Langit nampak kelam dan gelap, suara petir yang disertai kilat menggelegar menggulung seolah saling beradu diatas awan tebal. Disertai dengan hujan yang deras dikala tengah malam itu Ayah berangkat dari gubuknya yang berada ditengah-tengah pesawahan yang jauh dari pemukiman warga lainnya.
Tanpa sehelai penghalang hujan dikepalanya, Ayah berjalan terseok-seok tanpa alas kaki di jalan setapak pesawahan yang sangat licin sampai-sampai disetiap ruas kakinya sudah menumpuk tanah yang begitu lengket.
Sesekali dia jatuh tetapi bangkit berjalan kembali, gak peduli dengan dirinya yang sudah basah kuyub dan pakaiannya pun sangat kotor terkena tanah yang basah
Sepanjang perjalanan dia terus menggigil kedinginan tapi dia tetap bertahan untuk sampai pada tujuannya.
Ya, Rumah Bersalin Bidan Rosi
Ayah mengetuk pintu rumahnya Bidan Rosi dengan nafas yang masih terengah-engah
Tok...tok..tok..tok!!!
Tapi belum ada jawaban dari dalam
Ayah kembali mengetuk dengan lebih keras
Tok..tok..tok..tok!!!
Sesekali Ayah menggigil kedinginan, tubuhnya sudah sangat dingin dan pucat pasi
Beberapa menit menunggu sambutan dari dalam, akhirnya Bidan Rosi menemui Ayah yang sudah sangat memprihatinkan
Bidan Rosi menatap Ayah dari atas kepala sampai ujung kakinya yang sudah sangat kotor dan basah.
"Ada apa pak ?" tanyanya
"Istri saya mau melahirkan, tolong dibantu!" pintanya
"Di mana Pak ?"
Dengan cepat Ayah menunjuk ujung jalan yang mengarah ke pesawahan "Di sana Bu!" ucapnya
Bidan Rosi ternganga "Maaf Pak, saya dilema mau ke sana atau gak, karena itu jauh sekali. sementara Suami saya pun sedang ke luar kota. Bapak bawa aja Istrinya ke sini" ujar Bidan Rosi
Dengan suara yang berat menahan dingin Ayah marah mendengarnya "Gimana sih Bu, saya jauh-jauh datang ke sini kenapa gak dihargain sih !" ketusnya
Bidan Rosi mencoba menjelaskan pada Ayah "Bukan begitu pak, kalau saya ke sana___"
"Udah buruan jangan banyak omong, Istri saya sudah kesakitan" potongnya
Bidan Rosi terenyak melihat sikap Ayah.
"Kalau begitu saya ambil perlengkapan dulu ya" ucapnya
Ayah mengangguk "Iya iya jangan lama-lama!" ujarnya masih sambil menggigil kedinginan
Akhirnya tanpa ada berdebatan lagi. Bidan Rosi memutuskan untuk ikut dengan Ayah
Ayah berjalan cepat di depan Bidan Rosi yang membawa box perlengkapannya dan satu tangannya lagi memegang payung yang terus dia tahan dari tiupan angin yang kencang, meski teraseok-seok tapi perjalanan yang menempuh waktu dua puluh menit itu cukup menjadi pengabdian berat bagi Bidan Rosi, malam itu.
Akhirnya Ayah dan Bidan Rosi sampai juga digubuk tua milik Ayah.
Ayah sengaja tinggal jauh dari perkampungan karena Ayah sering bersemedi dengan makhluk gaib yang dia percaya akan memberikannya keberuntungan dalam hidupnya, meskipun dia bersembunyi dari warga tapi tetap saja beberapa warga ada juga yang tau perihal ritual klenik yang menyimpang itu.
Dinginnya angin malam yang masuk diam-diam melewati celah-celah bilik bambu gak membuat seorang Ibu patah semangat untuk melahirkan anak pertamanya yang selama tiga tahun pernikahannya, dia nantikan.
Digubuk bilik bambu yang sudah usam beratapkan daun lontar kering yang bocor dari jatuhan hujan kala itu menambah pedihnya perjuangan Ibu saat persalinannya.
Ibu meringis kesakitan dalam persalinannya yang dibantu seorang Bidan dusun yang rela datang dari jauh dari desa sebelah ke tengah-tengah pesawahan dalam keadaan cuaca yang sangat payah.
"Ayok Bu, tarik nafasnya perlahan ya Bu" ucap Bu Bidan dengan lembut
Dalam bersamaan Ayah meminta ijin pada Bidan Rosi dengan sopan
"Bu Bidan saya ke kamar aja ya, saya gak sanggup melihat Istri saya seperti ini" pintanya dengan wajah yang memelas
"Silakan Pak" ucap Bidan Rosi tanpa curiga
Ibu terus meringis kesakitan sementara Ayah ada di dalam kamar bukan sedang berdoa kepada sang Khaliq melainkan sedang menjalankan ritual sesatnya tanpa diketahui Bidan. Mulutnya komat-kamit hanya dia saja yang bisa mengerti arti dan tujuannya
Ayah sangat kyusuk sekali dalam meminta pertolongan dan pengharapan pada sang maha yang dia maksud sumber semestanya, padahal sudah jelas itu bukan Tuhan tapi hanya halusinasi mistisnya yang gak kunjung usai.
Ibu berteriak keras sekali tapi Ayah gak peduli
"Aaarrrghhhkkk!!" suaranya melambung tinggi pecah bersama derai hujan yang semakin keras.
"Sakiiiitttt....saaa...kkkiitttttt...tolllonggg!" Ibu meregang kesakitan
Bidan panik dengan keadaan Ibu, dia bahkan nyaris putus asa dan gak tau harus apa, mengingat kondisi medan jalan pun begitu sulit ditempuh untuk dia bawa ke tempat persalinannya, apa lagi Ayah gak menyetujuinya jika dibawa ke sana.
Ibu terus menerus meronta kesakitan sambil berupaya untuk mengeluarkan aku dari perutnya
"Sakkkitttt...tolongggg...sakkkittt!!" keluhnya
Akhirnya Bidan Rosi berjuang mengupayakan supaya persalinan berjalan baik dengan segala cara yang hanya dia saja yang paham.
Beberapa menit berlalu akhirnya Ibu melahirkan seorang bayi lucu
"Oooeekkkk...oooeekkk!" pertama kalinya aku bersuara di bumi ini
"Anaknya perempuan Bu" ucap Bu Bidan sambil menggendongku dan memberikannya pada Ibu
Ibu bahagia melihatku tapi baru tersadar ketika melihat tubuhku penuh dengan bintik-bintik hitam disekujur tubuh sampai diwajahku.
Ibu syok "Kenapa ini anak saya ?" tanyanya
Bidan Rosi berupaya melapangkan dada Ibu "Bayi Ibu dalam keadaan sehat kok Bu" ucapnya dengan tenang berharap Ibu bisa menerima aku
Sertamerta akhirnya Ayah keluar dari persembunyiannya lalu melihat keadaan tubuhku yang penuh dengan tahi lalat.
Ayah syok melihatnya dan sama sekali gak mau menyentuhnya "Ini anak siapa ?"
Bidan Rosi jadi makin bingung dengan sikap Ayah
Tapi Ibu hanya bisa menangis dan juga gak bisa menerima kenyataan
Ayah masih gak percaya kalau aku adalah anak yang baru saja dilahirkan istrinya "Dia bukan anak saya !" ujar Ayah sambil menunjukku
Akhirnya Bidan Rosi semakin habis kesabarannya lalu berbicara dengan nada keras kepada Ayah "Pak, ini anak Bapak. Anak Bapak sehat!" ucapnya
Ayah menghalau ucapan Bidan Rosi "Aaaahh...sehat dari mana ?" kesalnya
Bidan Rosi masih tetap menegaskan kalau itu adalah anaknya dan sehat, sementara Ibu hanya menangis sambil menggendongku. suasana mencekam menjelang pagi itu membuat aku semakin syok dan menangis
Dengan wajah yang muram Ayah pergi ke dapur lalu kembali membawa parang, dia berniat untuk menghabisi hidupku saat itu juga.
Rupanya Ayah tetap saja menolak kehadiranku, pikirannya sudah gelap tertutup ilmu hitam yang selama ini dia pelajari dan percayai
"Dia sudah terkena kutukan, dia harus mati !" ucapnya sambil mulai mengayunkan parang ke arahku
Tapi Bidan Rosi sangat berani menghalau tangan Ayah yang siap menebas ku
"Jangan Pak!!!" tahannya
Dan karena saking tenanga Ayahku lebih kuat darinya, akhirnya tangan kiri Bidan Rosi terluka oleh parang itu
Lukanya cukup dalam dan panjang, darah ditangannya pun bercucuran deras jatuh dilantai tanah yang lembab.
Seketika saja suasana semakin keos.
Tapi saat Ayah menyadarinya, dia malah bersikap ketakutan saat melihat kejadian berdarah itu, Ayah juga malah panik lalu dengan cepat membuang parang yang sejak tadi dia genggam.
Bidan Rosi marah sekali pada Ayah tanpa takut sedikit pun, dia membentak-bentak Ayah
"Bapak sudah gila ya !" ucapnya Bidan Rosi
"Saya bisa laporkan Bapak ke Polisi kalau begini cara Bapak!" tambah Bidan Rosi
Sementara tangisan Ibu dan aku semakin pecah mengiringi suara hujan yang masih terus turun sangat deras
Mendengar ucapan Bidan Rosi, Ayah semakin kalang kabut gak tahu harus berbuat apa karena dia bingung akan melakukan apa lagi.
Karena pikiran Ayah sudah buntu dan gelap, akhirnya Ayah memutuskan untuk kabur saja, bahkan sebelum dia pergi Ayah masih saja sempat mengucapkan kata kasar untukku
"Dasar anak terkutuk, anak setan, anak iblis..anak terkutuk...terkutuk !" ucapnya kemudian berlari keluar rumah seperti orang kerasukan sambil berteriak ketakutan
"Anak iblisss...anaakk..terkutuk...anak pembawa sial !" ucapnya sangat keras sampai suaranya mengudara dibawah dinginnya air hujan
Dia pergi begitu saja meninggalkan anak dan istrinya yang harusnya dipertanggungjawabkan olehnya.
Tapi Ayah lebih memilih pergi membawa mentalnya yang sakit.
Bidan Rosi hanya bisa berdiri melihat Ayah berjalan cepat-cepat seperti orang dalam gangguan jiwa .
Sambil menutup luka ditangannya dengan tangan kanannya, hatinya terenyuk melihat sikap Ayah.
Tanpa dia sadari air matanya sudah membasahi pipinya.
Bidan Rosi hanya bisa bergumam
"Astagfirullahaladzim !"
Langit masih terang kira-kira jam satu siang, seorang gadis kecil yang masih berpakaian seragam putih merah dan membawa tas sekolahnya berlari cepat-cepat ke arah pohon rindang berdaun banyak. Tubuhnya yang mungil itu bersembunyi dibalik badan pohon yang besar dan tua. Dia gemetar ketakutan, kedua matanya merah dan berair selalu awas pada serangan batu kerikil yang menghantam tubuhnya. Meski begitu dia sudah gak peduli dengan air mata yang berderai dipipinya, bagai sudah terbiasa menangis dalam cerita harinya.
Siang-siang bolong dijalan menuju pulang ke rumahnya, di jalan tanah yang masih banyak ditumbuhi berbagai macam pepohonan liar selalu menjadi saksi bisu atas segala perundungan gadis kecil itu
Dia selalu diserang oleh beberapa teman sekolahnya, tubuhnya yang penuh dengan totol-totol hitam adalah pemicu utama kebencian mereka. Karena di desa tempat gadis itu tinggal sudah tersebar luas cerita palsu ditelinga para warga kalau si gadis kurus berambut hitam sebahu berkulit coklat itu adalah anak hasil dari kutukan sesembahan Ayahnya yang sekarang pergi entah dimana keberadaannya.
Jujur, gadis itu memang gak tahu siapa saja yang gak percaya dengan rumor itu, tapi yang dia rasakan adalah, semua warga begitu mencibirnya seolah tak satupun ada yang membelanya.
Gadis malang itu adalah aku.
Ya, aku. Andhira
Yang artinya kuat dan berani. Ibu bilang padaku, Ibu Bidan lah yang memberikan nama itu padaku. Tapi sekarang Bu Bidan Rosi sudah pindah rumah entah pindah kemana, Ibu gak pernah mau tahu juga dan gak pernah peduli.
Lemparan kerikil mendarat ditubuhku berkali-kali meski gak membuat tubuhku terluka tapi lemparan itu cukup membuat hatiku hancur.
Tiga orang gadis melempari kerikil ke arahku, mereka teman sekolahku, satu diantara mereka adalah teman sekelasku. Dia adalah ketua genk dari tiga orang anak itu. Mereka terlahir dengan kulit yang normal tapi sayangnya otak mereka telah teracuni oleh orang tuanya untuk mengasingkan diriku
Mereka tertawa melihatku ketakutan, tubuhku gemetar, mereka gak peduli aku menangis. Sementara aku hanya mengintip dari balik badan pohon
"Heh, Terkutuk. Keluar kamu !" ujar Nanik. Dia ketua genk yang merasa paripurna dari siapa pun terlebih dariku
Ujarannya disambut gelak tawa dua dayangnya
"Hahahahaha!"
Tapi aku masih diam membisu sambil mengingtip ketakutan
Nanik melangkah perlahan ke arah pohon.
Melihatnya aku semakin was-was dan aku gak tahu harus melawannya atau gak.
Nanik berdiri tepat didepanku lalu dia menertawaiku
"Hahaha. Eh, lihat deh. Dia nangis. Hahaha !" ucapnya sambil menunjuk wajahku lalu memperlihatkan pada dua anggotanya.
Dua anak yang gak aku kenal namanya itu akhirnya ikut mendekat dan langsung menertawaiku juga
Mereka tertawa sambil menunjuk wajahku "Hahaha. Kasihan ya, hidupnya menderita" ejeknya
Aku diam saja, hanya mampu menatap mata mereka dalam-dalam
Nanik menoyol kepalaku "Ngapain sih kamu harus jadi teman sekelasku" ucapnya
Tapi aku diam saja.
Aku takut pada mereka.
Akhirnya karena aku udah gak sanggup bertahan dari ejekan mereka maka aku putuskan untuk melarikan diri saja dari hadapan mereka. Aku berlari sangat kencang sampai-sampai sempat jatuh tersungkur dihadapan mereka, melihat aku berlari terbirit-birit gelak tawa mereka kembali terdengar jelas, mereka merasa mendapatkan hiburan segar ditengah hari yang panas
Bahkan disepanjang perjalanan melewati rumah warga pun aku masih tetap berlari saking merasa kalau semua orang akan melawanku.
Akhirnya aku sudah sampai di rumah. Gubuk yang berada di tengah sawah yang dibangun oleh Ayahku sendiri tapi aku gak pernah melihat wajahnya sejak aku dilahirkan tapi Ibu gak pernah bercerita tentang Ayah, hanya saja kalau Ibu sedang marah padaku, Ibu sering berkata
"Seharusnya kamu sudah mati dibunuh Ayahmu sejak lahir!".
Sungguh perkataan yang menyayat hatiku
Setelah mengganti pakaian sekolah, aku menemui Ibu yang tengah memasak ubi di belakang gubuk, gak ada ruang dapur hanya ada tungku kayu dengan pemandangan sawah membentang luas, dari kejauhan mata memandang masih ada juga gubuk lain tapi gubuk itu hanya singgahan bagi pemiliknya saja bukan tempat menetap seperti gubuk aku dan Ibu. Apa lagi di gubuk ini gak ada listrik
Ibu menolehku "Sudah pulang Dhi " ucapnya datar
"Iya bu" sahutku
Lantas aku langsung menyiapkan piring plastik untuk makan siang. Menu hari ini ikan bakar yang Ibu tangkap dari sungai dan ubi rebus.
Siang ini kami langsung makan di belakang gubuk dengan pemandangan sawah yang hijau dan langit yang biru, angin yang bertiup sepoi-sepoi seolah membuat hatiku kembali tenang
Ibu memberikanku ubi rebus dan ikan bakar hasil tangkapannya "Makan" suruhnya
Aku menerimanya lalu memakannya tanpa jawaban
Tapi Ibu masih mau bicara padaku "Ibu mau menikah lagi, nanti kamu punya saudara tiri" ucapnya
Aku yang mendengarnya gak begitu paham apa maksudnya, aku hanya mendengarkannya masih sambil makan
"Sebentar lagi kita gak akan tinggal di gubuk ini lagi, kita akan pindah di rumah Ayah barumu. Di desa dekat kota yang jauh dari sini" ucapnya lagi
"Kita mau pindah Bu ?" tanyaku lagi.
Hanya itu bagian kalimat yang menarik fokusku
Ibu mengangguk "Iya kita akan pindah dari gubuk terkutuk ini. Ibu sudah lelah. Ibu sudah gak mau lagi mengingat semua yang terjadi di gubuk ini" ucapnya
Aku mengangguk meskipun gak begitu paham maksud Ibu.
"Bu"
Ibu menyahut dengan suara datar "Iya"
"Apa di sana banyak orang jahat Bu ?" tanyaku
Ibu diam gak bergeming, dia hanya terus memakan ubi yang ada didalam piringnya dengan cuilan jarinya
Tapi aku tetap melontarkan pertanyaan dengan harapan yang sangat tinggi
"Apa aku akan pindah sekolah Bu?" tanyaku lagi
Tapi Ibu justru mematahkan pertanyaanku yang sebenarnya itu adalah harapan berharga bagiku
"Sudah lah, lebih baik kamu habiskan saja makananmu !" potong Ibu
Tapi aku masih bertanya "Apa disana ada anak baik yang mau berteman denganku Bu ?" tanyaku lagi
Tapi kali ini Ibu membentakku "Diam !" kesalnya
Aku kaget mendengar suara kerasnya lalu menatap Ibu dalam-dalam, aku yakin Ibu tahu perasaanku dan aku yakin dia juga menyadari kedua mataku yang sudah membendung air mata yang sebentar lagi akan tumpah ruah dipipiku.
"Jangan menatap Ibu seperti itu, segera habiskan makananmu. Setelahnya cuci piring lalu segera tidur siang" ucapnya sambil meninggalkanku.
Sebenarnya makanan Ibu belum habisdia makan bahkan masih terlihat utuh tapi dia akan pergi meninggalkanku
"Ibu mau pergi dulu dan akan kembali nanti sore" pamitnya
"Ibu mau pergi ke mana ?" tanyaku yang masih duduk memangku piring
"Ibu mau kerja, mau cari uang supaya kamu tetap bisa sekolah" ucapnya
Sambil dia bersiap-siap beranjak pergi aku malah menahan langkahnya dengan permintaanku
"Bu, apa bisa aku gak ke sekolah lagi ?" pintaku
Ibu menolehku "Apa yang kamu bilang barusan ?"
Kembali aku pertegas "Aku gak mau sekolah lagi Bu. Aku mau berhenti" ucapku
"Kenapa ?" tanya Ibu
Aku diam dan sulit mengatakan perasaanku pada Ibu
"Kamu mau jadi orang bodoh kah ?" tanya Ibu
Tapi aku masih diam menunduk ke arah piring plastik yang aku letakkan diatas pahaku
"Kamu pikir, sekolah itu gak penting !" ujar Ibu
Akhirnya aku angkat bicara
"Aku takut sekolah karena mereka semua jahat padaku" jawabku dengan suara berat menahan air mata
Ibu tersenyum miring menatapku "Lihat dirimu Dhira, apa kamu terlihat normal atau sekarang kamu sudah buta ?" tanyanya
Kemudian Ibu pergi entah kemana meninggalkan aku sendirian tanpa seorang kawan hingga malam pun tiba.
Aku menoleh jam dinding yang sudah kusam yang sengaja dipasang di ruang depan, ia seolah menunjukkan kepadaku kalau malam sudah sampai dititik jam sembilan.
Aku sempat keluar menanti Ibu di halaman gubuk, menatap jalan berharap dari jauh sosoknya terlihat.
Tapi sayangnya Ibu belum juga kembali.
Langit tampak muram berawan tebal seperti akan segera turun hujan, paduan suara jangkrik yang berderik bersama, belum lagi suara katak sawah yang saling bersahut-sahutan seraya terus memanggil hujan, angin semilir yang menembus dinding gubuk dengan penerangan yang seadanya hanya memakai lampu semprong menambah suramnya malam bagiku
Malam ini aku tetap menunggu Ibu di ruang depan, biasanya kalau sudah jam segini aku dan Ibu sudah tidur bersama di kamar.
Tapi kali ini aku hanya sendirian merebahkan tubuhku sambil terus menatap pintu berharap Ibu masuk karena memang pintu gak pernah dikunci
Tapi
Ibu gak kunjung datang
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat celah bilik bambu seolah memberi alarm padaku sudah saatnya aku bergegas ke sekolah, pelan-pelan aku membuka kelopak mata yang masih berat, rasa malas dan ngantuk yang masih tersisa seolah menahanku untuk kembali tidur saja
Aku belum beranjak bangun tapi kemudian melihat sisi bahuku yang rupanya Ibu benar-benar gak ada disampingku
Aku menghela nafas dalam-dalam lalu beranjak bangun untuk mandi. Tapi saat aku bergegas mandi rupanya Ibu ada di belakang gubuk yang kami sebut, dapur. Ia sedang membakar tempe untuk makan pagi seperti biasanya
Aku melihatnya duduk membelakangiku, dia sedang berhadapan dengan tungku tanah liat buatannya sendiri
"Ibu kapan pulangnya, aku kok gak tau ?" tanyaku seraya berbicara kepada punggungnya
Tanpa menolehku Ibu menyahut datar "Ibu pulang tengah malam, lebih baik kamu siap-siap untuk berangkat ke sekolah" jawabnya
Tanpa menjawabnya aku langsung mandi dan mengganti pakaianku dengan seragam yang sebenarnya harus terpaksa aku pakai lagi. Kalau bisa aku gak perlu ke sekolah lagi karena di sana aku hanya jadi bahan tertawaan para temanku.
Setelah lengkap dengan tas berisikan satu buku tulis dan pensil, Ibu memberikan aku nasi putih dan sepotong kecil tempe bakar.
"Ini makan " perintahnya lalu meletakkannya dihadapanku yang sudah duduk bersila
Aku meraih piring plastik yang sudah berisikan sarapan yang selalu itu saja setiap pagi lalu memakannya dengan lahap meskipun nasi yang aku makan sangat kering.
"Habiskan" ujar Ibu
Aku mengangguk "Iya Bu" jawabku
Setelah pamit dari Ibu untuk pergi ke sekolah akhirnya aku kembali berjalan mengitari pesawahan, berjalan pelan-pelan setapak demi setapak menghindari cangkang keong mas yang sudah kering dan rapuh, karena alas sepatuku sudah menipis
Biasanya para petani disini memang sengaja pecahkan keong mas di tepi sawah karena dianggap sebagai hama padi mereka.
Akhirnya aku sampai di jalan yang biasa dilalui kendaraan, jalan yang aspalnya sudah rusak berlubang penuh dengan kerikil seolah memanggilku untuk tetap pergi ke sekolah.
Tapi ditengah perjalanan tiba-tiba saja aku mengurungkan niat untuk kesana. Aku malah berbalik badan karena didalam pikiranku aku lebih tertarik untuk pergi ke sungai yang berada didalam hutan yang gak jauh dari jalan.
Meski tanpa direncanakan sebelumnya tapi aku terniat sekali untuk bermain air di sana meskipun tanpa kawan seorangpun.
Sungai disana memang gak sering ramai tapi gak sepi juga. Karena beberapa warga pun ada yang ke sana sekedar mencuci, mandi atau mengambil air bersih. Aku tau karena Ibu pernah mengajakku sekali ke sana dan pagi ini adalah kali pertama aku datang sendiri
Sebenarnya dari hati kecil aku yang paling dalam, aku agak sedikit ragu untuk pergi karena mungkin aja aku justru akan bertemu dengan orang-orang yang melontarkan perkataan kasar padaku
Tapi karena aku sudah merasa gak bersemangat untuk berangkat ke sekolah akhirnya aku putuskan untuk tetap pergi ke sungai.
Sesampainya di sana aku diperlihatkan pemandangan lima orang Ibu yang sedang mencuci, mereka saling bercerita, bergurau dan tertawa bersama. Suasana yang sangat ceria tapi tiba-tiba hening ketika mereka melihatku datang
Aku masih berada dipinggiran sungai, masih diam berdiri menghadap mereka. Aku takut untuk mendekat kepada mereka
Dan benar aja
Seorang Ibu tua mengusirku "Hush...sana...pergi..pergi !" usirnya, bagai mengusir binatang
Mendengarnya begitu aku malah mematung, berdiri menatap mereka. Mau pergi tapi rasa kaki seperti sudah terpaku
Seorang Ibu lainnya melempar batu kecil ke arahku meski gak sampai mengenaiku
"Pergi sana !"
Seorang lainnya menyiramkan air ke arahku meski gak mengenai
Dia juga mengusirku "Pergi..pergi !" ujarnya
Jantungku berdebar melihat sikap mereka, akhirnya aku berbalik badan dan bergegas melangkah pergi
Aku berlari dengan hatiku yang hancur
Tapi
Belum juga jauh dari sungai
Aku malah berhadapan dengan Ibu yang baru saja datang membawa jerigen lima liter yang sudah berubah kuning kecoklatan
Ibu kaget melihat keberadaanku, tapi aku lebih panik melihatnya tepat dihadapanku
Sontak aja Ibu marah padaku "Ngapain kamu ke sini ?" tanyanya.
Meski raut wajahnya gak seperti orang marah tapi nada ucapan dan raut wajah datarnya cukup membuat aku gemetar
Aku masih diam, bingung mau jawab apa dan hanya bisa menengok ke kanan ke kiri
"Kamu jawab !" tanyanya lagi
Aku masih diam belum sanggup menjawab
Dalam bersamaan seorang Ibu yang sudah selesai mencuci dengan membawa ember cuciannya berhenti dihadapan kami, sebelum dia pergi melewati kami dia masih sempat mencibir
"Bu, anaknya tuh diajarin bukannya sekolah malah lari ke sungai. Bikin sungai sial aja " cibirnya
Mendengarnya Ibu naik pitam lalu memarahi Ibu jahat itu dengan menunjuk-nunjuk wajahnya "Ibu jangan sembarang kalau ngomong ya !" kesalnya
Ibu jahat itu tertawa kecil "Saya mana sembarangan ngomong Bu, semua warga sini juga tahu kalau nih anak hasil kutukan setan!" ucapnya
Mendengarnya amarah Ibu makin meluap lalu menampar pipi Ibu jahat itu.
Plakkkk!
Ibu jahat langsung gak terima lalu berusaha memukul balik Ibu tapi gak kena karena Ibu cepat menangkisnya.
Karena mereka terdengar sangat rusuh akhirnya semua Ibu yang ada di sunga menghampiri kami lalu melawan Ibu dengan perkataan-perkataan kasar yang membuat Ibu semakin kalah
"Dasar janda miskin !"
"Anak sial !"
"Keluarga sial !"
"Anak hasil kutukan setan !"
Akhirnya dengan sakit hati dan kecewa Ibu menarik tanganku dengan paksa untuk pulang.
Sepanjang jalan Ibu memarahiku dengan perkataan kasar meski tangannya masih menuntun tanganku sambil melangkah dengan tergesa-gesa
"Kamu kalau di suruh sekolah harusnya kamu sekolah kenapa kamu malah ke sungai !" ucapnya masih terus menarik tanganku dan berjalan cepat-cepat
Lalu dia berhenti dan menatapku dalam-dalam, matanya merah berair terlihat jelas ia menahan air mata kecewanya supaya gak jatuh dihadapanku
Dia berhenti hanya untuk memarahiku dengan nada yang keras
"Kamu itu menyusahkan saya, kenapa kamu gak pernah nurut apa kata saya. Saya ini Ibu kandungmu yang melahirkanmu, yang membesarkanmu. Kenapa kamu gak sekolah. Hah ! jawab !"
Aku masih terpaku menatapnya
Tapi itu yang membuat Ibu semakin naik pitam lalu menampar pipiku
Plaakk!
Tamparan pertama kalinya mendarat dipipiku, tanpa sadar air mataku jatuh berhamburan
Tapi Ibu terlihat gak peduli dan masih terus memarahiku
"Seharusnya kamu mati saja sejak awal !" ketusnya lalu pergi meninggalkanku sendirian.
Meski begitu dari kejauhan aku masih melihat Ibu berjalan di depanku dan aku tetap mengikutinya pulang
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!