🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Kanaya Cempaka seorang gadis yang banyak sekali kekurangan. Wajahnya yang dipenuhi dengan jerawat, berminyak, dan hitam membuat semua orang memanggilnya dengan sebutan manusia Alien.
Rambut lepek dan kacamata tebal yang dipakainya menambah kejelekannya semakin sempurna.
Jonathan Dharsono seorang pria sempurna idaman para gadis. Jonathan sangat membenci Kanaya sehingga Jonathan selalu memperlakukan Kanaya dengan sangat kejam dan tidak berprikemanusiaan.
*
*
*
Pagi ini seperti biasa, Kanaya baru saja sampai di sekolah. Penampilan Kanaya selalu menjadi bahan candaan anak-anak yang lainnya.
Brugh....
Disaat Kanaya sedang berjalan, sebuah kaki sengaja direntangkan sehingga Kanaya tetsungkur ke lantai dan itu membuat semua anak-anak tertawa.
"Sepertinya kacamatanya kurang tebal, coba sini aku lihat," seru Jonathan dengan mengambil paksa kacamata Kanaya.
"Kak Jo, tolong kembalikan kacamataku," rengek Kanaya.
Kanaya pun kemudian berdiri dan mencoba meraba-raba ke sembarang arah. Kanaya memang kurang jelas melihat kalau tidak memakai kacamata.
Kanaya terus saja mencari keberadaan Jo, dalam penglihatannya yang tampak remang-remang Kanaya bisa melihat semua orang menertawakannya, begitu pun dengan Jonathan yang terlihat sangat puas sudah membuat Kanaya kesusahan.
"Ayo ambil, ini kacamatamu," ledek Jonathan.
"Kak Jo, aku mohon kembalikan kacamataku," lagi-lagi Kanaya merengek.
"Ya ampun, ada ya gadis yang wajahnya mirip Alien seperti kamu. Mana berminyak dan penuh dengan jerawat, sungguh sangat menjijikan," hina Jonathan.
"Mana ada laki-laki yang mau sama si buruk rupa ini, palingan dia bakalan menjadi perawan tua," sambung salah satu teman Jonathan.
Lagi-lagi semua anak-anak menertawakan Kanaya, Kanaya hanya bisa menundukkan kepalanya dengan deraian airmata.
Jonathan menghampiri Kanaya kemudian menarik rambut Kanaya yang dikepang dua itu.
"Rambutmu lepek sekali, apa kamu tidak mampu membeli sampo? astaga, sungguh aku jijik dekat-dekat denganmu mana bau lagi," seru Jonathan dengan menutup hidungnya.
Kanaya hanya bisa terdiam mendapatkan penghinaan yang menyakitkan itu dengan deraian airmata, hingga tiba-tiba seseorang mengambil kacamata Kanaya dari tangan Jonathan.
"Kenapa sih Kak Jo suka sekali menghina Kanaya? memangnya salah Kanaya apa sama Kak Jo?" bentak Gina.
Gina merupakan satu-satunya anak yang mau berteman dengan Kanaya.
"Kamu ingin tahu salah dia apa? salah dia cuma satu, dia selalu membuat mataku sakit saat melihat wajah dan penampilannya," sahut Jonathan.
Gina memberikan kacamatanya kepada Kanaya. "Yuk, Kanaya kita masuk kelas."
Jonathan hanya bisa tersenyum puas melihat Kanaya menangis seperti itu, Jo merasa sangat puas kalau dia sudah menghina Kanaya.
Setelah mengikuti pelajaran, akhirnya bel istirahat pun berbunyi.
"Kanaya, kita ke kantin yuk!" ajak Gina.
"Hmm...tidak ah, kamu saja biar aku menunggu disini saja," sahut Kanaya.
"Ayo kita makan, aku akan teraktir kamu."
Gina menarik tangan Kanaya sehingga mau tidak mau Kanaya harus mengikuti Gina ke kantin.
Sesampainya di kantin, semua mata anak-anak terlihat memandang tidak suka kepada Kanaya.
"Gin, aku kembali ke kelas saja ya. Aku ga enak, sepertinya teman-teman merasa terganggu dengan kedatanganku," seru Kanaya.
"Apaan sih, sudah kamu jangan lihatin mereka sekarang kamu duduk dulu disini, aku mau pesan makanannya dulu," seru Gina.
Gina pun melangkahkan kakinya meninggalkan Kanaya untuk memesan makanan, sedangkan Kanaya terlihat tidak enak hati karena semua teman-temannya menatapnya dengan tatapan jijik. Bahkan, teman-temannya yang awalnya duduk didekat meja Kanaya, perlahan satu persatu pindah dengan menutup hidung mereka.
Byuuurrrr....
Tiba-tiba kepala Kanaya diguyur oleh air membuat Kanaya terkejut.
"Ngapain kamu kesini? kamu tidak lihat semua orang terganggu dengan kehadiranmu, selera makan kami jadi hilang dengan melihat wajah kamu yang menjijikan itu!" bentak Jonathan.
Kanya menangis dan langsung berlari meninggalkan kantin. Sementara itu, Gina yang baru saja sampai dengan membawa dua mangkok bakso merasa heran karena Kanaya sudah tidak ada bahkan sekarang mejanya sudah ditempati oleh Jonathan dan teman-temannya.
"Loh, Kanaya kemana?" tanya Gina.
Jonathan dengan santainya hanya mengangkat bahunya sembari tersenyum, Gina menyimpan mangkok bakso itu dan langsung pergi mencari keberadaan Kanaya.
Sementara itu Kanaya mengunci dirinya didalam toilet, kemudian Kanaya melihat pantulan wajahnya di cermin yang tertempel didinding toilet.
"Wajahku memang jelek, terus memangnya kenapa? apa aku merugikan mereka? apa wajah aku membuat mereka mendapatkan masalah? kenapa mereka selalu menghina dan merendahkanku?" gumam Kanaya dengan deraian airmatanya.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Kanaya pun mencuci wajahnya dan keluar sari toilet. Kanaya melangkahkan kakinya menuju kelas.
"Ya ampun Kanaya, kamu darimana saja? aku dari tadi mencari-cari kamu," seru Gina.
"Aku dari toilet, Gin."
"Kamu habis nangis ya?" tanya Gina.
"Ah...tidak kok, aku tadi cuma kelilipan ada binatang kecil yang masuk ke dalam mataku," dusta Kanaya.
Kanaya dan Gina pun akhirnya mengikuti pelajaran, hingga akhirnya waktu pulang pun tiba. Kanaya terlihat berjalan sendirian karena Gina harus pulang duluan.
Tiba-tiba Jonathan dan teman-temannya mengambil paksa tas yang menempel dibahu Kanaya dan membawanya lari ke taman sekolah.
"Kak Jo, kembalikan tas aku!" teriak Kanaya.
Tas Kanaya dilempar kesana kemari membuat Kanaya kesulitan mengambil tasnya.
"Ayo ambil kalau bisa," seru Jonathan dengan wajah tengilnya.
Kanaya sudah menyerah, nafasnya pun sudah ngos-ngosan.
"Kak Jo, aku mohon kembalikan tas aku," rengek Kanaya.
Jonathan tersenyum menyeringai, Jonathan pun dengan teganya langsung melempar tas Kanaya ke dalam danau buatan yang ada di taman sekolah.
Kanaya membelalakkan matanya, sedangkan Jonathan dan teman-temannya tertawa dengan penuh kemenangan.
Kanaya menatap tajam ke arah Jonathan dan dengan cepat menceburkan diri ke dalam danau buatan itu untuk mengambil tasnya. Jonathan dan teman-temannya tampak terkejut, mereka tidak menyangka kalau Kanaya akan mengambil tasnya dengan menceburkan dirinya ke danau.
Cukup lama Kanaya berusaha mengambil tasnya karena Jonathan melemparnya sampai ke tengah danau.
Setelah berhasil menjangkau tasnya, Kanaya langsung naik dan menghampiri Jonathan. Kanaya menatap tajam ke arah Jonathan, tatapan yang penuh dengan kebencian.
"Sampai mati pun aku akan mengingat apa yang sudah kalian lakukan kepadaku, dan aku berdo'a semoga kalian semua mendapatkan karma atas semua yang telah kamu dan teman-teman kamu lakukan," seru Kanaya.
Setelah mengucapkan itu, Kanaya segera berlari meninggalkan Jonathan dan teman-temannya. Sedangkan Jonathan tampak mengepalkan kedua tangannya.
"Awas kamu Kanaya, berani sekali kamu mendo'akan aku supaya mendapatkan karma. Lihat saja aku akan melakukan hal yang lebih menyakitkan daripada ini," gumam Jonathan dengan mengeraskan rahangnya.
Jonathan menatap kepergian Kanaya dengan penuh kebencian, entah apa yang ada di otak Jonathan. Kanaya tidak pernah melakukan kesalahan kepada Jonathan tapi Jonathan begitu sangat membenci Kanaya.
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Hallo semuanya ketemu lagi dengan Author receh, mohon dukungannya ya karena novel ini ikutan lomba. Buat yang tidak suka dengan karyaku skip saja ya jangan dibaca dan jangan meninggalkan komentar yang macam-macam🙏🙏
Jangan lupa
like
gift
vote n
komen
TERIMA KASIH
LOVE YOU
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Kanaya sampai di rumah dengan seragam yang basah kuyup.
“Ya Alloh Aya, kamu kenapa? Basah kuyup seperti itu?” tanya Ibu Ajeng khawatir.
“Tidak apa-apa Bu, tadi Aya jalannya tidak hati-hati mangkanya Aya jadi terjatuh ke danau,” dustanya.
Kanaya tidak pernah memberitahukan kepada ledua orang tuanya kalau selama ini ia selalu mendapatkan bullyan dan hinaan di sekolahnya karena Kanaya tidak mau sampai kedua orang tuanya sedih dan khawatir.
“Kalau begitu, Aya mandi dulu Bu sekaligus mau mencuci seragam mumpung panas biar besok bisa dipakai,” seru Kanaya.
Kanaya pun langsung menuju kamar mandi sederhana miliknya, kamar mandi yang masih memakai sumur dan Kanaya harus mengumpulkan air terlebih dahulu untuk mandi dan mencuci.
Ibu Ajeng hanya bisa menatap prihatin kepada anak satu-satunya itu. Kanaya hanya mempunyai satu seragam dan satu sepatu, itu pun sudah terlihat sangat lusuh dan tak layak pakai.
Setelah selesai mandi dan mencuci seragam, Kanaya segera menjemurnya. Kanaya mengambil tasnya, untung saja tas Kanaya terbuat dari bahan canvas dan Kanaya dengan cekatan langsung mengambil tasnya jadi buku-bukunya masih aman tidak ada yang basah.
“Aya!” panggil Ibu Ajeng.
“Iya Bu.”
“Tolong kamu antarkan makan siang ini untuk Ayahmu.”
“Baik Bu.”
Kanaya langsung meraih rantang berisi nasi dan lauk pauk yang seadanya. Kemudian Kanaya berjalan kaki menuju kebun dimana Ayahnya bekerja.
Ayah Kanaya bekerja di kebun milik Juragan Wasta, orang paling terpandang di kampungnya. Juragan Wasta walaupun orang kaya tapi ia dan keluarganya tidak sombong, justru mereka sering sekali membantu keluarga Kanaya.
“Pak Sodikin itu anakmu sudah datang, ayo makan dulu pekerjaannya dilanjut lagi nanti,” seru Juragan Wasta.
“Iya Juragan, kalau begitu saya izin istirahat dulu.”
“Silakan Pak.”
Pak Sodikin pun menghampiri Kanaya dan mereka berdua akhirnya melahap makan siang yang sederhana itu bersama-sama.
***
Keesokkan harinya...
Kanaya berjalan dengan santainya memasuki area sekolah, baru saja Kanaya memasuki gerbang sekolah semua anak-anak sudah menyambutnya dengan melempari tomat busuk ke arah Kanaya membuat Kanaya terkejut.
“Keluar kamu manusia Alien dari sekolahan ini, kami tidak mau sampai tertular penyakit yang menjijikan dari kamu!” teriak salah satu siswi.
“Iya, pokoknya si manusia Alien itu harus keluar dari sekolahan ini,” sambung siswi yang lainnya.
Kanaya menutup wajahnya dengan tasnya, sehingga akhirnya Gina pun datang dan langsung menghampiri Kanaya.
“Kalian sungguh keterlaluan, siapa yang sudah menulis fitnah itu di Mading? Semua itu tidak benar!” teriak Gina.
“Hei Gina, jangan jadi pahlawan kesiangan. Kenapa kamu bisa bilang kalau itu fitnah? Memangnya kamu bisa menjamin kalau Kanaya tidak mempunyai penyakit menular itu?” seru Jonathan.
“Kalau Kanaya punya penyakit menular, kita semua sudah tertular sejak lama tapi nyatanya kita semua baik-baik saja,” sahut Gina.
“Ya jelaslah kita semua baik-baik saja karena selama ini tidak ada yang dekat-dekat dengan manusia Alien itu, hanya kamu yang mau dekat-dekat dengannya. Lihatlah penampilan si manusia Alien itu, selama ini hanya dia satu-satunya siswi yang memakai seragam serba panjang, itu tandanya dia malu karena seluruh tubuhnya terdapat penyakit yang sangat menjijikan,” seru Jonathan dengan kejamnya.
Airmata Kanaya mengalir dengan derasnya, kali ini Jonathan sudah sangat keterlaluan menyebarkan fitnah yang sangat kejam.
Kanaya pun akhirnya berlari menuju toilet, ia harus membersihkan wajah dan seragamnya yang kotor terkena lemparan tomat busuk.
Setelah lumayan sedikit bersih, akhirnya Kanaya pun keluar dari dalam toilet. Kanaya sangat terkejut saat melihat Gina yang sudah berdiri di depan pintu menunggu Kanaya.
“Gina...”
“Kita ke kelas sama-sama,” seru Gina dengan senyumannya.
Kanaya pun membalas dengan senyuman, tapi baru saja beberapa langkah suara Ibu Lilis menghentikan langkah keduanya.
“Kanaya, bisa ikut Ibu ke kantor sebentar,” seru Ibu Lilis.
“Iya Bu.”
Kanaya pun mengikuti langkah Bu Lilis yang merupakan kepala sekolah itu. Kanaya masuk ke dalam ruangan Bu Lilis sedangkan Gina masuk ke dalam kelasnya.
“Silakan duduk, Kanaya.”
“Terima kasih, Bu.”
“Begini Kanaya, apa kamu sudah membaca gosip yang tertempel di Mading?”
Kanaya menggelengkan kepalanya, Ibu Lilis menyerahkan selembaran kertas dan Kanaya dengan cepat membacanya.
“Kanaya, Ibu tahu itu fitnah karena Ibu percaya kalau kamu tidak punya penyakit menular. Ibu bicara seperti ini karena kalau seandainya kamu mempunyai penyakit menular mungkin dari dulu anak-anak disini sudah tertular tapi pada kenyataannya sekolah kita selama ini baik-baik saja,” seru Ibu Lilis.
Kanaya hanya bisa menundukkan kepalanya dengan airmata yang terus berjatuhan dari kedua matanya.
“Ya Alloh, siapa yang sudah menyebarkan fitnah seperti ini, Bu?”
“Ibu juga tidak tahu, tapi Ibu akan mencari tahu siapa yang sudah membuat fitnah ini. Kamu tahu, efek dari semua ini semua orang tua murid menghubungi Ibu dan meminta sekolah untuk mengeluarkan kamu.”
“Apa? Bu, Kanaya mohon jangan keluarkan Kanaya. Beberapa bulan lagi ujian, Kanaya ingin mengikuti ujian dan mendapatkan ijazah,” rengek Kanaya dengan deraian airmata.
“Kanaya, Ibu juga tidak mau mengeluarkan kamu dari sekolahan ini karena kamu adalah anak yang pintar, tapi Ibu juga bingung kalau Ibu tidak mengeluarkan kamu, semua orang tua murid mengancam akan berdemo ke sekolah,” sahut Ibu Lilis dengan tatapan sendunya.
Lagi-lagi Kanaya hanya bisa menundukan kepalanya dengan deraian airmata.
“Kanaya ingin ikut ujian, Bu,” lirih Kanaya.
Ibu Lilis menatap Kanaya dengan tatapan prihatin.
“Kanaya begini saja, Ibu akan menyuruh Bu Marni selaku wali kelas kamu untuk datang ke rumahmu untuk memberikan materi-materi sampai ujian sekolah tiba dan Ibu pastikan kamu akan ikut ujian dan mendapatkan ijazah kamu.”
Setelah Ibu Lilis berbicara panjang lebar, akhirnya Kanaya pun meninggalkan ruangan itu dengan langkah gontai.
Kanaya melangkahkan kakinya menuju kelas, sesampainya di kelas semua orang menjauhi Kanaya kecuali Gina.
“Ada apa Kanaya? Bu Lilis bilang apa?” tanya Gina.
“Aku dikeluarkan dari sekolahan ini, Gin.”
“Apa? Ini tidak bisa dibiarkan, aku akan bicara dengan Ibu Lilis.”
Gina hendak melangkahkan kakinya tapi dengan cepat Kanaya menahannya.
“Jangan Gin, aku tidak apa-apa Kok.”
“Tidak apa-apa bagaimana? Hanya tinggal beberapa bulan lagi kita ujian, sayang kalau kamu sampai dikeluarkan dari sekolah,” kesal Gina.
Kanaya menghampiri Gina dan membisikkan sesuatu membuat Gina yang awalnya terlihat emosi perlahan mengembangkan senyumannya.
“Oh begitu, ya sudah nanti sepulang sekolah aku akan datang ke rumah kamu untuk belajar bersama.”
“Iya, terima kasih ya Gin karena kamu adalah teman terbaikku, kalau begitu aku pamit.”
Kanaya pun mengambil tasnya dan mulai meninggalkan kelas, sedangkan semua anak-anak terlihat bersorak-sorai karena si manusia Alien sudah tidak ada lagi.
“Kanaya!”
“Bu Marni.”
“Ibu sudah mendapatkan perintah dari Ibu kepala sekolah, nanti Ibu akan datang ke rumah kamu untuk membantu kamu belajar.”
“Iya Bu, terima kasih.”
“Tetap semangat ya Kanaya, jangan menyerah kamu adalah anak yang pintar dan Ibu yakin ke depannya kamu akan menjadi orang yang sukses.”
“Amin, terima kasih Bu. Kalau begitu Kanaya pamit.”
Kanaya pun mencium punggung tangan Ibu Marni yang merupakan wali kelasnya. Kanaya kembali melanjutkan langkahnya, disaat Kanaya melewati kelas Jonathan, Kanaya terhenti dan menoleh ke dalam kelas.
“Hahaha...akhirnya si manusia Alien pergi juga, selamat tinggal manusia Alien!” teriak Jonathan dengan melambaikan tangannya.
Kanaya menatap penuh kebencian kepada Jonatahan, Kanaya benar-benar benci dan muak kepada Jonathan.
“Semoga saja aku tidak akan pernah bertemu dengan orang seperti kamu lagi, Jonathan,” batin Kanaya.
Kanaya pun segera meninggalkan sekolah itu, sekolah yang selama ini sudah memberinya banyak kenangan terutama kenangan menyakitkan karena selama sekolah disana, Kanaya tidak pernah diperlakukan layaknya seperti manusia.
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Jangan lupa
like
gift
vote n
komen
TERIMA KASIH
LOVE YOU
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya Kanaya saat rumahnya sudah hancur berantakan dilempari batu. Sementara itu Ayah dan Ibu Kanaya saling berpelukkan, bahkan Ibu Kanaya sudah menangis dipelukkan Ayah Sodikin.
“Ada apa ini?” tanya Kanaya.
“Nah, ini dia anaknya,” seru salah satu warga.
“Ternyata selama ini Pak Sodikin dan Ibu Ajeng sudah menyembunyikannya dari kami semua, kenapa kalian tidak bilang kalau anak kalian mempunyai penyakit yang menular? Apa kalian ingin membuat satu kampung ini tertular penyakit Kanaya?” sambung warga yang lainnya.
“Ibu-ibu dan Bapak-bapak semuanya, maaf saya tidak mempunyai penyakit menular, itu semua hanya fitnah,” sahut Kanaya.
“Alah, mana mungkin kamu ngaku bahkan kami dengar kalau kamu sudah dikeluarkan dari sekolah.”
Ayah dan Ibu Kanaya menatap Kanaya dengan tatapan terkejut.
“Kamu dikeluarkan dari sekolah, Nak?” tanya Ayah Sodikin.
Kanaya hanya bisa menundukkan kepalanya, lagi-lagi airmatanya kembali menetes.
“Ya Alloh, siapa yang sudah menyebarkan fitnah seperti ini,” seru Ibu Ajeng.
“Pokoknya kalian harus pergi dari kampung ini, kami tidak mau sampai tertular dengan penyakit Kanaya,” seru salah satu warga.
Mereka kembali melempari rumah Kanaya dengan batu membuat tangisan Kanaya dan Ibu Ajeng semakin pecah.
“Berhanti, apa yang sudah kalian lakukan?” seru Juragan Wasta.
“Juragan, Kanaya mempunyai penyakit menular kami tidak mau tertular dengan penyakit Kanaya, maka dari itu kami ingin Kanaya dan keluarganya pergi dari kampung ini,” sahut salah satu warga.
“Pak Sodikin, kemasi barang-barang kalian biar Pak Sodikin dan sekeluarga tinggal di bedeng saya,” seru Juragan Wasta.
“Baik Juragan.”
Pak Sodikin pun segera berkemas, setelah semuanya dikemas Juragan Wasta pun membawa Kanaya dan kedua orang tuanya pergi dari sana.
Selama dalam perjalanan semuanya tampak hening.
“Jangan khawatir, ada bedeng yang bisa kalian tempati,” seru Juragan Wasta.
“Maaf Juragan kami sudah menyusahkan Juragan, kami janji setelah kami punya uang kami akan mencari kontrakan,” sahut Pak Sodikin.
“Tidak usah dipikirkan, lagipula bukannya Kanaya beberapa bulan lagi ujian soalnya Kanaya sepantar dengan anak saya yang sekarang sekolah di kota.”
“Iya, tapi Kanaya sudah dikeluarkan dari sekolah, Juragan,” sahut Ibu Ajeng.
“Apa? Sebenarnya siapa yang sudah menyebarkan fitnah keji ini? Orang itu sangat keterlaluan,” kesal Juragan Wasta.
“Ibu dan Ayah jangan khawatir karena Bu Marni akan datang ke rumah untuk mengajarkan Kanaya dan Kanaya juga masih bisa ikut ujian walaupun sudah tidak sekolah lagi,” sahut Kanaya.
“Alhamdulillah kalau begitu,” seru Ayah Sodikin.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai di kawasan perkebunan dan Juragan Wasta mengantarkan keluarga Kanaya ke sebuah bedeng kosong.
“Nah, Pak Sodikin kalian bisa tinggal disini. Tinggalah sampai kapan pun, daripada harus ngontrak lebih baik uangnya kalian tabung untuk kebutuhan Kanaya,” seru Juragan Wasta.
“Sekali lagi terima kasih banyak Juragan, kami tidak bisa membalas semua kebaikan Juragan tapi Alloh yang akan membalasnya berkali-kali lipat.”
“Amin, ya sudah kalau begitu saya pamit semoga kalian betah tinggal disini.”
Juragan Wasta pun meninggalkan Pak Sodikin dan keluarga, lalu ketiganya masuk ke dalam bedeng.
“Maafkan Aya, Bu, Yah, gara-gara Aya kita semua menjadi seperti ini.”
“Tidak Nak, ini semua bukan salah kamu tapi Ibu tidak habis pikir siapa yang sudah memfitnah kamu seperti itu? Padahal setahu Ibu kamu tidak mempunyai musuh.”
“Aya juga tidak tahu Bu “
“Ya sudah, lebih baik sekarang Ibu dan Aya istirahat saja soalnya Ayah mau ke kebun dulu.”
Ayah Sodikin pun pergi ke kebun, sedangkan Kanaya segera masuk ke dalam kamarnya. Kanaya duduk termenung di ujung ranjang, otaknya dipenuhi dengan wajah Jonathan, entah kenapa Kanaya berpikir kalau semua ini perbuatan Jonathan.
“Sampai kapan pun aku akan membencimu dan aku berharap tidak akan pernah bertemu dengan orang sepertimu lagi, Jonathan,” batin Kanaya dengan mengepalkan tangannya.
***
Keesokkan harinya...
Kanaya mulai menjalani aktifitasnya, karena Kanaya sudah tidak sekolah, Kanaya akhirnya ikut kepada Ayahnya untuk membantu pekerjaan Ayahnya di kebun.
Kanaya tidak pernah mengeluh, justru dia semakin semangat menjalani hidupnya. Bu Marni setiap hari datang ke rumah Kanaya untuk memberikan materi-materi pelajaran.
Disisi lain, semenjak Kanaya keluar dari sekolah Jonathan merasa kesepian karena tidak ada lagi orang yang dia bully dan hina.
“Ya ampun, kenapa aku jadi memikirkan si manusia Alien itu? Ah, ternyata sepi juga ga ada si manusia Alien, ga ada yang bisa aku kerjain,” batin Jonathan.
Waktu pun berjalan dengan sangat cepat, setelah berbulan-bulan belajar di rumah saatnya ujian nasional pun tiba. Kanaya mengerjakan ujian di ruangan guru tanpa sepengetahuan siswa-siswa yang lainnya.
Kanaya mengerjakan ujian dengan fokus dan serius, hingga waktu ujian pun selesai dan Kanaya bisa bernafas lega.
“Aya, bagaimana dengan ujiannya?” tanya Ayah Sodikin disela-sela kegiatannya memanen cabe rawit.
“Alhamdulillah lancar Yah, semoga Aya bisa lulus dengan nilai yang bagus.”
“Amin, Ayah dan Ibu selalu mendo’akan yang terbaik untukmu.”
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore, Kanaya dan Ayah Sodikin pun pulang. Sesampainya di rumah, ternyata ada tamu yang sedang berbincang dengan Ibu Ajeng.
“Wati.”
“Bibi Wati.”
Ayah Sodikin dan Kanaya berseru bersamaan, Wati adalah adik Ayah Sodikin satu-satunya. Kehidupan Wati terbilang sangat beruntung karena Wati mendapatkan suami orang kaya maka dari itu sekarang Wati tinggal di kota bersama anak dan suaminya.
“Akang Sodikin kenapa tidak bilang kepada Wati kalau kalian di fitnah seperti itu? Wati kan bisa minta bantuan Akang Sopandi untuk mencari orang yang sudah memfitnah Kanaya,” kesal Wati.
“Sudahlah Wati, semuanya sudah berlalu lagipula Akang tidak mau sampai menyusahkan kamu dan suamimu.”
“Akang itu Kakak Wati satu-satunya, mana mungkin saat keluarga Akang sedang kesusahan Wati hanya diam saja. Pokoknya Wati tidak mau tahu, Akang dan sekeluarga harus ikut Wati ke kota.”
“Tidak Wati, Akang malu sama suami kamu kalau kami semua ikut kamu ke kota. Lagipula Akang akan bekerja apa di kota? Akang sama sekali tidak punya keahlian.”
“Tapi Wati tidak bisa melihat Akang dan keluarga dihina dan di fitnah seperti ini.”
“Wati, kami tidak apa-apa kok semuanya sudah berakhir,” sahut Ibu Ajeng.
Wati kemudian menoleh ke arah Kanaya yang dari tadi hanya diam.
“Ya sudah kalau Akang dan Teteh tidak mau ikut, biar Kanaya saja yang ikut dengan Wati ke kota.”
Ketiganya saling berpandangan satu sama lain.
“Kalau Akang mah terserah Kanaya saja.”
“Bagaimana Aya, kamu mau kan ikut Bibi ke kota? Di kota kamu bisa masuk ke pabrik tempat Mamang kamu bekerja, kalau kamu tetap disini masa depan kamu suram mau kerja apa disini? Mau ikut Ayah kamu di kebun?”
Kanaya tampak berpikir. “Baiklah Bi, Aya mau ikut Bibi ke kota bolehkan Yah, Bu?”
“Kalau Ibu terserah kamu saja.”
“Ayah juga terserah kamu saja.”
“Ya sudah, kapan pengumuman kelulusan kamu?” tanya Wati.
“Minggu depan, Bi.”
“Oke, minggu depan Bibi kesini lagi jemput kamu.”
“Iya Bi.”
Setelah berbincang-bincang melepas rindu, Wati pun pamit pulang kembali ke kota.
Satu minggu kemudian...
Gina datang ke rumah Kanaya dan memberitahukan Kanaya lulus dengan nilai terbaik, membuat Kanaya sangat bahagia.
“Kanaya, kamu jadi berangkat ke kota?” tanya Gina.
“Iya Gin, aku ingin mengubah nasib aku mudah-mudahan di kota aku bisa beruntung dan sukses.”
“Amin, tapi kalau sudah sukses jangan lupa sama aku.”
“Tidak akan, sampai kapan pun aku tidak akan pernah melupakanmu.”
Gina pun memeluk Kanaya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Aya, Bi Wati sudah datang!” seru Ibu Ajeng.
“Iya Bu.”
Kanaya melepaskan pelukkannya dan mengajak Gina ke depan. Kanaya membawa tas besar berisi pakaiannya.
“Ibu, Ayah, Aya pergi dulu. Aya akan sering-sering mengabari kalian.”
“Iya Nak, baik-baik kami di kota dan jangan lupa kamu harus menurut kepada Bibi kamu.”
“Iya Bu.”
“Wati, Akang titip Aya.”
“Iya Kang, kalian jangan khawatir Aya akan baik-baik saja.”
Kanaya pun menghampiri Gina. “Gin, aku pamit semoga kita bisa dipertemukan kembali.”
“Iya, kamu hati-hati ya di kota.”
Kanaya pun segera masuk ke dalam mobil Wati, perlahan mobil itu mulai melaju meninggalkan perkampungan tempat dimana Kanaya dibesarkan.
“Aku akan membuktikan kalau aku akan menjadi orang sukses,” batin Kanaya.
🍁
🍁
🍁
🍁
🍁
Jangan lupa
like
gift
vote n
gift
TERIMA KASIH
LOVE YOU
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!