basa-basi Xavier berjalan cepat menuju lapang.
"Dan ya, berhenti mengikutiku dengan berjalan seperti rombongan begini. Kalian membuatku sesak." Ucap Xavier kepada para pengawalnya yang sedari tadi setia mengikuti ke mana pun kaki Xavier melangkah.
"Ah... Baik Yang Mulia."
"Cukup awasi aku dari jauh saja, kalian membuat murid lain tidak nyaman."
"Baik Yang Mulia." Ajudan itu segera memberi aba-aba pada anak buahnya untuk menyebar.
Xavier sampai tepat di tangga menuju lapang sekolah mereka. Langkahnya terhenti ketika sebuah bola sepak melintas telat di depan wajahnya. Hampir saja kena wajahnya.
Ajudannya dengan sigap menahan bola itu dan hendak melemparkannya kembali, tapi Xavier menahannya.
"Biar aku saja yang melemparnya." Xavier kemudian mengambil bola tersebut dari ajudannya.
Seorang siswa lain yang berdiri lumayan jauh dari pinggir lapang berteriak ke arah Xavier,
"HEI ANAK BARU! LEMPARKAN BOLANYA KEMARI!"
"OHO! JAGA SIKAPMU KAU TAK TAHU DIA SIAPA?" Ucap ajudannya yang terlihat cukup kesal.
"Sudahlah." Xavier melempar bola tersebut ke arah bocah tadi.
"Terima kasih." Ia kemudian berbalik, tapi langkahnya terhenti, dan kini kembali ke arah Xavier dan berkata, "Kau... Mau main? Tim kami kurang satu orang."
"Eh? Aku??"
"Ya siapa lagi memangnya, aku tidak mungkin mengajak ajudanmu itu. Kurasa kita satu kelas. Kau bisa bermain sepak bola, kan?"
"T-Tentu saja!"
"Bagus kalau begitu, ayo!"
Xavier berjalan ke tengah lapangan ke arah bocah tadi.
"Y-Yang Mulia tunggu..."
"Hei tunggu saja di situ, aku takkan kenapa-napa." Ucap Xavier sambil melambaikan tangannya menyuruh si ajudan yang hendak menyusulnya untuk menunggu.
Xavier dengan bocah itu kini berjalan berdampingan, "Bukankah merepotkan dengan banyak sekali orang yang mengawalmu bahkan ketika di sekolah?"
"Ya begitulah... Cukup untuk membuatmu sesak."
"Oh iya, namaku Louis. Louis Anthoni Gilbert. Salam kenal."
"A-ah... Namaku-"
"Tak perlu memperkenalkan diri, aku sudah tahu, Yang Mulia." Louis kini berlari ke arah teman-temannya yang lain.
'Bocah itu cukup menyebalkan' ucap batin Xavier.
"HEI PANGERAN! KEMARILAH CEPAT!" Teriak Louis.
"AH YA TUNGGU!"
"Ini dia bintang kita hari ini." Ucap Louis kepada yang lainnya sambil merangkul bahu Xavier.
"Pastikan kau jago bermain bola, oke?" Ucap Louis.
"Tentu saja."
Pertandingan pun dimulai. Bukan pertandingan besar, namun cukup seru untuk diikuti. Kini banyak murid-murid lain yang turut menonton dari pinggir lapang. Tak bisa dipungkiri, Xavier cukup jago bermain sepak bola.
Di pinggir lapang, tatapan khawatir terlihat dari raut wajah sang ajudan. Tentu saja ia harus terus mengawasi Xavier, jika ia terluka habislah riwayatnya.
"GOL!!!" Xavier mencetak gol untuk timnya, senyum merekah terpancar dari seluruh anggota timnya.
"Kau lumayan juga, anak baru." Ucap Louis sambil mengajaknya tos.
Tapi tak lama kesenangan itu berlangsung, bel masuk pun berdering, menghentikan pertandingan asyik mereka. Para siswa dan siswi berbondong masuk ke kelas mereka. Tak terkecuali Xavier. Jam pelajaran selanjutnya pun dimulai.
Pada jam terakhir ini, kebanyakan siswa sudah tidak fokus dengan pelajaran mereka. Fokus mereka terpecah, ada yang memang memperhatikan, ada yang mengantuk setelah makan siang, dan ada yang pikirannya sudah melayang-layang ingin cepat pulang.
Louis yang kini duduk tepat di depan bangku Xavier berbalik ke arahnya, "Jadi... Kau benar-benar pangeran?" Pertanyaan Louis cukup membuat Xavier yang sedari tadi memperhatikan papan tulis tersentak.
"T-Tentu saja aku pangeran."
"Jadi kau benar-benar tinggal di dalam Istana Cassania yang besar itu?"
"Ya. Walau ada rumah pribadi lainnya, tapi kini keluarga kami harus tinggal di dalam istana."
"Wow…" Setelah itu Louis berbalik lagi, tampaknya ia sudah tidak tertarik lagi dengan materi di papan tulis itu. Ia sengaja mengambil buku dari loker mejanya, kemudian menumpuknya untuk dijadikan bantal. Sebuah pemandangan umum di jam terakhir pembelajaran.
Matahari yang nampak semakin tinggi, namun cuacanya sudah tak terlalu panas. Tak lama setelah itu bel pulang berdering.
"Kita cukupkan pelajaran hari ini. Kalian boleh pulang."
"Terima kasih pak."
Xavier merapihkan tasnya dan bersiap pulang. Sang ajudan sudah siap menunggunya di depan. Perintah ayahnya adalah untuk langsung pulang tepat setelah sekolah berakhir, ia kini masuk ke dalam mobilnya. Menuju istana diikuti dengan mobil para pengawalnya. Hari pertama Xavier di sekolah pun selesai.
Kini gerbang Istana Cassania terbuka lebar, menyambut mobil sang pangeran dan iring-iringannya. Xavier turun dari mobilnya dan memasuki gerbang dalam istana dan langsung menuju ke kamarnya.
Di tangga menuju kamarnya pengasuh sekaligus asisten terpercayanya menyambutnya, dan membawakan tas ransel yang sudah ia bawa sedari tadi.
"Bagaimana hari pertama anda di sekolah, Yang Mulia?" Ucap lelaki berumur dua puluhan bernama Liam itu.
"Tak begitu buruk, malahan cukup menyenangkan."
"Syukurlah kalau begitu, Yang Mulia." Lelaki itu membantu Xavier menanggalkan rompi seragam sekolahnya.
"Tadi aku bermain sepak bola setelah jam makan siang."
"Sepak bola?"
"Ya, salah satu teman sekelasku mengajakku bermain."
"Terdengar begitu menyenangkan, Yang Mulia."
"Sudah lama aku tak bermain sepak bola. Kalau saja ada kak Ashton, akan aku ajak ia bermain sekarang."
Xavier kini sudah berganti pakaian dengan pakaian sehari-harinya.
"Yang Mulia, Baginda Raja berkata ingin menemui Anda selepas pulang sekolah."
"Oh benarkah? Di mana ayah sekarang?"
"Paduka kini berada di paviliun belakang. Dilihat dari jamnya, sepertinya beliau sedang menikmati teh sore. Apa mau saya siapkan sekalian juga Yang Mulia?"
"Terima kasih tapi tak perlu, Liam."
"Baik, Yang Mulia."
Kini Xavier bergegas menuju ke paviliun belakang, tempat favorit ayahnya untuk bersantai sejenak.
"Ku dengar ayah memanggilku?"
"Xavier kau sudah pulang rupanya. Bagaimana sekolahmu hari ini?"
"Cukup menyenangkan."
"Benarkah?"
"Ya ayah, ku rasa tak seburuk yang ku bayangkan. Tapi ada satu hal yang mengganguku."
"Mengganggumu? Apa itu Xavier?"
"Bisakah ayah mengurangi jumlah pengawal yang mengantarku? Itu cukup merepotkan, dan aku khawatir dapat mengganggu siswa yang lain."
"Oh benarkah? Ayah pikir kau suka dikawal seperti itu."
"Dua atau empat pengawal saja sudah cukup yah, lagipula aku pergi dengan ajudan kepercayaan ayah."
"Baiklah jika itu maumu. Apa kau sudah memiliki teman baru di kelas?"
"Ah iya, ada seorang anak dari kelas yang sama denganku mengajakku bermain sepak bola tadi."
"Siapa namanya?"
"Kalau tidak salah namanya Louis yah, Louis Anthoni Gilbert."
"...Gilbert? Dia dari keluarga Gilbert?"
"Dari penampilannya sih sepertinya begitu. Dia tampak seperti anak bangsawan kebanyakan. Memangnya kenapa yah?"
"Kalau benar dia dari keluarga Gilbert, kemungkinan besar dia putra Morgan Antonio Gilbert. Kau tahu, si menteri pertahanan itu."
"Wah, benarkah yah?"
"Entahlah, nanti ayah tanyakan kepada Morgan. Ayah lupa ia memiliki putra yang seumuran denganmu, ayah hanya tahu putrinya berumur satu tahun lebih muda darimu yang sepertinya juga bersekolah di sana."
Raja Arthur kini sibuk mengaduk teh di cangkirnya, ia menambahkan perasan lemon sebelum meminumnya, "Mau minum teh?"
"Tidak ayah, aku ingin beristirahat di kamar."
"Baiklah, kembali ke kamarmu. Turunlah saat makan malam nanti."
"Baik yah." Ucap Xavier sambil meninggalkan ayahnya yang masih sibuk dengan kegiatan teh sorenya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!