NovelToon NovelToon

Unperfect Wife

Bab 1. Pertemuan Pertama

Lara Alessandra. Wanita berusia 25 tahun yang tidak pernah bermimpi akan menikah dengan sosok pria yang nyaris sempurna seperti Alex. Seumur hidupnya hanya dia habiskan untuk makan dan makan. Aneka merk jajanan yang ada di supermarket mungkin sudah pernah Lara cicipi. 

Tidak peduli kalau kini berat tubuhnya sudah mencapai 107 kilogram. Dengan tinggi badan 160 Cm. Lara terlihat seperti monster setiap kali berjalan. Perut yang buncit seperti wanita hamil 9 bulan serta kaca mata tebal yang menutupi matanya yang sedikit menyipit karena kegemukan. Bahkan Lara tidak bisa melihat lehernya karena dagu dan dadanya yang sangat rapat.

Sebenarnya Lara sudah berusaha diet. Namun, dia merasa seperti akan mati setiap kali menjalani program diet. Berat badannya saat kecil terlihat normal. Namun, sejak menginjak bangku sekolah. Berat wanita itu terus bertambah setiap tahunnya. Puncaknya berada pada saat Lara sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya. Karena susah mencari kerja, wanita itu hanya menjadi beban keluarga. Kerjaannya tidak lain hanya tidur dan makan saja.

Walau tidak berasal dari kalangan menengah ke atas. Tetapi uang peninggalan kedua orang tuanya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama menjadi yatim piatu dua tahun terakhir ini. Ayahnya memiliki asuransi yang bisa Lara gunakan untuk menyambung hidupnya sampai detik ini.

Lara bahkan tidak pernah berpikir untuk berpacaran. Jangankan berusaha mencari pacar. Masih membayangkannya saja Lara sudah bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya ketika di tolak. Namun, Lara memang tidak ditakdirkan untuk sendiri seumur hidupnya. Tiba-tiba saja setelah dua tahun hidup sendiri di rumah sederhana milik keluarganya, seorang pria menghubunginya dan berkata akan melamarnya beberapa hari lagi. Pria itu tidak lain adalah sahabat terbaik ayahnya waktu kecil dulu. Tuan Moritz.

Lara yang memang sejak awal tidak mau memilih-milih calon suaminya, merasa sangat bahagia. Apapun keadaan dan rupa sang suami, akan dia terima dengan lapang dada. Singkat cerita lamaran itu berlangsung dengan sukses. Walau hanya sebuah lamaran sederhana tanpa pesta mewah, tapi Lara sudah cukup bersyukur. Bahkan hari pernikahan juga sudah ditentukan. Lara yang sangat bahagia ketika melihat calon suaminya adalah pria tampan dan kaya merasa sangat bahagia. Bahkan berulang kali dia mencubit pipinya karena merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Siang itu, selesai lamaran Lara mengantar Tuan Moritz dan calon suaminya ke depan.

“Lara, kami pulang dulu ya,” ucap Tuan Moritz yang tidak lama lagi akan menjadi Papa mertua Lara. 

“Ya, Paman. Hati-hati di jalan,” jawab Lara dengan senyuman dan wajah malu-malu. Ia melirik Alex dan melempar tatapan penuh suka cita. “Kak Alex, sampai jumpa di pernikahan nanti,” ucap Lara dengan debaran jantung tidak karuan. Alex membalas dengan anggukan sebelum masuk ke dalam mobil. Saat lamaran itu berlangsung, Lara hanya bertemu dengan calon suami dan calon mertuanya. Walaupun jelas-jelas dia tahu. Masih ada calon Mama mertua dan calon adik ipar yang belum dia lihat wajahnya.

Di dalam mobil, justru ekpresi wajah Alex berbanding terbalik dengan Lara. Alex terlihat sangat dongkol ketika membayangkan rupa wanita yang akan dia nikahi. Pria itu melepas dasinya secara paksa dan membuang tatapannya keluar jendela. “Papa benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa Papa menjodohkan Alex dengan wanita berbadan tronton seperti itu? Di mana akal sehat Papa? Papa apa tidak malu memiliki calon menantu seperti dia?” protes Alex dengan wajah penuh emosi.

“Lara wanita yang cantik,” jawab Tuan Moritz.

“Cantik?” Alex tertawa meledek. “Jika wanita seperti dia Papa kategorikan cantik. Bagaimana dengan wanita jelek, Pa? Hanya Fiona satu-satunya wanita yang pantas menjadi istri Alex!”

“Alex, Lara hanya gemuk. Kita bisa membuatnya berubah menjadi kurus. Papa punya kenalan yang bisa membuat Lara menurunkan berat badannya.” Tuan Moritz tetap berpegang teguh pada pilihannya. “Apapun alasannya, pernikahan kalian tidak boleh gagal! Lupakan soal Fiona. Sampai kapanpun Papa tidak akan pernah merestui hubungan kalian.”

“Pa, Fiona dan Alex sudah saling mencintai. Kenapa Papa harus memaksa Alex seperti ini? Alex sudah dewasa Pa. Bukan anak-anak lagi,” bujuk Alex.

“Alex, kau pasti tahu apa resikonya jika berani menentang keputusan papa!” Alex mengunci mulutnya. Pria itu tidak memiliki cara untuk membujuk ayah kandungnya agar mau membatalkan pernikahan yang akan berlangsung beberapa hari lagi.

Alex Moritz, pengusaha muda yang sukses dalam bidang properti. Di usianya  yang baru menginjak 28 tahun, Alex di kenal sebagai pengusaha muda yang sukses. Walau sebenarnya Alex hanya melanjutkan bisnis ayahnya saja. Tetapi, tetap saja semua orang memujinya sebagai pria yang cerdas dan sangat berwibawa. 

Alex sangat di hormati di kalangan pengusaha setiap kali mereka sedang berkumpul. Negosiasi yang dia berikan kepada rekan kerjanya selalu saja menguntungkan satu sama lain. Semua orang berlomba-lomba untuk bekerja sama dengan perusahaan yang dipimpin Alex.

Namun, sayangnya. Hubungan percintaannya tidaklah sesukses karirnya di perusahaan. Sang ayah yang tidak lain adalah Tuan Moritz, tidak pernah memberi restu atas hubungan yang di jalin oleh Alex dan Fiona. Mereka harus berpacaran secara bersembunyi-sembunyi agar Tuan Moritz tidak mengetahui hubungan mereka. Untuk mencegah Alex kembali menjalin kasih kepada Fiona. Tuan Moritz menjodohkan Alex dengan anak dari sahabatnya di masa kecil. 

Awalnya Tuan Moritz juga sangat kaget ketika melihat anak sahabatnya yang dulu terlihat manis dan menggemaskan itu kini berubah menjadi wanita berbadan besar. Tetapi, karena sudah terlanjur berjanji dan mengatakan kepada Lara lewat telepon kalau dia akan datang untuk melamar, mau tidak mau Tuan Moritz menikahi Alex dengan Lara. Tidak peduli walau putranya mati-matian menolak pernikahan itu.

Di rumah, Lara merasa sangat bahagia. Senyumnya tidak juga luntur sejak pertama kali Alex dan Tuan Moritz menginjakkan kakinya di rumah sederhana tersebut. Di depannya telah tersusun rapi uang tunai yang akan Lara gunakan untuk membeli gaun sesuai dengan ukuran tubuhnya. Alex bilang tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus pakaian yang akan mereka gunakan di akad dan resepsi nanti.

“Kak Alex.” Pipi Lara kembali bersemu. Dia memandang foto Alex yang baru saja dia ambil dari internet. Rahang tegas, rambut hitam, tinggi 170 cm dan memiliki bentuk tubuh yang atletis. Lara semakin tergila-gila dengan calon suaminya itu. Bahkan Lara sendiri sudah tidak sabar menunggu hari pernikahannya tiba. 

“Kak Alex, Lara janji akan jadi istri yang baik dan penurut. Lara enggak akan buat Kak Alex kecewa nanti. Lara akan setia,” gumam Lara di dalam hati. Dia memeluk foto Alex sambil berbaring di tempat tidur. Lama kelamaan kedua mata Lara terpejam dan wanita itu lelap dalam tidurnya.

“Jika berbadan gemuk saja masih ada yang mau menikah denganku. Untuk apa aku diet hingga merasa tersiksa?”

Bab 2. Pernikahan

Hari pernikahan telah tiba. Pesta pernikahan itu diadakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Moritz. Aula pernikahan di hias dengan warna serba putih. Bunga lily dan mawar putih membuat lokasi pernikahan tersebut terlihat semakin elegan. Tamu undangan sudah meramaikan lokasi tersebut. Mereka yang rata-rata berasal dari golongan menengah ke atas terlihat menghina sang pengantin wanita. Namun, mereka tetap memasang wajah ramah karena wanita berbadan besar itu kini adalah menantu dari Tuan Moritz.

Memakai gaun berwarna putih dan di rias layaknya seorang pengantin wanita membuat Lara sangat bahagia malam itu. Akad pernikahan telah berjalan sukses tadi siang. Janji suci telah diucapkan. Kini Lara berhasil menyandang status sebagai Nyonya muda di dalam keluarga Moritz. Senyum di bibirnya yang merah terlihat sangat indah. Kaca mata yang selalu dia pakai memang dilepas Lara sampai pesta pernikahan berakhir.

Lara berdiri dengan senyum manis menyambut setiap tamu yang muncul untuk mengucapkan selamat. Di samping Lara, ada Alex yang juga berdiri dengan wajah tidak bersemangat. Walau pesta itu hanya di hadiri oleh orang-orang terdekat dari kedua bela pihak. Tetapi tetap saja Alex merasa malu. Bahkan ingin sekali dia memakai topeng ketika seorang fotografer memotret fotonya dan Lara untuk dijadikan kenangan.

“Sial! Aku benar-benar sial! Kenapa wanita seperti Lara harus terlahir di dunia ini? Kenapa! Aku akan membalas rasa malu ini. Aku akan membuatmu menderita dan menyesal karena sudah mau menerima lamaran papa!” umpat Alex di dalam hati. 

“Kak, ayo kita ke sana. Sudah saatnya acara potong kue pernikahan kita,” ajak Lara dengan wajah yang bahagia. Alex hanya mengangguk saja. Hari itu Alex tidak mau banyak bicara. Bahkan ketika Lara mengajaknya berbicara Alex lebih memilih untuk menghindar. Namun, Lara sama sekali tidak curiga. Dia berpikir kalau Alex kelelahan karena menumpuknya pekerjaan di kantor.

Lara dan Alex berdiri di depan kue tart yang menjulang tinggi ke atas. Mereka berdua memegang pisau yang sama dan memotong kue tart berwarna putih tersebut. Tepung tangan dari tamu undangan membuat Lara semakin bahagia.

“Benar-benar seperti mimpi. Apa mereka bertepuk tangan dan tersenyum karena ikut bahagia bersamaku? Jika memang iya, aku merasa sangat tersanjung. Apa semua ini karena aku menikah dengan Kak Alex? Kak Alex membawa keberuntungan di dalam hidupku,” gumam Lara di dalam hati. Lara mengambil sesendok kue tart dan menyuapi Alex. Begitu juga dengan Alex. Mereka terlihat seperti sepasang pengantin yang sedang berbahagia.

Beberapa meter dari posisi Alex berdiri, seorang wanita bergaun putih menatap Alex dengan tatapan penuh arti. Sambil meneguk minumannya secara perlahan, tatapan wanita itu seperti sebuah ancaman yang akhirnya ditakuti Alex. Wanita itu memberikan gelas kosongnya kepada seorang pelayan yang kebetulan lewat di depannya. Dia memutar tubuhnya dan memutuskan untuk pergi meninggalkan lokasi pesta.

“Lara, aku mau ke toilet sebentar,” bisik Alex. Belum sempat Lara menjawab, Alex sudah pergi begitu saja. Langkahnya sangat cepat takut kehilangan jejak wanita yang tadi sempat dia lihat. Lara sendiri menjadi tidak fokus dengan arah yang di tuju Alex. Beberapa rekan kuliah Lara yang sudah lama tidak bertemu muncul untuk memberikan selamat.

"Selamat Lara. Aku tidak menyangka kau akan menikah juga. Dengan pria kaya dan tampan lagi." Seorang wanita menepuk lengan Lara dengan senyuman yang tidak bisa di tebak. Entah dia senang atau sedang iri. "Kau seperti seekor itik buruk rupa yang mendapat fasilitas kandang emas. Sulit di percaya. Apa kau hamil duluan? Apa kau menjebak Tuan Alex?" bisiknya dengan tatapan menuduh.

Senyum Lara luntur. Wanita itu mengepal kuat tangannya berusaha menahan amarah yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali Lara mendorong wanita di depannya agar terjungkal dan ditertawakan semua orang. Namun, semua masih dia tahan. Hari ini adalah pesta pernikahannya dengan Alex. Lara tidak mau pesta mewah dan megah ini berubah menjadi kacau.

"Terima kasih, Vera. Aku juga tidak menyangka kalau wanita dengan berat badan hampir 110 kilo sepertiku bisa mendapat suami yang tampan dan kaya raya. Tidak sepertimu. Yang mati-matian diet dan perawatan mahal di salon tapi tidak laku-laku," balas Lara gantian. "Yang pastinya aku tidak sama sepertimu. Yang rela melakukan rencana kotor agar bisa mendapatkan apa yang aku inginkan!"

Setelah mendengar kalimat balasan dari Lara, Vera ingin melayangkan tangannya untuk menampar wajah Lara. Namun, seorang pria tiba-tiba saja muncul dan mencegah niat jahat wanita itu. Pria itu mencekal tangan Vera dengan tatapan tidak suka.

"Apa yang mau kau lakukan? Kau mau melukai mempelai wanita? Pergilah jika kau tidak suka. Kau diundang untuk mengucapkan selamat. Bukan membuat keributan di sini."

Pria itu Alfred. Teman kuliah Lara. Seorang dokter yang tidak lama lagi juga akan menikah. Sejak di bangku kuliah, hanya Alfred satu-satunya pria yang mau dekat dengan Lara. Sisanya merasa jijik bahkan ada yang ketakutan hanya melihat tubuh Lara yang besar.

"Aku yakin, Tuan Alex tidak benar-benar cinta dengannya," sahut Vera yang masih tidak mau kalah sebelum wanita itu pergi entah ke mana.

Lara memejamkan matanya sambil mengelus dada. "Tadinya aku pikir kami bisa berteman."

Alfred tersenyum. "Sudahlah. Sejak dulu dia memang suka mencari masalah. Oh ya, di mana suamimu Lara? Kenapa dia tidak ada di sini bersama denganmu?" Alfred mencari ke kanan dan ke kiri.

Lara tertegun. Karena terlalu asyik memakan potongan kue tar pernikahannya. Dia hampir lupa kalau sang suami sudah hampir satu jam menghilang dari sisinya.

"Kak Alex ke toilet," ucapnya pelan. Ada rasa khawatir ketika dia mengatakan hal itu. Lara takut suaminya kabur karena melihat dirinya yang besar seperti boneka salju. Lara juga takut kalau Alex menyesal karena sudah menikah dengannya.

“Aku tidak bisa menunggunya sampai kembali,” ucap Alfred. Pria itu memberikan kado yang sejak tadi dia bawa. “Selamat Lara. Semoga kau selalu bahagia bersama Alex. Mendapat keturunan yang menggemaskan.”

“Terima kasih, Alfred. Aku juga doakan agar kau segera di terima bekerja di rumah sakit yang kau impikan. Kabari aku jika kau dan Ines sudah menentukan tanggal pernikahannya,” ujar Lara.

“Baiklah. Aku permisi dulu. Ines kirim salam. Dia tidak bisa datang karena ada jadwal operasi dadakan.”

“Ya. Terima kasih sekali lagi karena sudah menyempatkan datang di pesta sederhanaku ini, Alfred.” Alfred tersenyum sebelum pergi. Kepergian Alfred menjadi kepergian tamu terakhit bagi Lara. Wanita itu kini merasa sendiri karena beberapa tamu undangan yang tersisa adalah rekan bisnis Alex dan Tuan Moritz. “Kenapa Kak Alex lama sekali? Apa terjadi sesuatu padanya?” gumam Lara dengan wajah yang sangat khawatir.

Bab 3. Skandal Alex

Suara decitan tempat tidur yang berada di salah satu kamar hotel menggema bersama dengan suara ******* yang keluar dari dua insan yang sedang di mabuk asmara.

Bibir Alex terus saja menjelajahi tubuh sang kekasih yang kini tidak lagi menggunakan busana. Gairah mereka berdua tidak terkendali hingga hasrat ingin memuaskan satu sama lain muncul di dalam benak masing-masing.

"Kau benar-benar brengsek, Alex. Di bawah pesta pernikahanmu sedang berlangsung. Bagaimana bisa kau memintaku untuk melayanimu seperti ini?" protes Fiona sebelum membalas ciuman Alex. 

"Fiona, tubuhmu selalu saja membuatku gila. Jangan bahas wanita itu. Jika bukan karena dipaksa, aku tidak mungkin mau menikah dengannya. Wanita dengan berat badan seperti tronton itu tidak pantas menjadi pendampingku. Hanya kau yang pantas ada di sisiku, Fiona," puji Alex sebelum melajutkan aksinya.

Walau sudah sering mereka melakukan hal seperti itu, tetapi Alex tidak pernah merasa puas. Pria itu terus memiliki kekasihnya dan memuaskan nafsunya setiap kali mereka bertemu. Baginya Fiona sudah seperti candu yang tidak bisa ditinggalkan.

Alex sama sekali tidak peduli dengan Lara. Wanita yang baru saja dia nikahi beberapa jam yang lalu. Janji suci seakan hanya sekedar basa basi yang isinya akan dilupakan setelah selesai di baca.

Deringan ponsel di atas nakas mereka abaikan begitu saja. Erangan dari bibir Fiona dan Alex menandakan kalau mereka telah mencapai pada puncak kenikmatan. Dengan napas terengah-engah, mereka saling memandang dengan senyum indah di bibir masing-masing.

"Angkat tuh teleponnya," perintah Fiona yang mulai risih dengan deringan ponsel sang kekasih.

"Aku mencintaimu." Alex melepaskan penyatuan mereka dan beranjak dari ranjang. Pria itu memungut celana di lantai dan mengenakannya. Ia segera mengangkat panggilan telepon dengan wajah panik ketika tahu kalau ayahnya yang menelepon.

"Ke mana saja kau Alex! Apa kau lupa kalau sekarang adalah resepsi pernikahanmu? Apa kau kabur dengan wanita itu?" Teriak Tuan Moritz dari dalam telepon. Bahkan pria itu tidak memberikan kesempatan kepada Alex untuk berbasa-basi.

"Pa, aku di toilet," jawabnya sambil mengutip kemeja dan jas yang ada di lantai.

"Jika dalam lima menit kau tidak muncul di sini. Kau pasti tahu apa resiko yang akan kau dapatkan Alex!"

"Pa, aku-" Belum sempat Alex memberi penjelasan. Panggilan telepon itu sudah terputus.

"Apa itu telepon dari calon ayah mertuaku?" tanya Fiona sambil memandang kuku-kukunya. 

"Hemm," jawab Alex mulai malas. Ia mengancing kemejanya dengan buru-buru. Waktu lima menit itu bukan waktu yang cukup untuk dia tiba di lantai bawah.

"Apa dia memintamu muncul di pesta?" Fiona beranjak dari tempat tidur. Wanita itu mengutip gaun putih miliknya yang tergeletak di lantai. Lalu berjalan mendekati Alex.

"Sayang, maafkan aku. Tapi aku harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini," bujuk Alex. Dia menarik pinggang Fiona dan mendaratkan kecupan di bibir merah wanita itu. 

"Baiklah. Apa kau akan melewati malam pertama dengannya malam ini?" Fiona mengusap lembut rahang Alex.

"Jangankan menyentuhnya. Dekat-dekat dengannya saja aku jijik. Aku pergi dulu ya." 

Fiona melipat kedua tangannya sambil memandang punggung Alex yang semakin menjauh. Senyum licik terukir di bibirnya ketika Alex telah menghilang dari balik pintu.

"Apa kau pikir aku peduli? Bahkan jika kau bercinta dengan wanita itu aku sama sekali tidak keberatan. Bagiku, selama kau masih bisa memenuhi apa yang aku inginkan. Itu sudah lebih dari cukup Alex. Kau adalah ATM berjalanku," gumam Fiona di dalam hati.

***

Pesta telah selesai. Satu persatu tamu undangan sudah pulang. Lara berdiri di dekat meja kue tart dengan wajah cemas. Dia memandang pintu masuk dengan tidak tenang. 

"Kemana Alex? Kenapa dia tidak muncul-muncul," ujarnya sambil berjalan ke sana ke mari.

"Lara."

Lara segera memandang ke samping setelah mendengar suara ayah mertuanya. "Papa?"

"Selamat ya sayang. Papa harap kau bahagia menikah dengan Alex. Kini kedua orang tuamu pasti bahagia karena melihatmu menikah dengan anak dari sahabatnya," ujar Tuan Moritz.

"Ya, Pa. Lara juga senang bisa memiliki Papa seperti Papa Moritz," jawab Lara. "Di mana Mama dan Greta, Pa?"

Tuan Moritz diam sejenak. Sebenarnya satu-satunya orang yang mendukung pernikahan antara Lara dan Alex hanya Tuan Mortiz. Ny. Moritz dan Greta yang tidak lain adalah adik kandung Alex. Menolak keras untuk menerima kehadiran Lara di rumah mereka. Bagi mereka Lara hanya wanita pembawa sial yang nantinya akan membuat malu keluarga mereka.

"Pa," sapa Lara lagi ketika Tuan Moritz hanya melamun saja.

"Mama dan Greta sudah pulang. Mereka kelelahan hingga memutuskan untuk pulang lebih dulu," dusta Tuan Moritz. Dia tidak mau Lara sampai sakit hati dan kecewa jika dia mengatakan yang sebenarnya. “Papa ke sana sebentar. Tuan Moritz berjalan menghampiri Alex. Pria itu terlihat tidak sabar untuk menegur anaknya.

"Pa, ada apa?" tanya Alex. Pria itu memandang Lara sekilas sebelum memandang wajah Tuan Moritz.

"Ada apa kau bilang? Pesta sudah berakhir dan kau menghilang begitu saja. Apa kau tidak memikirkan bagaimana nasip istrimu?" ketus Tuan Moritz dengan wajah tidak suka.

"Pa, Alex tadi-”

“Cukup, Alex. Bawa Lara pulang ke rumah sekarang juga!” ketus Tuan Moritz sebelum pergi meninggalkan Alex. Alex mengepal kuat tangannya menahan amarah yang siap meledak. Dia berjalan menghampiri Lara berada saat ini.

Lara yang melihat kemunculan Alex terlihat sangat bahagia. Tidak lupa dia mengukir senyuman terbaiknya agar terlihat cantik di depan Alex. “Kak Alex, Kakak dari mana saja? Apa kakak baik-baik saja?” 

“Cukup basa-basinya! Sekarang, ikuti aku ke mobil!” ketus Alex. Tidak ada lagi ekspresi bersahabat di wajah Alex. Pria itu memasang wajah menakutkan hingga membuat Lara syok dan merasa takut.

“Kak Alex, apa yang terjadi? Apa kakak baru saja mengalami masalah?” tanya Lara tidak menyerah. Wanita itu terlihat kesulitan mengikuti langkah kaki Alex yang begitu cepat. Gaun pengantin Lara angkat tinggi-tinggi agar bisa leluasa berjalan.

“Kak Alex, tunggu!” pinta Lara ketika melihat Alex tidak lagi mau menunggunya. Alex masuk ke dalam mobil lebih dulu. Lara mengatur gaun pengantinnya sebelum masuk. Wanita itu terlihat kerepotan membawa dirinya sendiri. Setelah berhasil masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Alex, Lara kembali memandang Alex untuk meminta penjelasan kepada pria itu.

“Kak, apa Kak Alex sedang ada masalah? Cerita sama Lara. Kali aja Lara bisa bantu.”

Alex menghela napas kasar. Dia melempar tatapan membunuh ke Lara. “Berhenti bertanya, Lara!” ketus Alex penuh emosi.

Deg. Lara mematung. Dia tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari Alex. 

“Kenapa dengan Kak Alex? Kenapa dia terlihat jauh berbeda?” gumam Lara di dalam hati.

Lara memalingkan wajahnya. Sedangkan Alex juga memilih untuk memalingkan pandangannya agar tidak melihat wajah Lara yang begitu menjijikkan baginya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!