NovelToon NovelToon

Terima Kasih Cinta

Terima Kasih Cinta - Bagian 1

SIANG yang terik, seorang gadis melangkah lunglai di jalanan. Keringat mengucur di dahinya. Tubuhnya lemas. Karena ia belum makan. Tapi tidak punya waktu bersantai makan karena adik-adik di panti sudah menunggunya.

“Kak Tanvi..”

Ia menoleh.

Alif. Mengendarai mobil memanggilnya.

Alif turun dari mobil dan menghampirinya. “Kakak apa kabar?”

Ia tersenyum kecil. “Alhamdulillah baik, Lif. Kamu apa kabar? Udah lama nggak main ke panti.”

Alif terkekeh. “Iya, Kak. Soalnya Alif masuk sekolah asrama. Sekarang udah masuk kelas 11.”

“Bagus kalo gitu. Tapi kok kamu bawa mobil sendiri? Emang udah punya SIM? Umur kamu kan baru 16 tahun.”

“Belum punya sih, Kak. Tenang aja. Alif bawa mobilnya nggak jauh-jauh. Nggak sabar nyobain mobil baru hadiah dari Papa. Soalnya Alif berhasil masuk lima besar di sekolah.”

“Hebat kamu. Trus sekarang lagi libur?”

“Iya, Kak. Lusa Alif baru balik ke asrama lagi. Oh ya, Alif anter Kakak. Sekalian Alif mau ketemu adik-adik panti.”

“Boleh.”

***

Tanvi Malika Andrena, 23 tahun. Seorang mahasiswi angkatan terakhir. Dia menghabiskan hidupnya dengan mengabdi di panti asuhan tempatnya dewasa.

Dia ditinggalkan di panti waktu masih bayi. Menurut Bu Ratna, ibu panti yang menemukannya, tengah malam ada suara tangisan bayi. Begitu dilihat, ada keranjang berisi bayi perempuan yang baru berusia beberapa hari diletakkan di depan pintu. Bu Ratna mencoba mencari tahu siapa yang membuang bayinya. Namun tidak menemukan petunjuk.

Sejak itu Tanvi tumbuh besar di panti. Setelah Bu Ratna meninggal 5 tahun lalu. Tanvi, Dena, dan Indah yang tertua bertanggungjawab mengurus kelangsungan panti mereka.

Waktu Tanvi umur 5 tahun, ada yang ingin mengadopsinya. Namun Tanvi tidak mau.

Alif dibesarkan di panti ini. Ketika Alif berusia 9 tahun, Alif diadopsi suami istri kaya yang tidak punya anak. Meski begitu Alif tidak lupa pada Tanvi dan adik-adik panti. Alif selalu membantu jika ada kesulitan. Berkat didikan Bu Ratna semasa hidup. Agar senantiasa saling menjaga.

Untuk kelangsungan panti, Tanvi, Dena, dan Indah membagi tugas mereka. Tanvi mengurus keperluan sekolah adik-adik panti. Dena mengatur keuangan dari donatur dan meng-handle semua pengeluaran. Sedangkan Indah mengurus rumah dan keperluan penghuni panti.

***

“Kak Tanvi.”

Tanvi baru selesai mandi, menoleh. “Kenapa, Nira?”

“Buku gambar Nira abis, Kak.”

Gadis kecil berumur 5 tahun itu menyunggingkan senyum imut membuat Tanvi tersenyum juga. “Iya besok Kakak beliin ya. Sekarang kamu tidur, besok kan sekolah.”

“Ini, Kak. Ada surat dari Bu Guru.”

Tanvi menerima. “Iya Kakak baca. Nira tidur sana.”

Begitu Nira meninggalkan kamar, Tanvi membaca surat.

“Surat dari siapa, Vi?” tanya Dena masuk kamar.

“Dari sekolahnya Nira. Besok kamu bisa ke sekolah Nira? Soalnya besok aku harus ke kampus daftar sidang skripsi.”

“Emang ada apa di sekolah Nira?”

“Bagi rapot. Cuma bentar aja. Abis ambil rapot, anter Nira pulang. Tempat kerja kamu kan deket sekolah Nira.”

“Duuh gimana ya?”

“Ayo dong, Den… aku sebentar lagi kan mau sidang skripsi. Ntar kalo aku lulus trus kerja kan untuk kita semua juga. Besok aku harus dateng pagi-pagi supaya nggak keduluan sama yang lain. Jadi aku dapet jadwal ujian minggu-minggu ini. Soalnya….”

“Iya iya.. aduuuhh kebiasaan ni anak kalo ngomong kayak kereta api. Iyaa ntar aku minta ijin sama bos deh.”

“Yesss.. thank you, sisterrrr… I love you pokoknya..”

“Pokoknya jangan lupa traktir kalo udah lulus.”

“Beres.”

“Vi, nih makan dulu.” Indah membawakan sepiring nasi dengan lauknya.

“Makasih, Ndah.” Tanvi langsung makan dengan lahap.

Dua saudaranya keheranan.

“Kamu nggak makan setahun?”

Tanvi nyengir. “Pulang dari kampus kemaren langsung ke perpustakaan, trus ke Bekasi, ke rumahnya Bu Rike, buat bimbingan skripsi. Kemalaman jadi nginep di sana. Paginya nggak sempet makan langsung ke kampus lagi revisi skripsi terakhir, trus bimbingan lagi. Masih untung bisa berdiri.”

“Kamu harus jaga kesehatan dong, Vi. Kalo kamu sakit, kan kita khawatir.”

“Tau nih.. jangan sampe ya kamu pingsan pas wisuda.”

“Iya, nggak lagi-lagi deh.”

Tanvi ingin menyelesaikan kuliahnya tahun ini. Dia sempat cuti kuliah 2 tahun karena bekerja untuk kelangsungan panti. Begitu Dena dan Indah mendapat pekerjaan, Tanvi melanjutkan kuliahnya.

Dena bekerja sebagai waitress di tempat karaoke. Sedangkan Indah kasir minimarket. Mereka bertiga membagi tugas mengurus panti. Ada 7 anak yang mereka urus.

Tanvi ingin begitu lulus segera mendapat pekerjaan yang memadai.

***

Setelah bersih-bersih, Tanvi naik ke tempat tidur. Ia membuka laci dan mengambil secarik kertas lusuh.

Tanvi Malika Andrena

Hanya sebaris tulisan. Tulisannya bengkok-bengkok, ia bisa membayangkan tangan yang menulisnya gemetar.

Kertas ini ada dalam keranjang bayi tempatnya ditemukan. Hanya berisi namanya. Selama ini ia sudah berusaha mencari tahu di rumah sakit terdekat, bidan, dan klinik bersalin, tentang bayi-bayi yang dilahirkan kisaran 1 minggu dari tanggal dia ditemukan. Berharap mengetahui siapa orangtua kandungnya.

Namun hasilnya nol. Dia tidak menemukan apa-apa.

“Tanvi, ada Kak Farhan tuh di luar.” Indah masuk kamar.

Tanvi kaget. “Serius? Malem-malem gini?”

“Baru juga jam 20.15. Sana temuin dulu.” Indah mengambil piring bekas dan keluar kamar.

“Ada apa ya?” Tanvi menggulung rambutnya dan keluar kamar menuju teras. “Kak Farhan?”

Farhan menoleh dan berdiri. “Maaf ganggu malem-malem.”

“Oh nggak pa-pa, kok nggak nelepon dulu mau dateng?” Tanvi duduk di sampingnya.

“Soalnya aku tau kamu lagi sibuk akhir-akhir ini. Jadi aku nggak mau ganggu.”

“Maaf ya, Kak. Jadi jarang ada waktu buat Kakak.”

“Santai. Aku tau kok kamu lagi berjuang demi adik-adik panti. Aku nggak keberatan, dan malah bangga sama kamu.”

Tanvi tersenyum.

“Oh ya, ada titipan dari Papa.” Farhan mengeluarkan amplop tebal. “Semoga bermanfaat untuk adik-adik panti.”

“Alhamdulillah.” Tanvi menerima senang. “Terima kasih ya, Kak. Kami emang perlu untuk biaya karyawisata Cita dan Didi ke Yogya.”

“Iya sama-sama. Papa senang bisa bantu panti ini. Kalau ada keperluan, jangan segan bilang sama aku.” Farhan mengusap kepala Tanvi sekilas. “Gimana skripsi kamu?”

“Udah di-ACC, Kak. Besok mau daftar untuk sidang. Mudah-mudahan kekejar untuk sidang minggu depan. Aku nggak mau nunda lagi, tahun ini harus lulus.”

“Kamu pasti bisa. Aku percaya sama kamu. Dan, aku juga udah siapin hadiah istimewa kalo kamu lulus.”

“Oh ya? Apa tuh, Kak?”

Farhan mencubit hidung Tanvi gemas. “Namanya juga hadiah, masa’ dikasih tau?”

“Ahh Kakak bikin aku penasaran aja.”

“Kan surprise. Pokoknya kamu harus jaga kondisi. Kalo perlu bantuan, telepon pemadam kebakaran aja.”

“Lho kok pemadam kebakaran?”

“Biar padamkan api kebingungan kamu.”

“Ahhh Kak Farhan nih udah malem main kata-kata. Otakku udah lowbatt ini nggak bisa mikir.”

Farhan tertawa. “Coba sini liat yang udah lowbatt?”

Tanvi cemberut.

Farhan memegang kedua pipinya, lalu beranjak mencium dahi Tanvi, lembut.

Tanvi jadi salah tingkah.

“Met tidur ya, jangan lupa mimpiin aku.”

Farhan balik badan dan pergi dengan mobilnya.

Tanvi terpana. Hatinya berbunga-bunga.

Ia bergegas masuk. Nampaknya tidurnya akan nyenyak.

***

Farhan anaknya Pak Tito, donatur panti yang merupakan pengusaha sukses. Pak Tito teman baik Pak Rano, kakaknya Bu Ratna, pendiri panti. Atas dasar itu juga Pak Tito menjadi donatur tetap di panti.

Farhan yang lebih tua 7 tahun darinya sudah setahun terakhir ini menjadi kekasihnya.

Awalnya Farhan sering datang ke panti untuk mengantarkan uang. Karena sering bertemu, mereka jadi dekat, hingga Farhan mengungkapkan perasaannya.

Hanya saja mereka masih merahasiakan hubungan mereka dari keluarga Farhan. Tanvi belum yakin keluarga Farhan menerima mereka. Mereka saling mencintai. Farhan memperlakukannya dengan baik. Meski dia masih bingung ingin hubungan ini dibawa ke mana.

Memikirkan masa depan adik-adik panti sudah menguras tenaganya. Dan ia bisa melanjutkan kuliah pun atas bantuan biaya dari Pak Tito. Ia takut disebut tidak tahu balas budi. Makanya Farhan setuju menyembunyikan hubungan mereka sampai Tanvi siap.

***

Sidang skripsi Tanvi sukses dengan yudisium memuaskan. Tak sabar ia segera mengabarkan kabar baik pada Farhan, dan saudara-saudara panti.

“Selamat ya, Sayang. Aku bangga sama kamu.” Farhan mengungkap rasa gembiranya begitu menjemput di kampus.

“Wisudaku bulan depan. Kak Farhan harus dateng ya.”

Farhan memeluk bahu Tanvi, mesra. “Iya aku pasti dateng. Kita ke rumah yuk?”

“Hah? Ke rumah Kakak?”

“Iya. Eh jangan mikir macem-macem dulu. Di rumah ada acara ulang tahun Kakek. Papa minta aku ngundang kamu dan adik-adik panti.”

“Ohh kalo gitu aku kabarin Dena sama Indah dulu.” Tanvi mengeluarkan HP.

“Enggak usah. Mereka sama adik-adik udah ada di rumah dari tadi. Aku suruh supir jemput mereka.”

“Duuhh aku jadi ngerepotin, Kak.”

“Nggak ada yang repot buat kamu. Eh itu apa?”

Tanvi menunjukkan amplopnya, bangga. “Ini surat keterangan aku lulus. Dengan ini aku mau coba ngelamar kerja. Kalo nunggu sampe ijazahku keluar bulan depan, kelamaan.”

“Kamu udah list perusahaan yang mau kamu kirim?”

“Belum, Kak. Kemaren-kemaren pikiranku fokus untuk sidang aja.”

“Aku pasti bantu. Siapa tau ada posisi bagus buat kamu di perusahaan Papa.”

“Tapi…”

“Nggak ada tapi-tapian..” Farhan mencubit pipi Tanvi, gemas. “Sekarang rileks dulu. Biar nggak stress. Yuk kita pulang.”

“Iya, Kak…” kata-katanya terhenti ketika tiba-tiba ia merasa dunia berputar dan tubuhnya limbung.

Farhan memegang lengannya, bingung. “Kamu kenapa?”

Tanvi mengerjapkan matanya. “Kepalaku pusing.”

Farhan memapahnya masuk mobil. “Kamu tuh kecapean. Menjelang sidang skripsi pola hidup kamu nggak sehat. Nanti kamu istirahat di rumah aja.”

Tanvi tidak membantah, hanya memijat-mijat kepalanya yang berat.

***

Pak Tito sekeluarga menyambut kedatangan Tanvi dan memberi selamat atas kesuksesan sidang skripsinya. Bahkan Pak Tito menawarkan pekerjaan di perusahaan.

Tanvi belum bisa mencerna setiap kejadian karena kepalanya sakit.

Akhirnya Farhan membawa Tanvi istirahat di kamarnya.

Baru saja berbaring, Tanvi sudah terlelap.

“Kak Farhan, Tanvi kenapa?” tanya Dena cemas.

“Dia cuma kecapean. Butuh istirahat.” Farhan menutup pintu kamar.

“Belakangan ini Tanvi kurang tidur, makan juga sedikit. Dena udah bilang supaya Tanvi jaga kesehatan. Masih aja begadang untuk belajar. Ambruk deh.”

“Udahlah kamu jangan khawatir. Biarin dia istirahat di sini dulu. Nanti kalau kondisinya sudah membaik, aku anter dia pulang ke panti.”

“Kalau begitu titip Tanvi ya, Kak. Kami permisi dulu. Udah malam. Besok kan adik-adik sekolah.”

“Ya. Aku anter kalian.”

Mereka keluar rumah.

BRAKKKK!

Semua kaget, dan melihat ada mobil menabrak pagar hingga engsel kunci terlepas.

“Dena, Indah, kalian sama adik-adik masuk duluan ke mobil.” Farhan menghampiri mobil hitam dan membuka pintunya. “Fal! Lo mabuk lagi?”

Fally Kurniawan, saudara sepupu Farhan yang baru menyelesaikan studi S2 di Inggris, tertawa tanpa dosa. “Gue cuma minum dikit. Sorry ngerusakin pagar lo lagi.”

“Dasar!” Farhan menuntunnya keluar mobil. “Gue anter ke kamar.”

“Enggak usah, bro. Gue bisa sendiri.” Fal menepuk bahu Farhan. “Lo ada keperluan kan, gue bisa sendiri kok.”

Farhan mengamati sepupunya. Memang Fal masih bisa berdiri tegak, pandangannya juga masih fokus. Mungkin ia memang tidak terlalu mabuk. “Ya udah, sana. Hati-hati kalo lewat ruang tengah. Bokap nyokap lo juga ada di sana. Kalo Kakek tau lo mabuk lagi, bisa abis lo!”

Fal terkekeh. “Santai…”

Farhan masuk mobil dan melaju meninggalkan rumah.

***

Tanvi terbangun ketika sudah pagi. Ia mengerjapkan mata aneh mengingat bukan kamarnya.

“Oh iya, kemaren aku sakit, jadi tidur di rumahnya Kak Farhan,” gumamnya setelah mengingat.

Tiba-tiba ia terdiam, aneh. Tangan siapa yang sejak tadi memegang tangannya?

Ia menoleh dan kaget melihat laki-laki yang tidak dikenalnya, tidur di sampingnya tanpa mengenakan baju.

“Astagfirullah al’adzim!” pekiknya tertahan.

Ia tidak bisa menyembunyikan wajah paniknya, ketika tiba-tiba pintu terbuka lebar.

Dalam sekejap dua pasang mata menatapnya kaget.

“Tanvi?! Fal!?!”

“Kak Farhan!?”

Semua orang berdatangan ke kamar dan kaget.

“Apa-apaan ini?!” teriak Kakek menggelegar membangunkan pria telanjang dada di sampingnya.

Tanvi tersudut sambil menarik selimut.

“Lho ini ada apa? Kok semua ngumpul di kamarku?”

“Fal, ini kamar gue,” tegas Farhan.

Fal masih mencerna yang terjadi karena semalam mabuk. Ia menoleh dan menyipit melihat perempuan tidak dikenalnya berselimut. “Lo siapa?”

Tanvi tidak dapat menahan tangisnya.

***

Fal dan Tanvi disidang oleh keluarga.

“Kek, ini salah paham. Aku nggak kenal gadis itu.” Fal coba menjelaskan. Sementara Tanvi hanya duduk tanpa berani mengangkat kepalanya.

“Salah paham bagaimana? Kalian sudah melakukan hal yang tidak sepantasnya.” Kakek geleng-geleng kepala.

Farhan hanya diam, tidak habis pikir yang terjadi.

Fal coba menjelaskan semalam ia mabuk dan salah masuk kamar. Kamarnya dan kamar Farhan bersebelahan. Dan tidak melihat ada Tanvi karena gadis itu berselimut. Fal juga melepas bajunya karena kotor terkena muntahan.

“Kamu mabuk dan tidak ingat apa-apa?” tanya Pak Tito

“Iya, Om.”

“Kalau begitu, siapa yang menjamin semalam kalian berdua tidak melakukan apa-apa?”

Fal tidak bisa menjawab, karena memang tidak ingat.

Farhan angkat bicara. “Pa, mungkin ini salahku juga. Harusnya semalam aku antar Fal ke kamarnya karena dia sedang mabuk. Dan Tanvi lagi sakit makanya aku biarkan tidur di kamarku. Sepulang dari panti, aku tidur di kamar Kakek. Sama sekali tidak terpikir akan begini jadinya.”

Semua terdiam.

Orangtua Farhan, orangtua Fal, Kakek beserta Nenek, memandangi mereka tidak yakin.

“Om Tito, Papa, Kakek, tolong percaya. Aku dan dia nggak saling kenal. Gimana bisa aku ngelakuin hal itu sama orang asing?”

Pembelaan Fal tidak bisa diterima Kakek.

“Apapun penjelasan kamu, ini sudah terjadi. Dan demi nama baik keluarga, Kakek memutuskan, kamu harus menikahi gadis itu.”

JLEGERRR!!

Serasa ada petir menyambar mereka bertiga. Fal, Farhan, dan Tanvi.

***

Terima Kasih Cinta - Bagian 2

“APA?!!!”

Tanvi sudah menduga reaksi saudara-saudaranya bakal begini.

“Semua pergokin kamu sama sepupunya Kak Farhan tidur bareng, dan nyuruh kalian nikah?!” Dena tidak percaya.

“Bukan, Den!” Tanvi meremas kepalanya sendiri, frustasi. “Kak Fal itu mabuk dan salah masuk kamar Kak Farhan. Dia nggak sadar ada aku di sana. Dan akhirnya, semua menduga kami udah ngelakuin ‘itu’. Karena Kak Fal nggak inget kejadian semalam.”

“Kamu nggak inget semalam dia apa-apain kamu?” Indah memastikan. “Mungkin nggak terjadi apa-apa antara kalian.”

“Aku nggak tau, Ndah. Semalam aku tidur nyenyak banget. Kamu kan tau akhir-akhir ini aku kurang tidur.”

“Oh iya kita juga ketemu cowok itu kan, Ndah?” Dena teringat.

“Kalian udah ketemu?” tanya Tanvi.

“Oh iya iya, yang kemaren mobilnya nabrak pagar kan?” Indah baru ingat. “Ya ampun, kok jadi begini?”

“Trus kamu nggak ngebela diri, gitu?”

“Nggak ada gunanya, Den. Kakeknya itu keras kepala. Baginya yang terjadi nggak perlu ada penjelasan.”

“Lalu Kak Farhan?”

Tanvi sedih mengingat ekspresi putus asa Farhan begitu Kakek memutuskan dirinya harus menikah dengan Fal.

“Harusnya kamu menikah sama Kak Farhan.”

“Eh Dena, Tanvi juga maunya sama Kak Farhan. Tapi situasinya sekarang dia harus nikah sama Kak Fal. Ini pasti berat buat Tanvi, karena dia cinta sama Kak Farhan.”

Sungguh Tanvi ingin berbicara berdua saja dengan Farhan. Tapi laki-laki itu malah menjauh. Bahkan Farhan menyuruh supir mengantar Tanvi pulang ke panti. Padahal Farhan tidak pernah membiarkan Tanvi diantar supir.

***

Minggu pagi yang cerah, Tanvi dan anak-anak bergotong royong membersihkan rumah dan halaman.

Semua ceria, kecuali Tanvi tentunya.

Sudah 2 hari Farhan tidak ada kabar. HP-nya off. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan Farhan. Yang ia inginkan Farhan percaya padanya.

Sedangkan Tante Jihan, ibunya Fal, menghubunginya ingin bertemu.

Sungguh tidak terpikir akan terjerumus hal rumit ini.

Saking ruwet pikirannya, ia tidak sadar air yang disiram pada pot tanaman kepenuhan sampai meluap. Ia melamun, sampai tidak sadar ada yang berdiri di belakangnya.

“Kalo kayak gini, rumah kamu bisa banjir, Vi.”

Tanvi kaget setengah mati. “Kak Farhan?!”

Farhan mengambil selang air dan mematikan kerannya.

“Kakak ke mana aja? HP Kakak off terus. Kakak marah sama aku?” Tanvi menatapnya sedih.

Farhan tidak menjawab, malah melihat-lihat ke arah lain. “Ikut aku yuk.”

“Ke mana?”

“Nanti juga kamu tau.”

Sikap Farhan berubah dingin. Ia pun tidak mengerti mengapa Farhan tidak membelanya.

***

“Kenapa Kakak ngehindarin aku?” tanya Tanvi begitu mobil berhenti di pinggir danau.

Farhan mengetuk-etuk jari pada stir. “Karna nggak ada gunanya.”

“Maksud Kakak apa?”

“Situasinya udah berubah, Vi. Keluarga aku udah tau hubungan kita. Dan itu memperburuk keadaan, mereka nggak percaya kamu dan Fal nggak berbuat apa-apa.”

Tanvi menggeleng. “Kak, walau saat itu aku tidur, tapi aku yakin hal itu nggak terjadi. Aku baik-baik aja.”

“Tanvi.” Farhan menatapnya serius. “Aku percaya sama kamu. Tapi aku nggak bisa percaya sama Fal. Aku kenal dia dari kecil. Sifatnya, kebiasaannya. Kalau udah mabuk suasana hatinya memburuk. Selalu ada perempuan ketika dia sadar dari mabuknya. Dalam kondisi begitu, aku susah percaya kalo dia bilang nggak ngelakuin apa-apa sama kamu.”

“Trus salah aku apa, Kak?” Tanvi mulai menangis. “Kakak yang bawa aku ke sana. Dan aku nggak kenal sama Kak Fal, kenapa mesti aku yang…?”

Farhan tidak tega dan memegang tangannya. “Please jangan nangis. Aku yang salah. Jelas-jelas aku tau Fal mabuk, malah ngebiarin dia masuk rumah sendiri.”

“Lalu? Kenapa Kak Farhan nggak belain aku?”

“Kamu pikir aku diem aja? Aku mati-matian belain kamu, tapi nggak ada gunanya. Semua lebih percaya yang dilihat daripada pembelaan.”

“Kalau itu semua salah paham, apa Kakak nggak bisa bantu aku menjelaskan? Kalau perlu, aku bisa visum untuk membuktikan aku nggak pa-pa.”

“Maaf ngecewain kamu. Aku udah coba mengusulkan itu sama keluarga. Agar kamu divisum. Tapi semua menyaksikan kalian di tempat tidur yang sama. Pembelaan apapun nggak ada gunanya. Semua udah terjadi. Nggak ada yang bisa menentang keputusan Kakek. Kakek itu keras kepala. Keputusannya tidak bisa bisa diganggu gugat. Demi nama baik keluarga kami, keputusan Kakek sudah mutlak. ”

“Jadi?”

Dengan berat hati, Farhan memejamkan mata. “Kamu harus menikah dengan Fal.”

Tubuh Tanvi terhempas lemas. “Aku nggak nyangka, ini hadiah kelulusan yang Kak Farhan janjikan ke aku?”

Farhan tidak berani memandang Tanvi, ia pun terpukul harus memutuskan hal yang pasti menyakitinya.

“Jawab, Kak!”

“Ya!” Farhan menatapnya tajam. “Ini hadiahnya.”

Tanvi tidak menyangka Farhan sebegitu mudah menyerah. Tanpa bicara, ia keluar mobil dan berlari pergi.

Farhan meremas stir mobil, dengan penuh emosi.

Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya.

Jantungnya sakit mengingat ekspresi kecewa Tanvi. Ia menatap cincin yang berkilauan. “Ini hadiahku sesungguhnya. Tapi nggak ada yang bisa merubah keadaan. Yang harus aku lakukan sekarang cuma melupakan kamu, Tanvi. Melupakan cinta kita. Dan melupakan mimpiku untuk menikahi kamu. Semoga kamu nggak benci sama aku.”

Ia keluar dari mobil dan melempar cincinnya ke danau.

***

Acara ijab qabul berlangsung lancar. Pesta pernikahan sederhana diadakan di rumah, hanya dihadiri kerabat dekat.

Selama itu pula Tanvi tidak bicara sepatah katapun.

Bahkan ketika foto keluarga, ia tidak tersenyum.

Begitu juga Fal.

Farhan tidak terlihat. Menurut pembicaraan, Farhan ke luar kota untuk pekerjaan. Tapi sesungguhnya Farhan tidak tahan melihatnya bersanding dengan lelaki lain di pelaminan.

“Meski pernikahan ini tidak seperti harapan, tapi kamu sudah jadi menantu kami. Jadi, tolong urus Fal baik-baik.” Tante Jihan, Mama mertuanya, tersenyum tulus.

Tanvi tidak menjawab hanya menunduk.

Papa memeluk Fal yang diam saja. “Ini hadiah dari Papa. Apartemen tempat tinggal kalian. Kalian kan pengantin baru. Butuh waktu untuk saling mengenal. Jadi Papa, Kakek, dan Om Tito memutuskan kalian akan tinggal berdua saja. Hitung-hitung belajar untuk mandiri.”

Fal menerima kunci apartemen. “Terima kasih, Pa.”

“Tanvi, Papa titip jaga Fal baik-baik.”

Tanvi tersenyum kecil. “Baik, Pa.”

Begitu semua pergi, tinggal mereka berdua.

“Ini cuma salah paham, kenapa kamu nggak nolak pernikahan ini?” tanya Fal pelan, hingga cukup Tanvi yang mendengar.

“Aku bisa ajuin pertanyaan yang sama ke Kakak.” Tanvi membalas pelan, tanpa menoleh. “Kenapa Kak Fal menerima pernikahan ini?”

“Itu bukan keinginanku.”

“Sama. Itu juga bukan keinginanku. Kita cuma terjebak sama situasi rumit dan nggak bisa menolak.”

Fal mendengus kesal.

***

“Dena, Indah, aku minta maaf, harus ninggalin panti. Kalian tau aku nggak suka situasi ini. Ninggalin kalian jelas berat buatku.” Tanvi tidak bisa menahan air matanya, tanpa peduli riasan pengantinnya berantakan.

Dena dan Indah menatapnya kasihan. Mereka tahu betul Tanvi tidak bahagia di hari yang harusnya membahagiakan.

“Vi, kita emang kaget. Karena ini terlalu cepat kamu harus pergi. Semoga ini yang terbaik.” Dena mencoba ikhlas.

Indah memeluk Tanvi sedih. “Walau sulit kami urus panti tanpa kamu, tapi Insya Allah kami sanggup. Sekarang kamu udah punya kehidupan sendiri.”

“Demi Allah, Indah… bukan mau aku ninggalin kalian.” Tanvi terisak dan melepas pelukannya. “Kalian lebih tau hatiku ini ada siapa. Tapi sekarang, aku…” Tanvi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Mereka bertiga berpelukan sambil menangis.

“Kita bakal kangen kamu, Vi.”

“Aku juga.”

“Kalo ada waktu, sempetin nengokin kita di panti ya.”

Tanvi mengangguk.

“Neng Tanvi..”

Tanvi kaget dan menoleh. “Eh Mang Aduy.”

Pembantu rumah Farhan memanggilnya.

“Dipanggil sama Nenek. Ditunggu di kamarnya, Neng.”

“Oh iya Mang, terima kasih.”

Begitu Mang Aduy pergi, Tanvi menatap dua saudarinya. “Kalian mau pulang sekarang?”

Indah mengangguk. “Ada banyak yang mesti kita urus.”

“Kalo ada kesulitan, aku siap bantu kok. Kalian baik-baik ya sama adik-adik.”

Setelah berpamitan dengan adik-adik panti, Tanvi bergegas masuk menuju kamar Nenek.

***

“Nenek ingin tau silsilah keluarga kamu, Nak.”

Tanvi terdiam sejenak. “Aku dibesarkan di panti, Nek.”

Nenek mengerutkan dahi, dan memijit-mijit kepalanya. “Sepertinya Tito pernah mengatakan sama Nenek. Mungkin Nenek lupa. Bagaimana ceritanya?”

“Waktu aku masih bayi, aku ditinggal di panti. Cuma ada kertas berisi namaku aja, Nek. Setelah itu, aku mencoba cari tau siapa orangtuaku, tapi nggak berhasil.”

Nenek menghela nafas paham. “Begitu ya.”

Tanvi hanya menunduk, tidak tahu harus bicara apa.

“Apa kamu sayang sama Fal, cucu Nenek?”

Pertanyaan Nenek membuat Tanvi bingung. Jawabannya sudah jelas, ia tidak mengenal Fal bagaimana bisa memiliki perasaan itu.

“Nenek paham, pernikahan ini bukan yang kamu inginkan. Tapi apapun itu, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Nenek. Nenek ingin kamu beradaptasi dan mengenal seluruh keluarga.”

Tanvi hanya meremas-remas baju pengantinnya, resah.

Kemudian Nenek menjelaskan, Papanya Farhan adalah kakak dari Mamanya Fal. Mereka dua bersaudara. Farhan anak tunggal, sedangkan Fal mempunyai adik perempuan yang kuliah di Malaysia. Farhan dan Fal seumuran, dan menjadi teman main sejak kecil. Sejak 6 bulan terakhir mereka semua tinggal di rumah Farhan. Karena Kakek yang menginginkan semua anak cucu dan menantu tinggal bersama.

Mengenai pindahnya Fal dan Tanvi ke apartemen pun sempat menjadi perdebatan. Karena Tante Rima ibunya Farhan, dan Mama Jihan menginginkan mereka tinggal di rumah. Tapi mengingat pernikahan mereka cukup terburu-buru, dan belum saling mengenal juga, akhirnya disepakati Fal dan Tanvi boleh tinggal di luar.

“Fal mungkin keras kepala, tapi sebenarnya baik. Nenek harap, kalian bisa akur ya.”

Tanvi menitikkan air mata, dan memeluk Nenek.

Nenek mengusap kepalanya, lembut. “Meski kamu tidak dihadapkan dua pilihan, tapi kamu harus ikhlas. Insya Allah kalian akan menjadi keluarga yang sakinah.”

Pintu terbuka. Tanvi melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air matanya.

Fal masih memakai jas pengantin memandang mereka. “Nek, kami pergi dulu.”

Nenek menatap mereka. “Nggak mau nginep di sini?”

“Enggak, Nek. Lagipula kamar Fal dipake sama Nindy.” Fal menyebut adik semata wayangnya.

Tanvi tersenyum. “Aku pergi, Nek. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Kalian jaga diri ya, Nak. Jangan lupa datang ke sini. Nenek pasti kangen sama kalian.”

Fal dan Tanvi keluar kamar Nenek.

“Semua barang udah dikirim ke apartemen sama Papa.” Fal berkata tanpa menoleh, tanpa senyum.

Tanvi diam saja.

“Kalian baik-baik ya di sana. Harus akur. Saling menjaga,” pesan Mama.

Pak Tito yang sekarang menjadi pamannya, menepuk bahu Tanvi. “Kamu tidak perlu khawatir tentang panti. Om pasti akan membantu.”

“Terima kasih, O-om.” Tanvi masih canggung.

Papa berpelukan dengan Fal. “Jaga istrimu baik-baik.”

Fal hanya tersenyum kecil.

“Hati-hati ya, Kak. Kak Fal suka ngorok kalo tidur,” sahut Nindy membuat semua tersenyum. Nindy memang selalu mencairkan suasana tegang di keluarga sebagai satu-satunya anak perempuan.

“Oh ya, Kak Tanvi, ada koper hijau dari Nindy. Isinya hadiah. Nanti dibuka ya.” Nindy mengedipkan mata nakal.

Tanvi tersenyum kecil. “Terima kasih ya, Nindy.”

“Ayo. Nanti kita kemalaman.”

Semua melepas kepergian mereka berdua.

***

Terima Kasih Cinta - Bagian 3

APARTEMEN di lantai 17 ini tidak terlalu besar, namun nyaman. Ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, ruang makan, dan ruang TV sekaligus ruang tamu.

Fal dan Tanvi memasuki apartemen.

Semua barang-barang mereka tersimpan di kamar.

Tanpa bicara, Fal melepas jas dan duduk menyalakan TV. Seakan tidak melihat Tanvi masih berdiri di ambang pintu, ia sibuk dengan HP-nya.

Tanvi menghela nafas lesu, dan menutup pintu.

Ia bergegas ke kamar, hendak ganti baju.

Begitu membuka pintu, ia tertegun melihat kamar didekorasi romantis dengan lampu warna-warni dan taburan bunga-bunga. Hatinya tidak tenang membayangkan harus melewati malam pertama dengan lelaki asing.

Ia balik badan menuju kamar satunya yang berukuran lebih kecil. Ya lebih baik dia tidur di kamar lain.

Begitu dibuka, ia mengerutkan alis melihat di kamar itu penuh barang dan tidak ada tempat tidur.

“Kamar itu jadi tempat penyimpanan barang kita.” Fal menyahut tanpa menoleh. “Kalo kamu nggak nyaman, aku bisa tidur di sofa.”

Tanvi menelan ludah. Sikap Fal benar-benar dingin. Ia mengambil tasnya dan dibawa ke kamar. Lebih baik ia segera mandi.

Baju pengantinnya agak sulit dilepas karena resletingnya ada di belakang.

Ia menggigit bibir, gelisah. Bagaimana ini?

Memakainya saja memakan waktu lama, sampai dua perias yang membantunya pakai baju pengantin.

Nggak ada pilihan lain.

Takut-takut ia mendekati Fal yang masih asyik nonton TV. “Kak Fal.”

Fal menoleh sekilas. “Ada apa?”

“Boleh minta tolong bukain ini.” Sungguh ia malu, tapi kalau bajunya tidak dilepas gimana bisa dia mandi.

Fal tercekat memandang Tanvi yang membelakanginya. Tanpa melihat, Fal menurunkan resleting baju istrinya.

“Makasih..” Tanvi langsung masuk kamar mandi.

Fal menghempaskan tubuh ke sofa sambil memijit kepalanya. “Kenapa jadi begini?” ia melihat foto di HP-nya.

Ia Alisha. Mantan pacarnya di Inggris. Meski sudah putus, ia kerap memikirkan Alisha. Hanya saja orangtua mereka tidak menyukai Alisha.

Alisha wanita cantik blasteran Indonesia-Jerman ini sejak SMP sudah tinggal di luar negeri, hingga sepertinya lupa tanah airnya sendiri.

Ia sendiri tidak punya niat menikahi Alisha. Sungguh selama hidupnya tidak terpikir pernikahan. Ia lebih suka sendiri. Bebas.

HP-nya berbunyi, ia tercekat, wajahnya berubah senang. “Halo?”

“Fallll… katanya mau ngajak gue jalan?”

Fal tersenyum. “Iya Gwen, kapan-kapan kita jalan. Sekarang-sekarang gue lagi sibuk.”

“Beneran ya, janji?”

“Iya.”

“Oke gue tunggu lho janji lo.”

Fal tersenyum sambil memutuskan telepon. Memikirkan Gwen membuatnya lupa akan Alisha.

Namun mengingat dirinya sekarang sudah menikah, ia jadi menyesal. Padahal malam itu, ia baru saja berkenalan dengan Gwen. Seorang desainer cantik bertubuh langsing dan tinggi. Mereka berkenalan di diskotik. Ares, sahabatnya, yang mengenalkannya pada Gwen. Mereka minum-minum sampai Fal sedikit mabuk. Sepertinya terlalu mabuk sampai tidak sadar masuk kamar yang salah, hingga harus menikahi Tanvi yang tidak dikenalnya.

Tanvi keluar dari kamar mandi mengenakan piyamanya.

Fal melirik di sudut mata, gadis itu sibuk menyeka rambut panjangnya dengan handuk. Wajahnya sudah bersih dari make-up dan terlihat bercahaya.

“Bisa duduk? Kita bicara dulu.”

Tanvi menatapnya dan menyimpan handuk. Ia duduk agak menjauh.

“Seperti yang kamu tau, pernikahan kita nggak seperti harapan. Ini cuma salah paham. Dan kita terjebak. Tapi apapun itu, sekarang kita udah jadi suami istri. Walau kita nggak saling kenal.”

Tanvi tidak menanggapi, malah menunduk.

“Aku udah tau kamu itu pacarnya Farhan.”

Tanvi menelan ludah, gugup. Lalu mengangguk pelan.

“Kamu masih cinta dia?”

Tanvi terdiam, untuk apa dia jawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

“Oke. Kita tinggal serumah. Tapi kita punya kehidupan masing-masing. Kamu boleh tidur di kamar. Biar aku di sofa.” Fal beranjak masuk kamar mandi.

Air mata Tanvi menitik.

Ia jadi merindukan Farhan.

***

Paginya, Fal terbangun dengan tubuh panas-dingin.

Ia sampai jatuh terguling dari sofa.

Tanvi baru keluar dapur kaget. “Kak Fal! Masya Allah… Kakak kenapa?”

“Aku nggak pa-pa.” Fal berusaha berdiri, tapi kepalanya terasa berat.

“Badan Kakak panas banget. Mending istirahat di kamar.”

Fal mau menolak, tapi tubuhnya lemah.

Hati-hati Tanvi memapahnya memasuki kamar yang masih dekorasi ala pengantin.

“Aku bisa sendiri.” Fal melepaskan pegangan Tanvi dan duduk di tempat tidur.

Tanvi segera keluar kamar.

Fal menghembuskan nafas berat. Dia kelelahan sampai jatuh sakit.

Tak lama Tanvi masuk lagi membawakan bubur, teh hangat, air putih, dan obat.

“Kak Fal makan dulu ya. Abis itu minum obat.”

“Aku bisa makan sendiri.”

Tanvi meletakkan nampan di meja samping tempat tidur, lalu keluar kamar.

Meski ingin acuh, tapi ia tidak bisa mengabaikan Fal. Bagaimana pun juga lelaki itu sudah menjadi suaminya. Dan ia wajib mengurusnya.

Untuk mengisi waktu, ia masuk kamar penyimpanan, membereskan barang.

Ada dua lemari pakaian dan satu lemari penyimpanan lain.

Pertama ia membongkar koper baju Fal dan menatanya rapi. Tak lupa sepatu Fal yang seabrek juga ia susun rapi.

Lalu bajunya.

Mama dan Nindy membelikannya banyak baju. Baju-baju lamanya ditinggal di panti. Mungkin Mama tidak mau dirinya terlihat kampungan berada di keluarga. Keluarga sudah menerima dirinya. Karena mengakui kejadian ini memang salah Fal. Namun Fal sendiri malah bersikap dingin padanya.

Ia ingat ada koper hijau hadiah dari Nindy. Penasaran dia buka koper yang ukurannya besar dan berat.

Begitu dibuka, matanya melotot. “Nindy! Apaan nih?”

Satu koper berisi pakaian dalam dan lingerine yang seksinya minta ampun. Dan sekotak penuh alat make up. Di depannya ada tulisan besar-besar “SURPRISE!”.

Ia geregetan pada adik iparnya. Baru umur 20 tahun tapi sudah bisa memikirkan hal-hal seperti ini.

Tanpa buang waktu ia menutup koper kembali dan menyimpannya karena ngeri. Tidak terpikir sama sekali hal-hal yang dipikirkan semua orang tentang malam pengantin.

Begitu kamarnya rapi, ia keluar hendak beres-beres apartemen. Lalu terpikir melihat kondisi Fal.

Ia membuka pintu kamar dan melihat Fal tertidur pulas. Mangkuk bubur sudah kosong, dan obatnya juga sudah diminum.

Hati-hati ia menyelimutinya, dan membawa nampan meninggalkan kamar.

HP Fal yang ditinggal di meja ruang tengah berbunyi.

Mama.

“Boleh aku jawab nggak ya?” ia ragu.

“Ahh tapi kan aku udah jadi istrinya. Lagian juga Mama yang nelepon.” Ia menjawab telepon Mama. “Halo, assalamu’alaikum, Ma.”

“Wa’alaikumsalam. Kalian udah bangun, Nak?” suara Mama terdengar ramah seperti biasa.

“Kak Tanvi, mana Kak Fal? Kok cuma Kak Tanvi yang jawab?” suara Nindy!

“Ngg…” Tanvi bingung menjawab. “Kak Fal masih tidur. Kayaknya kecapean, Ma.”

“WOW!” tiba-tiba Nindy teriak bikin kaget. “Pasti semalam asyik banget ya? Sampe Kak Fal kecapean gitu?”

“Huss! Nindy apaan sih?”

“Jangan didengerin kata adikmu.” Suara Mama lagi. “Gimana apartemennya? Kalian suka?”

“Suka, Ma.”

“Lalu kalian sudah membicarakan mau bulan madu ke mana?”

“Hah ngg… itu gimana Kak Fal aja, Ma. Aku ikut keputusannya.”

“Kalau sudah tau mau ke mana segera beritahu Mama.”

“Iya, Ma.”

“Jagain anak Mama ya, Nak.”

“Baik, Ma.”

Setelah pembicaraan dengan Mama selesai, ia meletakkan HP, namun berbunyi lagi.

Matanya menyipit.

“Ares? Mungkin temannya.” Ia menjawab.

“Woy Fal, mau kabur lo ya? Jangan-jangan lo lagi asyik sama si desainer cantik itu! Kapan jadian nih? Wah jangan kelamaan, ntar keburu disamber orang.”

Tanvi mengerutkan alis, tidak punya kesempatan bicara.

“Kenapa lo diem? Wah jangan-jangan lagi asyik? Di hotel mana tu, Fal? Perlu gue jemput?”

Tanvi merinding mendengarnya dan memutuskan telepon.

Aku kenal dia dari kecil. Sifatnya, kebiasaannya. Kalau udah mabuk, suasana hatinya memburuk. Selalu ada perempuan ketika dia sadar dari mabuknya.

Teringat perkataan Farhan waktu itu.

“Apa aku sanggup ngerubah dia jadi lebih baik?”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!