Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh sahabat semuanya. Alhamdulillah bertemu lagi di karya ketigaku. Mohon dukungannya untuk selalu memberi Like, komen, hadiah dan vote.
Spin of dari novel kedua Gadis Berkerudung Merah. Kisah tentang Babang Tamvan berboxer Doraemon, Bang Deka.
Lima bab awal kita flashback ke masa SMA Bang Deka, ya. Kita harus tahu kisah apa yang melatarbelakangi seorang Deka menjadi cassanova.
Ok, deh langsung kita simak ceritanya. Cek It out.
.
.
.
.
Belasan Tahun Silam
Di dalam sebuah kamar, sepasang muda mudi tengah sibuk dalam kegiatan liar penuh hasrat. Api asmara yang berkobar menyala, bukan tidak mungkin akan membakar habis keduanya dalam aktivitas terlarang tersebut.
Remaja pria tampan dan berkulit putih itu terus membenamkan wajahnya pada dada si gadis. Tangan dan bibirnya aktif bermain-main di sana. Hal terlarang yang baru pertama kali remaja pria itu lakukan.
Suara le-nguhan sang gadis membuat si pria kian bersemangat untuk menjelajahi setiap inci tubuh mulus si gadis.
Hingga kemudian
Tiuuut ...
Peeesss ...
“Deka, kamu kentut?!” tukas sang gadis.
Seperti lazimnya ketika mendengar suara kentut, apalagi sampai tercium bau, pasti kita langsung melemparkan tanya, mencari tahu siapa pelakunya.
“Eh, iya.” Remaja pria bernama Deka itu mendongakkan wajah, menjawab pertanyaan sang gadis. Tanpa beban, ia mengakui dirinya adalah pelaku tindak pelepasan udara dari bokong yang disebabkan penumpukan gas dalam perut yang minta dilepaskan segera.
Dalam hitungan detik, aroma kentut yang baunya jahanam tak terkira menguar manja membelai indra penciuman keduanya. Kamar yang semula dipenuhi aroma hasrat cinta, seketika berubah menjadi aroma gas busuk yang memuakkan hidung.
“Kamu itu merusak suasana!” sungut si gadis dengan suara bindeng sebab berbicara dengan menekan hidung dengan kedua jari -- jempol dan telunjuk.
Gadis itu menekuk wajahnya kesal, lalu mendorong tubuh Deka yang tengah menindihnya.
“Maaf, Tania. Menjaga kesehatan itu lebih utama dari menjaga kesopanan. Ga boleh nahan kentut, berat ga akan sanggup. Nahan kentut itu ga semudah nahan laper dan haus. Nahan kentut itu sama beratnya dengan nahan rindu,” papar Deka panjang lebar seraya menggaruk kepalanya yang berketombe.
Gadis bernama Tania itu beringsut turun lalu meraih beha dan kausnya yang teronggok di lantai. Tania hanya mengenakan hotpants sementara tubuh bagian atasnya tak ada sehelai benang pun yang menutupi.
Tania segera memakai beha dan kausnya dengan raut wajah kesal. Perasaan kesal karena kegiatan yang mereka lakukan tadi baru setengah jalan. Belum mencapai puncak yang ia harapkan. Namun, hasratnya seketika menguap berbarengan dengan meledaknya uap gas busuk dari pencernaan Deka.
Begitu pun dengan Deka, ia meraih kaus dalam dan kemeja putih sekolahnya. Sementara celana panjang abu-abu masih dikenakannya, belum terlucuti.
Deka segera memakai pakaiannya. Setelahnya ia menghampiri Tania kekasihnya yang duduk di tepi ranjang sembari melipat tangan di dada dan bibir yang dimanyunkan lima senti.
“Aku pulang ya, Beb.” Deka berjongkok di hadapan Tania. Tangan Deka mencakup wajah Tania. Mengecup kening, pipi kanan dan pipi kiri.
Tania masih berada dalam mode manyun. Deka mendekatkan wajahnya, ingin mencium bibir sang kekasih seperti yang sering dilakukannya. Namun, Tania mendorongnya.
“Pulang sana! Aku lagi kesel ga usah pake kiss kiss segala!" hardik Tania.
“Maaf ya, Beb. Lain kali akan dikondisikan. Berusaha sekuat tenaga untuk meredam kentutku.” Deka berdiri, lalu mengacak rambut puncak kepala Tania. “Aku pulang, Sayang. Udah sore. Sebentar lagi mama papamu pulang," ujarnya.
Meraih tas sekolahnya, Deka membuka pintu kamar Tania lalu mengayun langkah keluar. Jantungnya masih berdebar hebat, mengingat hal yang baru pertama dilakukannya bersama Tania. Beruntung kentut menyelamatkan Deka dari kobaran hasrat terlarang yang mungkin saja akan ******* habis dirinya.
Deka naik ke atas motor, menyalakan lalu melajukannya. Membelah jalan raya beraspal.
******
“Pah, Deka sebentar lagi lulus SMA. Mau kuliah di mana Deka nantinya?” Bu Dewi dan Pak Satya, tengah duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi.
“Papa inginnya anak-anak kita melanjutkan kuliah di luar negeri, Mah. Agar nanti bisa diandalkan untuk mengurus perusahaan papa.”
“Kalau Deka kuliah di luar negeri, mama nanti kesepian dong, Pah. Dewa‘kan lagi mondok, ga ada di rumah ini. Sepi dong rumahnya,” keluh Bu Dewi.
“Nanti Dewa ga usah dilanjutkan mondoknya. Biar dia sekolah umum aja di sini,” putus Pak Satya.
Pak Satya dan Bu Dewi hanya memiliki dua orang anak laki-laki. Si sulung adalah Radeka Bastian yang duduk di kelas 3 SMA. Sementara adiknya Syadewa Argian duduk di kelas 3 MTS di sebuah pondok pesantren di Kabupaten Lebak, Banten.
Pak Satya dan Bu Dewi sendiri sempat bercerai saat Deka duduk di bangku SD. Baru satu tahun ini mereka memutuskan untuk rujuk demi kedua anak mereka.
“Deka, sini!” seru Pak Satya saat melihat Deka turun dari kamarnya.
Deka patuh menghampiri orangtuanya dan ikut duduk bersama mereka.
“Deka, kamu sebentar lagi ujian. Belajar yang benar. Jangan pacaran aja!" kata Pak Satya.
Deka mengangguk.”Iya, Pah.”
“Ngomong-ngomong soal pacaran kamu harus hati-hati ya. Pacaran boleh tapi jangan kebablasan. Kamu tahu ‘kan si Adam anaknya Bu Joko?” lontar Bu Dewi.
“Tau, Adam temen SMP Deka ‘kan?” sahut Deka.
“Iya, yang itu. Kata Bu Joko, si Adam dikeluarkan dari sekolah karena menghamili pacarnya. Pacarnya itu anaknya Bu Rohimah, namanya ... aduh lupa siapa ya namanya.“ Bu Dewi berpikir sejenak mengingat nama orang yang dimaksud. “Oh iya, namanya Inul,” ujarnya.
“Ainun, Mah. Bukan Inul,” ralat Deka.
“Iya, tapi kalau di rumah dipanggilnya Inul.”
“Lah kalau Adam menghamili Inul mah ga papa dong, Mah,” kelakar Pak Satya.
“Ih, Papa. Bukan Adam dan Inul yang itu!" sanggah Bu Dewi.
“Kalau anak papa sampai begitu ... menghamili anak gadis orang, bakal papa GANTUNG!" tegas Pak Satya.
Deka tersentak dengan ucapan papahnya. Ia teringat dengan apa yang telah dilakukannya bersama Tania sore tadi. Untung saja yang mereka melakukan belum sampai kebablasan.
Deka yang merasa resah dengan dirinya sendiri berpamitan untuk kembali ke kamar. “Mah, Pah, Deka balik ke kamar ya, “ pamitnya.
“Deka, sebentar lagi kamu ujian. Kamu harus mulai mencari perguruan tinggi yang sesuai minat kamu. Papa ingin kamu kuliah di luar negeri!"
“Iya, Pah. Soal itu nanti dibicarakan lagi.” Deka berdiri lalu beranjak menuju kamarnya. Ia bahkan melupakan tujuannya turun ke lantai satu untuk mengambil minum.
Sampai di kamar, Deka menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Angannya melayang pada sosok gadis cantik yang menjadi cinta pertama sekaligus pacar pertamanya. Tania.
Deka dan Tania menjalin kasih sejak pertengahan kelas satu SMA. Hampir dua tahun mereka berpacaran. Hingga saat pernaikan ke kelas tiga, tiba-tiba Tania memutuskannya. Alasannya sepele, karena Deka membatalkan janjinya untuk mengajak Tania nonton bioskop dan memilih untuk bermain futsal bersama teman-temannya.
Selepas dari Tania, beberapa kali Deka menjalin hubungan pacaran dengan gadis teman sekolahnya. Sebut saja misalnya Mawar, Melati, Puspa, Anggrek, Dahlia, Tulip, Yeni, Eka. (Duh Yeni Eka ga usah dimasukin daftar! Nanti Shahrukh Khan marah jadi ga bisa kuch kuch hota hai lagi 😁)
Dari sederet nama wanita lainnya, tak ada satu pun yang langgeng seperti hubungannya dengan Tania. Hubungan Deka dengan gadis lainnya paling lama bertahan dalam hitungan minggu saja. Ada yang hanya hitungan jam, hari, bahkan ada pula yang dalam hitungan detik sudah putus.
"Teh Yeni, maukah kau menjadi pacarku?" tanya Deka.
Teh Yeni mengangguk dengan wajah tertunduk merona malu, lalu sedetik kemudian menggeleng. "Enggak jadi deh, aku udah punya Shahrukh Khan!" tegasnya.
.
.
.
.
Dua bulan yang lalu, entah ada angin apa, Tania seakan gencar memberikan sinyal-sinyal CLBK kepada Deka. Mulai dari sering mengirimkan chat, mentraktirnya makan di kantin, hingga mengajak pulang bersama.
Deka yang memang masih mencintai Tania, akhirnya menyatakan keinginannya untuk kembali merajut kasih. Bak gayung bersambut, Tania menerima kembali cinta Deka.
Belakangan Deka merasa Tania berubah. Dalam jalinan hubungan yang kedua ini, Tania menjadi lebih agresif. Seperti siang tadi sepulang sekolah, Tania mengajak berpacaran di kamarnya. Bahkan, Tania mengajaknya menonton film anu-anu. Sehingga membuat anu-nya tergugah sampai kemudian mereka hampir kebablasan. Beruntung, belaian aroma kentut menyelamatkannya.
Deka bukanlah remaja saleh yang tak pernah terkontaminasi oleh hal-hal negatif. Bersama Tania dan beberapa gadis yang pernah dipacarinya, ia pernah melakukan semuanya seperti sentuhan, pelukan, kecupan dan ciuman. Namun, untuk anu-anu ia belum berani untuk melakukannya.
Seperti anak remaja lainnya, ia juga kerap kali menonton film dewasa bersama teman-temannya sesama pria. Menonton film dewasa bersama seorang gadis apalagi gadis itu adalah kekasihnya, tentu berbahaya dan sangat berisiko. Namun, kemarin justru Tanialah yang seolah sengaja membuka jalan untuknya.
Meski sempat menolak di awal, namun pada akhirnya ia terlena dengan adegan film dewasa dan hampir saja terjerumus dalam lubang kekhilafan.
******
“Tan, tunggu!” seru Deka. Sejak dari pagi entah kenapa Tania selalu menghindarinya.
“Kamu kenapa sih, Beb? Marah sama aku?” tanya Deka.
Tania melipat tangannya di dada sambil memanyunkan bibirnya beberapa senti. Diam saja, tak menjawab pertanyaan Deka.
Deka menarik tangan Tania agar mengikutinya. Deka membawa Tania ke kebun belakang sekolah. Tempat sepi yang biasa mereka datangi saat ingin memadu kasih. Menumpahkan rindu di jam istirahat sekolah.
“Soal yang kemarin aku minta maaf, ya! Aku khilaf. Aku janji ga akan melakukannya lagi,” ujar Deka penuh penyesalan.
Deka mengira Tania marah atas kelakuannya kemarin. Meskipun sesungguhnya Tanialah yang lebih dulu memberikan umpan kepadanya. Seperti yang sering diucapkan Bi Siti ketika ber-gibah dengan sesama ART sebelah rumah. Kucing kalau dikasih ikan asin pasti nggak bakal nolak lah.
Meskipun analogi rendahan itu terasa kurang tepat ditujukan kepada Deka. Masa iya gue disamakan sama kucing. Kalaupun gue dianalogikan seekor kucing, ga mau lah sama ikan asin. Maunya sama ikan Bluefin Tuna, ikan termahal di dunia yang populer di negara Jepang. Begitu hatinya berkata.
“Sayang, ayo lah maafin aku! Aku khilaf, Tan. Ga akan pernah aku ulangi lagi. Aku tulus mencintaimu. Aku akan berusaha menjaga kamu, dan tidak merusak kamu.” Deka menggenggam tangan Tania.
“Aku gak marah karena itu," sanggah Tania.
“Terus kamu marah soal apa? Soal kentut?” Deka tak habis pikir jika Tania marah padanya soal kentut yang kelepasan.
Bukankah kentut (fiatus) merupakan salah satu nikmat yang Tuhan berikan kepada mahluknya. Orang yang tidak bisa kentut akan mengalami penyakit dispepsia. Tentu akan butuh banyak biaya untuk menyembuhkan penyakit susah kentut.
Tania diam tak menyahut. Ia membuang pandangannya pada rumput yang bergoyang. Rumput itu seakan mengolok-olok Tania dengan goyangan ‘Saya masih ting ting. Dijamin masih ting ting.’
“Kalau soal kentut, gimana ya.” Deka menggaruk kepalanya yang terasa gatal, padahal tadi pagi ia sudah berkeramas dengan sampo anti ketombe.
“Kentut itu ‘kan manusiawi, Beb. Bagiku sangat sulit untuk menahannya. Tapi demi kamu, aku akan berusaha untuk menahan jika rasa ingin kentut tiba-tiba datang melanda.” Mata pelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari sebelum jam istirahat tadi rupanya mempengaruhi kosa kata yang diucapkan Deka kali ini.
Deka menggenggam tangan Tania lebih erat. Menelusupkan jemarinya ke jemari Tania. Posisi mereka berdiri saling berhadapan. Tania bersandar di dinding ruang gudang. Kepala Deka menoleh ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Memastikan tak ada orang di sekitarnya. Lalu ia mengecup mesra bibir gadisnya. Pelan di awal dan ganas pada akhirnya. Kecupan itu berubah menjadi ciuman liar. French kiss.
Mereka sering melakukan kemesraan di tempat ini. Pernah suatu hari aksi mereka kepergok oleh Pak Ngadiman, kepala sekolah di SMA ini. Saat itu Deka dan Tania langsung digelandang ke ruang Bimbingan Konseling (BK). Bahkan kedua orangtua mereka pun turut dipanggil oleh guru BK. Beruntung mereka hanya mendapatkan teguran kala itu.
Cukup lama durasi ciuman itu berlangsung. Deka melepaskan ciumannya. Tangannya meraih dagu Tania, lalu jempolnya diusapkan pada bibir Tania. “Udah ya, jangan marah lagi. Aku sayang kamu,” ucapnya.
Tania mengembangkan sebuah senyuman. “Pulang sekolah, ke rumahku lagi ya,” pintanya.
“Siap, Sayangku,” jawab Deka. Lalu mengecup pipi Tania.
Suara bel berbunyi, tanda jam istirahat telah usai. Mereka kembali ke kelasnya masing-masing. Tania dan Deka berbeda kelas. Deka masuk kelas IPA, sedangkan Tania masuk kelas IPS. Mereka pernah sekelas saat duduk di kelas satu dan dua.
*****
“Ka, pulang sekolah anak-anak mau ngumpul di rumah Dito,” bisik Fery, teman sebangku dan juga salah satu sahabat Deka di sekolah.
“Mau ngapain? Ada acara apa di rumah Dito?” tanya Deka dengan berbisik juga. Di depan kelas, Pak Fajar Sulistyo guru fisika tengah memberikan materi tentang teori relativitas.
“Biasa. Jangkrik bos,” jawab Fery berbisik lagi. Jangkrik bos adalah istilah yang digunakan Deka dan teman-temannya, yang berarti kegiatan nonton bareng film dewasa.
“Aseek,” sahut Deka.
“Tiap benda yang bergerak dengan kecepatan v, memiliki momentum linier yang berbanding lurus dengan massa dan kecepatannya. Momentum suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya c, akan mengalami perubahan dalam momentum tersebut karena mengalami gejala relativitas.” Pak Fajar tengah menerangkan bab Momentum Relativistik. Namun Deka dan Fery malah asyik berbisik tentang ‘jangkrik bos’
“Deka, Fery!” seru Pak Fajar yang mendapati Deka dan Fery malah mengobrol saat dirinya tengah menerangkan pelajaran. Dasar murid kurang apem, eh asem.
“Jelaskan bagaimana rumus momentum relativistik!” Pak Fajar melotot sambil tersenyum. (Aneh enggak sih melotot sambil tersenyum)
“Jangkrik bos,” sahut Deka dan Fery bersamaan. Mulut mereka kompak keceplosan menyahut dua kata itu.
“Hahahaha.” Gelak tawa pecah, seluruh murid tertawa. Terutama murid laki-laki yang sebagian besar memahami arti “rahasia” kata “jangkrik bos”.
“Kalian saya hukum!" seru Pak Fajar lantang.
"Tadi pagi saya sudah mendapat hukuman dari Pak Agus membersihkan kamar mandi, Pak," sahut Fery.
Saat jam pelajaran pertama yaitu mata pelajaran sejarah, Fery dihukum karena tidak mengerjakan PR. Pak Agus -- guru sejarah memberinya kesempatan untuk mengerjakan PR, malah jawaban PR semuanya ia jawab dengan kalimat: waalahu alam, saya belum lahir. Sebab soal PR-nya semua tentang tahun. Tahun berapa terjadinya perang dunia pertama dan kedua? Begitu salah satu soal PR sejarah tadi pagi.
"Karena kalian mengobrol, kalian harus menjawab soal yang saya berikan!" tegas Pak Fajar.
“Jangan susah-susah soalnya, Pak. Please," mohon Fery dengan mata berkaca-kaca.
Dasar anak sekolah! Dikasih soal aja sudah cengeng. Belum nanti, kalau diberi masalah kehidupan yang datang silih berganti. (Ya ... Mak Otor curhat)
"Soalnya mudah, jawabannya yang susah," kelakar Pak Fajar.
"Baiklah, saya berikan soal yang sangat mudah tentang gerak jatuh bebas. Dengarkan saya! Sebuah kelapa jatuh dari pohonnya setinggi 5 meter. Berapa kecepatan kelapa saat menyentuh tanah?”
“Kecepatannya, secepat aku jatuh cinta padanya, Pak,” seloroh Fery.
“Hahahaha.” Tawa riuh seisi kelas. Pak Fajar hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Fery.
“Coba kamu, Deka! Kalau kamu gak bisa jawab, kalian berdua dihukum!" ancam Pak Fajar.
"Ayo, jawab, Ka! Lo 'kan pinter. Kepintaran lo bisa menyelamatkan hidup kita," ujar Fery.
“Rumus gerak jatuh bebas adalah v\=akar 2gh. Diketahui g adalah besar percepatan gravitasi bumi 10 meter per detik sedangkan h adalah tinggi pohon yaitu 5 meter. Jadi, kecepatan kelapa saat menyentuh tanah adalah akar 2x10x5 sama dengan 10 meter per detik," papar Deka.
“Betul," sahut Pak Fajar.
“Yeaayyy.” Deka bersorak seraya mengarahkan kedua telunjuknya ke langit-langit persis seperti selebrasi gol Lionel Messi.
Meski bukan juara kelas, tapi Deka juga bukan termasuk anak yang bodoh. Ia selalu mendapat ranking sepuluh besar di kelasnya. Soal fisika yang ditanyakan pak guru dapat dengan mudah dijawabnya.
“Untung betul jawabannya. Kalau salah saya suruh muter lapangan sampai linglung!” seru Pak Fajar, guru fisika paling baik hati, tidak sombong, dan sedikit ganteng. Sedikit aja tapi loh, karena masih gantengan Shahrukh Khan. Ea ea ...
Bel pulang sekolah berbunyi. Seluruh murid berhambur keluar kelas. Fery, Doni dan Dito sudah lebih dulu keluar kelas. Sementara Deka masih membereskan buku-bukunya dengan gerak lamban. Sebab sedang menimbang apakah akan ikut teman-temannya atau jalan dengan Tania.
“Deka, ayo!” ajak Fery.
Deka menutup resleting tasnya. Lalu digendongkan ke pundaknya. Ia berlari menghampiri teman-temannya yang sudah menunggu.
“Lo ikut ‘kan, Ka?” tanya Dito.
“Tapi gue udah janji sama Tania.”
“Tania lagi. Tania terooos.” Doni mencebikkan bibirnya.
“Ga asik, lo!” cibir Fery.
“Gini aja deh. Gue anter Tania pulang dulu. Habis itu gue langsung ke rumah Dito,” cetus Deka.
“Ya udah. Tapi, lo jangan lama-lama!” kata Dito.
“Ok. Siap! Gue ke Tania dulu ya.” Deka berlalu meninggalkan teman-temannya.
Berlari-lari kecil, Deka menghampiri Tania yang sudah menunggunya di depan kelas. Sementara teman-temannya pergi ke tempat parkir. Mengambil motor lalu bertolak ke rumah Dito.
“Ke rumahku ‘kan, Beb?” Tania menggelayutkan tangannya manja di lengan Deka.
“Iya, dong.” Deka mencubit mesra dagu lancip Tania.
Sepasang muda mudi itu beranjak menuju tempat parkir. Hari ini Deka membawa mobil milik mamahnya.
Deka membuka pintu mobil untuk Tania. Setelah Tania duduk manis di dalam mobil, ia turut masuk ke dalam mobil lewat pintu kemudi.
Mobil pun melaju di bawah terik matahari yang sedang panas-panasnya, menuju rumah Tania. Kekasih Deka itu tinggal di daerah perumahan sederhana. Bukan perumahan elit seperti hunian keluarga Deka.
Papa dan mama Tania adalah seorang pekerja. Tania sendiri adalah seorang anak tunggal. Saat orangtuanya bekerja, Tania lebih sering sendirian di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Tania tidak menginap, pulang ketika siang atau sore, saat pekerjaan membereskan rumah sudah selesai.
Sekitar lima belas menit mobil yang dikendarai Deka sampai di depan rumah bercat jingga. Mereka turun dari mobil, lalu masuk ke rumah.
Tania menggenggam tangan Deka dan manariknya masuk ke kamar. Tania menghempaskan tubuhnya di atas kasur.
“Beb, sini!” seru Tania menepuk kasur memberi isyarat agar Deka yang masih berdiri mematung, segera menghampirinya.
“Aku gak dikasih minum dulu, Beb? Haus tau.” Deka melangkah lalu duduk di tepi ranjang.
“Ya udah, aku ambil minum dulu.” Bangun dari posisinya, Tania beranjak ke dapur. Kurang dari sepuluh menit, Tania sudah kembali membawa sebotol air putih dingin, sebuah gelas dan toples berisi camilan.
“Nih, minumnya,” kata Tania.
Deka segera menyambar gelas dan diisikan air dari dalam botol. Lalu meneguknya hingga habis satu gelas.
Tania melangkah menuju lemari pakaiannya. Mengambil sesuatu dari dalam tumpukan baju yang ternyata adalah kepingan kaset VCD .
“Beb, kita nonton ini, yuk!” ajak Tania seraya memperlihatkan dua keping kaset VCD.
“Sejak kapan kamu jadi suka nonton ini, Tan?!” Deka berdiri dan merampas kaset VCD bergambar tak senonoh yang dipastikan adalah kaset film anu-anu.
“Emang kenapa? Kayak lo ga pernah nonton beginian aja!”
“Gue cowok, Tan. Cowok udah biasa nonton kayak gitu. Tapi lo cewek, ga baik nonton kayak gitu!”
“Alah, cowok cewek sama aja!”
“Jadi ini yang udah bikin kamu berubah, Tania!”
“Berubah gimana maksud kamu?”
“Kamu ga seperti Tania yang dulu aku kenal. Kamu agresif sekarang.”
“Bukannya cowok lebih seneng ya, kalau ceweknya agresif ?!”
Deka mengernyitkan kening menatap kekasihnya. Dulu, Tania tidak seperti ini. Tak pernah mau mengajaknya datang ke rumah saat orangtuanya tidak ada. “Ga boleh. Di rumahku sepi ga ada orang, nanti yang ketiganya setan.” Bagitu yang sering diucapkan Tania.
Tania menghambur memeluk tubuh Deka. “Kamu sayang aku ga sih?” tanyanya.
Tidak mungkin rasanya Deka menolak pesona gadis yang sangat dicintainya itu.
“Aku sayang kamu, Tan.” Deka membelai rambut Tania yang tengah memeluknya.
Tania melepaskan pelukan. Menatap Deka sejenak, lalu mendekatkan wajahnya. Dan keduanya kembali saling menautkan bibir.
Hasrat menggiring mereka menuju tempat tidur. Mereka kembali terlena dalam buaian ganasnya asmara.
Deka terperanjat bangun dalam kewarasan. Sebelum kobaran api gairah benar-benar membakar dan me-lumatkannya.
“Ini ga benar, Tania!” Deka menjauhkan tubuhnya dari Tania.
“Kenapa? Kamu ga suka? Kamu ga sayang aku?” protes Tania.
“Kita ga boleh melakukannya, Tan!” Deka membetulkan pakaiannya.
“Maaf, aku harus pulang, Tan!" Deka meraih tasnya. Tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu meninggalkan Tania. Mengabaikan suara Tania yang berteriak memanggilnya.
Setelah kejadian itu. Deka selalu berusaha menjaga dirinya saat bersama Tania. Jangan sampai terperosok dalam hal yang akan menghancurkan masa depan. Jangan sampai papa menggantungnya hidup-hidup. Begitu tekadnya.
*****
Sebulan kemudian.
Sejak pagi, Deka merasa semua mata menatapnya. Bahkan sempat terdengar bisik-bisik beberapa siswi seperti tengah membicarakan dirinya dan Tania.
Deka yang merasa penasaran, menyuruh Fery untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ka, gue ga nyangka lo sampai sejauh itu sama Tania,” tukas Fery yang baru saja mencari tahu tentang desas-desus yang terjadi.
“Hah, apa? Gue ga ngerti maksud lo!" sahut Deka.
“Anak-anak pada ngomongin lo dan Tania, katanya Tania hamil.”
“Tania hamil??” Terkaget-kaget Deka mendengar berita itu.
“Kata anak-anak, kemarin Tania pingsan pas pelajaran olahraga. Terus dibawa ke puskesmas dan kata pihak puskesmas, Tania hamil.”
“Ini beritanya beneran atau cuma gosip?”
“Ye, mene ke tehe. Gua ‘kan denger dari anak-anak. Makanya gue tanya lo. Apa bener Tania hamil? Dan lo yang .... “ Fery menggantungkan kalimatnya.
Deka terdiam. Kabar kehamilan Tania sungguh menyesakkan dada. Meskipun kebenaran berita itu belum dapat dipastikan. Namun, benar atau tidak berita itu, sama-sama menyakitkan untuknya.
Dipergunjingkan untuk sebuah aib yang tak pernah dilakukannya tentu memerihkan hati. Namun, jika gunjingan itu benar, jika Tania memang benar hamil, sungguh lebih sangat memedihkan lagi. Sebab Deka merasa tak pernah melakukannya.
Deka bangun dari duduknya. Ia merasa harus bertemu dengan Tania dan menanyakan semuanya. Tak mau berprasangka yang tidak-tidak, ia memutuskan untuk berpikiran positif. Berita itu pasti dusta semata. Begitu keyakinannya.
Yang dirasakan Deka, justru ia sangat mengkhawatirkan Tania. Gosip tersebut pasti membuat kekasihnya terluka.
“Lo mau ke mana, Ka?” tanya Fery saat Deka bangun dari duduknya.
“Gue mau ke Tania.”
“Lebih baik lo di sini aja. Tania juga ga ada. Hari ini dia ga masuk.” Fery mencekal lengan Deka. Membuat Deka kembali duduk di kursi panjang sebuah warung di perkampungan belakang sekolah. Warung tempat nongkrong bersama teman-temannya.
“Lo kata siapa Tania ga masuk?”
“Sebelum nemuin lo, gue ‘kan tadi nyari Tania. Maksudnya mau bawa Tania ke sini biar ketemu sama lo." Fery menjeda ucapannya menatap Deka." Tapi kata teman-temannya, Tania ga masuk hari ini," lanjutnya.
Deka bergeming sejenak. Kemudian ia berpikir untuk menelepon Tania. Ia merogoh kantong celananya hendak meraih BlackBerry untuk menghubungi Tania. Belum sempat menelepon, Dito dan Doni datang menghampiri.
“Kita nyariin ke mana-mana. Eh, kalian udah ada di sini,” kata Dito.
“Ka, sori ya kalau gue nanyain ini. Yang anak-anak omongin itu bener atau ga sih?” lontar Doni to the point.
“Buset, Don. Jujur banget sih lo nanya nya. Ga ada sopan-sopannya,” tegur Fery.
“Hehehehe. Iya, sori. Soalnya gue kaget. Sumpah.” Doni mengacungkan dua jarinya.
“Semoga itu ga benar ya, Bro.” Dito menepuk bahu Deka.
“Enggak lah. Mana berani gue kayak gitu. Bakalan digantung gue sama bokap kalau sampai kayak gitu,” bantah Deka.
Baru saja Deka menyelesaikan kalimatnya. Terdengar suara seseorang memanggil namanya.
“Deka ... lo dipanggil Pak Anwar.”
Oh, ya ampun. Pak Anwar guru BK, ada apa memanggilnya??
.
.
.
Mohon dukungannya ya sahabat semua. Jangan lupa Like, komen, hadiah dan vote. Kalau hari ini banyak yang vote. Aku akan up lagi, dobel up nih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!