Tangan Laras meremas erat gelas kaca bersamaan dengan air mata meleleh di pipi, tubuhnya bergetar hebat menyaksikan pemandangan paling menyakitkan tidak jauh dari tempat ia berdiri.
Angga.
Cowok yang beberapa tahun lalu mengucap janji bersama Laras dipertunangan mereka kini tengah mencium bibir seorang cewek asing. Hati Laras terasa sakit sekali, seperti diiris sebilah pisau tajam. Tidak kuat melihat pemandangan itu Laras lantas balik badan dan berlari ke arah pintu keluar. Ini adalah pertama kalinya Laras mengikuti ajakan Manda dan Amel pergi ke club, namun pengalaman pertamanya justru membawanya pada sebuah fakta menyakitkan.
Angga, tunangannya, berselingkuh di belakang Laras.
...----------------...
Laras sudah berhenti terisak sejak setengah jam lalu dan ia kini duduk di bangku panjang taman kota. Wajah Laras menunduk menatap sayu sepatu kuning terang yang sebenarnya tidak begitu cocok dengan kaos merahnya. Sepatu kuning yang selalu ingin Manda buang ke tempat sampah.
“Bikin sakit mata tau nggak? Sepatu lu ngegas kayak ibu-ibu kompleks lagi debat ending ikatan cinta!” ketus Manda setiap kali melihat Laras begitu pede mengenakan sepatu kuning itu kemanapun ia pergi. Tapi Laras tidak peduli, sepatu itu adalah sepatu pertama yang ia beli dari tabungan tiga bulan gaji part time di kafe.
Tanpa sadar bibir Laras menyunggingkan senyum kecil, Manda pasti sedang mencarinya, sejak tadi Laras sama sekali tidak berniat untuk memeriksa ponselnya yang terus bergetar sejak ia meninggalkan club. Senyum Laras menghilang begitu melihat tangan seseorang menyodorkan sapu tangan biru. Laras mendongak, untuk beberapa detik ia termangu menatap sosok seorang cowok dari balik hoodie hitam sedang menatapnya. Laras menelan liur kagum, cowok itu tampan dengan garis wajah tegas dan alis tebal, hanya saja sebuah piercing di alis memberikan kesan urakan dari raut wajahnya.
“Ada dua kemungkinan untuk cewek yang nangis tengah malam kayak gini. Kuntilanak atau orang gila. Kamu termasuk yang manas?” Nada berat cowok itu membuat perasaan kagum Laras buyar dan berganti was-was. “Nggak ngacuhin tangan orang itu hukumnya neraka loh” lanjutnya menyindir Laras karena terlihat tidak berniat untuk mengambil sapu tangan darinya.
“Kamu…siapa?” tanya Laras gugup, aneh, karena bukannya pergi Laras malah balas menatap cowok itu lekat-lekat. Laras seperti tersihir pada pesonanya.
“Valdano. Kamu bisa panggil saya Dano. Tadi saya lihat kamu nangis, makanya saya samperin. Tapi kamu malah nggak terima sapu tangan saya”
“Makasih” kata Laras pelan tapi tetap tidak mengambil sapu tangan itu. Jangan salahkan Laras, ia hanya sedang bersikap was-was. Bagaimana jika ternyata ada obat bius di sapu tangan itu seperti adegan sinetron? Lalu ketika Laras menggunakan sapu tangan itu, ia malah pingsan, dan saat sadar ginjalnya sudah tidak ada. Laras bergidik ngeri langsung mengambil jarak di antara dirinya dan Dano.
“Kamu kenapa nangis?”
“Nggak papa” jawab Laras cepat ingin memberikan kesan bahwa ia tidak mau mengobrol dengan Dano.
“Cewek itu aneh ya. Ditanya kenapa malah jawab nggak papa, padahal lagi ada sesuatu” balas Dano kalem. Kening Laras berkerut, tapi tidak membalas perkataan Dano, bagi Laras untuk ukuran orang asing Dano itu terlalu cerewet dan mau tau urusan orang lain. “Kamu pernah enggak, tengah malam gini rebahan di atas genteng mapolda?”
Laras jadi bengong. Ini orang ngajak bercanda? batin Laras malah makin was-was. Seandainya candaan itu keluar dari mulut Manda, Laras mungkin akan tertawa. Tapi sekarang Laras berada di situasi dimana saraf humornya mendadak mati begitu saja, karena itu tanpa menjawab pertanyaan Dano, Laras memilih berdiri hendak melangkah pergi.
“Laras!”
Langkah Laras langsung terhenti, ia balik badan terkejut mendengar Dano memanggil namanya. Apa Dano memang mengenalnya?
Dano berdiri mendekati Laras, ia sama sekali tidak terlihat canggung, berbeda dengan Laras yang justru berdiri kaku, tatapan Dano membuat kinerja sel motorik Laras mati sejenak, bahkan meskipun tangan Dano terangkat naik menarik pelan ikat rambut Laras, ia hanya bisa terdiam bagai orang bodoh.
“Saya simpan ikat rambut kamu. Soalnya kamu lebih cantik kalo rambutnya dilepas kayak gini. Sampai ketemu lagi Laras.” Dano memasukan ikat rambut Laras ke saku hoodienya. Senyum Dano mengembang kemudian tanpa berkata apapun Dano melangkah pergi melewati Laras.
Drrt..drrt…
Suara getar ponsel membuat Laras tersadar, ada panggilan masuk dari Manda. Cewek itu mengomel membuat Laras meringis.
[Gue kesana sekarang. Jangan kemana-mana! Lu hampir buat gue kena serangan jantung!] teriak Manda mematikan sambungan telepon tepat setelah Laras memberitahukan dimana dirinya berada.
Tiba-tiba Laras teringat Dano, ia membuka google dan mencari sesuatu. “Santet lewat ikat rambut…..Nggak mungkin kan ya, aku disantet? Bodoh banget aku biarin dia ngambil ikat rambutku” gumam Laras panik menscroll layar ponsel, dan ketika tidak menemukan apa yang ia khawatirkan Laras langsung menghela nafas. Angin malam berhembus pelan membuat helaian rambut Laras turun mengenai wajah. Laras berpaling mencari sosok Dano seandainya cowok itu masih berada disana. Namun, meskipun Laras mencarinya sampai ujung taman, Dano sudah tidak lagi berada disitu.
...----------------...
“Gila! Gue jadi lu, gue putusin. Bajingan! Awas aja kalo sampai ketemu gue, gue tonjok! Jadi cowok brengsek banget, bibir nggak bisa disekolahin, nyosor sana, nyosor sini.”
Laras meringis mendengar omelan Amel, wajah cewek itu tertekuk tanda bahwa mulai hari ini Angga akan menjadi musuh bebuyutnya. Laras tidak bisa membayangkan seberapa sinisnya Amel nanti ketika bertemu Angga.
“Tau tuh, si bajingan. Awas aja, gue kutik lak-lakannya” tambah Manda ikutan sebal.
“Udah-udah, aku cerita ke kalian biar kalian tahu aja kalo untuk sementara aku mau menghindari Mas Angga”
“Mas-mas! Nggak cocok dia jadi mas lu. Putusin aja!” dengus Amel emosi.
“Aku juga maunya begitu Mel. Tapi tahu kan, ribet urusannya kalo sama keluarga besar”
“Ya lagian elu mau aja dijodohin. Harusnya lu kabur”
“Nggak segampang itu Mel. Kalau aku kabur, nggak mungkin aku sekarang bisa duduk disini dan curhat sama kalian” balas Laras lemah.
Laras berasal dari Surabaya, di sebuah desa yang sedikit jauh dari pusat gemerlap kota Surabaya. Cewek berusia dua puluh tahun itu adalah calon mahasiswa semester akhir di sebuah kampus swasta Jakarta. Laras bukan berasal dari keluarga ningrat, tapi bapaknya adalah pemilik beberapa hektar sawah dan kandang sapi di desa, karena itu Laras cukup beruntung bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang kuliah, meskipun beberapa persen dari uang kuliah dibayar oleh beasiswa mahasiswa berprestasi kampus, tapi untuk biaya hidup Laras tidak merasa kekurangan. Namun semua itu bukan berarti akan melepaskan Laras dari jeratan kisah Siti Nurbaya. Laras ditentukan akan bertunangan dengan Rangga Liem alias Angga. Pertunangan itu dilandaskan atas dasar balas budi Hartono Liem pada Susanto, bapak Laras yang pernah menampung Hartono dulu saat pertama kali membuka bisnis. Sejak berada di sekolah menengah Angga bersekolah di Amerika, namun entah mengapa ia tiba-tiba kembali ke Indonesia dan menerima pertunangannya dengan Laras. Di pertemuan pertama mereka Angga memberikan kesan menyenangkan, ia baik dan sopan, begitupun seterusnya, membuat Laras berpikir tidak ada alasan untuk menolak perjodohan itu. Bahkan Laras bisa memberikan penilaian seribu dari seratus atas kesabaran Angga saat pertama kali mengajari Laras tentang seluk beluk kota Jakarta.
Bagi Laras Angga adalah segalanya. Tapi itu dulu. Dalam semalam semua berubah. Angga berhasil menghancurkan Laras sampai berkeping-keping, membuat Laras merasa jijik, bahkan untuk sekedar menyapa cowok itu.
“Apa aku sejelek itu ya? Sampai Mas Angga tega sama aku?”
“Lu tuh nggak jelek Ra, lu manis. Cuman perlu pembaharuan dari segi pilih-pilih baju aja” ceplos Amel langsung kena sikut Manda.
“Aku nggak terlalu ngerti cara pilih baju Mel, kalo menurut aku nyaman dan sopan, yaudah aku pakai itu”
“Loh kan ada gue disini sebagai penasehat lu.”
Laras langsung menggeleng keras. “Nggak Mel, makasih. Aku mending pakai kaos dari karung dibanding ikut gayamu.”
Amel mendengus mencubit Laras. Gaya berpakaian Amel memang cenderung cukup nyentrik. Kegilaannya pada musik metal membuat cewek itu tidak peduli berapa banyak piercing, tatto, ataupun kaos bergambar aneh yang selalu ia pakai setiap ke kampus. Bahkan Amel acap kali menjadi bulan-bulanan dosen pancasila yang merasa terganggu dengan ripped jeans Amel.
“Ke kelas yuk” ajak Laras melirik jam tangan. Mereka menyusuri koridor utama kampus yang selalu ramai di jam-jam makan siang.
“Bebek aja ngantri” ketus Amel ketika seorang cowok memotong antrian masuk lift. “Ih, pengen gue tonjok” dengus Amel sebal ketika cowok itu tersenyum kalem.
“Udah Mel, jangan kebanyakan marah-marah. Ntar jadi bengkoang loh” tegur Manda seperti biasa menjadi peredam emosi Amel yang selalu meluap-luap.
“Idih apa hubungannya?”
Manda dan Laras sama-sama tertawa geli. “Cowok lu” korek Manda menunjuk Angga dari kejauhan.
Laras berpaling, ekspresinya langsung berubah tidak enak. Ia buru-buru pindah di sebelah Amel, postur tubuh Amel yang sedikit lebih besar membuat Angga tidak akan melihatnya. Laras sangat berharap Angga tidak akan menyapa, karena Laras masih belum siap untuk bertemu atau berbasa-basi dengan cowok brengsek itu.
“Naik tangga aja yuk” ajak Manda berinisiatif menarik Laras melarikan diri dari Angga tepat sebelum cowok itu melihat mereka.
“Mau sampai kapan kita kabur-kaburan kayak gini?” tanya Amel ngos-ngosan menginjakan kaki di tangga lantai tiga. “Ini untung kelasnya di lantai tiga. Coba kalau di lantai sembilan, apa enggak semaput kita?”
“Maafin aku ya, jadi ngerepotin kalian gini” kata Laras tidak enak hati.
Amel menggeleng, menarik nafas panjang saat membuka pintu tangga darurat. “Pokoknya lu harus putus sama Angga. Urusan keluarga besar biarin belakangan.”
...----------------...
Pukul lima sore Laras baru selesai dari semua kegiatan kampus. Setelah menaruh berkas laporan penggunaan dana di ruang sekretariat paduan suara, Laras melangkah keluar.
“Sayang!” Laras tersentak tanpa permisi Angga merangkul pundaknya dari belakang.“Kamu kemana aja? Aku cariin dari tadi. Chat aku nggak dibalas”
“Aku nggak sempat nyalain ponsel” kata Laras menepis pelan tangan Angga. Ia sedikit mengambil jarak di antara mereka. Melihat Angga sekarang membuat rasa jijik Laras kembali. Cowok yang tersenyum di depannya ini adalah cowok yang mencium selingkuhannya di club kemarin malam.
“Kamu kemarin kemana?”
“Club. Bareng anak-anak” jawab Angga santai. Laras mengangguk, tidak bertanya lagi. “Yuk, aku anterin pulang”
“Kamu nggak latihan futsal?”
“Masih lama. Aku mau nganterin cewek aku pulang dulu. Kalo cewek aku diculik di jalan gimana? Apa nggak jadi gila aku?” Bohong. Dasar pembohong. Laras memaksakan diri tersenyum, ia masuk ke dalam mobil. “Aku punya sesuatu untuk kamu.” Angga mengambil sebuah bungkusan dari belakang dan menaruh di atas pangkuan Laras. “Waktu ngeliat ini aku ngerasa ini cocok buat kamu. Sini aku pasangin.”
Laras menatap kalung matahari di lehernya dengan perasaan berkecamuk. Ia membenci Angga, tapi sebagian dari hatinya merasa bimbang. Haruskan ia merelakan cintanya pergi begitu saja?
“Alah! Itu mah cuman pencitraan. Cowok kalo tiba-tiba baik, pasti karena ngerasa bersalah akan sesuatu. Udah lu nggak usah kemakan rayuan buaya kayak gitu. Sini kalung lu, gue beliin yang lebih bagus”
“Eh, eh, mau lu apain kalungnya Laras?” tahan Manda ketika Amel hendak meraih kalung dari leher Laras.
“Mau gue kasih ke Gegi” dengus Amel menyebut nama anjingnya. Laras ketawa geli sementara Manda mencubit tangan Amel agar menjauh.
“Udah Mel, kita nggak usah terlalu ikut campur. Biar Laras yang buat keputusan sendiri” tegur Manda. “Apapun keputusan lu, gue dukung Ra”
“Sampai keputusan lu merugikan diri lu sendiri. Gue gampar” kata Amel cenderung kontra lalu menarik Laras mendekat dan menggandeng tangan cewek itu. “Sini Ra, jangan jauh-jauh dari gue. Sampai hari lu putus sama Angga, gue bakal ngawasin lu dua puluh empat jam.”
Ketiga cewek itu kemudian berjalan melewati taman kampus menuju gedung hukum untuk menghadiri mata kuliah umum pancasila.
“Woi Mel! Kemana aja lu? Gue kira meninggal.”
Amel ketawa ngakak melambaikan tangan pada teman-temannya. Bukan hal baru ketika melihat Amel ditegur oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Ini yang tidak bisa dimengerti Manda dan Laras. Jadwal kuliah mereka hampir sama, mereka selalu pergi kemanapun bersama, tapi Amel seakan memiliki menit-menit khusus untuk membangun pertemanan dengan orang lain.
“Siapa lagi tuh Mel? Kenal dimana?” tanya Manda seperti biasa ketika Amel menyapa seorang cowok yang berlari tergesa-gesa meninggalkan gedung hukum.
“Radit, habis cuti dua semester”
“Buset lama banget. Cuti melahirkan apa gimana?”
Amel cekikikan. “Sembarangan lu. Si Radit baru keluar rehab, biasalah mantan pemakai, makanya lu lihat aura mukanya kayak lambang BNN.”
Laras dan Manda ketawa. Amel mendorong pintu kelas dan melongo menatap seisi kelas, sudah penuh, padahal masih ada waktu dua puluh menit lagi sebelum kelas dimulai.
“Udah nggak ada tempat lagi. Yaudahlah, paling belakang aja” kata Manda menunjuk empat kursi di bagian paling belakang.
“Gini nih kalo matakuliah umum gabung sama junior, kelas belum mulai udah penuh. Minggu depan bisa duduk dilantai gue. Ru, ada yang duduk disini nggak?” korek Amel pada Heru, ketua srikandi bertubuh gede.
“Paling pojok buat temen gue. Tuh ada tanda” tunjuk Heru pada peniti kecil yang ia taruh di kursi ujung. Amel geleng-geleng, mereka kemudian duduk di kursi paling belakang, Laras tepat di belakang Heru.
“Tenang aja Ra. Kalo nggak bisa lihat, nanti gue pinjemin catetan gue, tapi bayarannya pakai ngedate di stasiun Cikini” goda Heru iseng ketika melihat Laras berusaha keras mencari posisi tepat untuk melihat ke arah papan tulis.
“Idih. Laras nggak perlu catetan lu, ada catetan gue”
“Emang lu nyatet Mel?”
“Enggak. Gue pinjem catatannya Manda. Sono lu ngadep depan, nggak udah balik-balik belakang. Laras muak lihat muka lu”
“Sensi banget sih Mel. Ada apa gerangan kawan? Nyokap lupa kirim uang? Sini gue bayarin hidup lu sebulan”
“Makasih Ru, gue mending minta dibayarin Manda atau Laras. Haram hukumnya pakai duit penjudi kayak lu” tolak Amel kejam. Heru menyentil jidat Amel membuat cewek itu mengomel.
“Hati-hati Mel, keseringan berantem bisa jadi jodoh” ujar Manda cekikikan.
“Dih najis. Mending gue nikah sama Mang Imang, tukang pisang goreng depan rumah. Tiap hari kenyang makan pisang, nah kalo sama yang ini apa yang bisa diharapkan? Kuliah aja nggak niat, tuh lihat mulai pinjem-pinjem pena” sinis Amel ketika Heru mulai berkelana mencari pena dan kertas binder.
“Mel!”
Amel tersentak hampir jatuh ke belakang ketika seorang cowok menarik tudung jaketnya. “Anjing lu No. Kalo gue jatuh gimana?”
Cowok itu tidak menjawab, ia menarik kursi duduk di samping Laras. Wajah Laras berpaling, tatapan mereka bertemu dan ekspresi Laras langsung berubah gugup begitu melihat siapa cowok itu.
Dano.
Cowok aneh yang pernah Laras temui tempo hari di taman kota.
“No, lu ikut judi bola semalam nggak?” tanya Amel dari samping.
Dano menggeleng. “Nggak Mel, gue cuman taruhan siapa yang nyesel ikut judi bola”
“Lu menang?”
“Iya”
“Terus siapa yang nyesel ikut judi?”
“Rafael, hari ini mau ikut ibadah sore di gereja. Katanya mau minta belas kasih Tuhan biar nggak dikerangkeng sama nyokapnya”
“Kalah berapa dia?”
“Nggak banyak sih, cuman duit SPP satu semester” jawab Dano kalem.
“Dua puluh juta dong!” Amel melongo.
“Ru pinjam pena dong” korek Dano ketika Heru kembali ke tempat duduk.
“Nggak punya, gua aja minjem sebiji punya Sarah”
“Nggak modal banget sih lu berdua, punya duit tuh beli pena. Niat kuliah nggak sih?” kata Amel.
“Sorry ya No. Pacar gue kalo pagi-pagi emang rada sensian. Maklum habis jadi siluman bulldog kemarin, galaknya masih nempel”
“Kurang ajar!”
Dano ketawa geli melihat Amel mengamuk sementara Manda seperti biasa menjadi penengah, meskipun ia juga ikut cekikikan geli.
“Ra, pinjem pena” minta Dano tanpa basa-basi menyodorkan tangan.
Laras bengong sejenak lalu menyodorkan kotak pensilnya. Setelah itu sepanjang pelajaran Laras merasa gelisah. Fokusnya terbagi-bagi antara mendengarkan Pak Pangaribuan atau Dano. Tanpa perlu berpaling, Laras bisa merasakan Dano asik memperhatikan gerak-gerik Laras.
“Nyatet apa Ra? Emang kelihatan papan tulisnya?” bisik Dano membuat Laras sedikit terkejut.
“Enggak. Tapi aku nulis yang aku dengar”
“Rajin ya. Entar pinjem dong Ra, buat saya pake belajar”
“Emang kamu nggak nyatet?”
“Enggak, kan ada catatan kamu.”
Idih yang mau pinjemin siapa? batin Laras meringis.
“Ra, kamu pernah nggak-”
“Aku nggak pernah rebahan di genteng mapolda tengah malam” potong Laras. Tanpa diduga Dano cekikikan geli, Laras melemparkan tatapan bingung, cowok itu bersikap seakan mereka sudah mengenal sejak lama.
“Padahal saya mau nanya hal lain”
“Apa?”
“Udah pernah pergi ke warung makan sederhana di ujung gang dekat kampus nggak? Disitu ayam gorengnya enak”
“Belum pernah”
“Kapan-kapan makan bareng saya yuk disitu. Berdua doang, biar makin akrab”
“Makasih tawarannya, tapi aku nggak suka ayam bakar.”
Dano menyunggingkan senyum tipis. “Mungkin sekarang enggak, tapi besok-besok bisa suka.”
Mata Laras sedikit menyipit melemparkan tatapan sinis. Mendadak ia merasa muak harus meladeni Dano. Efek patah hati karena Angga membuat Laras tidak ingin berbicara pada cowok manapun, kecuali dosen yang sebenarnya memang cukup aneh kalau dijadikan teman mengobrol.
“Kenapa matamu? Kelilipan. Sini saya tiup, takutnya kerikil yang masuk” tanya Dano kalem. Laras melotot kesal, ia hendak membalas perkataan Dano namun suara Pak Pangaribuan terdengar dari depan.
“Itu mbak dan mas di belakang kenapa ngobrol sendiri?”
Laras berpaling. Semua tatapan mata kini terarah padanya dan Dano, membuat Laras menjadi gugup. Laras menelan ludah, ia ingin berbicara namun suara Dano sudah lebih dahulu terdengar.
“Ini pak si Laras, masa tiba-tiba ngajak saya nikah. Kan saya masih pengen kuliah.”
Laras bengong sementara sekelas tertawa kencang. Rona wajah Laras berubah merah, ia tidak bisa mengatakan apapun karena suara siulan terdengar keras memenuhi ruang kelas untuk menggoda dirinya. Wajah Laras berpaling pada Manda dan Amel meminta bantuan, namun kedua cewek itu justru menatapnya heran.
...----------------...
Laras meneguk es jeruk, ia merasa haus karena sejak tadi harus bercerita panjang lebar pada Amel dan Manda perihal Dano, cowok kurang ajar yang berhasil membuat Laras menjadi bahan tertawaan satu kelas.
“Aduh gue ngakak banget sama Dano. Gue tau dia lawak, tapi gue nggak nyangka bisa selawak itu.” Amel cekikikan geli masih mengingat kejadian di ruang kelas tadi, bisa dipastikan mulai minggu depan Dano dan Laras akan sedikit mendapat perhatian ekstra dari Pak Pangaribuan.
“Iya lucu bagi kamu, karena bukan kamu korbannya. Aku malu tau!” dengus Laras sewot.
“Ya ampun Ra, jangan marah dong. Itu bercandaan Dano doang. Laras lucu deh kalo marah, mukanya kayak bekicot” goda Amel, bibir Laras semakin manyun.
“Udah dong Mel, itu kalo bibirnya makin maju udah bisa jadi topi ulang tahun” tambah Manda ikut cekikikan geli.
Laras kembali menyeruput es jeruk, pura-pura tidak mendengar godaan kedua sahabatnya, ia mengebas-ngebas jeans merah mudanya lalu menopang dagu menunggu tawa Amel dan Manda reda.
“Kamu kenal Dano dimana?” tanya Laras.
“Dia anak srikandi” jawab Amel singkat.
Srikandi adalah nama organisasi band kampus. Banyak rumor buruk mengenai srikandi. Katanya ada anak srikandi yang ketahuan menggunakan narkoba sampai kampus harus turun tangan untuk menutup kasus tersebut agar tidak mencemarkan nama baik kampus. Ada juga yang bilang setiap acara internal anak srikandi pasti membawa miras, tapi anehnya tidak pernah ada teguran resmi dari pimpinan kampus untuk organisasi itu. Mungkin banyaknya prestasi dan trofi yang dibawa pulang srikandi membuat pimpinan kampus sedikit menutup mata. Karena meskipun anak srikandi rata-rata malas kuliah, tapi untuk ukuran mengikuti lomba mereka juaranya, bahkan banyak senior srikandi sudah wara-wiri di Tv.
Tampang anak srikandi yang rata-rata urakan dan terkesan sulit diatur, membuat banyak orang semakin yakin bahwa gosip yang mereka dengar benar adanya. Tapi sepertinya anak Srikandi tidak ambil pusing, terbukti dengan tulisan gede di dekat pintu masuk sekre srikandi yang berbunyi sarkasme untuk dibaca orang lewat; jangan masuk sekre ini, anak band nggak ada yang bener!!!
“Pantes…” gumam Laras dongkol.
“Pantes apa Ra? Bajingan?” kekeh Amel geli. “Dulu Dano mau dijadikan calon ketua Srikandi, cuman karena dia nggak punya visi misi jadi ya dengan sangat dipaksakan posisi Dano hanya sebagai donatur”
“Kok Donatur?”
“Ya nyumbang otak nggak bisa Nda, mau gimana lagi?”
Manda tertawa geli.
“Lagian ya, anak-anak tajir srikandi posisinya pasti jadi donatur. Lu perhatiin aja, tiap ngadain acara mereka nggak pernah jualan risol”
“Emang nggak ngerasa rugi?”
“Tau deh, selama ini sih pada nggak ada yang protes.” Amel angkat bahu lalu berpaling dengan ekspresi masam ketika melihat nama yang muncul dari ponsel Laras. “Lu berdua belum putus?”
“Putus sama Mas Angga nggak segampang itu Mel. Urusannya harus sama keluarga besar.
“Alah! Persetan sama keluarga besar! Masa lu mau ngorbanin masa muda lu dengan nikah sama tukang selingkuh? Sekalinya selingkuh mah bakalan selingkuh terus. Ibarat anjing yang suka tulang maka selamanya dia akan menjadi anjing” nyinyir Amel ngaco.
“Aku duluan ya” pamit Laras nyengir lebar. Laras menuju gedung ekonomi yang jaraknya cukup jauh dari kantin gedung hukum, terlihat Angga melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
“Untung ada kamu. Kalo enggak udah habis aku dimarahi dosen, Aku pinjam ya, besok baru aku balikin” kata Angga mengambil buku paket audit milik Laras. “Kamu udah makan?”
“Udah.”
Angga mengangguk tidak bertanya lagi, pertanyaan tadi memang hanya sekedar basa-basi. Ponsel Angga bergetar, ada sebuah panggilan masuk, cowok itu lantas mengambil sedikit jarak dari Laras. “Iya, dikit lagi aku kesana. Aku lagi sama Laras.”
Alis kanan Laras sedikit terangkat naik, ia diam-diam memperhatikan gerak-gerik Angga. Setelah kejadian di club waktu itu, sekarang semua menjadi terlihat lebih jelas. Laras tidak mengerti kenapa ia bisa begitu bodoh sampai tidak menyadari kebohongan Angga.
“Siapa?” tanya Laras ketika Angga selesai menelpon.
“Teman kelompok, mau kerjain tugas.”
Teman atau selingkuhan? batin Laras menyindir.
“Aku pergi dulu ya Ra.” Angga melambaikan tangan lalu melangkah pergi, ia terlihat terburu-buru seperti dikejar sesuatu. Laras mematung menatap Angga sampai cowok itu menghilang dari balik parkiran depan gedung ekonomi.
“Itu pacar kamu?”
Laras berpaling. Dano berdiri di samping, tangannya memainkan stik drum dan ikut menatap ke arah pandang Laras. “Ngapain kamu disini?” tanya Laras ketus karena Dano selalu muncul di momen-momen krusial.
“Dengan jeans merah muda, kaos kuning, kamu menarik perhatian dari kejauhan. Oh iya, sepatu kamu juga on fire. Lagipula ini koridor kampus, jadi semua orang bebas lewat sini” jawab Dano kalem. Laras mendengus, ingin rasanya menyepak Dano, tapi Laras memilih pergi, tanpa diduga Dano mengejarnya.
“Ra, kok pergi tanpa pamit sih? Ntar dimarahin orang tua loh karena nggak sopan”
“Orang tua aku di Surabaya, mereka nggak bakalan marahin aku karena nggak pamit sama kamu” balas Laras jengkel melangkah lebih cepat.
“Kalo gitu ntar dimarahin karena nggak pake pelukan perpisahan. Ra...Ra…Laras.” Dano terus mengejar langkah Laras, ia ikut mempercepat langkahnya dan menghalangi jalan Laras. “Ra, marah ya karena candaan tadi pagi?” tanya Dano serius.
Laras mendongak tidak nyaman, tingkah Dano sukses membuat mereka menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berada di koridor. “Aku nggak marah”
“Tapi muka kamu kayak orang lagi marah”
“Aku nggak marah!”
“Lah tapi kamu ngegas?”
Laras menghela nafas dan berkata pelan. “Pokoknya aku nggak marah sama kamu Valdano. Puas?”
“Hmm… berarti kamu marah karena Angga selingkuh” tembak Dano sengaja.
Mata Laras membulat terkejut. “Kamu tau-”
“Dari mana?”
Laras mengangguk membuat Dano tersenyum, ia berhasil mendapat perhatian Laras.
“Nggak penting saya tau dari mana. Tapi saya datang ke kamu karena saya mau ngasih ide buat kamu.”
Simpen idemu, aku nggak mau dengar! batin Laras berteriak
Dano menunduk sedikit dan berbisik pelan. “Gimana kalo kamu selingkuh sama saya? Biar impas”
Laras melongo, Dano ternyata bukan sekedar aneh. Lebih dari itu, Dano sinting.
...----------------...
Sejak hari itu, hidup Laras tidak lagi tenang. Tubuhnya seakan timbul medan magnet kuat yang mampu menarik besi bernama Dano untuk mendekat. Entah bagaimana bisa, tapi Laras selalu bertemu Dano di setiap mata kuliah umum yang ia ambil. Seakan Dano adalah bunga matahari yang baru mekar ketika ada cahaya.
Tidak hanya itu, Dano bahkan lebih berani untuk menggoda Laras, di setiap kesempatan ia selalu mendekati cewek itu dengan tingkah kocaknya. Laras sendiri tidak bisa melakukan apapun, selain Amel berteman dengan Dano, Manda sendiri juga tidak terlihat keberatan dengan kehadiran cowok itu.
“Ra, tuh penggemar lu” tunjuk Manda ketika melihat Dano muncul dari kejauhan bersama Heru. Laras mendengus mengunyah risol, wajahnya langsung tertekuk.
“Laras...cintaku, pujaan hatiku, bunga-bunga impianku. Ngapain kamu?” tanya Dano tanpa permisi duduk disamping Laras.
“Lagi nyemen” jawab Laras jutek.
“Kuat banget nyemen pake gigi” balas Dano ketawa.
Laras melotot kesal sementara teman-temannya tertawa geli. Tanpa malu-malu Dano memberikan kecupan jauh membuat Laras merinding dan setelah itu seolah tidak terjadi apapun Dano malah membahas acara makrab srikandi yang akan diadakan di bulan Agustus nanti, seolah ekspresi kesal Laras sudah menjadi hal biasa baginya.
“Emang yang daftar srikandi banyak?” tanya Manda karena sejak kemarin koridor utama gedung ekonomi sudah dipakai untuk membuka pendaftaran masuk organisasi kampus.
“Iya. Gue sampai harus buat jadwal wawancara” angguk Heru tanpa permisi mencomot risol Amel.
“Sok banget, masuk organisasi pake wawancara segala, kayak lagi daftar kerja. Mending kalo dibayar pake duit, ini cuman dibayar amer” kata Amel seperti biasa nyinyir.
Heru nyengir. “Justru itu Mel, karena sebotol amer lumayan nguras kantong mahasiswa kayak kita, makanya gue wawancara buat ngambil orang yang berpotensi. Ambisi gue mau mengubah pandangan orang tentang srikandi”
“Hapus tuh tulisan di samping sekre, baru lu ngomong gitu”
“Kalo itu nggak bisa Mel. Udah jadi semboyan Srikandi. Nda, mau gabung? Ntar lu gue jadiin maskot Srikandi”
“Enggak deh makasih, gue udah capek di HIMA” tolak Manda menggeleng.
“Tanya yang ini juga dong” tunjuk Dano pada Laras.
“Kalo itu urusan lu No” kekeh Heru.
Dano menopang dagu dan menatap Laras lekat-lekat. “Gabung srikandi yuk, khusus kamu nggak perlu wawancara”
“Nggak mau” tolak Laras mentah-mentah.
“Loh kenapa? Srikandi bagus loh, saya ajarin kamu main drum. Sambil pangku-pangkuan juga nggak papa” goda Dano, mata Laras memutar tapi tidak menjawab.
“Gila lo No” tawa Amel kencang.
“Serius loh gue Mel. Kalo Laras masuk, gue makin semangat buat gebug drum. Masuk ya Ra? Nanti saya beliin ale-ale”
“Mending kamu diam, makan risol” kata Laras langsung menyodorkan risol ke mulut Dano.
“Cielah udah suap-suapan. Cepat bener perkembangannya” goda Heru tertawa.
“Lu semua cukup lihat kita suap-suapan, lebih dari itu nggak boleh. Bener kan Ra? Ntar kalo ciuman, di tempat sepi aja Ra. Biar mereka nggak lihat” kata Dano pura-pura berbisik. Laras langsung mencubit lengan Dano kencang sampai cowok itu berteriak kesakitan.
“Aku duluan ya, mau kelas”
“Kan masih dua puluh menit lagi Ra, santai aja” ujar Amel.
“Nggak papa. Aku mau tag tempat” kata Laras buru-buru angkat kaki dari situ.
“Bareng gue Ra. Gue mau ngambil proposal di sekre.” Manda berdiri mengikuti Laras.
“Parah lu No, sampai kabur gitu anaknya” kata Amel cekikan geli.
Dano nyengir dan tanpa diduga ia berteriak kencang. “Hati-hati Laras sayang!!! Jangan sampai lecet dijalan!! Good bye my darling!!!”
Laras bergidik ngeri. “Dasar gila!”
...----------------...
Entah dari mana asalnya, tapi gosip kedekatan Dano dan Laras sudah menyebar dimana-mana. Saking kencangnya, gosip itu akhirnya sampai ke telinga Angga, ia yang awalnya tidak peduli Laras dekat dengan siapapun mulai merasa terganggu dengan munculnya nama Dano.
Di malam minggu dalam kencan membosankan yang sering dilakukan Angga bersama Laras di toko buku, Angga menyempatkan diri untuk menanyakan kebenaran gosip yang ia dengar.
“Itu nggak bener. Kebetulan aja Dano temenan sama Amel, makanya aku kenal dia. Kita nggak punya hubungan seperti yang diceritain orang-orang” geleng Laras tegas.
Emangnya aku kamu? tukang selingkuh? batin Laras mendengus.
“Oh yaudah kalo emang cuman begitu. Aku percaya sama kamu” jawab Angga lugas tidak bertanya lagi. “Ra, kapan-kapan pake rok kayak gitu dong. Kayaknya cocok buat kamu” kata Angga mengubah topik pembicaraan menunjuk seorang cewek di dekat eskalator.
“Nggak mau ah, nggak nyaman kalo pergi dengan pakaian minim begitu” tolak Laras.
Laras menyukai cara cewek itu berpakaian, ia terlihat manis dengan rok pendek dan jaket kebesaran, tapi Laras yakin ia akan terlihat jelek dengan style seperti itu, lagipula keluar rumah dengan pakaian minim bahan terasa tidak nyaman. Laras lebih suka mengenakan baju dan celana gombrang yang menutup tubuhnya, meskipun terkadang warna bajunya suka membuat sakit mata.
Raut wajah Angga berubah kecewa, ia mengikuti Laras tapi diam-diam sedikit memperhatikan gerak-gerik cewek itu. Dulu bagi Angga Laras itu manis sekali, ia punya lesung pipit dan senyum yang menarik.
Namun akhir-akhir ini Laras terlihat sangat membosankan. Angga benci harus melihat Laras begitu pede mengenakan sesuatu yang tidak nyambung. Seperti sekarang, Laras mengenakan jeans hijau tua, baju oranye garis-garis, dan sandal jepit yang menurut Angga terlihat sangat norak. Angga berharap Laras sadar, betapa tidak menarik dirinya saat berpenampilan begitu. Jujur Angga ingin setidaknya Laras sedikit merawat diri, seperti Sera misalnya.
Ya Sera.
Cewek yang beberapa waktu belakangan ini begitu menarik perhatian Angga.
Sera dan Laras itu ibarat langit dan Bumi.
Sera tau mana lipstik yang pas untuk baju yang ia kenakan, sepatu cantik yang cocok untuk acara yang akan ia hadiri, rambut tergerai badai, make up, dan paling penting Sera seksi.
Sedangkan Laras?
Jangankan seksi, make up saja ia tidak bisa. Angga bisa menghitung dengan jari berapa kali Laras mengenakan lipstik saat mereka pergi. Hanya di acara khusus cewek itu terlihat rapi, sisanya Laras seperti tidak peduli. Dan lama-kelamaan ketidakpedulian Laras membuat Angga jengah.
Ponsel Angga berbunyi, ada panggilan masuk dari Sera membuat senyumnya tanpa sadar mengembang. Angga buru-buru menjauh dan berbicara dengan Sera, tidak menyadari Laras diam-diam memperhatikan dirinya dari balik rak buku. Sekitar sepuluh menit Angga kembali. “Ra, aku anterin pulang. Aku harus nemuin teman”
“Mau ngapain?”
“Nyusun proposal acara organisasi. Hari senin mau nyerahin ke ketua”
“Temen siapa?”
Kening Angga langsung berkerut, Laras tidak pernah semau tahu ini pada urusannya. “Emang kalo aku kasih tahu, kamu tau siapa orangnya?”
Laras menggeleng dan memaksakan diri tersenyum manis. “Kamu duluan aja. Aku masih lama, masih banyak buku yang mau aku lihat”
“Jangan gitu Ra, masa aku ninggalin kamu disini?”
“Nggak papa. Aku masih mau keliling lagi, kamu pergi aja. Lebih urgent proposal kan?”
“Bener nih? Yakin nggak marah?”
“Iya. Nggak papa” angguk Laras. Angga tersenyum kemudian melangkah pergi.
Tubuh Laras berpaling mengambil buku di rak depan. Perlahan air mata Laras menetes, ia menangis. Hati Laras terasa sakit. Ia tidak pernah merasa serapuh ini dalam hidupnya. Harga diri Laras benar-benar tercoreng, tunangannya berselingkuh dan ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun.
Drrt….drrt
Suara ponsel Laras terdengar, ia melap air matanya dan menarik nafas mencoba untuk tetap terdengar tenang.
[Dimana lu?] tanya Amel tanpa basa-basi.
“Toko buku. Kenapa Mel?”
[Share location Ra. Gue mau ngajak lu sama Manda ke club. Malam ini kita party]
“Aduh Mel. Aku nggak bisa”
[Kenapa lu nggak bisa? Udah tenang aja. Gue bawa box khusus buat taruh buku-buku berharga lu itu]
“Bukan itu Mel. Masalahnya, aku pakai sendal jepit”
[Tenang Ra, club buat joget, bukan tempat adu alas kaki. Share location ya, nggak pake lama] kata Amel langsung mematikan sambungan telepon, tidak memberikan kesempatan pada Laras untuk menolak.
Laras menutup kedua telinga, suara kencang musik club membuat telinganya berdengung. Sebenarnya Laras ingin pergi, tapi melihat Amel tertawa lepas membuat Laras mengurungkan niat. “Ada acara apa sih sampai tiba-tiba ke club?” teriak Laras bertanya pada Manda.
“Kata Amel guna menyambut datangnya bulan Juni”
“Idih apa istimewanya?”
Manda angkat bahu. Ini adalah kedua kalinya Laras pergi ke club, selama ini ia hanya menghabiskan malam minggu bersama Angga atau berdiam diri di kamar.
“Ra, mau?” tawar Amel menyodorkan segelas alkohol. Laras menggeleng. “Coba aja Ra, entar kalo kita tepar, Manda yang bakal ngurus kita pulang”
“Emang kamu nggak minum?”
“Nggak Ra, gigi gue ngilu.” Manda menunjuk kawat gigi yang baru terpasang di giginya.
“Aku mau es teh aja” kata Laras polos. Amel tertawa ngakak lalu menegak alkohol.
“Entar ya Ra, gue cariin lu es teh, sekalian sama telur gelung” tawa Amel berlalu pergi.
Laras menatap sekelilingnya, ia bergidik ketika melihat beberapa pasangan tanpa malu-malu berciuman di tengah lantai dansa. Suara dentuman keras dan teriakan Dj di meja depan membuat semua orang bersorak. Laras ingat, saat pertama kali pergi ke club ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat aksi semua orang di club. Mereka seperti tidak peduli satu sama lain, yang ada dipikiran mereka hanya bersenang-senang sampai matahari terbit.
“Ra, joget kayak gini.” Manda meraih tangan Laras memaksa tubuh kaku cewek itu untuk bergerak mengikutinya.
“Amel nggak capek ya ke club? Aku yang berdiri aja capek”
“Amel emang suka tempat ramai Ra. Kalo misal pemerintah memutuskan untuk melarang club buka, Amel bakal demo di barisan paling depan.”
Laras ketawa. Lagu double bubble trouble dari Mia terdengar, perlahan Laras merasa tubuhnya mulai rileks mengikuti suara alunan musik. Terbawa suasana, Laras ikut bersorak bersama Manda, ia suka kehidupannya sekarang.
Selama ini Laras tumbuh dalam didikan keras, orang tuanya menganut prinsip bahwa perempuan itu harus santun, lembut, dan penurut. Laras tidak pernah keluar rumah ketika waktu sudah menunjukan pukul enam sore. Ia selalu dituntun untuk menjunjung tinggi tata krama dan adat istiadat keluarga.
Tapi sekarang, Laras malah ingin menertawakan semua itu. Pertemuan Laras dengan Amel dan Manda di semester awal kuliah seakan ingin menunjukan pada Laras bahwa terlalu banyak hal menarik yang seharusnya tidak ia lewatkan begitu aja.
Lucu, karena Laras yang terbiasa hidup dalam kekangan, justru bertemu Manda dan Amel yang terbiasa hidup dengan pilihan mereka sendiri. Sifat Manda mungkin masih sedikit mirip dengan Laras. Tapi, Amel dan Laras bagaikan langit bumi. Laras cenderung kaku ketika bertemu orang baru sementara Amel selalu bersikap seakan mereka adalah teman lama. Laras pendiam, Amel cerewet dan blak-blakan. Laras benci menjadi pusat perhatian tapi Amel adalah pusat perhatian.
Jika orang tua Laras melihat Amel, mungkin hari ini juga Laras kembali ke Surabaya. Mending Laras berhenti kuliah, dibandingkan bergaul dengan seorang cewek bertato dan bertindik yang selalu membawa rokok di kantong celana.
“Aku mau ke toilet bentar” kata Laras.
“Jangan lama-lama Ra.”
Laras masuk ke dalam toilet di dekat koridor ujung, tidak terlalu ramai. Laras menatap pantulan dirinya di kaca, sama seperti biasa. Rambut dikuncir kuda, kaos oranye garis-garis, jeans hijau tua, dan lipstik merah milik Manda yang ia pinjam tadi masih menghias bibirnya. Laras mendongak menatap pantulan kaca wastafel, sepasang pemuda pemudi keluar dari salah satu bilik toilet. Laras langsung pura-pura mencuci tangan untuk mengalihkan perhatian, tanpa bertanya ia langsung tahu apa yang mereka lakukan di toilet wanita. Kedua orang itu juga tampaknya tidak peduli dengan keberadaan Laras, mereka melangkah keluar tanpa mengatakan apapun.
“Emang nggak bisa nyewa hotel apa?” dengus Laras bergumam, ia keluar hendak kembali pada Manda. Namun baru beberapa langkah Laras menangkap sosok Angga berada di kerumunan orang yang berlalu lalang.
‘Ra, aku anterin pulang. Aku harus nemuin teman’
‘Mau ngapain?’
‘Nyusun proposal acara organisasi. Hari senin mau nyerahin ke ketua.’
Seperti sebuah memori menyakitkan, percakapan Laras dan Angga di sore tadi kembali teringat. Tanpa sadar kaki Laras melangkah mengikuti Angga.
‘Temen siapa?’
‘Emang kalo aku kasih tahu, kamu tau siapa orangnya?’
Tubuh Laras membeku. Teman yang Angga maksud kini berada di sampingnya dan sedang memeluk mesra lengannya. Untuk kedua kalinya Laras melihat Angga bersama selingkuhannya. Mata Laras berkaca-kaca ketika melihat kedua orang itu berciuman mesra, kejadian sama persis seperti yang ia lihat tempo hari.
Deg.
Jantung Laras berdegup kencang ketika wajah Angga berpaling ke arahnya, Laras spontan balik badan tidak ingin ketahuan sedang mengikuti mereka. Lucu, karena Laras adalah korban, namun ia malah bersikap pengecut tidak berani melabrak Angga dan selingkuhannya.
Setelah menarik napas Laras sedikit berpaling, memastikan Angga tidak melihatnya, dan benar, kedua orang itu kini berada di dekat meja bar. Laras menatap sendu, ia marah dan hatinya terasa sakit sekali. Angga meninggalkan dirinya di toko buku agar bisa bersenang-senang dengan selingkuhannya.
Laras melangkah mundur, air matanya meleleh di pipi. Sebuah tepukan di bahu membuat Laras tersentak, seseorang menarik dirinya dan ketika Laras mendongak, Dano berdiri tepat di depannya. Tanpa permisi Dano menarik kuncir rambut Laras, membiarkan rambutnya tergerai bebas.
“K-kamu…ngapain kamu disini?” Laras tercekat. Dano menatap ke arah Angga kemudian menunduk dan berbisik di telinga Laras.
“Nama cewek itu Sera. Mereka udah dekat dari beberapa bulan lalu. Kamu bukan ditipu satu atau dua hari, tapi lebih dari itu”
“Maksud kamu apa cerita kayak gini?”
“Biar kamu makin sakit hati” jawab Dano tenang, ia terlihat sangat menikmati momen sedih Laras karena Angga. “Tawaran saya masih berlaku.”
Laras diam membuat senyum Dano semakin mengembang. “Bahkan kalau kamu mau putus dari Angga tapi nggak jadi selingkuhan saya juga nggak papa. Saya punya penawaran lain”
“Apa?”
“Kita buat Angga menyesal udah selingkuh dari kamu. Gimana?”
Laras menghapus air matanya, ia masih terisak, tapi tidak terlihat ingin menolak tawaran Dano. Laras kembali berpaling ke Angga, kedua orang itu berangkulan mesra dan pergi dari situ.
“Kenapa kamu ngotot pengen ikut campur urusan aku?”
“Karena saya gabut, nggak tau mau ngapain” balas Dano santai. Laras mendongak. Tuhan memang adil, orang cakep itu nggak selamanya tercipta sempurna. Contohnya Dano, ia tampan, tapi suka berlaku tidak waras.
“Apa yang harus aku lakuin biar putus dari Angga dan buat dia menyesal udah selingkuh dari aku?”
“Cuman tiga. Ikuti apa kata saya, nggak ada yang boleh tahu hal ini, dan…….jangan pernah jatuh cinta sama saya.”
Laras tertawa sinis. Bahkan jika dunia ini berputar menjadi kotak, ia tidak akan pernah jatuh cinta pada Dano. Hebat, karena dalam beberapa hari, Angga sudah berhasil membuat Laras menggila dan merasa jijik pada semua cowok yang berada di dekatnya. Jadi, ketika Dano mengatakan jangan jatuh cinta padanya, Laras benar-benar ingin tertawa sekencang mungkin.
“Gimana? Deal?” Dano mengulurkan tangan disambut Laras dengan ekspresi yakin.
“Deal.”
...----------------...
Pukul setengah satu siang Laras baru bangun, matanya mengerjap-ngerjap ketika mendengar gedoran dari luar pintu kamar.
“Kenapa?” tanya Laras mengantuk.
“Ada cowok nyariin kamu di depan” jawab Sri, sepupu sekontrakan Laras.
“Siapa? Mas Angga?”
“Bukan, kalo itu mah udah aku suruh masuk. Cowok lain, bawa donat seplastik, ini, katanya buat cemilan. Tuh lagi ngobrol sama Apin di depan” beritahu Sri mengangkat plastik di tangannya. “Samperin gih, kasihan nunggu lama. Aku mau goreng telur, kamu mau?”
“Mau. Makasih ya Sri” angguk Laras lalu melangkah malas-malasan ke ruang depan. Siapa cowok kurang kerjaan yang mencarinya di jam segini? Pertanyaan Laras langung terjawab ketika melihat Dano duduk di depan sambil memangku Apin, kucing orens milik Sri.
“Ngapain kamu kesini? Tahu rumah aku darimana?” tanya Laras tanpa basa-basi.
Dano berpaling dengan senyum lebar. “Mau ngajak kuliah”
“Jadwal kelas aku jam tiga”
“Ini udah setengah satu”
“Emang kamu kuliah hari ini?”
“Enggak. Cuman mau nganterin kamu.”
Laras melengos tidak berkata apapun lagi, ia masuk diikuti Dano dari belakang. “Sri, ini Dano. Dano ini Sri.”
Sri tersenyum manis menyambut uluran tangan Dano, ekspresinya kelihatan sekali mengagumi paras tampan cowok itu.
“Temennya Laras ya?” tanya Sri basa-basi.
Dano menggeleng serius. “Calon pacar, cuman dia nggak mau sama saya”
“Jangan didengar, dia gila” kata Laras menyepak betis Dano pelan. “Aku mau mandi, kamu jangan macam-macam sama Sri. Kalo dia bertingkah aneh, pukul aja kepalanya pakai kuali.”
Sri adalah sepupu Laras, mereka sama-sama datang dari Surabaya untuk berkuliah di Jakarta, namun di kampus yang berbeda. Sejak semester awal mereka tinggal di rumah kontrakan berukuran kecil. Sri yang tidak pernah melihat ada cowok lain datang ke rumah selain Angga, jelas merasa tertarik pada Dano. Cowok tampan itu tidak terlihat canggung untuk membuka percakapan, ia mudah akrab dan menyenangkan. Berbeda dengan Angga yang cenderung pendiam dan hanya berbicara seperlunya saja pada Sri.
“Kok masak banyak Sri?” tanya Laras heran.
“Dano belum makan, makanya aku nyiapin banyak.”
Laras meringis, baru setengah jam bertemu dan kedua orang itu sudah berteman dekat. “Makanan Apin kasih aja ke Dano”
“Jahat banget Laras” geleng Sri tidak setuju.
“Sepatu kamu cuman satu Ra?” tanya Dano ketika melihat Laras mengenakan sepatu orensnya.
“Iya, baru beli nih. Keren kan? Aku baca majalah gadis, jeans hitam itu bisa dipadu pake sepatu apapun. Jeans aku baru loh, baru aku beli kemarin, keren nggak?”
Dano meringis. “Jeans warna-warni kamu?”
“Kubuang. Aku sekarang mau ngikutin style yang swag” jawab Laras cuek mengikat tali sepatunya. “Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?” tanya Laras ketika mendongak dan mendapati Dano menatapnya lekat-lekat.
Dano nyengir lebar. “Aku udah tahu Ra, kita harus mulai dari mana.”
Keduanya kemudian melangkah keluar rumah.
“Loh Ra mau kemana?” tanya Dano ketika Laras melewati mobilnya.
“Ke kampus” jawab Laras lugu.
“Kenapa kesitu?”
“Halte busway di gang depan.”
Dano melongo lalu ketawa geli, ia membuka pintu mobil memberikan kode agar Laras masuk.
“Nggak mau. Apa kata orang nanti kalo lihat aku semobil sama kamu?” tolak Laras mentah-mentah.
“Justru itu poinnya. Kamu mau putus kan sama Angga? Buruan naik. Ingat peraturan pertama kita; ikuti apa yang saya bilang.”
Laras mendengus, tidak lagi protes akhirnya ia naik ke mobil Dano dan setelah itu keduanya melaju pergi meninggalkan tempat itu.
...----------------...
“Ra, entar habis kelas jangan cabut. Ke sekre srikandi ya, kita ada jamming session. Nonton bentar, habis itu saya anterin pulang” bisik Dano lalu pergi menuju ruang srikandi di pojok kampus dekat gedung hukum.
“Sama siapa Ra?” korek Amel senyum-senyum sendiri ketika Laras masuk kelas. “Sama Dano ya? Ciee udah membuka hati, coba sini lihat hatinya, udah selebar apa?”
“Kok kamu tahu Mel?”
“Udah dibahas di grup srikandi. Kayaknya tadi ada yang lihat lu turun dari mobil Dano”
“Kamu kan bukan anak srikandi, kok bisa masuk grup mereka?”
Amel nyengir tanpa makna. Untuk mendapatkan informasi sekecil itu jelas bukan masalah besar bagi Amel, ia adalah pusat informasi Laras dan Manda untuk gosip-gosip kampus yang jarang diketahui orang.
“Mel, habis kelas mau ngapain?”
“Nonton jamming sessionnya srikandi. Kenapa?”
“Bareng ya.”
Kening Amel berkerut. “Tumben lu mau ikut, biasanya kan paling sensi lihat anak srikandi ngadain mini konser di depan sekre”
“Dano yang nyuruh.”
Mulut Amel terbuka sedikit, matanya membulat, lalu tertawa kencang sampai beberapa mahasiswa melirik ke arahnya. Tapi Amel tidak peduli, ia menopang dagu dengan ekspresi jenaka. “Coba cerita ke gue, lu sama Dano udah sampai mana?”
“Maksudnya?”
“Dano ngajak cewek nonton jamming session srikandi, itu aneh bagi gue.”
Laras meringis tapi memilih tidak menjawab. Ah, seandainya Amel tau, apa rencana Laras dan Dano. “Cuman nonton jamming session doang Mel, bukan jadi bagian dari anggota BPUPKI, jangan lebay”
“Harus lebay dong. Banyak cewek yang suka sama Dano, tapi elu doang, one and only yang kemana-mana selalu diikuti Dano, diajak nonton jamming session srikandi lagi” balas Amel. Laras memilih diam, takut keceplosan membuka rahasianya dengan Dano. “Banyak cewek yang suka sama Dano, tapi dia nggak mau. Lu tau Franda?”
Laras menggeleng.
“Ihs. Itu loh finalis putri Indonesia kemarin, perwakilan dari Jakarta”
“Oooh itu. Dia suka Dano?”
“Yups, sampai bela-belain masuk srikandi. Cuman Dano nggak mau”
“Kenapa?”
“Tau, impoten kali”
“Ih Mel, mulutmu.”
Amel nyengir. “Ya lagian, cewek cantik dan seksi kayak gitu malah ditolak. Gue aja sempat mikir Dano suka sama cowok. Tapi ngeliat dia ngintilin lu mulu, gue jadi yakin dia suka sama lu. Lu sendiri gimana sama Dano? Ada rasa nggak? Menurut gue orangnya oke, cuman kadang suka nggak waras aja.”
Laras angkat bahu memilih mengambil buku dari tas, beruntung dosen audit masuk ke kelas sehingga Laras tidak perlu bersusah-susah menjawab pertanyaan Amel.
...----------------...
Pukul setengah lima sore, kampus mulai terasa sepi, kecuali beberapa mahasiswa yang memiliki jadwal kelas malam masih mondar-mandir di koridor gedung ekonomi. Laras sendiri baru selesai kelas, ia membereskan isi bindernya dan mengikuti Amel menuju sekretariat srikandi. Tampak dari kejauhan sudah ada alat musik di pasang di luar sekre dan beberapa anak baru srikandi duduk di atas terpal menonton atau ikut bermain musik bersama senior srikandi mengiringi beberapa anak yang mau bernyanyi.
“Mel disini aja, jangan dekat-dekat” bisik Laras. Amel mengangguk lalu duduk di dekat kursi panjang depan taman kampus gedung hukum.
“Ra, lihat cowok itu” Amel menunjuk seorang cowok berkaos hitam, ia baru keluar ruang sekre srikandi bersama Dano. “Namanya Samuel. Dia ngajak gue kencan malam minggu besok”
“Kamu mau?”
“Menurut lu aja gue nolak” kekeh Amel. Laras menatap Samuel, cowok itu tinggi, kulitnya hitam manis, dan rambutnya gondrong. Samuel adalah wujud nyata dari tipe ideal Amel, pantas saja cewek itu tidak menolak.
“Hati-hati ya Mel, nggak boleh check in di hotel.”
Amel berpaling lalu tertawa geli, ia mencubit bahu Laras gemas. “Candaannya udah dewasa ya sekarang”
“Aku nggak ngelucu, tapi nasehatin kamu”
“Iya iya, ibu suri. Habis kencan, Amel langsung pulang, cuci kaki tangan, dan tidur. Tuh Ra, penggemar lu udah mulai main.”
Laras berpaling, Dano kini duduk dibalik drum. Mereka memainkan beberapa musik yang tidak pernah didengar Laras, namun bukan berarti Laras ingin beranjak pergi. Sosok Dano disana membuat Laras tanpa sadar tersenyum kecil. Laras berandai, bagaimana jika ia yang berada di balik drum itu? Apa ia juga akan terlihat keren seperti Dano? Sejak dulu setiap kali melihat Noah, band kesukaannya tampil di tv, Laras berharap bisa mahir memainkan salah satu alat musik untuk mengiringi dirinya menyanyikan lagu-lagu Noah.
“Aku tahu lagu ini” kata Laras bersemangat ketika mendengar alunan musik wonder woman milik Mulan Jameela. “Aku kira srikandi cuman bisa main musik metal doang”
“Ra, mereka bahkan bisa main musik keroncong. Tergantung tampil dimana” jawab Amel. Laras mengangguk kagum, ketika lagu itu selesai Dano berdiri, ia menyerahkan stik drumnya pada seorang anak baru srikandi dan setelah berbicara pada temannya ia menghampiri Laras.
“Kok kalian disini? Kenapa nggak duduk lebih dekat?”
“Tau nih cewek lu, maunya jauh-jauh. Katanya memandang dari kejauhan udah cukup” jawab Amel asal langsung kena pelotot Laras.
“Ke sekre bentar yuk Ra, habis itu saya anterin pulang.”
Amel langsung pura-pura batuk. “Aduh gue TBC kayaknya”
“Mel, sini gue kasih tau sesuatu” kata Dano, ia menunduk kemudian membisikan sesuatu pada Amel, wajah cewek itu merona lalu cepat-cepat merapikan rambutnya. “Yuk Ra, ke sekre srikandi bentar. Yuk yuk”
“Kamu bilang apa ke Amel?”
Dano angkat bahu dan setelah mengambil tasnya di dalam sekre ia kemudian pergi bersama Laras. “Lapar nggak Ra?”
“Iya”
“Mau makan?”
“Mau”
“Makan apa?”
“Terserah.”
Dano mengangguk membuka pintu mobil. “Beling, menyan, bunga mau?”
Laras mendelik membuat Dano tertawa. “Lah tadi katanya terserah Ra.”
Dano hendak menyalakan mesin mobil tapi gerakannya terhenti ketika melihat Sera berjalan melewati mobilnya. Sesaat wajah Dano berpaling pada Laras, cewek itu ternyata sedang memperhatikan Sera.
“Ngeliatin apa Ra?” tepuk Dano pelan.
Laras diam, tapi masih terus memandang Sera yang berdiri dan menelpon seseorang. Ingin rasanya Laras keluar mobil dan menjambak rambut Sera kuat-kuat lalu membenturkan kepala cewek itu di kaca mobil.
“Kalo kamu mikir buat nampar Sera, mending kamu kubur pikiran kamu itu dalam-dalam” kata Dano seolah bisa membaca isi hati Laras. “Balas dendam paling enak itu bukan dengan kekerasan tapi ini.”
Dano menunjuk kepalanya dengan senyum sumringah. “Kamu tahu kenapa Angga lebih milih Sera daripada kamu?”
“Karena dia brengsek”
“Enggak Ra bukan itu. Tapi karena Sera lebih cantik dan menarik dibanding kamu” jawab Dano tenang. Laras berpaling, sedikit tidak senang mendengar perkataan Dano.
“Saya cowok Ra, saya paham maunya Angga. Dia mau Sera karena apa yang ada pada Sera enggak ada di kamu. Saya juga kalo ada cewek cantik dan seksi kayak gitu, bakalan saya sikat. Nggak ada orang yang suka sama orang lain karena inner beauty, bullshit itu”
“Terus aku harus gimana? Dandan kayak Sera? Pake mini-mini gitu? Aku nggak suka nggak jadi diri aku sendiri”
“Kamu tinggal di upgrade aja Ra. Ada saya.”
Kening Laras berkerut bingung tapi Dano tidak menjelaskan lebih lanjut, tangannya malah terangkat naik menarik kuncir rambut Laras dan merapikan rambut cewek itu.
“Meskipun ada sesuatu dalam diri kamu, entah baik atau buruk, orang nggak akan peduli. Karena mereka hanya peduli dengan apa yang ditampilkan di luar.”
Laras balas menatap Dano lekat-lekat, ada setitik kebencian pada Angga dan Sera yang tersirat dari pandangan matanya. Dan dalam sekejap kebencian Laras berubah menjadi tekad. Selama ini Laras selalu berpikir membuat Angga menyesal sudah berselingkuh darinya adalah balas dendam terbaik, namun sekarang Laras menginginkan lebih.
Laras ingin Angga merasa sakit hati, hampa, sesak, dan pada akhirnya mati karena perasaan itu. Laras ingin Angga terhapus dari kehidupannya dengan cara yang paling menyakitkan. Laras ingin setiap kali Angga melihat potret Laras, Angga akan berteriak dan menangis keras. Laras ingin Angga menderita karena dirinya.
“Aku pengen tahu sampai dimana kamu, Angga, atau cowok-cowok lain diluar sana berpikir Sera itu menarik?” gumam Laras namun masih dapat terdengar jelas oleh Dano.
Senyum Dano mengembang lebar terlihat puas dengan amarah Laras. Dano menepuk puncak kepala Laras, ia menyalakan mobil dan kemudian melaju pergi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!