NovelToon NovelToon

Takdir Membawamu Kembali

Perpisahan, Pertemuan dan luka yang baru

Cuaca hari ini benar-benar tidak bersahabat. Awan hitam bergulung-gulung, menutup keindahan langit biru yang biasanya menenangkan. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah yang seakan menandakan bahwa hujan akan segera turun. Hari yang kelabu itu seolah menyatu dengan perasaan seorang gadis yang tengah duduk termenung di kamarnya. Matanya menatap nanar ke arah koper besar yang sudah terisi penuh dengan pakaiannya—tanda bahwa ia akan segera pergi.

Kathryn, gadis itu, tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi hidupnya sejak kecil bukanlah keputusan yang mudah. Hari ini, ia dan keluarganya akan pindah ke Jakarta, meninggalkan Manila dan seluruh kenangan yang tertinggal di dalamnya.

Ia masih belum mengerti alasan di balik keputusan orang tuanya. Mengapa mereka tiba-tiba memutuskan untuk pergi? Tidak ada penjelasan yang jelas, hanya perintah yang harus ia patuhi. Kathryn tahu, mau tak mau ia harus pasrah, walau hatinya penuh tanda tanya dan luka yang belum sempat sembuh.

Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan James malam sebelumnya. Tanpa disadari, air mata mulai mengalir dari bola matanya yang cokelat. Kata-kata James semalam begitu menyakitkan, menghantam hatinya seperti badai. Hubungan yang telah mereka bina selama dua tahun harus kandas, hanya karena James telah jatuh cinta pada gadis lain.

"Kathryn, lima menit lagi kita berangkat. Periksa kembali barang-barangmu, jangan sampai ada yang tertinggal," seru sang ibu dari luar kamar.

"Iya, Bu," jawab Kathryn sambil cepat-cepat menyeka air matanya agar tidak diketahui sang ibu.

Tak lama kemudian, mereka pun tiba di bandara. Dalam waktu kurang dari dua jam, semuanya terasa seperti mimpi. Kathryn kini telah menginjakkan kaki di tanah asing: Indonesia. Ia merasa waktu dan keadaan seolah membencinya, menempatkannya dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.

Langkahnya lesu saat ia keluar dari pesawat. Ia menitipkan kopernya kepada ibunya dan berjalan menuju toilet. Ia butuh waktu sendiri, meski hanya beberapa menit.

Namun, nasib seolah belum ingin berpihak padanya. Saat keluar dari toilet, seseorang menyenggol lengannya cukup keras hingga tas kecil yang ia bawa terlepas dari pundaknya. Orang itu berlalu begitu saja tanpa menoleh, apalagi meminta maaf. Kathryn, yang sudah diliputi emosi sejak pagi, tidak tinggal diam. Ia melepaskan sepatu kirinya dan melemparkannya ke arah orang itu. Sepatunya tepat mengenai kepala si pelaku.

Pria itu berhenti sejenak, lalu berbalik dan menghampirinya dengan tatapan tidak suka.

"Heh! Cewek gila! Ngapain lo nimpuk kepala gue pake sepatu jelek lo ini? Lo gila ya?" bentaknya kasar.

Kathryn mendengus. "Kamu yang gila! Seharusnya aku yang marah karena pundak jelekmu itu menyenggolku, dan kamu sepertinya lupa sesuatu!"

"Apa maksud lo?" balas pria itu sinis.

"Kamu lupa minta maaf!"

"Ngapain gue minta maaf? Lo udah balas gue pake sepatu, kita impas!" jawabnya cuek, lalu melemparkan sepatu Kathryn ke lantai dan pergi begitu saja.

"Dasar cowok brengsek!" omel Kathryn kesal. Seolah belum cukup dengan luka hatinya, kini ia harus berurusan dengan orang asing yang menyebalkan. Dalam hatinya, ia berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu hanya untuk memberinya pelajaran.

Setelah melewati kemacetan lalu lintas Jakarta yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di rumah baru. Rumah itu cukup besar, dan kamar Kathryn didekorasi dengan mewah.

“Cukup indah,” gumam Kathryn dalam hati.

Ibunya yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya bertanya dengan suara lembut, “Apa kamu menyukainya, nak?”

Kathryn menoleh. “Maaf, Bu... semua ini terlalu mendadak.”

Sang ibu tersenyum sendu. “Maafkan kami atas kepindahan ini yang begitu tiba-tiba. Kami hanya tidak ingin kamu terus larut dalam kesedihan. Ayahmu mengalami kesulitan dalam bisnis, dan karena itu kami harus pindah ke sini. Seseorang akan membantu ayahmu mengembangkan kembali bisnisnya.”

Kathryn mengangguk perlahan. Namun, hatinya mulai terasa dingin ketika sang ibu melanjutkan, “Kami sudah sepakat untuk menikahkanmu dengan putra Pak Dermawan, rekan bisnis ayahmu.”

"Apa?!" Kathryn membelalak. "Apa-apaan ini, Bu? Kalian membuat keputusan tanpa menanyakan pendapatku lebih dulu. Aku ini anak kalian, bukan emas yang bisa kalian jual saat kalian butuh uang!"

"Hentikan, Kathryn!" potong ibunya tegas. "Ini bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk masa depanmu!"

“Masa depan?” suara Kathryn bergetar. “Masa depan yang seperti ini? Menikah tanpa cinta, tanpa persetujuanku? Itu yang kalian sebut masa depan?”

Ibunya menghela napas panjang. “Cinta saja tidak cukup, nak. Cinta kadang menyakitkan, seperti yang kau alami bersama James. Tapi sebuah pengorbanan bisa menyelamatkan hidup kita.”

"Tapi luka ini belum sembuh, Bu. Dan kalian malah menambahkan luka baru."

Ibunya mendekat, mengecup kening Kathryn dan berkata, “Kami mencintaimu, nak. Besok calon suamimu akan datang menemui kita. Tolong, jangan kecewakan kami.”

Malam pun datang, dan Kathryn hanya bisa memeluk bantalnya sambil menangis. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya yang dingin. Dalam heningnya malam, ia hanya berharap satu hal: semoga semuanya akan baik-baik saja saat pagi tiba.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 10.30 pagi ketika sinar matahari mulai menembus jendela kamarnya. Kathryn masih terlelap, sampai suara pintu terbuka membuyarkan tidurnya.

“Kathryn, bangun, nak. Calon suamimu dan keluarganya sudah menunggu di ruang tamu,” kata ibunya lembut.

“Ugh... Ibu, aku tidak ingin bertemu siapa pun hari ini. Aku ingin tidur saja,” jawab Kathryn dengan suara serak, menutupi wajahnya dengan bantal.

“Kathryn, ayo bangun... atau ibu akan membiarkan calon suamimu masuk ke kamar ini untuk membangunkanmu!” ancam sang ibu.

Mata Kathryn langsung terbuka. Ia melompat dari tempat tidur dan menuju kamar mandi dengan ogah-ogahan. Tak lama kemudian, ia keluar dengan wajah muram tanpa riasan. Ia bahkan mengabaikan permintaan ibunya untuk berdandan.

Langkahnya gontai ketika ia memasuki ruang tamu. Tapi begitu melihat sosok yang duduk di sana, matanya langsung membelalak. Lelaki itu... wajahnya tak asing.

“Kamu! Kamu ngapain di sini? Dasar pria sombong, menyebalkan, dan nggak tahu diri!” teriak Kathryn sambil melempar bantal ke arahnya.

Pria itu hanya tersenyum sinis. Dunia Kathryn seketika terasa jungkir balik.

Bersambung....

Ciuman, Kolam Renang dan Sebuah Rahasia

"Kathryn! Hentikan! Bersikap sopanlah pada calon suamimu!" tegur ibunya dengan suara tinggi, mencoba menahan malu di hadapan tamu mereka.

Kathryn membelalakkan matanya, menatap ibunya tak percaya. Amarah di wajahnya tak bisa disembunyikan.

"Apa yang Ibu katakan? Dia suamiku? Pria menyebalkan ini suamiku?" katanya, menunjuk ke arah Daniel dengan tatapan menyala. "Ibu, dialah yang sudah merusak sepatu mahal kesayanganku! Dia pria sombong yang membuatku kesal di bandara, Bu!"

Kathryn berkata seolah-olah hanya dia dan ibunya yang berada di ruang tamu. Ia tak menyadari bahwa kedua calon mertuanya menatapnya dengan penuh keterkejutan.

"Kathryn! Hentikan kekonyolanmu!" tegur ibunya lagi, kali ini dengan sorot mata tajam.

Namun Kathryn malah memanyunkan bibirnya. Ekspresinya memperlihatkan rasa kesal yang amat sangat pada pria yang duduk dengan tenang di hadapannya.

"Kamu terlihat lebih cantik dari fotomu, Nak," ucap wanita paruh baya yang duduk di samping Daniel. Ibu calon suaminya.

Perkataan itu membuat Kathryn salah tingkah, wajahnya mulai memerah.

"Ahm... ahm... Maaf, Tante—eh, Bu. Perkenalkan, saya Kathryn," katanya gugup sambil mengulurkan tangan.

"Matelda. Saya ibunya Daniel, Nak," jawab wanita itu ramah.

Ibunya lalu memberi isyarat pada Kathryn.

"Kathryn, bawa Nak Daniel ke luar sebentar, cari udara segar."

Dengan enggan, Kathryn berdiri dan melangkah menuju halaman belakang, diikuti Daniel yang tampak santai.

Sesampainya di tepi kolam renang, keheningan mencengkeram mereka.

"Sorry... about yesterday," kata Daniel akhirnya, memecah kebekuan yang menggantung di udara.

"Maaf? Saya tidak butuh kata maafmu sekarang. Seharusnya kemarin!" seru Kathryn, masih dengan nada tinggi.

"Dan... andai aja gue bisa muter waktu, gue pengen balik ke hari kemarin, minta maaf, biar lo bisa maafin gue, Miss Kathyrina Theodore Reyes."

Kathryn membelalak. Ia tak menyangka Daniel tahu nama lengkapnya.

"Darimana kamu tahu namaku?"

"Lo itu calon istri gue. Jadi, ya, wajar dong gue tahu," jawab Daniel ringan.

"Haha. Kamu jangan mimpi. Siapa juga yang mau menikah denganmu?"

"Lo kira gue juga mau nikah sama lo? Lo bukan tipe gue."

"Lalu kenapa kamu setuju?"

"Karena orang tua gue. Kalau bukan karena mereka, lo pikir gue sudi nikah sama cewek galak kayak lo? Enggak! Bahkan, sekarang pun gue masih pacaran sama cewek gue."

Kata-katanya membuat Kathryn terdiam sejenak. Kemarahan dalam dirinya campur aduk dengan rasa penasaran.

"Lalu kenapa kamu tetap mengiyakan?"

"Gue nggak pernah ngebantah orang tua gue. Gue percaya, apa pun yang mereka mau, itu pasti demi kebaikan gue, meski susah dijalanin. Lagian, calon istri yang mereka pilih... nggak jelek-jelek amat, kok. Galak sih, tapi gue suka."

Kathryn mendelik, wajahnya kini semerah tomat. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat sandal hak tingginya dan memukul pundak Daniel.

"Kamu bilang aku jelek? Coba lihat diri kamu dulu! Kamu juga jelek dan sombong! Rasakan ini!"

Ia terus memukuli Daniel dengan sandalnya.

"Berhenti nggak?" tanya Daniel sambil mengelak.

"Kalau tidak, kenapa?"

"Gue bakal nyium lo."

"Kamu pikir saya takut? Silakan! Tapi hati-hati, aku bisa patahin lehermu!" ancam Kathryn, tetap memukuli punggung Daniel.

"Berhenti nggak?"

"Ti—"

Kata-kata Kathryn terputus karena Daniel tiba-tiba menariknya dan menyumbat bibirnya dengan ciuman yang cepat namun mengejutkan. Sandal di tangan Kathryn terlepas, jatuh begitu saja. Dadanya berdebar. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ia tak bisa bergerak, hanya bisa mengedipkan matanya, bingung dan syok.

Daniel melepas ciumannya perlahan. "Gimana? Masih mau mukul gue pake sandal jelek lo itu? Atau lo mau gue nyium lo lebih ‘hot’ dari tadi? Eh, sorry. James nggak pernah ya nyium lo kayak tadi? Gue orang pertama, kan? Dan lo juga orang pertama yang nyuri first kiss gue."

Daniel membisikkannya ke telinga Kathryn.

"Dasar cowok mesum brengsek!" teriak Kathryn lalu mendorong Daniel hingga tercebur ke dalam kolam.

"Woy! Tolong! Gue nggak bisa berenang!" teriak Daniel, panik.

"Rasakan akibatnya!" balas Kathryn, berbalik hendak pergi. Tapi saat ia melirik ke belakang, Daniel benar-benar terlihat seperti tenggelam.

Tanpa pikir panjang, Kathryn langsung terjun ke dalam kolam, berenang cepat mendekati Daniel. Ia menarik tubuh Daniel yang sudah lemas ke tepi kolam, memeluknya erat sambil mencoba membantunya mengeluarkan air dari dalam tubuhnya. Tapi Daniel tetap tak sadar.

Panikan, Kathryn mencoba menekan perut Daniel, tapi tak ada hasil. Ia menatap wajah Daniel dengan gemetar. Tak ada pilihan lain. Satu-satunya cara adalah memberi napas buatan.

Dengan ragu-ragu, ia mendekatkan wajahnya. Belum sempat bibirnya menyentuh bibir Daniel, tiba-tiba Daniel membuka mata dan dengan cepat mendaratkan kecupan singkat di bibir Kathryn.

Kathryn kaget. Tubuhnya langsung terjatuh ke dada bidang Daniel.

"Kamu sengaja, ya? Kamu... benar-benar!"

Kathryn menyipratkan air ke wajah Daniel dan pergi begitu saja, meninggalkan pria itu tersenyum puas dengan keberhasilannya memperdaya gadis galak itu.

Kathryn berlari menuju kamarnya. Wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak terbendung. Ia tak mempedulikan kedua orang tua serta calon mertuanya yang masih duduk di ruang tamu. Mereka semua terdiam melihat Kathryn melintas dengan tubuh dan pakaian basah kuyup.

Beberapa detik kemudian, Daniel masuk ke ruang tamu, sama basahnya.

"Niel? Kenapa kalian berdua basah-basahan?" tanya ibunya, bingung.

"Ahm... ahm... Itu, Bu. Niel sama Kathryn habis berenang di kolam. Kathryn minta ditemenin," jawab Daniel, menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Oh, syukurlah kalian sudah mulai akrab. Ibu senang," kata ibunya Kathryn, tersenyum lega.

"Tapi sayangnya dia galak, Bu. Hehe," seloroh Daniel, membuat semua tertawa ringan.

Sementara itu, Kathryn terduduk di pinggir tempat tidurnya. Ia menatap lurus ke dinding, pikirannya kacau. Bibirnya masih terasa panas karena ciuman mendadak itu. Dan lebih parahnya, pertanyaan demi pertanyaan memenuhi benaknya—darimana Daniel tahu tentang James?

Hubungannya dengan James adalah rahasia. Tak ada orang lain yang tahu, bahkan ibunya sendiri. Hanya Kathryn dan James. Jadi, bagaimana mungkin Daniel mengetahuinya?

Pintu kamar diketuk pelan. Ibunya masuk dengan membawa sesuatu.

"Sayang, coba lihat gaun ini. Cantik, bukan?"

"Hmm... biasa saja, Bu."

"Kathryn, apapun yang terjadi antara kamu dan Daniel, Ibu tak ingin kamu merusaknya. Besok adalah hari pernikahanmu. Ibu sangat mengharapkan kerja sama yang baik darimu agar semuanya berjalan lancar."

"Apa? Besok hari pernikahanku? Ibu... kenapa mendadak seperti ini? Bahkan baru sekarang Ibu memberitahuku! Apakah aku benar-benar tidak ada artinya lagi bagi kalian?"

Dengan mata berkaca-kaca, Kathryn berlari keluar kamar. Ia menuruni tangga, mengambil kunci mobil di atas meja, lalu meninggalkan rumahnya dengan tergesa-gesa.

"Aku harus bertemu Daniel," gumamnya.

Entah kenapa, entah untuk apa. Tapi yang jelas, hatinya tak bisa diam. Ada sesuatu tentang pria itu yang harus ia pahami malam ini—tentang ciuman itu, tentang James, dan tentang kenapa hatinya berdetak lebih kencang setiap kali nama Daniel disebut.

BERSAMBUNG......

Perjanjian dan Pernikahan

Kathryn terus menyetir mobilnya. Namun, tiba-tiba ia tersadar—ia tidak tahu sedang berada di mana. Ia lupa kalau dirinya baru saja menginjakkan kaki di kota ini. Ia ingin menemui Daniel, tapi tak tahu alamatnya, bahkan nomor telepon Daniel pun tak ia miliki.

Kathryn turun dari mobilnya. Ia melihat seorang pria yang sedang melintas dan memberanikan diri untuk bertanya.

"Kuya, permisi... Mau ke mana buru-buru? Boleh saya bertanya sebentar?"

"Aduh, maaf, gue buru-buru. Kalau mau nanya, nanya aja di sana. Di sana banyak banget orang yang bisa ditanyain," jawab pria itu sambil menunjuk ke sebuah tempat yang tampak ramai.

“T-tapi, Kuy—”

Belum selesai ia bicara, pria itu sudah pergi meninggalkannya.

"Tempat apa itu? Kenapa banyak sekali orang di sana?" Kathryn bergumam dan melangkah menuju keramaian itu untuk menjawab pertanyaannya sendiri.

Sesampainya di sana, ia melihat banyak mobil berderet dengan merek-merek beragam. Masing-masing mobil tampak memiliki pemilik yang sedang bersiap. Kathryn sangat terkejut dengan apa yang ia lihat.

Dalam hatinya ia bergumam, Apakah Indonesia seburuk ini? Anak-anak remaja seusianya rela menghamburkan uang hasil kerja keras orang tua mereka hanya untuk balapan dan bertaruh.

Ia hendak berbalik pergi, namun tiba-tiba...

"Oh, tidak! Mobil itu menuju ke arahku!"

Pekik Kathryn ketakutan. Semua orang di sekitar berteriak agar ia segera menepi. Tapi mobil itu semakin mendekat, dan ternyata remnya bermasalah.

"Tidaaaaakkk!" jerit Kathryn menutup matanya, pasrah.

Tubuhnya terlempar ke pinggir arena. Kathryn merasakan sesuatu menindih tubuhnya. Perlahan ia membuka mata...

“Kamu... Apakah aku sudah mati? Apa ini surga?” gumam Kathryn, memukul pipinya.

"Awwh!" terasa sakit. Ia sadar ia masih hidup.

"Nggak usah drama. Ikut gue!" ketus Daniel, membantu Kathryn berdiri dan langsung menarik tangannya menjauh dari arena.

Sesampainya di mobil, Daniel bertanya dengan nada kesal.

“Lo ngapain di sini? Udah bosen hidup? Lo nggak tahu tempat ini bahaya banget buat lo?”

“Seharusnya aku yang tanya. Kenapa kamu bisa ada di tempat seperti ini?”

“Gue yang nanya! Jangan nanya balik! Sekali lagi gue tanya: ngapain lo ke sini?!”

“Kenapa kamu marah dan bentak aku?”

“Kathryn, jawab gue!”

“Aku ke sini cari kamu.”

“Ngapain?”

“Tadinya kupikir kamu ada di rumah, jadi aku coba cari rumahmu. Tapi tersesat, dan kutanya orang yang lewat. Dia tidak menjawab, malah menyuruhku bertanya ke arah keramaian ini. Aku tak menyangka sesuatu yang buruk hampir saja terjadi padaku.”

“Apa tujuan lo nyari gue? Kayaknya penting banget, ya? Sampai lo nekat keluar rumah tanpa tahu arah? Atau lo mau nampar gue karena gue udah nyium lo? Nih, tampar gue, pipi gue gratis buat lo!” ucap Daniel sambil menggenggam tangan Kathryn dan mengarahkannya ke pipinya.

“Ayo tampar!” katanya lagi.

“Tidak, Daniel. Aku datang bukan untuk itu. Ini tentang pernikahan kita. Aku ingin membatalkannya. Aku... aku belum siap untuk menikah.”

“Tunggu, tunggu. Jadi maksud lo ke sini buat minta gue batalin pernikahan kita? Yang besok itu? Gila! Fix lo emang gila,” sahut Daniel sambil menempelkan tangannya ke kening Kathryn.

“Aku masih waras! Jadi kamu tahu kita akan menikah besok, tapi kenapa kamu tidak membatalkannya?”

“Andai gue bisa. Tapi gue masih punya hati nurani.”

“Apa maksudmu?”

“Bokap gue sakit, punya penyakit jantung. Kalau gue nekat batalin pernikahan, itu sama aja kayak gue ngebunuh dia. Lagipula, pernikahan ini bukan cuma buat kita, tapi juga masa depan bisnis keluarga kita.”

“Aku tahu... Orang kaya memang akan selalu memikirkan itu. Karena bagi mereka, uang adalah segalanya. Bahkan cinta pun bisa dijual demi uang.”

“Udah, ngomongnya? Lo benar, uang emang bisa beli cinta. Karena cinta tanpa uang bukan apa-apa. Itu yang selama ini gue pahami. Itu juga yang bikin gue kuat sampai hari ini. Buat gue, cinta itu nggak ada artinya.”

“Itu karena kamu nggak pernah mengenal cinta. Jadi kamu nggak tahu apa-apa soal cinta.”

“Siapa bilang gue nggak kenal cinta? Buat gue, cinta dari orang tua gue aja udah cukup. Lo bilang cinta, padahal lo sendiri dikhianatin sama cinta. Cinta buta lo sama James bikin lo lupa kalau masih ada kebahagiaan yang lebih indah dari itu.”

“Cukup! Kamu tidak berhak bicara begitu. Kamu tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan James. Jangan sok tahu soal masalahku. Kalau keputusanmu sama dengan orang tua kita, berarti misi pertamaku gagal. Tapi aku masih punya misi kedua.”

“Misi? Apaan lagi sih?”

“Misi kedua adalah syarat dan janji sebelum menikah.”

“Ya udah, apa?”

“Pertama, kita menikah tapi bukan berarti kita saling memiliki. Jangan pernah menyentuhku. Pura-puralah saling menyayangi di depan orang tua kita. Tapi kalau mereka nggak ada, bersikaplah seperti orang asing. Kedua, kita tidak boleh tidur seranjang. Kamu setuju?”

“Udah? Itu doang? Kalau gitu, gue juga punya syarat. Syarat gue simpel: kita bebas ketemu siapa aja. Nggak boleh ada yang ngelarang.”

“Apa maksudmu? Kamu tahu sendiri aku nggak punya pacar.”

“Itu urusan lo. Deal, ya? Nggak ada yang boleh ngelanggar.”

[Di Teras Rumah Kathryn]

Ibu Kathryn mondar-mandir, cemas menanti putrinya. Kecemasannya hilang ketika mobil Kathryn akhirnya tiba. Ia terkejut melihat Daniel bersama Kathryn. Namun, Kathryn langsung masuk ke kamar tanpa menyapa ibunya.

"Selamat malam, Bu."

"Nak Daniel, jadi Kathryn bersamamu? Andai ibu tahu, ibu tak perlu cemas!"

"Iya, Bu. Tadi Kathryn nyari saya."

“Untuk apa dia menemuimu, Nak? Apa dia bilang sesuatu?”

“Nggak, Bu. Dia cuma bilang kangen.”

“Benarkah? Syukurlah... Ibu senang kalian berdua sudah akur.”

“Iya, Bu. Kalau gitu, saya pulang dulu ya. Mau siap-siap buat besok.”

“Tapi siapa yang antar kamu?”

“Nggak usah, Bu. Saya naik taksi aja. Kasihan Kathryn, biar dia istirahat.”

“Baiklah, hati-hati, Nak.”

[Di Kamar Kathryn]

Kathryn termenung menatap sebuah bingkai foto dirinya dan James. Ia sangat merindukan James, meski lelaki itu telah mengkhianatinya.

"Kamu tahu, besok aku akan menikah dengan orang yang tidak kucintai. Sakit sekali rasanya, James. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa," isaknya, air mata jatuh membasahi foto.

Ia hanya bisa pasrah. Menikah di usia muda bukan keinginannya, tapi ia harus menerima kenyataan pahit ini.

Keesokan harinya, Kathryn tampil anggun dalam balutan gaun putih. Ia bak bidadari yang baru turun dari kahyangan. Tapi sayang, semua yang terlihat hanya indah di luar. Di dalam hatinya, luka menganga.

Ia berusaha tersenyum di depan kedua orang tuanya.

“Oh... lihatlah dirimu, Putriku. Kamu sangat cantik. Ibu jadi teringat saat ayahmu menikahi ibu. Dulu kami juga menikah tanpa cinta...”

“Maksud Ibu?”

“Ibu sama sepertimu. Tapi, cinta itu tumbuh sendiri. Karena cinta itulah kamu hadir di dunia ini. Percayalah, pelan-pelan kamu dan Daniel akan saling mencintai.”

Air mata Kathryn kembali jatuh. Ibunya memeluknya, mencoba menguatkan.

Kathryn berjalan ke pelaminan, digandeng sang ayah. Di sana, Daniel sudah menunggu dengan tampilan sangat tampan dalam balutan jas.

“Lo cantik banget hari ini,” ucap Daniel sambil tersenyum.

“Kamu juga sangat...”

“Tampan, bukan?” sahut Daniel sambil menyombong.

“Iya... Seperti itulah kamu, menyombongkan diri,” timpal Kathryn sambil memanyunkan bibir.

Mereka mengucapkan janji suci. Kini tiba saatnya mereka harus berciuman sebagai tanda cinta.

Kathryn bingung. Tapi Daniel membisikkan sesuatu.

“Bukannya kita udah pernah ngelakuin ini sebelumnya?”

“Apa maksudmu? Kita sudah sepakat, kan? Awas saja kalau kamu berani—”

Belum sempat selesai, Daniel sudah mencium bibirnya. Ia melakukannya lagi, tanpa izin Kathryn.

Orang tua mereka dan para tamu bertepuk tangan meriah. Senyum bahagia menghiasi wajah mereka yang renta.

[Malam Hari]

Setelah pesta, Kathryn buru-buru ke kamarnya. Ia lelah. Tapi betapa terkejutnya ia saat mendapati Daniel sudah mendengkur di atas ranjang.

“Hei! Bangun! Aku mau tidur!”

“Lo aja yang bangun. Gue mau tidur,” balas Daniel malas, masih dengan mata tertutup.

Kathryn bingung. Ia tak mungkin tidur seranjang dengan Daniel. Ia mengambil bantal dan berbaring di sofa.

Namun, tiba-tiba Daniel bangkit dari ranjang dan menghampirinya.

“Kau... kau mau apa?” tanya Kathryn dengan suara bergetar.

BERSAMBUNG.........

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!