NovelToon NovelToon

WHISPER

Berpisah Lebih Baik

Tok...tok...tok

Tiga ketukan palu dari hakim mengakhiri pernikahan yang sudah terjalin selama tiga tahun lebih antara Sarah dan Arzan. Pernikahan dini yang di jalin setelah lulus SMA. Pernikahan yang awalnya penuh dengan mimpi, kini hancur lebur tak ada sisa.

Kini Sarah menjadi seorang janda, status yang sering kali di pandang sebelah mata oleh banyak orang. Namun dia tidak merasa takut, ada Ava, anak semata wayangnya, yang membuatnya kuat menjalani semua. Ava belum genap berumur tiga tahun, umur yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua.

Sarah melirik Arzan, berharap melihat kesedihan di mata laki-laki itu. Namun tidak, raut wajah Arzan sama sekali tak menampakkan kesedihan sedikit pun.

Arzan tetap duduk tenang dengan balutan kemeja berwarna putih dan bawahan berwarna hitam. Kesan tenang itulah yang membuatnya selalu terlihat menarik.

Sarah memilih untuk beranjak pergi meninggalkan ruangan yang bernuansa putih itu. Dengan langkah tergesa-gesa, akhirnya dia sampai di parkiran. Tapi sebelum berhasil meraih gagang pintu mobil, kaki Sarah justru tersandung batu dan jatuh terjerembab.

"Aww...," rintih Sarah dengan suara tertahan. Dia jatuh dengan lutut menghantam batu-batu kecil. Tidak terlalu sakit, tapi entah kenapa air matanya justru berurai begitu saja.

"Hiksss, sakit," rintih Sarah sambil meremas kemeja putih di sekitar dadanya. Tidak, harusnya Sarah memegangi lutut, bukan dadanya.

Ada sesuatu yang lebih perih di bandingkan dengan lututnya, yaitu hati. Selama satu tahun terakhir menjadi istri dari Arzan Chinar, Sarah selalu saja mendapatkan luka.

Awalnya pernikahan mereka begitu indah, namun semuanya berubah setelah Sarah mengetahui bahwa Arzan selingkuh. Hal yang paling menyakitkan dari sebuah hubungan adalah di selingkuhi. Dan parahnya, Arzan sudah memiliki wanita lain sejak awal mereka menikah.

"Kak, kenapa?" tanya seorang bocah yang mengenakan kaos berwarna putih. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk melihat kondisi Sarah.

Sarah segera menyeka air matanya, lalu mendongak dan berusaha tersenyum.

"Oh gak apa-apa, kok. Cuma jatuh dan luka sedikit," jawab Sarah dengan suara yang sedikit bergetar. Dia segera bangkit dan menepuk bagian belakang roknya, berharap tidak ada kotoran yang menempel di sana.

"Kok nangis?" selidik bocah itu lagi dengan kedua alis yang saling bertautan karena penasaran. Pertanyaan polos itu keluar begitu saja dari mulut bocah yang masih duduk di bangku SD. Dia heran kenapa ada orang dewasa yang terduduk sambil menangis di pinggir mobil.

"Ini, tadi kelilipan. Hahaha gak apa-apa kok," elak Sarah di iringi tawa hambar. Dia menunduk, menatap bocah yang sedang mengamatinya.

Bocah laki-laki itu mengangguk sambil be-oh panjang. Tak berapa lama ada seorang pria paruh baya yang menghampirinya. Dapat di pastikan bahwa itu adalah ayah dari bocah kepo yang sekarang berdiri di depan Sarah.

“Ada apa, Dek?” tanya pria itu sambil menatap anaknya dan Sarah secara bergantian.

“Ini, ada Kakak cantik yang nangis gara-gara jatoh,” jawab bocah kepo itu dengan polos. Tangan kanannya menunjuk lutut Sarah yang terluka.

Pria paruh baya itu menatap Sarah dengan heran. Mana mungkin hanya karena luka kecil bisa membuat seseorang sampai menangis seperti itu. Namun setelah menyelidik Sarah dari ujung rambut sampai ujung kaki, pria paruh baya itu paham dengan apa yang sedang di alami Sarah.

“Sabar, nantinya kamu akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari dia,” ujar pria paruh baya itu dengan tatapan penuh rasa iba. Hanya dengan melihat Sarah sekarang, dia yakin jika wanita muda di depannya itu baru saja berpisah dari suaminya. Fenomena itu sering terjadi di zaman sekarang, apalagi banyak faktor yang mempengaruhinya.

Sarah tersenyum kaku. Sebenarnya dia tak terlalu mengerti dengan apa yang maksud pria di depannya, tapi demi menghormatinya, Sarah hanya tersenyum dan mengangguk.

Setelah berbasa-basi sebentar, pria paruh baya dan bocah kepo itu pergi meninggalkan Sarah seorang diri. Jika saja bocah kepo itu tidak datang, mungkin sekarang Sarah sedang menangis meraung-raung. Beruntung bocah itu datang dan menyelamatkan dirinya dari kesedihan, meskipun sesaat.

“Huh...semangat Sarah,” ujar Sarah sambil menghela napas panjang. Kini bukan saatnya meratapi nasib dan menangis meraung-raung. Sarah harus mencari uang dan menata hidup bersama Ava, buah hati yang sangat dia sayangi.

Hal pertama yang akan Sarah lakukan adalah memotong rambut. Ya, memotong rambut di percaya dapat membuang sial. Selain itu, dia juga ingin menjadi Sarah yang baru. Sarah yang kuat, mandiri, dan hebat.

Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan yang akan datang. Bahaya apa yang sedang mengintai, dan masalah apa yang siap menerkam. Maka dari itu harus memperkuat mental agar bisa menghadapi kerasnya kehidupan.

Sarah melajukan mobilnya, melesat di atas aspal dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan menuju rumah, dia memikirkan pekerjaan apa yang cocok untuk di gelutinya.

Ketika berada di posisi seperti ini, Sarah menyesal karena tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kini ia mengerti kenapa wanita harus sekolah tinggi, harus bisa mencari uang sendiri.

Kini Sarah paham kenapa istri tidak boleh bergantung pada suami. Karena ketika suaminya berkhianat, maka akan merasa tak berdaya dan tak berguna. Sarah tidak mau menjadi seperti itu. Meskipun dia dulu bergantung pada suami, tapi itu tak membuat dirinya hilang daya. Dia masih mampu bangkit, mampu mencari uang, dan mampu hidup dengan atau tanpa suami.

Sesampainya di rumah, kedatangan Sarah langsung di sambut riang oleh Ava.

“Bundaaaa,” teriak Ava sambil menghambur ke dalam pelukan Sarah. Pemandangan seperti  ini yang menguatkan Sarah. Dia bersyukur memiliki malaikat kecil yang begitu cantik dan pintar.

“Ayah mana?” bisik Ava tepat di samping telinga Sarah.

Sarah terkesiap, dia belum siap mendapat pertanyaan seperti itu. Dengan lembut dia melepas pelukan Ava, lalu menatapnya dengan tulus. Sebelum mengatakan sesuatu kepada Ava, Sarah melirik ke arah Naura, ibu kandungnya. Dari lirikan itu sebenarnya dia meminta jawaban.

Naura yang menyadari arti lirikan mata dari anaknya segera berjongkok di samping Ava. Dia paham apa yang harus di katakan karena sebelumnya dia juga bercerai dengan suaminya.

“Sayang, Ayah lagi di luar kota. Ayah lagi banyak kerjaan jadi gak bisa pulang,” ujar Naura penuh pengertian. Dia yakin jika cucunya itu akan mengerti.

“Luar kota? Kok gak ngajakin Ava?” tanya Ava dengan mata sedikit sendu. Mungkin dia merasa sedih karena di tinggal pergi begitu saja oleh ayahnya.

“Kan Ayah kerja, dia sibuk nyari duit buat jajan Ava.” Sarah menimpali sambil mengelus puncak kepala Ava dengan sayang. Baru saja dia bertekad untuk kuat, kini pertahannya seperti akan runtuh begitu saja.

“Udah, mending sekarang Ava main sama Nenek ya, kasian Bunda capek loh,” ujar Naura sambil menuntun Ava masuk ke dalam rumah. Dia paham jika anak perempuannya butuh waktu untuk menyendiri. Dia paham karena pernah merasakan.

“Mah,” panggil Sarah sebelum mamanya menjauh. Tatapan matanya berubah sendu. Dia ingin menangis di pelukan mamanya, menumpahkan segala kepedihan yang dia rasakan. Meskipun Sarah sudah menjadi ibu, tapi dia masih tetap membutuhkan ibu.

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️

Hinaan Tetangga

Mata Sarah sembab karena semalaman dia menangis di pelukan Naura. Dia berdiri di depan cermin sambil geleng-geleng kepala. Benar-benar mengerikan.

Melihat Ava yang masih tertidur pulas, dia memutuskan untuk mencari udara segar di luar rumah barang sejenak. Naura sudah berangkat ke kantor sejak setengah jam yang lalu.

Ketika keluar rumah, Sarah menghirup udara dalam-dalam. Rasanya benar-benar menenangkan. Dia mulai melangkahkan kaki, menuju jalanan yang masih begitu sepi.

Sambil berjalan, Sarah menggerak-gerakkan tangan, kaki dan lehernya, persis seperti orang yang sedang melakukan pemanasan sebelum olahraga. Saat berpapasan dengan orang lain, dia mengangguk ramah dan tersenyum.

Namun, dari jarak beberapa meter, Sarah melihat dua orang ibu-ibu yang sedang berbisik sambil menatapnya sinis. Sarah tahu jika orang-orang itu tak menyukainya. Dari awal mereka memang tak menyukai Sarah. Entah apa penyebabnya.

Seperti sebelumnya, Sarah mengangguk dan tersenyum kepada dua ibu-ibu yang tadi berbisik-bisik. Dia tetap sopan meskipun dua orang itu tak menyukainya.

“Wah, ada janda muda nih,” celetuk salah satu dari mereka.

Sarah hanya tersenyum getir, kalimat itu meskipun sederhana tapi cukup menyinggungnya.

“Makanya, lulus SMA itu kuliah, bukannya nikah. Cinta gak seindah itu, loh,” celetuk yang satunya lagi sambil tersenyum mengejek.

Sarah bingung harus menjawab apa, dia ingin protes tapi takut jika di anggap tak sopan. Maka dia hanya diam saja.

“Masih muda udah jadi janda anak satu, anaknya mau di kasih makan apa?”

“Maaf, Bu. Tapi saya akan bekerja dan menghidupi anak saya,” balas Sarah.

Ibu-ibu yang mengenakan daster bunga-bunga menimpali, “Halah, lulus SMA mau kerja apa? Paling jadi babu,” ejeknya sambil tertawa sinis.

“Eh, jangan salah, Jeng. Kan ada Mamanya. Ya dia sama anaknya numpang makan sama Mbak Naura.” Kedua ibu-ibu itu tertawa lepas. Mereka tampak bahagia setelah mengejek Sarah.

Sarah menghela napas panjang. Dia tak terima dengan hinaan itu. Padahal dia tak selemah yang mereka kira. Tanpa uang Arzan ataupun Naura, dia sangat yakin bisa menghidupi Ava.

“Kalo gak numpang makan sama Mbak Naura, paling-paling nyari Om-om.”

Ucapan-ucapan itu begitu menyakitkan hati Sarah. Setelah ibu-ibu itu pergi, Sarah mengepalkan tangannya dengan tatapan tajam.

“Ck, liat aja. Gue bisa sukses dan akan membungkam mulut busuk mereka!” tekad Sarah. Semangatnya untuk sukses seketika berkobar, dia jadi termotivasi untuk memperjuangkan hidupnya seorang diri. Dia yakin, suatu saat nanti, ibu-ibu itu akan melihat Sarah menjadi orang yang berbeda dari sekarang. Orang yang sukses dan berpengaruh bagi orang lain.

***

Selesai makan malam, Sarah segera mencuci piring. Dia sudah terbiasa mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Ketika selesai mencuci piring, dia menemani Ava yang sedang menonton kartun kesayangannya di layar ipad. Sedangkan Naura sedang sibuk di depan laptop sambil mengetik.

Naura terbiasa membawa pulang pekerjaan.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, membuat Sarah segera beranjak menuju pintu. Dia sedikit heran karena malam-malam begini ada tamu.

“Selamat malam, Tuan Puteri,” sapa seorang laki-laki ketika Sarah baru saja membuka pintu. Laki-laki itu tersenyum sumringah, memamerkan deretan gigi putihnya.

“Ibraaa,” pekik Sarah dengan suara sedikit tertahan. Dia tak menyangka jika sahabatnya itu datang. Apalagi tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Karena tak dapat menahan rasa rindu, Sarah langsung menghambur ke dalam pelukan Libra.

“Gue sesek napas, Sarah!” kesal Libra karena Sarah terlalu erat memeluknya.

“Bodo amat!” Sarah justru lebih erat memeluknya. “Kok lo gak bilang-bilang mau ke sini, sih?”

“Gue kira lo udah mati gara-gara pisah sama Arzan,” celetuk Libra yang membuat Sarah langsung melepas pelukannya. Dia menatap Libra dengan tatapan sebal.

“Gue masih bisa hidup dengan atau tanpa Arzan!” tegas Sarah.

Libra hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya. Setelah mendengar kabar bahwa Sarah bercerai, dia langsung memesan tiket kereta dan meluncur pulang.

“Nih, oleh-oleh buat lo,” ujar Libra sambil menyodorkan paperbag berisi makanan khas dari kotanya kepada Sarah.

Sarah menerima paperbag itu dan mengucapakan rasa terima kasih. Setelah itu mereka berdua masuk ke dalam. Sarah membawa Libra masuk ke ruang keluarga, karena Ava dan Naura kebetulan masih di sana.

“Eh, Nak Libra. Tumben pulang, kirain udah betah di kota orang,” sapa Naura ketika baru saja melihat Libra datang.

“Iya nih, Tan. Dapet kabar kalo Sarah lagi patah hati hebat, makanya pulang,” ujar Libra dengan nada bercanda. Dia menyalami Naura dan menanyakan kabarnya. Mereka berbasa-basi sejenak sebelum akhirnya Libra menghampiri Ava.

Libra adalah sahabat Sarah sejak SMA. Mereka sangat dekat, bahkan sudah seperti keluarga. Semua keluarga Sarah tau Libra, begitupun sebaliknya. Bahkan rumah Sarah sudah seperti rumah Libra sendiri.

Mereka berpisah karena Libra harus melanjutkan pendidikan ke luar kota, sedangkan Sarah menikah dengan Arzan. Meskipun mereka berpisah, mereka masih sering berkirim pesan untuk sekedar menanyakan kabar. Bahkan Libra sering kali pulang untuk bertemu dengan Sarah dan Arzan.

Sarah dan Libra mengobrol seputar kesibukan mereka akhir-akhir ini. Libra juga bercerita tentang mantan-mantan pacarnya yang banyaknya entah berapa. Libra ini termasuk cowok idaman, dan tentu saja playboy.

Sejak SMA, Libra sudah mahir berganti-ganti pacar. Meskipun Libra di kelilingi banyak wanita, tapi dia tidak melupakan Sarah sedikit pun sebagai sahabatnya.

“Kok lo bisa cerai sama Arzan?” tanya Libra ketika Ava dan Naura sudah masuk ke dalam kamar untuk tidur.

“Dia selingkuh,” jawab Sarah dengan singkat.

“Kan, apa gue bilang. Arzan tuh brengsek, masih aja lo cinta sama dia,” cibir Libra. Meskipun hubungannya cukup dekat dengan Arzan, tapi Libra memiliki firasat buruk tentang Arzan. Dia merasa jika Arzan bukanlah laki-laki yang baik.

“Ck, lo kan tau sendiri. Dia treat me like a queen. Gue gak mikir kalo dia ternyata sebusuk itu.”

“Cowok yang treat you like a queen, cowok yang bucin banget, bahkan cowok yang cinta banget sama lo, gak menutup kemungkinan buat main belakang.” Libra meraih cangkir yang berisi minuman matcha, lalu menyesapnya perlahan. Dia selalu menyukai matcha buatan Sarah.

“Lo lagi ngomongin diri sendiri?” sindir Sarah sambil menatap Libra dengan sinis.

“Gue lagi ngomongin Arzan!”

Sarah menunduk, ucapan Libra memang benar. Kebucinan Arzan selama ini ternyata hanya untuk menutupi semua kebusukannya.

“Libra,” panggil Sarah seraya mendongak menatap mata Libra. “Gue kurang apa sih? Sampe-sampe Arzan gak bisa menetap dan menjadikan gue satu-satunya?”

Libra diam sejenak, mengamati Sarah dengan seksama.

“Lo kurang semok, sih,” jawab Libra dengan muka polosnya.

“Ibraaaa, gue serius!” seru Sarah kesal sambil memukul lengan Libra dengan keras. Tadinya dia sedikit terbawa suasana sedih, tapi jawaban Libra merusak suasana itu.

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️

Goresan Luka

Libra tertawa sejenak, lalu berubah serius dan memandang Sarah dengan tatapan dalam.

“Sarah, lo gak kurang apa-apa. Lo tuh udah mendekati sempurna. Tapi sayang, Arzan gak bersyukur dapet lo. Percaya deh sama gue, dia bakal nyesel karena nyia-nyian lo.”

“Kalo dengan bodohnya Arzan ninggalin lo, harusnya lo dengan pintarnya ngelupain Arzan.”

Sarah mengalihkan pandanganya, lalu tersenyum tipis. Dia sendiri bingung bagaimana cara melupakan Arzan. Apalagi Ava sering bertanya tentang Arzan. Buah hatinya itu tidak mungkin lepas begitu saja dari sang ayah.

“Udah deh, gak usah sedih mulu, gedek gue liat muka lo yang kusutnya ngalahin cucian belum di setrika,” ledek Libra setengah tertawa. Dia datang jauh-jauh bukan untuk melihat Sarah sedih.

“Ck, iya deh iya. BTW, lo mau lama disini?” tanya Sarah mengalihkan pembicaraan. Dia menyandarkan punggungnya di sofa, lalu menyilangkan kaki kanannya.

“Selama libur kuliah gue mau disini.”

“Serius? Kalo gitu besok temenin gue potong rambut ya,” pinta Sarah seraya menoleh ke arah Libra.

“Ngapain lo potong rambut? Lo lebih cantik kalo rambutnya panjang.”

“Kalo kata orang, potong rambut itu bisa membuang sial, tau. Lagian, gue juga mau jadi Sarah yang baru,” ujar Sarah sambil mengibaskan ujung rambutnya sampai mengenai wajah Libra.

Libra berdecak dan reflek mengelus pipi kirinya yang terkena kibasan rambut Sarah. “Iya, besok gue temenin.”

Malam ini Sarah dan Libra mengobrol banyak hal. Bahkan Libra menceritakan tentang pacarnya yang sekarang. Pacar yang terlalu posesif, cemburuan, bahkan manja sekali.

“Lo kenapa betah pacaran sama dia?” tanya Sarah heran.

“Dia itu idola kampus, makanya gue mau sama dia,” jawab Libra dengan entang.

“Pansos, nih, ceritanya,” ledek Sarah sambil tersenyum miring.

Libra hanya terkekeh. Ketika SMA, Libra juga pernah berpacaran dengan salah satu idola sekolah. Berkat itu, nama Libra terkenal ke seluruh penjuru sekolahnya.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, akhirnya Libra pamit pulang. Sebelum pulang, Libra memberi pesan kepada Sarah.

“Sarah, jangan sampai lo hancur cuma gara-gara cowok. Satu lagi, kalo ada apa-apa, lo hubungi gue. Sebisa mungkin gue akan selalu ada buat lo,” ujarnya dengan tatapan tulus.

“Iya...iya, jijik gue liat ekspresi lo yang kek gitu,” ujar Sarah sambil mendorong tubuh Libra keluar. Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Libra membuat Sarah geli, apalagi ekspresinya yang sok serius.

Libra terkekeh geli, lalu melangkah meninggalkan rumah Sarah. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia menoleh dan melambaikan tangan. Dia bersyukur melihat Sarah yang baik-baik saja. Ternyata sahabatnya masih sekuat dulu.

***

Sesuai janji Naura, kini Sarah berada di Bintang Media Utama, perusahaan penerbitan buku yang cukup terkenal di kotanya. Dia pergi di temani oleh Libra dan Ava, sedangkan Naura pergi ke luar kota untuk menghadiri pesta pernikahan.

Sarah berada di ruangan yang bernuansa warna dark grey, dia sedang menunggu seseorang yang di sebut sebagai teman dari ibunya. Sementara itu, Libra dan Ava menunggunya di luar. Dia sengaja mengajak Libra untuk menjaga anaknya.

Sepuluh menit Sarah menunggu dalam diam, sampai akhirnya ada seseorang yang membuka pintu dan masuk.

“Maaf telah membuat anda menunggu,” ujar pria paruh baya itu seraya duduk di hadapan Sarah.

Sarah mendongak, “Tidak apa-apa, lagipula belum lama saya disini,” ujar Sarah.

“Loh, kamu yang waktu itu di pengadilan agama kan? Yang ketemu sama anak saya?” tanya pria paruh baya itu sambil mengernyitkan dahi. Dia sangat ingat dengan wanita muda yang terlihat kacau pada saat itu.

Sarah terdiam sejenak, dia mengingat-ingat kejadian yang di maksud oleh pria paruh baya di depannya. Dia ingat saat keluar menuju parkiran, lalu sebelum masuk ke dalam mobil dia tersandung dan jatuh, lalu ada anak kecil yang bertanya soal kondisinya.

“Oh, iya saya ingat. Anda yang berpesan kepada saya untuk sabar dan pasti akan di gantikan dengan yang lebih baik,” ujar Sarah sambil tersenyum malu. Dia tak menyangka akan bertemu dengan pria paruh baya itu lagi.

Pria paruh baya itu tersenyum dan mengangguk, “Ternyata kamu anaknya Naura, saya sudah berteman lama sama Ibu kamu.”

“Nama saya Amartya Ezra, kamu bisa panggil saya Om Amar,” ujar pria paruh baya itu yang bernama Amar. Dia adalah pemilik Bintang Media Utama.

“Baik, Pak, eh, Om maksud saya,” ujar Sarah sedikit kaku.

“Naura sempat cerita tentang kamu, dia juga minta tolong untuk memberikan pekerjaan kepada kamu. Saya tidak bisa memberikan posisi yang tinggi, bagaimana kalau kamu menjadi editor naskah?” tawar Amar seraya meletakkan kedua tangannya di atas meja.

“Boleh, Om. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak mengecewakan Om Amar,” jawab Sarah senang. Kebetulan dia suka menulis. Jadi, berkutat dengan naskah bukan soal baru bagi Sarah.

“Ya, sudah, kamu boleh bekerja mulai besok. Akan ada seseorang yang membimbing kamu,” ujar Amar lagi.

Sarah mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ternyata dunia begitu sempit. Setelah mengobrol sebentar, Sarah pamit pulang kepada Amar. Sepanjang jalan keluar dari ruangan Amar, Sarah tak henti-hentinya berdecak kagum. Dia jadi tak sabar untuk memulai pekerjaannya besok.

“Gimana?” tanya Libra ketika Sarah baru saja masuk ke dalam mobil.

“Beres,” jawab Sarah dengan wajah sumringah.

Ava sedang sibuk bermain boneka di kursi belakang, dia sangat aktif berbicara bersama boneka miliknya. Sesekali dia mengajak Libra ataupun Sarah untuk berbicara.

“Yuk, temenin gue potong rambut,” ujar Sarah seraya memasang seatbeltnya. Dia sudah tak sabar untuk melihat penampilan barunya.

Libra hanya mengangguk patuh. Dia tak banyak bertanya, apalagi melarang Sarah untuk potong rambut.

Selagi Sarah bahagia, Libra akan ikut bahagia.

Sepanjang jalan menuju tempat tujuan, mereka bertiga bercanda ria. Ava paling banyak bicara, dia berbicara tentang apa saja yang di lewatinya. Bahkan dia bertanya soal lampu merah, truk yang besar, bahkan dokar yang di lewatinya.

Dengan semangat Sarah menjelaskan semuanya kepada Ava. Sesekali Libra membantu memberi penjelasan.

Sesampainya di salon, Sarah segera potong rambut. Libra menunggu Sarah sambil memangku Ava. Lagi-lagi Ava banyak berbicara sambil mengunyah makanan ringan. Ava memang anak yang aktif. Dia periang, suka bicara, bahkan rasa ingin tahunya begitu besar.

“Gimana, Bunda cantik gak?” tanya Sarah yang ternyata sudah selesai memotong rambutnya. Dia berdiri di depan Libra, menunggu reaksi dari dua orang yang ada di depannya.

“Wah, Bunda cantik banget,” ujar Ava dengan mata yang berbinar.

Sarah mencondongkan sedikit tubuhnya, lalu mencubit pipi Ava dengan gemas. “Makasih, sayang,” jawab Sarah sambil tersenyum sumringah.

“Lumayan,” celetuk Libra.

Sarah memotong rambutnya menjadi pendek, lebih tepatnya di atas bahu. Dia juga mewarnainya dengan warna cokelat. Benar-benar terlihat segar.

Ketika mereka bertiga hendak meninggalkan salon, tiba-tiba muncul berita di layar TV yang membuat Sarah seketika menoleh. Berita tentang jatuhnya pesawat.

“Itu..itu kan pesawat yang Mama tumpangi,” ujar Sarah dengan suara bergetar. Matanya terus memandang layar TV tanpa berkedip. Untuk beberapa saat Sarah terdiam, lalu dengan cepat dia mengambil HP dan langsung menelepon Naura.

Libra hanya diam sambil terus menatap Sarah. Dalam hati dia berdoa semoga Naura tidak ada di pesawat itu.

Tubuh Sarah mulai bergetar hebat, dia sangat khawatir terjadi sesuatu dengan ibunya. Ketika sedang kalut, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia mengernyit heran karena nomor yang tertera di layar tidak ada namanya.

Sarah menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponselnya di samping telinga.

Brukk...

Sarah pingsan setelah mendengar kabar bahwa mamanya memang ada di pesawat yang baru saja jatuh.

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!