Pria tampan berkaca mata bulat itu sedari tadi tak bersuara menunggu sosok manis di depannya membuka mulut. Lima belas menit yang lalu Naura datang menemuinya dengan segala kehebohan menyertainya. Neil mengangkat sebelah alisnya. Melirik sekilas jam tangannya. Bila dalam sepuluh detik lagi gadis manis ini tidak membuka mulutnya, maka ia akan ....
"Aku ingin punya Bayi."
"Bayi?" Neil mengerutkan dahi.
"Ho'oh, bayi."
"Bayi kucing?" tebak Neil.
"Bukan." Gadis itu menggeleng.
"Bayi anjing?"
"Bukan."
"Anak ayam?" Sekali lagi Neil menebak.
"Bukaaan!!!" Gadis itu menaikkan volume suaranya.
"Lalu bayi apa?" tanya Neil menyerah. Meraih gelas dan hendak meminumnya.
"Bayi manusia. Ma-nu-sia."
Brush!!!
Air yang baru saja singgah di mulutnya seketika menyembur deras ke luar dan memercik ke wajah sosok manis di depannya. Gadis manis itu memutar bola mata akan reaksi berlebihan dari pria di depannya. Neil Sutanegara.
"Katakan uhuk uhuk sekali lagi uhuk," ujar pria itu terbatuk-batuk kecil sembari mengambil beberapa tisu di atas meja kerjanya. Segera membersihkan tumpahan yang mengenai jasnya. Beruntung air yang diminumnya hanya air biasa, bukan yang mengandung pewarna. Jadi tidak menimbulkan noda di seragam putihnya.
"Aku ingin hamil, Kak Neil,” tekan gadis itu. “Ingin punya Bayi. Bayi. B-A-Y-I.”
Pria yang mempunyai mata sipit di balik kaca matanya itu menengadah. Menatap lekat gadis manis yang duduk berseberangan meja dengannya. Naura Almira Atmajaya, kurang lebih enam tahun telah menjadi tetangganya ini.
"Kau ... masih waras, 'kan Naura?" kata Neil dan melempar bekas tisunya ke kotak sampah di dekat pintu. Namun sayang, tisunya tidak masuk pada tempatnya. Justru melayang dan berhenti di kisi-kisi pintu.
"Ih, kok Kakak ngomongnya gitu." Naura mengerucutkan bibir.
"Mungkin saja otakmu masih ketinggalan di rumah," jawab Neil dengan menahan senyum geli di sudut bibir.
"Ah, Kakak. Nggaklah. Aku masih waras kok. Aku kepingin punya Baby."
"Kamu serius dengan ucapanmu itu, Na?" tanya Neil hampir tak percaya.
"Ya, iyalah serius. Masa main-main. Punya Baby tentu harus diseriusin. Gimana sih, Kakak." Gadis ini semakin cemberut.
Neil mengedikkan bahu.
"Ya sudah, tinggal nikah. Begitu saja kok repot," jawab Neil kembali menekuni berkas-berkas bertumpuk di atas mejanya.
"Aih, Kakak menyebalkan. Jangan berubah jadi pikun begitu, deh." Naura melotot tajam.
"Pikun gimana?"
"Kakak lupa, sekarang aku lagi jomblo, Kak." Naura mendengkus sebal.
"Ya sudah, kalo begitu cari pacar dulu, baru nikah dan punya Baby."
"Masalahnya aku gak bisa punya anak," terang gadis ini sembari menyisir rambut hitam panjangnya dengan jari-jarinya.
Neil tertegun dan menghentikan kegiatannya membolak-balik berkas di hadapannya.
"Dan juga gak mau terikat pernikahan dengan siapa pun," tambah gadis ini hingga membuat Neil semakin terhenyak.
Neil Mengembuskan napas. Cowok bermata sipit ini berdiri dari duduknya, memutari meja menuju di mana Naura duduk. Pelan tangannya berlari ke arah kepala Naura, namun dengan gesit gadis ini menepis tangannya yang berniat mengacak gemas rambutnya. Masa harus diacak-acak kembali. Sudah susah payah dia menatanya dari rumah. Naik ojek online saja sampai harus mengomeli si tukang ojeknya gara-gara tuh helm tidak bisa dicopot dari kepalanya. Otomatis mahkota yang paling dibanggakannya jadi berantakan sedikit ketika sampai ke rumah sakit ini. Baginya rambut panjangnya ini adalah kebanggaannya. Ibarat harta paling berharga.
"Kau menggigau ya, Naura.” Neil melarikan sebelah tangan ke saku celana putihnya. Mencondongkan tubuhnya ke arah sosok manis ini dan menaikkan sebelah alisnya.
"Gak-lah Kak. Mata melek begini dibilang ngigo. Ih." Naura memutar bola mata.
"Siapa tahu saja, Na. Kamu masih memikirkan mimpimu tadi malam. Terus kebawa-bawa sampai kemari." Pria ini mengelus batang hidungnya.
"Nggak kok," sangkal Naura cepat.
Neil kembali menegakkan tubuhnya. Pria ini menggeleng-geleng akan tingkah absurd tetangganya ini. Masih segar dalam ingatannya. Dua tahun lalu, sosok manis ini datang ke rumahnya di tengah malam buta. Mengedor-gedor pintu rumahnya. Tiba-tiba menangis meraung, mengatakan dunianya sudah berakhir. Setelah puas menangis Naura tidur begitu saja di sofanya, membuatnya hanya bisa melongok tanpa menjelaskan apa pun padanya tentang masalahnya.
Keesokan harinya barulah dia tahu, bahwa Naura ternyata putus dari kekasih yang dipacarinya selama empat tahun. Dan sampai sekarang, dia tak pernah melihat sosok manis ini menggandeng cowok mana pun lagi. Lalu kini ... tiba-tiba saja gadis itu ingin mengatakan padanya, bahwa dia ingin hamil tanpa menikah?
Astaga! Ternyata dunia sudah semakin tua. Berkali-kali Neil mengusap wajah tampannya. Seolah dirinya sedang mendapatkan musibah.
"Lalu kenapa ngomongnya begitu? Tiba-tiba kepingin punya Baby. Nikah saja belum, kok mau punya Baby?" kata Neil terheran-heran mendengar ucapan ajaib tetangganya ini.
"Ya, mau saja."
"Ck! Memang itu anak ayam, asal comot begitu saja, heh."
"Maka dari itu, Kak, aku datang ke Kakak."
"Maksudmu?" Pria ini menaikkan sebelah alisnya. Pandangannya tidak pernah beralih dari memandang wajah tetangga manisnya ini.
"Kakak bisa bantuin aku buat hamil.” Naura menjawab begitu entengnya.
Dugh
"Auh!" Neil mengerang. Baru saja ia hendak memutari mejanya. Mendengar ucapan Naura barusan dia malah menubruk kaki kursi di belakangnya.
"Naura, kayaknya kamu masih mimpi deh," lanjut pria ini.
"Nggak, Kakak. Aku gak mimpi. Aku serius minta Kakak bantuin aku buat hamil," tekan Naura.
"Ha? Bantuin kamu hamil?" Neil berkedip tak percaya.
"Iya."
"Gini ya, Naura Almira Atmajaya ..."
"Ya?" Dengan patuh Naura mendengarkan ucapan pria di depannya ini, layaknya mendengarkan petuah dari seorang tetua di kompleks perumahannya.
Neil mengembuskan napas dan mengacak rambutnya sejenak. Permasalahan ini cukup pelik baginya.
"Kakak minta maaf. Kakak gak bisa ngehamilin kamu. Soalnya Kakak sudah punya pasangan. He he he." Neil berkedip polos sambil tercengir lebar. "Tapi kalau kamu gak keberatan, Kakak bis---"
Dugh
"Arrrgh. Sakit, Na." Neil berteriak tertahan. Untuk kedua kalinya pria ini meringis sakit. Kali ini kakinya tiba-tiba ditendang oleh gadis manis ini.
“Kejem amat sama tetangga sendiri, Na,” ujar Neil memelas.
"Huft, Kakak, sih. Aku serius ngomongnya."
Naura bersidekap, menghiraukan Neil yang mengaduh kesakitan dan protes padanya. Pria ini berdeham. Sambil menahan sakit, Neil kembali ke tempat duduknya.
"Iya, Kakak juga ngomongnya serius, Na. Kamu ingin Kakak hamili, 'kan."
"Aduh, Kak. Bukan begitu maksudku. Aku bukannya mau hamil dengan Kakak."
Neil tercengir lebar, salah tingkah saat mendengar pengakuan gadis di depannya.
"Lalu Kakak harus gimana?" tanya Neil menyerah.
"Kakak, 'kan dokter. Dari awal juga sudah tahu masalah Naura gak bisa hamil secara normal."
"Hm. Terus?" Neil mengangguk membenarkan.
"Aku kepingin ikutan program inseminasi."
Mata Neil membulat. Program Inseminasi? Yang benar saja. Itu dilakukan oleh sepasang suami istri yang belum dikaruniai seorang bayi.
Lah, kalau Naura?
Dia gadis. Belum menikah sama sekali. Ditekankan sekali lagi. be-lum me-ni-kah.
"Naura, menurut---"
"Aku nggak mau dengar apa pun. Pokoknya aku harus hamil."
"Tapi---"
"Hamil. Titik."
Jangan lupa guys, kakak-kakak yang cantik & ganteng, adik-adik yang emes 😍, kasih like dulu biar semangat nulis ceritanya 🤗😉, oke 👍.
Sampai lagi di chapter selanjutnya 🤗💜.
"Maafkan aku Naura. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita lebih lanjut lagi."
"A-apa yang kau u-ucapkan? Aku gak terlalu jelas mendengarnya."
Pria itu menghela napas panjang.
"Kita putus!"
"Ke-kenapa?"
Naura tak menyangka akan mendengar kalimat yang paling menyakitkan di telinganya, setelah melakukan kencan indah bersama sang kekasih beberapa menit yang lalu.
Padahal pria yang dicintainya inilah sejam yang lalu merancang acara kencan indah mereka. Dengan repotnya membuang tenaganya menjadi sia-sia belaka, yang ujung-ujungnya justru memberikan luka batin padanya. Yang entah sanggup atau tidak setelah ini dia menjalani hari-harinya kembali.
Kalau pada akhirnya akan jadi begini, tentu dia menolak ajakan kencan indah tapi menyakitkan ini.
Hiks. Perlahan bulir bening mengalir di sudut mata indah gadis manis ini.
"Ke-kenapa secepat ini?" tanya Naura dengan bibir bergetar.
Hal yang paling ditakutinya selama ia bernapas adalah kata putus dari sosok yang paling dicintainya ini. Baginya, sosok ini adalah separuh napasnya. Bila dia pergi meninggalkannya, maka separuh jiwanya akan ikut pergi dari raganya.
"Kenapa hiks kau ingin putus dariku?"
"Kurasa kau sudah tahu jawabannya sendiri, Naura."
Degh!
Jantung Naura seolah berhenti berdetak saat itu juga. Air matanya telah menganak sungai. Ia tahu jawabannya dengan pasti.
"A-apa karena a-aku gak bisa memberikan seorang anak padamu?"
"Ya."
Kejam dan dingin. Jawaban yang didengarnya dari belah bibir pria di depannya ini.
"Maka dari itu, sebelum melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan, lebih baik aku akhiri saja hubungan kita."
Hiks. Naura terduduk lemas di aspal jalan. Ia menangis meraung. Tak peduli bila dilihat oleh pejalan kaki lainnya. Tak ada harapan lagi. Pria yang disangkanya akan mengerti keadaan dia sepenuhnya, juga tak mengerti dirinya.
"Sekali lagi maafkan aku, Naura."
"Hiks ... kau tega padaku."
"Mengertilah Naura. Aku juga butuh anak untuk meneruskan keturunanku."
"Enggak. Aku gak mau mengerti. Kembali padaku. Kumohon. Arrrgh!"
Naura memekik. Menatap nanar punggung dingin pria itu tanpa berlari untuk mengejarnya. Ia tak sanggup. Kalimat terakhir pria itu mampu membuat kakinya menjadi berat bagai besi baja yang tertanam kuat di aspal jalan.
Mengertilah Naura. Aku butuh anak untuk meneruskan keturunanku ....
🍃Dear, My Baby🍃
Aku butuh anak untuk meneruskan keturunanku ....
Berangsur-angsur Naura membuka matanya. Pandangannya kosong menatap pada langit-langit kamar. Meraba pipinya. Tanpa disadarinya, bulir bening telah berjatuhan di sudut matanya ketika mengingat kembali mimpinya tadi.
Mimpi buruk yang selalu menghantuinya selama dua tahun belakangan ini.
Kenangan pahit yang berusaha untuk dilupakannya, justru menjadi mimpi paling buruk baginya.
Sosok manis ini mendesah. Membalik tubuhnya. Berusaha untuk kembali memejamkan matanya. Namun gagal total. Ingatan tentang mimpi buruknya justru makin menancap kuat di pikirannya, memerintahkan otaknya untuk terus bekerja, tidak mau kompromi dengan tubuhnya yang terasa lelah ini.
Naura mengembuskan napas pendek. Dengan malas-malasan sosok manis ini bangun dari baringannya. Kemudian duduk di sisi petiduran. Matanya memandang kosong pada dinding kamar yang cat-catnya mulai memudar.
Lalu sekarang apa yang akan dilakukannya?
Diliriknya jam beker di atas nakas di sampingnya. 00.30 AM. Masih sangat malam. Sebaiknya ia ambil air wudhu dan sholat tahajud. Mungkin setelah sholat, hatinya bisa menjadi tenang dan bisa tidur lagi.
🍃Dear, My Baby🍃
Usai Tahiyatul Akhir, Naura melakukan salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri secara bergantian sambil membaca:
"Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh."
Kemudian Naura menadahkan kedua tangan ke atas. Dengan segala kerendahan hati, ia memohon ampun kepada Sang Pencipta atas dosa-dosa dan segala perbuatannya. Serta meminta dimudahkan rezekinya, didekatkan jodohnya dan dimuluskan apa pun jalan yang dilakukannya.
Naura tersenyum dan menghela napas lega setelah menunaikan sholatnya. Hatinya menjadi tenang. Dan sepertinya ia bisa tidur kembali.
Sejam kemudian ...
Sosok manis ini kembali membuka matanya. Ia memang tertidur pulas, tapi itu hanya sebentar saja. Dia kembali terbangun. Entahlah. Sepertinya malam ini otaknya tak mau sinkron dengan tubuhnya.
Naura mengerang kesal. Dengan berat hati dia bangun dari baringannya. Diambilnya laptop di atas nakas. Kemudian ia telungkup dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Hanya kepalanya saja yang menyembul keluar.
Seperti biasa. Bila insomnia-nya kambuh. Ia akan menonton sisa koleksi drama Korea yang belum sempat ditontonnya sampai habis, dan juga telah di downloadnya melalui wifi di kantornya. Lumayan, tak perlu menguras kouta internetnya, yang kadang belum sampai sebulan, jatah internetnya sudah habis duluan.
Bukan dia pelit untuk menghabiskan uang untuk kouta internet. Lebih baik ia tabungkan, itu jauh lebih bermanfaat. Dan bila sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak. Ia tinggal ambil saja, tanpa perlu berhutang sana-sini.
Dengan hidup sendirian, yatim piatu, tanpa sanak keluarga serta tanpa harta berlimpah membuatnya harus memutar otak untuk mensiasati biaya hidupnya dari bulan ke bulan.
Ya begitulah cerita singkat kehidupan Naura Almira Atmajaya. Bila dibeberkan akan butuh waktu semalaman suntuk untuk menjabarkannya.
Kembali ke Naura saat ini. Apa yang dilakukannya kini?
Sosok manis ini membuka file video-nya, di mana episode terakhir kalinya dia menonton.
Satu episode ... dua episode ... tiga episode ...
Tak terasa Naura lewati begitu saja. Detak jarum jam beker menemaninya dikesunyian malam dengan handset menempel di telinganya. Tanpa sadar air matanya tumpah berlinangan. Ia begitu menghayati adegan demi adegan yang ada di dalam drama itu. Bahkan ketika pemeran utamanya menangis pilu karena kehilangan bayinya. Naura pun ikut menangis pilu.
"Hiks."
Naura menghapus air matanya. Kemudian menutup laptopnya. Pelan ia memejamkan mata. Hatinya masih berdenyut sakit. Ia bisa merasakan betapa besarnya rasa cinta seorang ibu pada buah hatinya.
Ah. Melihat adegan mengharukan itu. Naura jadi ingin punya bayi juga. Ingin merasakan bagaimana rasanya jadi seorang ibu.
Kembali Naura menangis. Sebab impiannya itu hanya menjadi impian belaka. Semenjak berumur tujuh belas tahun, dia baru menyadari dirinya mengalami Sindrom Mayer-Rokitansky-Küster-Hauser atau MRKH.
Ketika dia memeriksakan dirinya ke Dokter karena sampai umur tujuh belas tahun dia belum mengalami menstruasi. Layaknya perempuan lainnya.
Sindrom ini terjadi pada sistem reproduksi seorang wanita. Kondisi ini menyebabkan **, leher rahim (serviks), dan rahim tidak berkembang sebagaimana mestinya pada seorang wanita, atau bahkan ada yang tidak ada sama sekali meskipun kondisi alat kelamin dari luarnya terlihat normal. Maka dari itu, wanita yang mengalami sindrom MRKH ini biasanya tidak mengalami menstruasi karena tidak punya rahim.
Namun dia tak perlu berkecil hati. Menurut dokter, ia masih bisa mempunyai anak. Sebab kondisi indung telur, yakni organ yang menghasilkan telur atau ovum pada wanita yang tidak punya rahim masih berfungsi dengan baik. Ia masih bisa hamil dengan jalan inseminasi.
Gotcha! Itu yang dia butuhkan saat ini. Solusi yang sangat tepat untuk memenuhi keinginannya.
Naura tersenyum lebar. Inseminasi. Kenapa tak dipikirkannya. Ia bisa hamil tanpa menikah dengan pria mana pun.
Naura bersorak girang dalam hati. Sosok manis ini kembali tertidur dengan nyenyaknya bersama niat yang telah tertanam kuat di hatinya.
Besok. Sepulang dari bekerja, dia akan menemui Dokter Neil. Sahabatnya. Membantunya untuk mendapatkan Baby.
🍃Dear, My Baby🍃
Dan di sinilah Naura sekarang. Sesuai niatnya tadi malam. Dia telah mengutarakan niatnya sejam yang lalu pada sahabat sekaligus tetangganya, Neil Sutanegara.
Sosok manis ini menatap lekat pada papan nama acrylic yang ditulis dengan huruf sambung, bertuliskan nama; dr. Neil Sutanegara, Sp.PD.
Neil adalah dokter spesialis penyakit dalam.
"Gimana, Kak?" tanya Naura memastikan. Irisnya beralih menatap Neil, dengan rahang mengeras saat Naura tetap ngotot ingin punya Baby.
Neil mengembuskan napas.
"Naura, kurasa kau perlu memikirkannya kembali."
"Gak perlu. Aku sudah memikirkannya matang-matang."
"Yakin?"
"Seribu persen, yakin."
Untuk kedua kalinya Neil mengembuskan napas, tapi kali ini disertai dengan memijat tengkuknya yang terasa berat, seperti masalah pelik yang ditanganinya saat ini.
"Gimana, Kak?" tanya Naura, mengulangi pertanyaan yang sama sebelumnya.
"Gak ada yang gimana, Naura. Bukankah kau tetap ngotot meski aku menolaknya."
Naura tersenyum lebar mendengar jawaban Neil. Itu artinya, pria bermata sipit, bila tersenyum mata sipitnya itu tenggelam tak kelihatan ini, mengabulkan permintaannya.
"Aih, Kakak. Pada siapa lagi aku minta tolong selain Kakak? Di rumah sakit ini aku tak mengenal siapa pun kecuali Kakak."
"Iya, aku mengerti."
"Lagipula, Kak. Bukankah Kakak juga pernah mengikuti program itu, 'kan."
"Ya, kau benar, Naura."
Neil mengangguk membenarkan. Dua tahun yang lalu dia pun mengikuti program inseminasi bersama istrinya. Dan kini mereka telah menikmati hasilnya. Dikaruniai seorang bayi perempuan mungil berusia sepuluh bulan.
"Oke, Naura. Kurasa sampai disini dulu konsultasimu. Masih banyak pasienku yang mengantri."
Naura mencebik. Padahal masih banyak yang perlu dibahas soal program yang akan dijalaninya.
"Aku tahu itu, Naura. Jangan cemberut begitu," terang Neil, mencoba membaca yang ada dalam pikiran sosok manis itu sekarang ini.
"Terus gimana?"
"Karena masalahmu bukan masalah biasa. Maka kita perlu banyak waktu khusus untuk membahas hal tersebut."
Naura kembali tersenyum semringah mendengarnya.
"Lagipula dokter yang akan menanganimu nantinya bukan Kakak."
"Oh."
"Oke, untuk saat ini segitu saja dulu. Aku masih banyak kerjaan lainnya."
"Ih, Kakak. Gak usah diusir juga. Aku juga mau pulang, heh."
"Bukan begitu maksudku. Yeah, kau tahu sendirilah, Naura." Neil mengangkat kedua belah bahunya. "Masih banyak pasien lainnya di belakangmu."
"Ya, ya. Dokter Neil, aku mengerti." Naura tercengir. Berdiri dari duduknya sembari merapikan kembali pakaiannya yang sedikit kusut.
"Oh, hampir lupa."
Naura kembali membalik badannya ketika dia telah mencapai pintu.
"Apa?" tanya Neil.
"Soal yang mendonorkan spermanya nanti."
"Iya?"
"Aku gak mau tahu siapa orangnya."
"Gak bisa begitu, Naura."
"Harus bisa!"
"Naura."
"Kakak, mengertilah."
Neil mengembuskan napas berat.
"Oke, nanti kita bahas lagi dipertemuan selanjutnya."
"Satu lagi, Kak."
"Apa lagi?"
Neil nyaris melempar tumpukan buku di atas mejanya ke sosok manis itu, andaikan saja sosok manis ini adalah patung.
"Carikan aku sperma yang kuat dan tangguh. Kalau bisa dari bibit unggul. He he he."
Naura baru saja selesai mengantri makanan dengan nampan yang telah terisi sepiring nasi beserta lauk pauk, semangkuk kecil salad dan segelas air putih. Sosok manis ini berjalan menuju tempat duduk, bergabung bersama rekan kerjanya yang telah terlebih dahulu duduk.
"Gosip-gosipnya si Alice ikut program inseminasi," celetuk Irene ketika Naura meletakkan nampan makanannya ke samping gadis dengan kulit putih pucatnya itu. Telinga Naura mengembang mendengar percakapan kelima rekan satu mejanya ini tanpa berniat ikut nimbrung.
"Alice?" tanya Nindi. Di antara rekan-rekan Naura lainnya, Nindi termasuk yang paling muda setelah Naura di bagian departemen umum tempatnya bekerja.
"Iya."
"Alice yang berada di departemen riset dan pengembangan, itu 'kan?" tanya rekan Naura lainnya.
Irene memutar bola mata. "Iyalah. Memang nama Alice di perusahaan kita ada berapa orang?"
"He he he."
"Gak heran juga sih, Alice ikut program kehamilan. Dia menikah lebih dari lima tahunan. Wajar bila kepengen punya momongan," ucap rekan Naura yang lainnya.
"Terus gimana? Apa Alice berhasil?"
"Kabarnya sih berhasil."
"Wah, berarti sudah hamil dong."
"Iya. Katanya sudah ngisi sebulan."
Naura tercenung mendengar rumpi-rumpi para rekannya. Berhasil.
Bagaimana kabar program kehamilannya?
Sudah lewat tiga hari semenjak pertemuannya dengan Neil di rumah sakit waktu itu. Sampai sekarang dia belum dihubungi kembali oleh Neil.
Apa Neil tak mau membantunya?
Ah, nanti gue telepon Kak Neil lagi. Serius gak mau bantuin gue, batin Naura mengaduk-aduk makanannya tak semangat.
Nada notifikasi dari whatsapp membuyarkan lamunan sosok manis ini. Segera diambilnya smartphone dari balik saku seragam blazer hitamnya, dan melihat siapa yang mengirim pesan. Seketika pupil matanya membesar menatap layar smartphone-nya, bagaikan sosok manis ini menang undian berhadiah ratusan juta rupiah, Neil mengiriminya pesan.
Panjang umur Kak Neil, baru saja gue omongin, batin Naura.
Dengan senyum lebar, Naura membalas pesannya setelah pamit kepada rekan-rekannya kembali duluan ke kantor.
[Naura, kamu lagi di mana?]
[Di kantor.]
[Sibuk ya?]
[Gak juga.]
[Kakak ganggu ya?]
[Gak. Ini juga baru selesai makan siang di kantin,] balas Naura seraya mendudukkan pantatnya di kabin miliknya.
[Gimana kak dengan programnya?]
Jari-jari lentik sosok manis ini dengan lincahnya menari di touch keyboard seiring dirinya yang sudah tak sabaran untuk mengajukan beberapa pertanyaan.
[Nah, itu dia. Kakak mau membahasnya sekarang, tapi gak di sini.]
[Oke. Aku ke rumah sakit sekarang? Apa gimana?] tanya Naura.
Naura meletakkan smartphone-nya kembali ketika rombongan Irene sudah kembali dari kantin. Sosok manis ini melirik sekilas smartphone-nya saat mendengar suara notifikasi WA-nya. Namun tak segera dibukanya, takut mengganggu. Mengingat waktu makan siang telah habis, saatnya kembali serius ke pekerjaan.
Selang lima belas menit, Naura tergelitik untuk mengintip pesan WA-nya. Dia melirik kiri-kanan dahulu, memastikan kalau tak ada rekannya yang ikutan nimbrung membaca pesannya. Jaman sekarang, orang selalu ingin kepo akan kehidupan orang lain.
[Kamu bisanya kapan?]
[Kapan pun aku siap kak. He he he,] balas Naura tersenyum.
"Cie, senyum-senyum sendiri. Pasti dari doi ya," celetuk Irene berbisik. Tahu-tahu sudah berada di belakang Naura.
"Eh? Ah? Bu-bukan kok," jawab Naura tergagap, buru-buru menutup aplikasi WA-nya.
"Gak usah malu, kalo itu emang dari doi."
"He he he."
"Kalo udah klik, jangan lupa undangannya ya."
"Ih, ngawur."
"Kok ngawur? Seharusnya lo itu bilang amin. Ucapan itu adalah do'a lho."
"Iya. Iya. Serah lo aja deh." Naura menyelipkan poni ke telinganya.
"Siapa, Naura?" tanya Irene lagi.
"Apanya yang siapa?" Naura menaikkan salah satu alisnya. Mulai deh sifat keponya, batin Naura bersungut akan rekan kerjanya satu ini.
"Doi lo."
"Ooo itu. Song Joong-ki, yang baru saja nyandang gelar duda keren. He he he."
"Sialan lo," sungut Irene, kembali fokus ke pekerjaannya, tak bertanya-tanya lagi. Naura terkekeh geli. Akhirnya bisa juga nutup mulut rekannya ini.
Naura kembali ke smartphone-nya. Mengintip balasan dari Neil.
[Sore nanti bisa?]
[Bisa, kak.]
[Oke. Kakak tunggu jam empat ya.]
[Siap.]
🍃Dear, My Baby🍃
"Naura, niatmu itu benaran sudah bulat?" tanya Neil menatap sosok manis di depannya.
"Iya, kak. Sudah bulat. Sangat bulat malah."
Naura mencebik. Lagi-lagi Neil menanyakan masalah niatnya. Hello. Neil seperti baru kemarin mengenal dirinya. Ini Naura Almira Atmajaya. Bila katanya satu ya harus satu. Tidak akan berubah. Sosok manis ini punya pendirian yang teguh takkan mudah goyah meski badai menghadang sekali pun.
"Kak Neil, bila kakak tanya lagi soal niat Naura. Benaran Naura lempar pakai sepatu heels. Mau?" ancam Naura dengan bibir mengerucut.
Neil terkekeh sambil menggeleng. "Gak mau."
"Kembali ke topik. Gimana dengan programnya? Bisa, 'kan?"
"Bisa."
"Yey!" Naura bersorak girang tak ambil pusing. Neil menggeleng akan tingkahnya.
Astaga, begitu senangnya. Padahal ini program bukan untuk main-main. Tapi dia nganggapnya seperti main rumah-rumahan biasa, cibir Neil seraya membenahi letak kacamatanya. Sedikit terkejut dia tadi dengan reaksi Naura.
"Naura, ada banyak konsekuensi yang harus kamu terima bila mengikuti program inseminasi," jelas Neil mulai serius.
"Hasilnya pasti jadi' kan, kak?"
"Jadi ... jadi anak ayam maksudnya. He he he."
"Ih, Kakak. Aku serius nanyanya."
"Iya, berhasil bila mengikuti prosedur dengan benar."
"Oke. Kalau hasilnya pasti jadi, aku gak peduli konsekuensinya mau bagaimana. Terserah."
"Termasuk jadi gunjingan masyarakat dengan hamil di luar nikah?"
"Iya. Aku gak dengerin omongan orang. Serah orang mau bilang apa. Pokoknya aku punya Baby. Titik."
"Andaikan anakmu tanya, mana bapaknya?" tanya Neil, masih sedikit speechless dengan ucapan Naura.
"Kalau itu ..." Naura menggaruk kepalanya. Dia tidak sampai kesana memikirkannya.
"Hayo, dipikir ulang lagi dengan program ini," tutur Neil mengingatkan kembali. "Apa gak sebaiknya nikah dulu," lanjutnya menasehati.
Naura memilin jarinya. Berpikir.
"Kurasa tetap lanjut deh, Kak."
"Yakin? Menurut Kakak---"
"Please, kak. Jangan bawa-bawa apa pun lagi, Kak. Pokoknya aku ingin hamil. Itu saja. jangan dipersulit lagi, oke?"
Neil terdiam. Menatap lama iris cokelat bening Naura. Cowok ini mendesah ketika tak menemukan keraguan dalam pancaran mata sosok manis ini.
"Soal apa pun konsekuensi lainnya, biarkan aku yang menanggungnya."
Neil tetap diam.
"Kumohon, Kak. Untuk urusan lainnya aku serahkan pada Kakak. Bagaimana pun caranya, yang penting aku bisa hamil." Naura mengggigit bibirnya.
"Kumohon, Kak. Bantu aku."
Neil mengembuskan napas. "Ya udah. Aku bantu."
"Makasih, Kak Neil." Naura tersenyum lega.
"Kita bahas masalah selanjutnya," lanjut Neil.
"Yup."
"Soal biaya."
"Ya."
"Biayanya mahal. Kamu sanggup gak?"
"Gak sampe miliaran, 'kan?"
"Gak sampai."
"Oke, tak masalah soal biaya."
"Hmmm, lalu hal selanjutnya ..." Neil mencari berkas yang khusus dia buat untuk Naura.
"Langkah pertama yang harus kita lakukan lengkapi administrasinya dulu."
"Oke."
"Dua kali pembayaran. Tahap pertama bayar untuk tes pemeriksaannya dulu. Lalu pembayaran kedua pelunasan. Bayarnya nanti diakhir setelah kamu dinyatakan berhasil hamil."
"Oke. Terus apa lagi setelah itu?"
"Ini yang paling penting, tes pemeriksaan."
"Tes pemeriksaan? Apa itu?"
"Tes untuk mengetahui kondisi kesehatan tertentu yang mungkin bisa memengaruhi kesuburan klien. Hal ini dilakukan untuk memastikan keberhasilan dari proses inseminasinya, apakah bisa dilanjutkan atau tidak."
"Ooo, aku mengerti."
"Nanti tesnya ada tiga tahap. Kamu ikuti saja sesuai instruksi dari dokter yang menanganimu nanti."
"Siap, Kak."
"Dari ketiga tes tersebut menyangkut soal analisis sperma."
"Ya."
Neil mengembuskan napas. "Sampai sekarang, Kakak belum menemukan sperma yang cocok untuk didonorkan padamu."
"Oh, berarti kalau kedua tes itu sudah berhasil, Naura masih harus menunggu ya?"
"Iya. Soalnya itu yang paling penting."
"Sulit juga ya, Kak." Naura menghela napas berat.
"Ya begitulah. Untuk masalah itu nanti saja dipikirkan, Kakak akan berusaha mencari pendonor yang cocok dulu untukmu dari bank sperma." Neil menutup berkasnya kembali.
"Sambil menunggu pendonornya, kamu jalani dulu kedua tes itu dengan baik," lanjut Neil melepas kacamatanya.
"Oke. Kapan aku bisa melakukan tesnya?"
"Lusa."
🍃Dear, My Baby🍃
Sesuai yang dijanjikan oleh Neil. Naura kembali datang ke rumah sakit untuk melaksanakan proses inseminansi buatan (IUI). Dengan ditemani oleh Neil sepanjang pemeriksaan, Naura mengikuti semua prosedurnya dengan baik.
Pertama sosok manis ini melakukan tes USG Panggul. Untuk memastikan bahwa tuba falopi-nya tidak tersumbat atau terhalangi oleh apa pun. Jika tuba falopi tersumbat, telur tidak bisa berjalan ke rahim dan kemungkinan hamil tidak ada.
Kedua, tes hormon. Menguji beberapa hormon berbeda dalam darah, membantu dokter mengidentifikasi apakah seorang klien memiliki hormon yang cukup dalam tubuhnya untuk berovulasi.
"Gimana perasaannya?" tanya Neil setelah mereka kembali ke ruang kerjanya.
"Lega rasanya, Kak. Meski belum lega benaran," jawab Naura tersenyum. Neil mengangguk paham. Tentu saja yang utama adalah donor spermanya.
Neil berjalan ke arah kulkas kecil yang terletak di sudut ruangannya. Mengambil dua buah botol minuman, dan kembali ke meja kerjanya.
"Nih, minum dulu." Neil menyodorkan satu botol minuman ke sosok manis ini.
"Makasih, Kak." Naura segera menenggak minumannya. Baru sadar ternyata dirinya sangat haus sekali. Mungkin karena terlalu gugup saat menjalani proses inseminasi tadi. Dia jadi melupakan semua hal. Termasuk tidak merasakan haus sama sekali.
"Sekarang kau istirahat dulu. Ingat. Jangan terlalu lelah. Jangan stress. Nanti bisa berpengaruh sama tes kehamilan yang dijalani. Ketika donor spermanya sudah ada, kita bisa langsung melaksanakan inseminasinya."
"Siap."
🍃Dear, My Baby🍃
Naura memandang lekat tanggal di layar *smarthpone-*nya. Kemudian sosok manis ini mendesah panjang. Kembali menatap hampa piring yang masih terisi penuh makan siangnya. Tampak sekali sosok manis ini tak semangat.
"Kenapa lo?" Irene menyenggol lengan Naura, mengingatkan bahwa sosok manis ini tidaklah sendirian saat ini. Dia berada di kantin perusahaan, berbaur bersama rekan-rekan kerja lainnya.
"Gak." Naura buru-buru menggeleng. "Gak kenapa-kenapa kok," lanjutnya tampak gugup ketika Irene memperhatikannya begitu lekat.
"Bohong lo," sangkal Irene cepat.
"Bohong?"
"Iya. Lo pasti ada apa-apanya."
"Maksudnya?"
"Dari kemarin ya, gue perhatiin lo itu cuma mandangin layar persegi panjang itu melulu. Kenapa? Doi gak kasih kabar dua hari ini?"
"Eh itu ...." Naura menggaruk kepalanya. Bukan itu masalahnya. Dia mandangin layar smartphone karena ngitungin hari.
Sudah seminggu berlalu setelah Naura menjalani tes inseminasi. Sampai sekarang Neil belum memberi kabar kembali padanya. Sebegitu sulitnya ternyata mencari donor sperma yang cocok untuknya. Huft! Sosok manis ini mengembuskan napas.
"Tuh, 'kan, lagi-lagi lo menghela."
"He he he." Naura tercengir, tak menyangka Irene sangat detail memperhatikannya. Sampai dia narik napas saja diperhatikan.
Naura mengalihkan perhatiannya kembali ke layar ponsel saat ada notifikasi whatsapp-nya. Seketika matanya membelalak lebar membaca pesan yang sangat ditunggunya selama seminggu ini.
[Nauraaa, akhirnya kita menemukan sperma yang cocok sesuai keinginanmu.]
"YES!!!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!