NovelToon NovelToon

Gadis Pemimpi

Part 1 Raksasa Berhati Keripik

Bugh!!!

Sebuah bola basket memantul pas di kepalanya dengan keras. Semua orang menarik nafas seiring teriakan para penonton, tak terkecuali para pemain basket yang sedang berlatih di pagi menjelang siang yang cukup terik.

Mereka sedang giat-giatnya berlatih untuk persiapan menghadapi pertandingan persahabatan antar SMA se kabupaten tahun itu.

Oh no!

Dan...Booommm!!!

Menit berikutnya disusul oleh seonggok tubuh yang jatuh menghantam lantai dengan suara keras. Getarannya sampai memenuhi lapangan 28 X 15 M itu.Tanpa aba-aba semuanya menuju TKP, Tempat Kejadian Perkara.

"Ternyata si Giant, si karung goni," bisik Miska kepada teman di sampingnya.

“Uhhh Kasihan, pasti sakit sekali," lanjutnya lagi sambil mengangkat bahunya dengan senyum devil tak lepas dari bibirnya yang tipis.

Reno sang kapten, berusaha mengangkat tubuh Giant, tapi badan dan kekuatannya rasanya tak seimbang.

"Hayo , kita angkat sama-sama ke ruang UKS, sepertinya dia pingsan," ajak Reno pada temannya yang lain. Sekitar empat sampai lima orang mulai menggotong tubuh bak raksasa itu ke ruang UKS.

Ibu Rachmah, guru yang bertanggung jawab akan kesehatan siswa-siswi di SMA Harapan Jaya segera memberikan pertolongan pertama. Ia menggosokkan minyak kayu putih ke hidung Giant agar segera siuman. Tapi sebelumnya semua siswa yang ikut masuk ke ruangan diperintahkan agar segera kembali ke kelas masing-masing.

Reno masih bergeming. Ia masih bertahan di ruangan itu, wajahnya tampak cemas. Ia lah yang menyebabkan si Giant celaka. Akhir-akhir ini ia sering tidak fokus. Dan karena kesalahannya ini bisa saja menelan korban.

"Kamu bisa kembali ke kelasmu Reno, sepertinya keadaannya sudah membaik. Dia sudah siuman. Dan sebentar lagi pasti akan baik-baik saja." Reno pun bernafas lega, Ia segera beranjak ke kelasnya sambil tak lupa mengintip lewat tirai ruangan tindakan.

🍁🍁🍁🍁🍁

Tidak ada yang mengenalnya sebagai Vita Maharani. Ia hanya dikenal sebagai si Giant (raksasa). Usianya 17 tahun, tingginya 175 cm. Beratnya 90 kg. Hobinya makan dan tidur.

Dia mengidap Bulimia Nervosa (gangguan makan berlebih) karena masalah emosional.

Sejak ia dilahirkan tujuh belas tahun silam, ibunya sangat khawatir akan perkembangan fisiknya. Setiap bulan sang Ibu membawanya secara rutin ke Posyandu tetapi berat badannya tak pernah mengalami perubahan, hanya tinggi badan saja yang melaju pesat. Sehingga penampakannya menjadi begitu aneh.

Kulitnya kering bagai tak mengandung cairan. Ia dicap sebagai balita busung lapar dan gizi buruk mungkin karena kondisi tubuh dan ekonominya yang menjadi pendukung utama atas statemen itu. Dan semua orang percaya akan hal itu.

Vita kecil tak berselera minum susu, hanya mau bubur saring yang dimasukkan ke dalam botol susu.

Padahal dari pihak Puskesmas selalu rutin mengantarkan biskuit dan susu setiap bulannya, karena dia tercatat sebagai balita yang memiliki riwayat gizi buruk. Tetapi susu dan biskuit itu hanya jadi obyek dokumentasi semata, Vita tak pernah berselera meminum maupun memakannya.

Giliran kakaknya, Gita yang paling doyan menghabiskannya. Sehingga penampilan Gita berbanding terbalik dengannya sendiri.

Berbagai macam cara dilakukan sang ibu untuk bayi tercinta, menemui sanro atau dukun bayi di desanya sudah sering dia lakukan. Tapi hasilnya nihil. Sampai Vita berumur 10 tahun barulah dia mulai makan nasi dan lauk seadanya. Berkat untaian harapan dan uraian air mata sang ibu di setiap sujudnya dengan khusuk, memohon kepada sang penguasa kehidupan agar putrinya bisa makan.

Berlarut-larut Ibunya dalam kesedihan. Badan putri keduanya yang tinggi menjulang dengan berat badan yang kurang alias kurus malah membuatnya dapat julukan tengkorak hidup.

Berhari-hari dia mengurung diri di kamar dan tak mau sekolah. Sampai ibu berhasil membujuknya dengan memperlihatkan gambar orang-orangan sawah yang punya tubuh kurus melambai-lambai.

”Mereka juga bisa berguna walaupun kurus, nak.” ujar ibu pada suatu waktu.

Munajat penuh pengharapan Ibu terkabul. Kondisinya pun berubah perlahan-lahan. Vita kecil pun mulai makan nasi sebagai makanan pokok orang Indonesia dan hidup normal seperti anak lainnya.

Kekuatan doa itu sungguh dahsyat. Makan dan tidur akhirnya menjadi hobinya sehingga Badannya berangsur membaik, beratnya semakin bertambah diiringi tinggi badan yang kian menjulang.

Dan sekarang ketika nafsu makannya meningkat, tubuhnya malah jadi tambun bagai raksasa. Tumbuh besar dimana-mana. Dia jadi rendah diri, sepanjang hidupnya hanya cibiran dan celaan yang dia terima. Hatinya sangat sedih.

Sungguh dia tak mau bertemu dengan dunia luar. Karena dunianya hanya kakak dan kedua orang tuanya.

🍁🍁🍁🍁🍁

Sempat mogok ke sekolah selama beberapa hari, Hari ini Vita berangkat dengan semangat empat lima. Senyum terkembang menghiasi pipinya yang kelewat chubby.

"Pendidikan itu penting sayang,” ujar ibu sambil membelai rambutnya. ”Terlepas mau jadi apa kamu kelak di masa depan, belajarlah terus. Cukuplah orang tuamu yang miskin ilmu dan harta."

Nasehat ibu terngiang-ngiang di telinganya sebagai mood boosternya selain sekantong besar bekal yang dibawanya pagi ini. Vita tersenyum bangga punya orang tua yang sayang padanya.

Kakinya ia seret ke bagian administrasi sekolah. Ia ingin mendaftarkan diri di kegiatan ekskul. Setidaknya ia bisa membuat tahun-tahunnya di sekolah ini lebih berwarna, begitu pikirnya.

Bisik-bisik siswa disampingnya membuatnya tidak berkonsentrasi mengisi formulir.

"Lihat! dia kidal!" seorang siswa menunjuk dengan dagunya.

"Memangnya kenapa kalau kidal?" tanya temannya bingung.

"Nenek aku kata, jangan berteman dengan orang kidal, hidupmu tidak akan bahagia. Soalnya dia itu 'kan jorok. Semuanya dia lakukan pakai tangan kiri ihhhh." sambungnya bergidik jijik.

“Dan lihatlah, tulisannya saja seperti cakar ayam."

Seketika kupingnya panas mendengar gibahan orang-orang ini. Ia merobek kertas formulirnya kemudian berlari menjauh. Tangannya mengusap kasar air matanya yang tak berhenti mengalir.

🍁🍁🍁🍁🍁

Vita masuk ke kelas dengan tergopoh-gopoh, kali ini ia terlambat karena angkot ayahnya agak lama menunggu dan mengantar penumpang. Karena begitu panik, ia jadi tidak melihat kalau Reno sang ketua kelas jaim (menurut versinya) sedang berdiri di depan pintu. Kebetulan guru yang mengajar pun belum datang. Reno yang ditabrak oleh truk container gandeng langsung terhempas ke samping.

"Eh, maaf." ujar Vita merasa bersalah. Reno hanya tersenyum dan kembali duduk di tempatnya tanpa menjawab. Miska yang melihat kejadian itu langsung mendekati perempuan itu.

"Eh, Giant... Jalan itu pake mata jangan pake bamper aja," sindirnya tajam.

“Makanmu segentong ya?, orang yang biasanya banyak makan itu B-O-D-O-H!"

"Heran ya, kok bisa sih kamu lulus dan keterima di sekolah ini. Secara kan kamu itu gak level ma kita-kita, iya gak?"

Teman yang lain bersorak setuju.

Vita hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Dia tak mau meladeni Miska karena tak mau menambah runyam hidupnya.

Lagian kok ya benci banget Miska sama aku, pikirnya dalam hati.

Dia tak mau cari musuh, cukup datang, duduk, diam, dan pulang. Berharap waktu tiga tahun ini segera berlalu. Mengenai kegiatan ekskul, sepertinya ia akan ikut ayahnya menarik angkot saja. Jadi asisten atau kernet. Lumayan langsung kerja.

---Bersambung---

Part 2 Cantik Butuh Tenaga

“Tarik!" Teriaknya kencang agar ayahnya sebagai sopir mendengar suaranya. Angkot merah itu pun melaju membelah jalanan kota kecamatan.

Dia adalah Vita Maharani, putri kedua sang sopir angkot. Badannya yang tambun dan besar dengan rambut terurai panjang menambah kesan angker angkotnya. Lagaknya kernet profesional dia berteriak sepanjang jalan.

"SP3, Pattallasang, Paris, Palleko, Patani, Paria Lau!” absennya untuk jalur yang akan dilalui angkotnya. Berulang ia mengucapkan nama-nama tempat yang akan dilalui sampai suaranya sedikit serak.

"Kiri depan pak!" teriak penumpang dalam angkot, seorang ibu paruh baya, tangannya dipenuhi keranjang belanjaan. Kelihatannya dia naik dari Pasar tadi. Dengan ramah dia memberikan ongkos angkotnya ke Vita. Diterimanya uang itu dengan senyum terkembang.

"Tarik!" teriaknya lagi pertanda angkot sudah harus maju meninggalkan asap hitam dari knalpot yang jarang dirawat akibat kurangnya pemasukan.

Entah terbuat dari apa hidung Vita Maharani, indra penciumannya begitu lihai mencium bau masakan walaupun dari jarak yang sangat jauh. Ketika angkot melewati kawasan pasar Pattallasang.

Aroma Coto makassar sudah melambai dan merayu kelima indra dalam tubuhnya. Bayangan potongan daging sapi dalam kuah yang sangat khas membentuk gelombang dalam ususnya. Lidahnya membasahi bibir menahan liur yang sudah tak sabar untuk menetes.

“Stop! Ayah!” teriaknya tak sabar.

“Ciiiiiiit!”

Dengan tiba-tiba angkot berhenti mendadak. Bunyi ban yang beradu dengan aspal membuat semua penumpang kaget. Beberapa penumpang bahkan sampai terseret ke depan dan berpindah tempat duduk.

“Ada apa?" tanya semua orang dalam angkot. Ada yang mulai menggerutu kesal dan ada juga yang masih bingung dengan apa yang terjadi.

“Maaf, ibu-ibu dan bapak-bapak, kita berhenti dulu," ujar vita cengengesan.

“Saya lapar,“ lanjutnya sambil memegang perutnya yang super besar dilihat dari sudut manapun.

“Kalau mau nunggu sebentar ya, saya tidak tahan.” Vita pun berlari kearah warung coto Makassar di pinggir jalan.

“Lama amat sih, kita bisa telat nih." Penumpang yang sedari tadi mengomel tanpa henti semakin marah. Ayah hanya geleng-geleng kepala dan beranjak meninggalkan angkot menuju warung yang sama yang Vita kunjungi. Ayah hanya terbengong menatap putrinya sudah menghabiskan 3 mangkuk coto beserta puluhan ketupat.

“Pesan apa Pak?" sapa penjual dengan ramah.

“Tidak. Terima kasih," tolak ayah halus. Dia segera membayar makanan Vita dan menyeretnya keluar dari warung.

“Waduh, pantesan kernetnya sebesar gajah gitu, makannya aja sampai lupa berhenti.” sindir penumpang yang sudah lama menunggu. Ayah hanya tersenyum sedangkan Vita malah bersendawa dengan keras karena kenyang.

“Tarik!” teriak Vita dengan semangat karena energi sudah terisi full. Angkot pun kembali melaju mengantar penumpang ke tujuan mereka masing-masing. Suara Vita mengabsen masih menghiasi perjalanan di siang terik itu.

Setelah berputar-putar keliling kota, akhirnya si angkot pun sampai di kandangnya. Hari sudah senja, matahari sudah menyelesaikan tugasnya hari ini menyinari bumi.

"Capek Yah?" Sapa ibu sambil membawa air dingin dalam botol untuk suami tercinta.

"Hmm, tidak kok”menggelengkan kepala pelan

“Capek ayah hilang kalo bersama gadis ayah," senyumnya kemudian sambil mengipasi wajahnya yang penuh peluh.

"Mandi dulu nak!" ibu menoleh melihat Vita yang masih sibuk menghitung uang setoran kali ini. Terlihat dia mengernyit menghitung berulang- ulang.

"Kenapa?" Tanya ayah seraya mendekati anak gadisnya.

"Setoran kita kurang, Yah" ucapnya sedih. Dia ingat beberapa hari ini setoran selalu kurang hingga juragan pemilik angkot selalu marah dengan wajah tak enak dipandang. Pak Muin sang pemilik angkot berkali-kali mengancam akan mengambil kembali angkotnya kalau pemasukan tidak pernah bertambah. Sedangkan ayah hanya punya keahlian sebagai sopir.

Ayah menghela nafas berat, setelah meneguk air dingin dari botol yang dibawakan oleh ibu, ayah berujar, "Kondisi sekarang memang begini nak, penumpang kurang sedangkan biaya operasional semakin banyak, banyak yang sudah punya kendaraan pribadi, mereka jadi malas menunggu di Terminal. Apalagi ada ojek on-len, yang lebih cepat daripada angkot kita." Senyum masih terkembang dari bibirnya yang keriput. Menyalurkan semangat kepada Vita sang kernet sekaligus putri tersayangnya. Tangannya mengelus lembut kepala sang putri.

"Rezeki hari ini, kita syukuri nak. Semoga besok rezekinya nambah."

“Aamiin” Jawab ibu dan Vita bersamaan sambil mengusap wajah mereka dengan takzim.

Vita mengangguk setuju, ayah dan ibunya adalah orang tua terbaik. Mereka tidak pernah mengeluh sesempit apapun kehidupan mereka. Karena bagi mereka, kelapangan hatilah yang paling utama.

Malam beranjak semakin larut. Bunyi binatang malam bagaikan musik penghibur di suasana yang sepi. Setelah makan malam, mereka bertiga bersantai di balai-balai reyot di depan rumah. Vita masih betah berbaring dipangkuan sang bunda. Rambutnya yang hitam nan panjang dibiarkannya dielus dan disisir oleh ibunya.

"Vita, kamu rajin pake sampo kan?" Ujar ibunya.

"Ini kok lengket ya?" Kali ini menyisir menggunakan jari-jarinya sambil mencari keluarga kutu beserta telurnya. Sekali dua kali Ibu menindis makhluk kecil itu dikuku kedua ibu jarinya.

"Udah dua hari ini gak keramas Bu, bau yah?" Mencium bau rambutnya sendiri sambil cengengesan merasai bau yang kurang sedap dan cukup berminyak.

"Kebiasaan, anak gadis kok kayak gini amat ya?" Jitakan halus mendarat pas dikeningnya, Vita merenggut.

“Aww, sakit bu.” Vita mengelus kepalanya pura-pura sakit. Ibu hanya tersenyum.

“Ini sekalian supaya kutunya pada mati semua” kali ini ibu menambah jitakan nya dengan gemas.

“Ibuukk."

"Nanti tak laporin ke pangeran impian mu biar dia lari menjauh." goda ibunya tersenyum.

"Vita pake sampo sampai habis sebotol pun, tak ada seorangpun yang mau berteman sama aku bu, beuhhh apalagi pangeran, " ujarnya dengan bibir mengerucut sebal.

“Apa memang saya ini bulukan ya bu?” perasaan rendah diri semakin menggerogoti hatinya, Ibu menarik nafas sambil tangannya tak berhenti mengelus rambut putrinya.

"Jangan berfikir begitu, nak. Mereka mungkin tidak tahu caranya berteman sama Vita, karena Vita terlalu spesial."

“Spesial apanya bu, kayak martabak aja pake spesial, hahahha” tubuh tambunnya bergetar karena merasa lucu. ibu selalu bisa menghiburnya. Kemudian ibu melanjutkan,

“Tampil cantik itu perlu, bukan hanya untuk orang lain tapi lebih untuk kebahagiaan kita sendiri."

"Cantik dan merasa cantik itu harus nak, agar kita bersyukur, mensyukuri apa yang sudah dikasih sama Tuhan." Tambah ibunya kalem sambil mentoel pipi putrinya. Vita hanya mengerucutkan bibirnya.

"Bagi ayah, Vita adalah putri yang paling cantik selain Kakakmu Gita." kali ini Ayah ikut nimbrung, duduk di samping ibu.

"Kalian Putri-putri tercantik ayah, ayah bangga sama kalian." wajah ayah terlihat berseri diantara rasa letih sepanjang hari mencari nafkah untuk keluarganya.

"Jadi? Ibu Gak cantik nih?" Ibu merajuk, Vita jadi merasa lucu.

"Ibu yang paling cantik, dan sekarang menurunkannya untuk putri-putri ayah." Ayah membela diri dengan memuji ibu. Tapi kelihatannya ibu masih ngambek.

Vita pun bangun dari pangkuan ibu kemudian menuju kamarnya,

Pembicaraan tentang pemasukan yang cukup seret hari ini diakhiri dengan rajukan ibu. Membuat malam ini dipenuhi keceriaan.

"Vita tidur dulu Bu ayah, besok harus ke sekolah." beranjak menjauh setelah mencium pipi ibu dan ayah.

Dengan bersenandung riang, Vita menuju tempat peraduannya, tempat melepas penat berharap mimpinya kali ini indah...

Do'anya setiap malam agar mimpi indah itu datang merangkulnya, cukup kenyataan hidupnya lah yang sulit, tapi dunia mimpinya harus indah. Lumayan untuk menikmati hidup, 'kan gratiss?.

---Bersambung---

Part 3 Mimpi Tak Basah

Tampan, itulah kesan pertama yang Vita rasakan.

“Love at the first sight.” bisiknya dalam hati.

”Inikah yang dinamakan cinta pertama?” kembali ia meyakinkan dirinya atas apa yang terjadi pada hatinya kini. Pria tampan itu juga sedang memandangnya takjub. Dadanya berdesir hebat ketika senyum itu tersungging. Bibirnya tebal dan agak merah, menariknya bagai magnet. Membayangkan bibir pria itu beradu dengan bibirnya, rasanya pasti manis dan nikmat. Dan tatapannya, terasa bagaikan belati tajam menikam langsung ke dalam jantungnya dan hmm...bikin meleleh luruh tak berbentuk. Seluruh tubuhnya seakan berubah menjadi jelly.

“Ehem” Vita berusaha menetralisir kegugupannya. Senyum malu-malu pun ditampilkannya, ia berusaha menenangkan diri dengan memutar pandangannya mencari obyek lain agar tatapan mereka tidak beradu. Sungguh tak kuat bertatapan lama dengan pria pencuri hatinya. Pipinya semakin memanas tatkala pria itu semakin dekat dan membuatnya mengikis jarak diantara mereka.

Tubuh mereka menempel. Hembusan nafas mereka serasa beradu di udara. Dengan perlahan tangan kekar sang pria meraih pinggangnya ke dalam rengkuhan. Bibir tebal dan merah itu mengecup lembut pucuk kepalanya. Bak terkena sengatan lebah, tubuhnya merinding, ribuan kupu-kupu menggelitiki perutnya, terasa indah.

“Kamu tak pernah keramas ya?” bisik sang pria lembut di telinganya.

Gubrak!!!

Ribuan kupu-kupu itu tiba-tiba terbang menyisakan dirinya yang gosong terkena petir yang begitu hebat. Hujan pun turun dengan derasnya bagaikan alam sedang murka. Tubuhnya menggigil dingin tak terkira. Ia mencari-cari sosok pangeran impian yang kini meninggalkannya sendiri. Air mata dan air hujan bersatu membanjiri pipinya. Sakit, bahkan ingus pun ikut menyumbang andil menambah penderitaannya. Dia ingin berlari tapi kakinya bagai terpatri di tanah tempatnya berpijak. Kepalanya menggeleng tak rela.

"Vit, Vita..." Kali ini bahunya ikut bergetar bahkan berguncang, matanya masih mencari sang pangeran tampan yang semakin menjauh, tangannya berusaha menggapai. hanya punggung lebarnya saja yang nampak kini.

Byuur...

Dan...

“Awwww” kali ini teriakannya melengking. buru-buru ia bangun dan langsung melompat kaget. Ranjang kecilnya ikut berderit. Selimut dan bantalnya sudah basah

"Ibu, " rengeknya saat melihat ibunya dengan gayung di tangan

"Kamu mimpi basah ya, ayo cepetan mandi lalu sholat"

"Ibu mengganggu mimpiku...”

“Sedikit lagi Bu..."

“Pangeran itu akan menciumiku." tangannya mengucek wajahnya yg sudah basah kuyup, kemudian ia lanjut berbaring berharap sang pangeran kembali dan melanjutkan kegiatan indah yang sempat tertunda.

Melihat itu ibu tidak tinggal diam, kembali ia siram kepala Vita agar segera bangun dan sadar.

"Apaan sih Bu, Vita gak rela." Vita memberenggut kesal sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

"Ini sudah siang nak, dari tadi dibangunin juga, sana cepetan mandi!”

“Jangan-jangan itu celana ikutan basah kali." gerutu ibunya sambil menjewer telinga putrinya.

“Terang aja basah bu, kan kena air” Vita memanyunkan bibirnya yang sudah tenggelam oleh pipinya yang montok. Dengan terpaksa Vita bangun menuju kamar mandi sambil menghentakkan kakinya keras-keras.

“Jangan lupa keramas!” teriak ibunya dari balik pintu kamar mandi

🍁🍁🍁🍁🍁

"Vita Maharani!" Tegur ibu Suriya, guru Seni Budaya yang melihatnya dalam mode khayal maksimal. Dari tadi tersenyum tidak jelas dengan mata mengerjap-ngerjap bagai ikan lohan kehabisan air. Pandangan matanya menerawang jauh seakan menembus dinding kelas.

"Eh, iya, ada apa?" Setelah timpukan mistar di bahunya barulah dia sadar. Satu ruangan menatapnya lucu, semua menahan tawa. Tak terkecuali ibu Suriya dan ketua kelas jaim di depannya.

"Kalo masih mau tidur gak usah ke Sekolah kali, mimpi kok di siang bolong." celetuk si pembuat onar siapa lagi kalau bukan Miska.

“Kamu mimpi mesum ya?” Miska masih menyudutkannya

‘Wajahmu merah tuh.” tunjuknya dengan jari. Vita reflek meraba wajahnya yang memanas.

“Ngences pula, buahahhaha” kembali Vita mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.

Tanpa aba-aba seluruh ruangan kembali bergemuruh dengan suara tawa. Ada yang sampai memukul meja. Suasana kelas semakin gaduh. Duh malunya, Ibu Suriya berusaha menenangkan kelas. Tapi Miska merasa di atas angin. Tak peduli tatapan mata ibu Suriya yang seakan ingin menelannya hidup-hidup.

"Mimpi itu jangan terlalu tinggi entar kalo jatuh bisa nyungsep tuh." celetuk yang lain tak mau kalah. Semakin banyak suara-suara tak jelas mampir di kupingnya.

Ingin rasanya ia keluar dari kelas ini. Dengan menahan malu ia hanya tertunduk. Andai tak sayang orang tuanya yang sudah rela dan ikhlas membiayai pendidikannya. Ia sudah ingin berhenti sekolah. Matanya menatap kesana kemari meminta pertolongan. Kebiasaan buruk seperti ini sepertinya dihukumi sebagai kenakalan dan keisengan remaja biasa.

“Untuk apa aku ke sekolah?” tanyanya dalam hati.

“Aaaaa.” tangisnya mulai pecah. Hanya sesak yang ia rasakan. Air matanya menetes. Mimpinya hanya akan jadi mimpi yang tergantung di langit. Tak ada teman yang peduli. Mungkinkah karena ia seorang gadis miskin dan juga tak menarik. Bahkan kesalahan kecil saja dia sudah dibulli mati-matian. Itulah mengapa dia malas berteman, tidak ada yang tulus di sini. Semuanya punya motif. Vita menutup mukanya dengan telapak tangannya, berharap bel pulang segera berbunyi agar ia cepat kembali ke rumah. Karena temannya hanyalah ayah dan ibunya. Yang mengerti dirinya, mencintainya tanpa alasan.

🍁🍁🍁🍁🍁

Jam pulang pun akhirnya berbunyi, buru-buru Vita menuju gerbang sekolah menunggui ayahnya yang akan menjemput. Ia berjalan menunduk dan tak sengaja matanya melihat beberapa hasil cetakan gambar dirinya yang sedang makan di belakang gedung aula. Perlahan ia meraih gambar-gambar itu. Otak kecilnya berusaha mencerna apa yang ia saksikan sendiri,

“Si Giant diam-diam makan bangkai Gajah, pantas dia jadi sebesar Gajah.” begitu isi caption dibawah gambar itu. Ia meremas kertas-kertas itu menjadi sangat kecil. Kakinya melangkah menuju tempat sampah berniat membuang sampah ditangannya, tiba-tiba seseorang yang sangat ia kenali berdiri dengan angkuh menahan langkahnya,

“Kenapa dibuang?" tanyanya dengan ekspresi menyebalkan. Vita menulikan kupingnya.

“Bawa pulang aja biar orang tua mu juga tau kalo kamu tuh makan bangkai!” seakan dirinya tersengat listrik ribuan volt. Dengan cepat Vita menarik kerah baju Miska hingga membuat gadis itu merasa tercekik. Badannya yang mungil terangkat keatas. Vita sudah tidak bisa menahan emosinya. Matanya merah karena marah dan air mata. Tangannya yang kiri sudah mengepal kuat.

“Hei, lepaskan aku Bodoh!” Teriak Miska yang sudah tak punya tenaga. Sekelebat bayangan senyum teduh Ibu terbayang. Perlahan mengantarkan kesejukan dalam kemarahannya. Vita menurunkan tubuh Miska,

“Apa salahku?”

“Kenapa kamu suka sekali menggangguku?” Tanya Vita sesenggukan.

“Karena aku tidak suka dan sangat membencimu!” teriak Miska

“Kamu jelek tapi Reno suka padamu."

“Aku benci kamu sampai ke tulang-tulang ku” Miska berlari meninggalkan Vita yang terbengong sendiri.

Hellow!

Vita menepuk pipinya keras, berusaha menyadarkan dirinya sendiri.

“Apa benar ada yang punya perhatian padaku?” bisiknya dalam hati.

“Reno yang jaim itu suka padaku?” masih merasa tidak percaya atas perkataan Miska. Ia memindai tubuh tambunnya sendiri. Meraba wajahnya dengan telapak tangan besarnya, merasai bahwa hanya kumpulan daging pipi disana. Tak ada lekukan yang menandakan kalau itu sebuah wajah. Hidungnya yang mungil jadi tenggelam.

Tiba-tiba senyum aneh menghiasi bibirnya. Sebuah semangat baru terngiang di penjuru hatinya.

“Aku harus berubah!” tekadnya dalam hati. Tangannya mengepal di udara.

“Semangat!” teriaknya sambil melangkah pulang.

---Bersambung---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!