NovelToon NovelToon

Fool Again

Segengam Masa Lalu

Agustus, 2009

"Kemana kamu habis SMA nanti?"

Tifanny mengusikku yang sedang mengulum permen tangkai kesukaanku. Aku mengangkat bahuku sambil mengayunkan kakiku yang tergantung dibawah kursi kayu yang tinggi sambil menatap lurus ke depan, tepatnya pada pertandingan bola basket yang sedang diadakan di sekolah kami. Pertandingan berbagai macam olahraga dan kompetisi intelektual sudah menjadi tradisi di sekolah kamisetahun sekali, tepatnya setiap bulan Agustus, untuk memperingati Hari Kemerdekaan Negara Indonesia. Tatapanku fokus pada William yang sedang mencoba merebut bola basket dari lawannya. Tak sadar aku mengigit permenku geram karena William terlihat lengah. Ah!

"Ngga tahu deh. Paling ikut Liam aja." balasku

Kedua mata Tifanny membulat sementara itu bibirnya setengah terbuka. Aku tidak peduli dengan reaksi teman sekelasku yang kupikir cukup berlebihan. Maksudku, apakah salah aku mengikuti kemana William pergi selepas masa putih abu-abu kami? We are bestfriend forever. Well, Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Aku menyukai Liam? Huh. What he hell they are talking about? Tidak ada yang namanya percintaan di dalam hubungan ini. Aku tidak akan mungkin pernah memendam perasaan pada Liam. Selain itu, hal terpenting yang dapat digarisbawahi adalah … aku telah memiliki gebetan di sekolah Ajaya yang merupakan sekolah top lainnya selain sekolah kami, Hiru Hara School

"Kalau William ngga mau lanjut kuliah? Kamu juga? Maksudku, kamu tahu kan kalau bokapnya kaya? He doesn't need to be busy and stress about study anymore. Uang mengalir kaya air sungai bagi dia,"

Aku tidak dapat menahan diriku agar tidak tersenyum membenarkan. Benar. Liam memang keturunan darah biru alias bangsawan yang kaya raya. Apakah aku berlebihan? Mm, maksudku, keluarga Liam adalah keluarga yang

sangat sangat terpandang. Bahkan konon katanya sekolah Ajaya juga merupakan milik keluarga Liam tetapi putranya malah memilih bersekolah di Hiru Hara School

"But our Liam doesn't like that,"

Yuriska?

Aku tidak bisa menahan senyumku untuk menyambut sahabatku yang lain, yaitu Yuriska, yang baru bergabung

"Liam akan sukses tanpa bantuan papanya sama sekali," sambung Yuriska sambil melirik tajam Tifanny yang tidak lama kemudian langsung mundur

"Kemana saja kamu?" tanyaku binggung

"Taraaa!!"

Yuriska memamerkan tiga buah ice-cream batang kepadaku sambil tersenyum lebar. Aku menyergit karena hanya menemukan satu buah ice cream magnum favoriteku. Aku mengerucutkan bibirku kesal

"Kok cuma satu?"

"Tepatnya, tinggal satu."

"Tapi kan Liam juga suka magnum. Gimana dong?"

"Aku memang beli kasih dia. Kamu makan yang lain aja!"

"WHAT?!"

Kedua mataku membulat. Aku mencoba merampas magnum tersebut namun pada detik selanjutnya sebuah tangan telah merebutnya dariku dengan mudah. Aku hendak merampasnya kembali namun sang pemilik tangan telah membuka bungkusan tersebut kemudian tanpa ragu memakannya dihadapanku. Pupil mataku melebar

"Kamu!!!!"

"Yuriska membelinya untukku bukan? Then you have to give up!"

William menjulurkan lidahnya padaku. Aku bersumpah jika aku ingin menarik lidah itu. Kutarik pakaiannya yang penuh keringat dengan niatan untuk memukulnya tetapi basahnya pakaian William membuatku langsung menarik

tanganku dan mengelapnya di rok abu-abu ku dengan geli

"Liam! I'll make you pay for this!" teriakku kesal

William mengangkat bahunya seolah ancamanku tidak berarti. Well, sebenarnya memang ancamanku tidak pernah membuatnya takut. Ia merangkul bahu Yuriska sambil kemudian melambaikan tangannya padaku. Aku yang tidak menerimanya pun berlari mengejar mereka kemudian memberikan satu pijakan kaki yang keras di sepatu baru Wiliam

Kedua mata William membulat. Ia kelihatan super kesal. Itu membuatku tertawa bahagia. Kujulurkan lidahku sambil menepis rambut hitamku

"RASAIN!"

***

Motor besar Harley Davidson hitam telah  terparkir indah di halaman rumahku saat aku pulang dari berbelanja di Giant. Aku menghembuskan napas pelan. Aku tahu sang pemilik motor tersebut adalah William bahkan tanpa perlu masuk ke dalam rumah untuk memastikan. Siapa sih yang bisa mengendarai Harley Davidson? Kupikir hanya segelintir orang saja yang mampu

Suara tawa William menyambut kepulanganku. Sebenarnya aku telah melupakan kejadian siang tadi namun melihatnya yang tengah bercanda gurau dengan kedua orang tuaku pun tidak mampu membuatku menampik rasa kesal

"Kenapa kamu datang?" tanyaku ketus

"Loh,Kat? Kok gitu sapa si Liam?" tegur mama

Detik berikutnya mama mulai mengomeliku dan memberiku saran bagaimana aku sebaiknya bersikap sebagai wanita yang penuh moral, respect dan berpendidikan. Aku memutar kedua mataku karena mama telah mengulanginya yang ketiga puluh kali

"Sorry. Kamu masih marah?" tanya William setelah papa dan mama meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Huh! Aku melipat tangaku di dada

"Nggak!"

Aku tidak tahu apa yang lucu dariku, ekspresi atau nada suaraku? Entahlah. William terkekeh karena itu. Ia kemudian mengeluarkan empat batang magnum padaku. Fiuh, ice cream tersebut kelihatan begitu menggiurkan. Rencanaku untuk ngambek pun terpaksa harus kutunda kali ini. GREAT. Aku dapat ‘dibeli’ dengan empat magnum. Mungkin aku bisa dijuluki Manusia Magnum setelah ini

William mengajakku berkeliling mall setelah itu. Kupikir William ingin mengajakku menonton karena ada film terbaru yang menjadi wishlist untuk kutonton bersama dengannya. Namun rupanya Ia membawaku ke toko Tiffany & Co, toko perhiasan yang membuatku tertegun

"Tunggu. Kenapa kita di sini?" tanyaku sambil menarik William keluar dari Tifanny & Co. Aku hanya ingin

memastikan apakah dia salah tempat. Huh, jangan jangan nanti dia bikin aku malu saja

William mengangkat bahunya. Ia menarikku masuk sambil memintaku melihat perhiasaan di etalase. Well, harganya membuatku melonggo

"Kamu suka yang mana?" tanya William

Tunggu…., apakah William berniat membelikanku perhiasan Tifanny & Co? Am I dreaming? Maksudku, perhiasaan *Tifanny & Co *bukanlah perhiasaan sembarangan. Itu adalah perhiasan yang masih membuatku melonggo setiap kali melewati tokonya. Aku bahkan tidak berani berimajinasi masuk ke dalam tokonya sekalipun

"Kamu…mau membelikanku perhiasan?"

"Menurutmu?"

Oh, raut wajah usil itu membuat harapanku musnah. Meski aku tidak pernah berharap William akan membelikannya untukku namun aku agak kesal karena ia bertanya dengan cara seolah olah dia ingin membelikannya untukku. Huh! Oke, aku tahu aku tidak boleh berpikir seperti itu. Tiffanny & Co bukanlah perhiasaan yang sembarangan. Aku harus sadar diri,oke?!

Aku mencoba mengontrol raut wajah dan suaraku,“Jadi ini untuk tante?”

William tidak menjawabku. Aku menunjuk salah satu kalung yang menurutku bagus. William meminta pramuniaga mengeluarkannya dari etalase kemudian pada detik bberikutnya ia telah memasangkan kalung itu di leherku. OMG. Jantungku berdebar-debar melihat kalung mewah yang sedang melingkari leherku! Selain itu, eum… aku menahan napas ketika merasakan hembusan napas William. ****! Dia terasa begitu dekat

denganku dan itu membuatku gugup. Ia menahan senyum usil ketika kedua pasang mata kami beradu

"Hei. Kamu gugup?" tanyanya sambil mengusap lembut bahuku

"Ada kalung seharga tujuh ratus juta sedang berada di leherku! Tentu saja aku gugup, stupid boy!"

William tidak membalasku. Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan kartu kreditnya kepada pramuniaga tersebut tanpa banyak berkata. Kedua mataku terbelalak. Aku menyikut lengan William sambil menggelengkan kepalaku.

"Are you crazy? Kupikir kamu berlebihan membeli kalung untuk ulang tahun tante Li. You know, tante Li

udah ada banyak perhiasan." Bisikku sambil menarik ujung pakaian William. Bukan sok tahu tetapi aku memang sering berkunjung ke rumah William. Aku sering menemani Tante Li dan mama belanja. Jadi, aku tahu persis mereka sudah memiliki begitu banyak perhiasan

"Aku tidak membelinya untuk mama."

"Maksudmu?"

"Apakah aku ada mengiyakan pertanyaan bodohmu dari tadi?"

WHAT?!

Aku menyergit tidak mengerti. Jika William tidak membelikannya untuk Tante Li, artinya…

“Yap. You’re right. I bought this for Yuriska. She'll be birthday soon,"

Tunggu. Apakah aku tidak salah mendengar? William membelikan kalung seharga tujuh ratus juta kepada Yuriska? Oh ****! Aku tidak ingin mempercayainya. Aku ingin menganggap ini hanya lelucon namun

melihat ekspresinya yang super serius membuatku melonggo tidak percaya

"Are you serious?!"

"Am I look like joking right now?"

"Tapi Yuriska ulang tahunnya lima bulan lagi."

"I know,"

"So? Tidakkah ini kecepatan? Dan… apakah ini tidak berlebihan?"

"Faster is better than late. Papa bisa menghabisiku kalau aku menghabiskan banyak uang dalam sehari,"

Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. ‘Banyak uang’ yang William maksud adalah jika itu menyentuh sembilan digit. OMG. Aku bahkan tidak tahu harus bahagia karena menyadari ketulusan cinta William pada Yuriska. Di satu sisi, aku merasa bahagia dan lega karena rupanya William benar benar serius kepada Yuriska. Bagaimanapun mereka adalah sahabatku. Namun sisi lainku berteriak bahwa William cukup bodoh. Eum, bodoh atau bucin? Huh, sepertinya hanya ada garis tipis antara bodoh dan bucin

Aku melepaskan kalung tersebut dengan hati hati sambil membalas,"Well, what a luck girl. Jadi, apa yang akan kamu berikan sebagai birthday gift aku bulan depan nanti?"

William mengangkat bahu acuh,"Just tell Didi,"

Aku menendang kaki William dengan kesal sambil berjalan keluar dari* Tifanny & Co store*. Sementara itu William mengikuti dari belakang. Aku tidak berencana menyahut perkataan William sejak kami keluar dari toko mewah itu. Lelucon William tidak lucu! Maksudku, Didi adalah gebetanku. Dia bahkan tidak mengenalku lebih dari teman sepergaulan Karen alias sahabatku yang bersekolah di sekolah Ajaya. How pity! Aku tahu namun William malah bersikap seolah ulang tahunku adalah hal yang paling tidak lebih penting dibandingkan ulang tahun Yuriska lima bulan mendatang. Catat, lima bulan mendatang.

*Oh! Hell! I'm not envy. Okay?! *

Aku hanya merasa William memperlakukan kami dengan berbeda sejak dia berpacaran dengan Yuriska. Well, setidaknya aku masih merupakan sahabatnya bukan?

"Hey! Kamu marah?" tanya William

Ia menarik tanganku dan menghentikan langkahku. Aku tidak menjawab. William tertawa kecil melihat sikapku. Ia

mengacak rambutku sambil setengah menunduk agar kedua pasang mata kami beradu

“Sorry. Hm..?”

Aku memalingkan wajahku sambil melipat tanganku di dada. Sebenarnya aku berencana untuk mengabaikannya

namun pada detik William menawarkan akan membelikanku ice cream terbaru yang baru dibuka dengan sepuasnya membuatku luluh

“Wanna try?” tanyanya

Tidak membutuhkan waktu lima detik bagiku untuk mengangguk. Oke, rupanya egoku dapat disuap dengan ice

cream. William merangkul bahuku pada detik berikutnya. Kami kemudian bersama sama menikmati Ice Cream sambil bercerita tentang hal remeh yang membuatku tidak berhenti tertawa. Suasana mall masih ramai bahkan

setelah kami memutuskan untuk pulang. Aku bersandar dibalik punggung William yang tengah mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Mataku terpejam, menikmati belaian angin malam yang terasa menghangatkan hatiku. Kupikir aku dapat hidup seperti ini selama ratusan tahun lamanya, huh?

***

Awal bulan September menjadi bulan terburuk yang pernah kualami. Padahal bulan ini adalah bulan terbahagiaku. Biasanya aku akan mendapatkan banyak kejutan dan hadiah atas bulan kelahiranku namun hal yang paling kuinginkan saat ini adalah mengambil tali untuk menakut-nakuti kedua orang tuaku. Well, aku tahu aku sedikit berlebihan namun aku super serius. Bagaimana mungkin mama dan papa tidak mengijinkanku

bergabung sekolah ke luar negeri bersama sahabat sahabatku? Setidaknya aku ingin bergabung dengan William dan Yuriska ke Harvard University atau Karen ke German. Melanjutkan pendidikan ke luar negeri adalah impianku sejak dulu. Huh

"Kat. Papa dan mama tidak menginjinkanmu kuliah di luar dari Jakarta. Titik."

Mama kembali memperingatiku sementara aku langsung menyumbat telingaku dengan headset. Huh, aku

kesal dan marah. Mengapa papa dan mama menjadi over protective denganku sih sejak abangku meninggal dua tahun lalu? Aku tahu bahwa kini aku merupakan putri satu satunya di keluarga ini namun aku punya hak untuk hidup bebas tanpa kendali orang tua bukan?

Aku tahu mereka khawatir jika sesuatu terjadi padaku di negeri orang lain. Mereka akan sedih dan sangat merindukanku jika aku pindah namun hal ini tetap tidak adil! Tangisku pecah sesaat setelah mama keluar dari kamarku. Huh, keinginanku melanjutkan pendidikan ke luar negeri hanya akan berakhir sebagai angan-anganku. Aku mencoba aksi mogok dengan tidak makan dan sekolah selama dua hari. Aku mencoba semua yang kubisa namun hal itu tetap tidak mengubah pendirian orang tuaku. Dan itu membuatku semakin kesal dan frustasi

"Kat. Liam dan Yuris datang. Mama mau minta mereka pulang saja atau kamu mau bertemu mereka?" tanya mama sambil menyentuh ringan bahuku

Aku tidak menjawab namun aku bergegas menyembunyikan tubuhku dibalik selimut. Aku masih mogok berbicara

dengan kedua orang tuaku. Aku tidak akan berbicara dengan mereka sampai mereka mengjinkanku melanjutkan pendidikan di luar negeri. TITIK

Aku mendengar derap langkah yang cukup familiar. Aku menarik turun selimutku dengan hati hati dan kemudian menemukan Yuriska dan William tengah berdiri disampingku dengan tatapan khawatir

“Are you okay,Kat?” tanya Yuriska sambil memelukku

"Kamu 'kan bukannya nggak diijinkan kuliah. Tante dan Om pasti ada alasan. Jangan sampai berlebihan

deh sedihnya." Lanjut William membuatku langsung meliriknya dengan sinis sementara itu Yuriska menepuk ringan tangan William

“Coba deh kamu diposisiku. Apakah kamu bisa ngomong seperti ini?”

“Tidak kuliah di luar negeri bukan artinya hidup kamu stop disana. Masih ada banyak Universitas bagus di Indonesia, apalagi Jakarta,”

“Kamu disini itu untuk support aku atau mau mojokin aku sih?”

Yuriska berdeham pelan. Ia mencoba menegahi William dan aku

“Mm, sebenarnya maksud William bukan begitu. Dia hanya tidak ingin kamu sedih kelamaan. Om dan Tante pasti sudah memikirkan ini dengan baik baik. Selain itu, kita juga bisa video call dan lainnya setiap hari kok. Kamu tidak akan kesepian dan…,”

"Memangnya ini semata-mata hanya karena kalian? Semua sahabatku meninggalkanku dan…"

"Karena Didi?"

Ugh. Hatiku sakit mengakuinya. Didi memang tidak mengenalku namun aku masih tidak dapat berhenti

merasa sedih karena kabarnya Didi juga mendapatkan progam beasiswa di Harvard. Jika aku mendapatkan kesempatan kesana, kami akan berakhir sebagai couple bukan? William mendengus sambil membalas,"Ngga

masuk akal banget galau hanya karena si culun itu."

"Hei! Dia itu ngga culun ya! Omonganmu ini! Dia jelas jelas jauh lebih baikdarimu!"

William dan aku terlibat perdebatan yang membuatku menahan air mata. Yuriska kemudian memutuskan meninggalkan kami berdua dengan alasan mengambil air. Huh, aku tahu motif Yuriska. William dan aku memang tidak dapat dilerai oleh pihak ketiga. Kami hanya dapat berhenti ketika kami hanya berdua saja. Entahlah. Mungkin ini sudah merupakan kebiasaan kami sejak kecil

“Jadi, kamu merasa worth it sedih hanya karena Didi? Dia bahkan tidak mengenalimu,” lanjut William sambil menyergit

“Liam, ini bukan hanya karena Didi. Kamu dan Yuriska akan ke Harvard. Sahabatku Karen akan ke German dan em… gebetanku juga. Apa yang dapat kulakukan disini sendirian? Aku pasti akan sangat merindukan kalian. Bisakah kamu bantu ngomong ke mama dan papa? Katakan saja kamu akan menjagaku disana,huh? Please?” balasku sambil menarik ujung seragam William

William menurunkan tas sekolahnya ke lantai. Ia kemudian membawaku ke dalam pelukannya. Sial. Ini membuatku semakin sedih. Aku tidak menyangka aku telah menangis segugukan dalam pelukannya. William berusaha menenangkanku berkali-kali. Ia menepuk bahuku ringan sambil mengusap kepalaku

William berbisik,“Jika dia memang jodohmu, kalian akan bertemu lagi, bagaimanapun caranya dengan jalan yang tidak terduga,”

“Dan bagaimana jika tidak?”

“Kamu masih punya aku. Kamu lupa aku ini sahabat kamu yang terganteng sejagat raya?”

Aku tidak dapat menahan tawaku atas sikapnya yang overconfident. Pada detik berikutnya aku memukul dadanya kesal. Bagaimana mungkin dia membuatku tertawa di waktu seperti ini? Aku seharusnya menangis sedih. William menyadari perubahan raut wajahku. Ia mengusap air mataku sambil menatapku dengan sorot yang serius

“Aku tahu ini sulit tapi aku harap kamu jangan sedih lagi. Kamu adalah putri kesayangan om dan tante. Coba untuk mengerti mereka, hm? Mungkin mereka takut anak gadis cantik mereka akan digodain laki laki genit diluar sana. Kamu masih punya kesempatan untuk lanjut studi master. Hidup ini masih panjang.” Ucapnya tanpa memutuskan kontak mata diantara kami

Kali ini entah mengapa aku seolah terbius akan tatapannya. Aku tidak mengerti mengapa jantungku mulai berdetak kencang. Kami benar benar dalam posisi sedekat itu. Hembusan napasnya terasa menyapu ringan wajahku. Oh, ini diluar imajinasiku sama sekali. Aku hampir lemas ketika William mencium puncak kepalaku. Pipiku merona. Oh tidak. Kuharap ia tidak menyadarinya

“Aku tidak akan melupakanmu,Kat. Kamu selalu yang nomor satu,” lanjutnya membuat jantungku semakin berdebar kencang dengan tidak tahu malu

Aku ingin mengambil satu langkah mundur namun entah mengapa aku tak dapat melakukannya. Aku merasa

nyaman dalam pelukannya dan ini benar benar terasa membunuhku dengan lambat. William melepaskanku tidak lama kemudian. Ia mengeluarkan dua plastik besar berisi ice cream padaku

“Kamu tidak akan naik sepuluh kilo kan dengan makan ini  semua?” canda William sambil mengacak rambutku

Fiuh, jika pada waktu biasanya aku mungkin dapat membalas candaannya namun entah mengapa kali ini terasa agak sulit. Aku bersyukur karena pada detik berikutnya Yuriska telah masuk ke dalam kamarku. Namun pada detik berikutnya aku tidak dapat menyangkal rasa sedih dan marah atas diriku ketika aku melihat Yuriska. Ia melihatku dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa ‘aku akan berpura-pura tidak melihatnya tadi’

Tuhan, perasaan apa yang kurasakan saat ini? Mengapa aku tidak dapat berhenti merasa kecewa dan takut?

William memperlakukan dengan biasa setelah itu. Aku tidak tahu mengapa kesedihanku dan ketidakterimaanku untuk tidak diijinkan sekolah ke luar negeri mulai memudar setelah William menasihatiku. Kini, aku hanya dapat menikmati moment moment terakhir William dan Yuriska denganku. Aku hanya dapat mendengar celotehan

mereka atas persiapakan studi ke Harvard

Jujur, perasaan sedikit cemburu karena aku tidak dapat bergabung ke Harvard masih ada namun aku mulai

menerima situasi ini. Aku berusaha bersikap normal ketika William tersenyum padaku beberapa kali. Ia bahkan menepuk ringan bahuku dan tanganku setiap membicarakan hal hal yang lucu. Sentuhan kecil itu tiba tiba terasa membakarku. Aku tidak mengerti mengapa aku tiba tiba merasakan ini

Aku tidak mungkin menyukai William kan? For Godshake! Aku tidak pernah percaya bahwa dengan statement bahwa tidak ada yang tulus antara persahabatan laki laki dan wanita. Aku mencoba memegang teguh pendirianku. Oke, aku mungkin hanya sedikit dilemma karena ia mencium keningku tadi. Atau mungkin hanya karena ia berhasil menenangkanku? Oke, pasti hanya itu. Hanya dengan berusaha menyakinkanku seperti itu yang dapat membuatku melanjutkan interaksiku dengan William dan Yuriska

Aku tidak boleh terlibat perasaan bodoh ini, apalagi mereka akan segera meninggalkanku. Perasaan ini hanya mimpi. Benar. Bagaimanapun my bestfriends are my comfort zone ever!

Right?

****

How It's All Started

Agustus, 2015

Whatsapp message

10.44 AM (Karen) : Kat, hv you heard sth about your bff?

11.10 AM (Karen): Hello?

11.15 AM (Karen) : Urgent Kat. Pls read!

12.30 PM (Karen) : R u working or got an accident?!

01.00 PM (Karen) : A

01.02 PM (Karen) : B

01.03 PM (Karen) : C

01.04 PM (Karen) :

03.00 PM (Karen) : Hei!!!!

04.00 PM (Karen) : Km bakal nyesal nanti!

04.30 PM (Karen) : Still not yet reply? OMG. Sth bad happened?

05.00 PM (Karen) : Okay. Aku nyerah!

07.00 PM (Kattie) : What is it? I'm sorry just read yr text. I'm too busy T_T

07.10 PM (Karen) : Their relationship just broken. Kupikir Liam butuh km..

10.44 PM (Kattie) : What?! Jgn brcanda,Kar! I don't hv any time for it!

10.45 PM (Karen) : Seriously! Ini lg booming banget di grup. I think u need to read it!

Sebenarnya aku tidak memiliki cukup waktu untuk menanggapi hoax yang sudah menjadi makanan persahabatan kami sejak lima tahun lalu. Bagaimanapun William adalah laki laki yang hampir mendekati kosa kata sempurna. Banyak wanita mengidolakannya sehingga mereka membuat rumor itu. Namun entah mengapa

rumor kali ini bertahan jauh lebih lama dari biasanya. Aku tidak bisa menahan diriku agar tidak mengirimkan pesan singkat di group whatsapp kami (William, Yuriska dan aku) namun anehnya aku tidak mendapatkan response sama sekali padahal mereka telah membaca pesanku. Sesuatu yang buruk telah terjadi, pikirku

Aku berniat untuk menghubungi mereka namun rasa kantuk telah mengetukku. Jujur, aku bahkan tidak sanggup membuka kedua mataku lagi. Aku sedang sibuk dengan salah satu proyek perusahaan dimana aku bekerja. Bahkan karena itu aku harus dinas di Bangkok selama hampir dua minggu dan masih belum pulang pulang

juga. Huh. Aku tidak sadar telah memejamkan mataku pada detik berikutnya. Baiklah, aku akan menginterogasi mereka besok. Setidaknya aku perlu mengistirahatkan otot ototku sekarang juga atau aku akan pingsan nanti

***

Tujuan pertamaku setelah landing di Jakarta adalah apartemen Yuriska. Meski aku tidak yakin apakah mereka sudah balik dari Cambridge namun aku setidaknya harus sedikit berusaha karena aku tidak mungkin terbang ke Cambridge. Aku melirik isi tas kecil yang berada dalam gengamanku. Aku membelikan sedikit oleh oleh kepada Yuriska serta beberapa lingerie seksi. Mungkin mereka dapat berbaikan setelah itu?

Aku sudah menunggu hampir dua puluh menit namun Yuriska tidak kunjung keluar dari apartemen atau

bahkan sekedar mengangkat panggilanku. Aku mencoba menghubungi William setelah itu

Deringan pertama, kedua ...

Panggilan kedua, lima, sepuluh ...

DUH! What happened with them? Mengapa mereka berdua tidak mengangkatnya sama sekali? Jujur, aku mulai khawatir. Mereka tidak pernah tidak mengangkat panggilanku bahkan ketika mereka sedang melakukan ****. Intensitas komunikasi kami memang mulai berkurang namun aku tidak pernah menyangka mereka tidak

memberitahuku mengenai hubungan mereka yang mungkin telah kandas.

Aku menyergit ketika mendapatkan informasi dari Karen bahwa William tengah berada di Youth Club. Hm, aku sering mendengar club ternama itu. Namun… apakah aku pantas kesana dengan pakaian yang super tertutup

ini? Fiuh, siapa peduli? Oke. Aku hanya akan menemuinya, meminta klarifikasi lalu meninggalkan club itu. Benar!

Aku bergegas memanggil taksi sambil berharap bahwa rumor itu tidak benar.

Youth Club penuh dengan kemerlap kemerlip lampu yang membuatku pusing. Lagu yang keras dan dance

floor yang penuh dengan wanita berpakaian seksi membuatku menghembuskan napas pelan. Aku hampir tidak pernah meninggalkan Jakarta namun aku bahkan tidak pernah tertarik menghabiskan waktu di Club. Jujur, kali ini adalah kali pertama aku masuk club. Aku sibuk belajar dan bekerja selama ini. Apakah karena itu aku masih belum terbiasa? Huh, entahlah

Aku bersumpah akan mengomeli William sepanjang hari jika aku menemukannya. Aku mengorbankan

waktuku yang seharusnya tengah mempersiapkan materi meeting untuk besok hanya untuk mereka berdua

Aku hampir menyerah menemukan William. Ia tidak kunjung mengangkat panggilanku. Klub ini juga sangat besar! Aku benar benar sulit menemukan William. Aku menempelkan bokongku di kursi bartender sambil menghembuskan napas pelan. Aku memesan air mineral, yang membuar bartendernya menahan senyum aneh padaku

Well, aku tidak peduli.

Bagaimana jika aku mabuk dan terbangun di kamar yang berbeda besok? Aku tahu aku sedikit berpikiran aneh namun tidak ada jaminan itu tidak akan terjadi, bukan?

Aku tengah menekuk air mineralku sambil memutar pandanganku ke penjuru ruangan lagi. saat mendudukkan bokongku di kursi dekat bartender. Tatapanku jatuh pada dance floor dimana orang-orang menari seperti orang gila. Kemudian disana aku menemukan William di tengah-tengah dance floor! GOTCHA! Aku melipat lengan jaketku kemudian berjalan mendekati William dengan langkah cepat

"LIAM?!!!"

Oh, William tidak mendengarkanku.

Tentu saja. Musik keras disini membuat telingaku terasa hampir pecah. Sebelah alisku terangkat menemukan William tengah menari dengan wanita seksi yang hanya mengenakan bra. Apakah aku tidak salah melihat? William dengan wanita lain? Apakah William memang sefrustasi itu pasca putus dari Yuriska? Hmm, tunggu. Omong omong dia kelihatan berbeda. Tubuhnya menjadi lebih tinggi hampir dua puluh sentimeter. Bentuk

rahangnya semakin tajam. Tubuhnya juga semakin atletis. Huh, kapan terakhir kami bertemu? Empat tahun lalu? Entahlah. Aku sudah berhenti menghitungnya

Aku sedikit berlari kearah William. Aku bahkan perlu menarik tangannya, yang membuatku terkejut, agar ia melihatku. Ia kelihatan terkejut

"Kat? Kenapa kamu disini?" tanya William

"Ini karenamu,stupid boy! Ayo, keluar. Kita harus bicara." tukasku kesal

"Tunggu."

William mendorong tanganku menjauh. Ia kemudan memberi kecupan dalam pada wanita itu sebelum menarikku keluar dari Youth Club sementara aku masih terlalu terkejut dengan aksi baru saja. Ciuman itu kelihatan cukup panas dan itu membuatku tidak nyaman melihatnya

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanyaku sambil menatap William dari ujung rambut hingga kaki. Benar, William kelihatan berbeda. Atau apakah ini hanya perasaanku saja? Auranya kelihatan berbeda. Ia kelihatan seperti orang asing bagiku saat ini. Aku tahu terlalu cepat bagiku untuk menyimpulkannya namun sorot tatapannya berubah

"Aku akan memanggil Pak Sam untuk antar kamu pulang." Ucap William sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Aku mengambi alih ponsel William sambil menatapnya dengan sorot tajam.

"Kamu belum jawab pertanyaanku. Apa-apaan yang kamu lakukan tadi? It's really not like you!"

"You get what you see,Kat. Jangan membuatku semakin pusing. Just go back, okay? Kembalikan ponselku. Pak

Sam yang akan antar kamu pulang."

"Tidak. Aku tidak akan pulang kalau ..."

"LIAM!"

Suara teriakan sekumpulan wanita mengejutkanku. Para wanita dengan pakaian super seksi menghampiri kami. Aku bahkan mendapati beberapa, maksudku, semua dari wanita itu, melirikku dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Tatapan mereka seolah menyimpulkan bahwa aku itu seperti artefak. Intinya mereka menyadari

bahwa aku memang tidak pantas berada disini juga. Huh. Kedua mataku terbelalak menemukan salah satu dari mereka  kemudian salah satu dari mereka mencium William di depan mataku. Aku bahkan mengambil dua langkah mundur sambil menahan napas. Aku tidak salah melihat kan?

"Siapa wanita ini? Dia tidak seperti tipemu," ucap wanita itu sambil melihatku dengan tatapan merendahkan. Oh, kenapa aku mulai merasa kesal?

"Lila, Kane, Julis, Yura, Iyane, perkenalkan. Ini adalah Kattie, my very very long lost bestfriend." ucap William mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum memperkenalkanku kepada teman wanitanya. Aku tidak bisa menahan keterkejutanku. Tunggu. William baru saja mengedipkan sebelah matanya padaku? Aku hanya salah melihat kan? William biasanaya selalu menatapku dengan jahil bukan senyuman nakal seperti itu!

"Lila. Nice to meet you!"

"Kane."

"Julis. I'm Liam's patner."

"Yura. I'm his bestfriend in club."

"Isyana."

Aku hampir mual mendengar nada suara mereka yang terkesan ditarik-tarik layak ******* menjijikkan. Mereka juga terlihat sengaja menunduk saat bersalaman denganku agar mempertontonkan payudara mereka pada William. Oh! Ini tidak bisa dibiarkan! Aku memutuskan untuk tidak menerima uluran tangan mereka kemudian

menatap mereka dengan tajam

"Aku nggak tahu kamu bisa bergaul dengan wanita-wanita seperti ini." sindirku membuat mereka menatapku sinis. Sebagian dari mereka ingin membalas sindiranku dengan pedas namun William melerai kami. Ia meminta teman wanitanya untuk kembali ke dalam club dulu sementara ia menyelesaikan masalah ini denganku

"Kamu benar-benar berhutang penjelasan denganku,Liam! Bagaimana kamu bisa kenal wanita-wanita seperti itu? Kamu nggak pikir perasaan Yuriska?!" tanyaku setelah itu. Aku tidak dapat menyembunyikan kekecewaanku. Sudah kuduga, William benar benar telah berubah

"Panjang,Kat." Jawab William sambil menghembuskan napas pelan

Ia dengan sorot wajahnya yang kelihatan enggan menceritakan segalanya padaku. Huh, ini membuatku semakin kesal namun aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. Aku ingin mendengar kisah mereka dan apabila memungkinkan, aku ingin turut membantu mereka. Aku tidak mungkin membiarkan sahabatku menjadi seperti ini bukan?

"Aku janji akan mendengarnya sampai akhir. Kamu hanya perlu menceritakannya padaku. Kamu tahu itu,Liam."

"Tidak. Tidak sekarang."

"NOW LIAM OR I'LL MAKE SURE YOU WILL REGRET THIS."

Aku sedikit terkejut dengan teriakanku yang kupikir melampaui batasku tetapi aku harus mempertahankan raut wajah penuh amarahku dihadapan William agar dia menceritakan segalanya padaku. Sementara itu William

mengacak rambutnya sambil menarik napas kuat

"Aku tidak bisa menceritakannya." ujar William dengan rahang mulai mengeras. Oops. Kupikir sahabatku ini mulai mengenang masa lalu yang menyakitkan? Tunggu. Separah apa sih masalah di antara William dan

Yuriska? Ini benar benar membuatku gila

Aku mengambil dua langkah mendekat

"Kenapa kalian putus? Aku maklum jika kalian putus nyambung tapi kalian sudah berpacaran enam tahun. Something worse happened can be solved well,Liam."

"Kamu tidak tahu apapun,Kat, jadi tolong jangan membuatku semakin pusing. Sebaiknya kamu pulang saja,”

“Aku kemari untukmu,Liam. Bisa nggak sih kamu nggak buat aku khawatir?”

Perkataanku baru saja membuat William kelihatan semakin marah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya marah namun ini jelas melukai hatiku. Aku tidak dapat menghentikan diriku untuk melanjut,"Kamu berubah,Liam."

"Kamu hanya tidak tahu,Kat. I've changed so much. Aku tidak keberatan kalau kamu tidak mau berteman denganku lagi."

Sebenarnya aku ingin berteriak padanya dan mengatakan ‘APAKAH KAMU GILA’ namun aku tidak bisa melakukannya sekarang. Aku masih dalam tahap kebinggungan luar biasa. Aku masih perlu mencari cara untuk mengorek informasi dari William karena aku tidak dapat menghubungi Yuriska sama sekali

"Apakah ini karena Yuriska?" tanyaku hati hati

William tidak langsung menjawab pertanyaanku namun mendengar nama itu membuat raut wajah William berubah serratus delapan puluh derajat. Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka namun kupikir sesuatu yang serius telah benar benar terjadi. Aku menghembuskan napas pelan kemudian melanjut,“Kalian tidak beneran putus kan? Ini hanya rumor kan?”

Gawat. William tidak membalasku lagi

“Apa yang bisa aku bantu?” lanjutku

William menghembuskan napas pelan. Ia kelihatan tidak ingin berdebat denganku

“Kamu sudah bisa sangat membantuku hanya dengan kamu pulang sekarang,” balasnya membuatku tersindir.Huh, jadi aku sudah tidak penting dihidupnya lagi?

Aku menahan William dengan menarik ujung pakaiannya. Entah sejak kapan kebiasaan ini tidak dapat berubah sejak dulu. Aku mengambil satu langkah mendekat lagi namun aku tidak menyangka bahwa William akan berbalik menghadapku. Kini, jarak kami begitu dekat. Aku bahkan harus mengangkat  daguku

agar dapat menatapnya. Gila, sejak kapan dia menjadi setinggi ini? Jujur, sebenarnya aku merasa terintimidasi detik ini. Entah mengapa aku merasakan kebencian William padaku. Aku tidak merasa ada berbuat kesalahan atau berkata hal yang dapat menyakitinya. Lantas, mengapa ia kelihatan begitu berbeda. Hal ini membuat hatiku sakit

Aku berusaha mengontrol raut wajahku sambil berkata,“Aku disini untukmu,Liam. Kamu bisa menceritakannya padaku. Aku mungkin bisa membantumu,”

William tertawa kecil. Aku tidak tahu arti tawa itu namun itu cukup membinggungkanku. Aku mengambil dua langkah mundur karena merasa jarak diantara kami terlalu dekat dan itu tidak pantas terjadi antara William

dan aku yang notabane adalah sahabat

“Kamu bisa membantuku?” tanya William

Aku mengangguk serius kemudian pada detik berikutnya William membalas,“Apakah artinya kamu bisa menikahiku?”

Aku menyergit

"Do you want to marry me,Kattie Priscilla?"

GOD DAMN. WHAT HE IS TALKING ABOUT?!!

Awalnya aku pikir aku salah mendengar namun rupanya aku tidak salah. William benar benar serius dengan perkataannya. Ia berjalan mendekat. Sebelah tangannya meraih pinggangku sementara tangannya yang

lain mengangkat daguku. ****! Aku tidak dapat mengontrol jantungku yang berdegup kencang. Aku harap William tidak menyadarinya, sungguh.

“Apa-apaan sih? Kamu mabuk ya?!” tanyaku sambil mencoba mencium aroma alcohol ditubuhnya

William memutar kedua matanya. Ia menarikku merapat padanya hingga kupikir kami benar benar tidak berjarak lagi. Aku mendorong tubuhku menjauh namun aku tidak dapat melakukannya. Ia terlalu kuat dan itu membuatku semakin frustasi. Fix. William sudah gila. Bagaimana mungkin dia menanyakan pertanyaan seperti itu padaku?

Jantungku tidak dapat berhenti berdetak kencang ketika aku menemukan William tengah menatap bibirku. Akal

sehatku menolak namun aku merasa dia seperti akan menciumku. Oke. Ini mungkin hanya firasatku lagi. Mana

mungkin William menciumku? Kami hanya sekedar sahabat dan…

Deg

William mengecup bibirku pada detik berikutnya. Tubuhku menegang. Aku seolah tidak dapat mengolah hal yang baru terjadi detik sebelumnya. Aku tidak tahu aku harus marah atau justru kasihan pada William. Semuanya terasa ambigu. Aku hanya tidak dapat menahan sakit hatiku ketika kedua pasang mata kami bertemu. Bolehkah aku jujur? Tatapannya mengisyaratkan kebencian atau mungkin lebih ke tidak berperasaannya. Ia mengusap rahangku sebelum kemudian mulai menciumku dengan panas

Aku ingin marah namun aku tidak dapat melakukannya. Aku seperti orang bodoh yang terbius ke dalam ciumannya yang mahir. Gossh, itu adalah ciuman pertamaku. Aku tidak pernah menyangka ciuman pertamaku akan direbut oleh William. Aku masih terlalu speechless dan tidak dapat memproses segala yang terjadi. Ciuman yang terkesan tergesa-gesa ini membuatku meringis sakit. Samar samar aku mendengar William berbisik berkali kali,

"I swear I'll marry you,Kattie Priscilla!"

****

Pemacu Adrenalin

Agustus, 2017

Suara dentingan tali pinggang Calvin Klein terdengar mengenai lantai marmer. Tubuhku yang masih dibalut pakaian pun harus berpuas diri melihat keterlanjangan William yang membuatku tiada henti berdecak kagum padahal kami telah melakukan itu puluhan kali. Laki-laki itu tersenyum nakal padaku sambil menarik telapak kakiku hingga aku jatuh tepat dihadapannya. Ia menanggalkan pakaianku dengan terburu-buru

Aku tidak tinggal diam dengan membantu William menanggalkan pakaianku. Kedua mata William menyala penuh gairah. Dia membaringkanku di kasur berukuran king size kami kemudian menciumku dengan dalam. Tangan-tangannya meremas payudaraku. Aku memejamkan kedua mataku saat William menyingkirkan rambut

hitamku kemudian menanamkan ciuman di lekukan leherku. Suaranya membuatku semakin bergairah. Oh! Aku benar-benar harus menahan diriku agar tidak memohon kepada William, seperti yang selalu kulakukan selama ini. Aku ingin William yang memohon padaku kali ini, tetapi rasanya sangat sulit sekali. Gelombang gairah membuatku hampir terkulai lemas. I need him now!

"Liam....please?"

"No...not yet,Kat. Not now,"

William bermain-main di kakiku sekarang kemudian semakin menanjak naik ke pahaku lalu kedua matanya semakin menyala melihat daerah kewanitaanku. Tangannya mengelus daerah kewanitaanku dengan gerakan menggoda, membuat pipiku memerah. Aku harus mengigit bibirku sambil memejamkan mataku untuk menahan diriku namun siksaan ini membuatku seperti ingin mati saja. Aku benar-benar ingin William memasukiku tetapi dia terlihat senang bermain-main dengan tubuhku. Oh tidak! Tak sadar aku meneteskan air mataku.

"No.. Don't cry. I'll in. Okay?"

William mengelus pipiku. Tangan besarnya terasa hampir menenggelamkan pipiku. Aku harus mengontrol raut wajahku saat kedua pasang mata kami beradu. William menatapku dengan sorot gairah yang kupikir akan membeludak. Dia memberiku satu ciuman dalam sebelum memasukiku. Kami terlibat dalam percintaan yang panas setelah itu. Aku harus menahan tanganku untuk tidak memeluk William setelah sesi percintaan

kami sementara itu ia berbaring telentang menatap langit-langit kamar

"Kemajuan pesat. You are better than you were two years ago," puji William sambil mengedipkan mata padaku. Aku merona

"Jangan berlebihan. Aku tidak semakin maju, but you are,"

William terkekeh mendengar perkataanku. Dia berguling mendekatiku kemudian mencium bibirku ringan. Aku harus menjauhkan kepalaku karena keterkejutan dengan ciuman dadakkan William sementara itu William mengacak rambutku sambil memelukku

"Menurutmu apakah Camilla sudah pantas menjadi seorang kakak?" tanya William dengan kedua mata yang tidak lepas dari  tubuhku yang masih naked. Adik?! Huh! Aku langsung menarik selimut untuk menutupi badanku tetapi William menahan tanganku. Laki-laki itu menundukkan kepalanya mengecup bahuku dengan gemas. Aku memukul ringan bahunya

"Stop it,Liam!"

"Bisakah kita melanjutnya? Please?"

"Tidak! Camilla akan segera bangun. Aku harus membuatkannya susu."

William mengangguk mengerti kemudian memberi jarak di antara kami. Sudut mataku menangkap tatapan William yang masih bergairah padaku saat aku bangkit mengutip pakaian kami yang berserakkan serta memakai pakaianku kembali namun aku berusaha untuk mengabaikannya

"Kamu benar-benar ngga mau melanjutkan ini? Camilla belum bangun. Kupikir ini juga merupakan waktu yang tepat memberikan dia adik kecil,"

William mencoba membujukku namun aku menggelengkan kepalaku dengan tegas

Adik kecil? Apakah William sudah gila? Maksudku, keberadaan Camilla saja sudah membuatku sedih, apalagi jika kami menambah satu anak lagi. Tidak. Aku sama sekali tidak menyesali kelahiran Camilla atau membencinya tetapi

memikirkan akan ada sosok Camilla yang lain dalam hidupku membuatku tidak mampu menyangkali perasaan sedihku. Aku tidak mau memberikan kehidupan yang aneh pada anak anakku. William tidak mencintaiku. Kupikir, dia juga hanya menganggap Camilla dan anak-anak kami selanjutnya  sebagai suatu simbol saja. Dia tidak benar-benar menyayangi anak kami ataupun aku

Aku menggelengkan kepalaku sekali lagi

"Tidak."

"Ayolah. Just hurry session. Lima belas menit saja, oke?"

William telah berdiri dihadapanku dengan keterlanjangannya. Kedua mataku mulai memperhatikan penampilan William dengan rambut acak-acakan akibat perbuatanku serta bibirnya yang sedikit membengkak. Tunggu. Apa yang sudah kulakukan kepada sahabat dan… suamiku?

"Kubilang tidak,Liam. Camilla akan menangis jika aku tidak berada di sisinya begitu dia bangun."

"Should I need to pressure you?"

Dasar keras kepala!

Aku harus tetap berdiri pada pendirianku dengan mendorong William tetapi William membaringkanku di kasur dalam sekejab mata. Pada detik berikutnya aku telah berada di bawah kurungan lengan kekar William. Laki-laki

itu mencium bibirku lagi. Ia benar benar tidak memberiku celah untuk kabur

William baru akan menanggalkan pakaianku lagi saat kami mendengar tangisan Camilla. Aku mendorong William kemudian bergegas membenarkan pakaianku sebelum akhirnya menyusul ke kamar Camilla. Aku tahu aku kejam namun Camilla adalah harta paling berhargaku saat ini. Aku tidak dapat mengorbankan tangis Camilla demi kepuasan diriku sendiri, apalagi jika itu berkaitan dengan William.

"Kamu kejam,Kat." Bisik William . Rupanya ia menyusuliku. Tangannya mengelus pipi tembem Camilla yang memerah karena tangis dalam gendonganku Aku melirik sejenak William yang telah memakai celananya sambil mengangkat bahuku acuh

"Aku sudah memperingatimu."

"You'll pay this tomorrow night."

Jantungku berdebar mendengar rencana William untuk bercinta denganku lagi besok malam tetapi aku tetap harus mengontrol raut wajahku sebaik mungkin dihadapan William. Aku berusaha untuk tidak terdengar terkejut. William menyusuliku menuruni anak tangga

"Memangnya mau ke mana kamu malam ini?" tanyaku. Aku berusaha kelihatan tidak peduli. Semoga saja berhasil

William mencium pipi Camilla gemas ketika aku sedang menyeduhkan susu Camilla.

"Tempat Julis," jawab William ringan

Sebelah alisku terangkat. Julis? Julis di Youth Club itu?

"Benar. Kalian pernah bertemu di Youth Club dulu." sambung William menjawab kebingungganku meski aku tidak menyuarakan pertanyaanku. Ini tidak adil. William begitu pandai membacaku sementara aku tidak pandai membaca William sama sekali, apalagi setelah pernikahan kami yang terjadi dua tahun lalu. Aku tidak tahu mengapa aku menerima proposalnya. Mungkin aku juga sama bodoh dan gilanya. Aku tidak tahu apa yang membuatku seberani itu. Mungkin aku merasa kasihan padanya atau takut ia jatuh ke dalam pelukan wanita tidak baik disana? Entahlah. Yang jelas persahabatan diantara kami tidak semurni itu lagi. Kami melakukan hubungan seksual bahkan memiliki anak bersama, tetapi kami, maksudku William, tidak mencintaiku

Aku tidak munafik. Aku akui aku rupanya masih mencintainya pada detik William menciumku di Youth Club dua tahun lalu. Jantungku berdebar-debar setiap kali memikirkan itu. Niatan untuk membantunya recovery malah membuatku jatuh semakin dalam atas dirinya. Pesonanya membuatku tergila-gila.

Well, aku tahu ini berbahaya. Pernikahan kami juga tidak ada tujuannya. Aku juga tidak tahu mengapa William menikahiku hingga detik ini. Kendati demikian aku ingin mengusahakan yang terbaik atas pernikahan ini. Aku

ingin membuatnya merasakan ini adalah ‘rumah’ yang sebenarnya meski aku tahu William tidak merasakan hal yang sama

"Apakah dia salah satu dari partnermu?"

"Right. Kami akan menghabiskan malam bersama,"

Aku tersenyum getir. Beruntung posisiku sedang membelakangi William sehingga aku tidak perlu memaksa diriku agar mengontrol raut wajahku saat ini. Sebagai sahabat, aku akan terus mengerti keinginan William yang telah mendarah daging sejak William putus dari Yuriska, tetapi jika semakin dipikir-pikir, apakah William tidak puas melakukan hubungan itu denganku sehingga masih sibuk mencari pelampiasan di tempat lain? Atau mungkin dia sengaja melakukannya agar aku mengajukan cerai dengannya? Entahlah. Semua ini seperti misteri

"Well, aku tidak menyangka kalian berhubungan cukup lama. So I guess she is better than me?" tanyaku sambil memberi Camilla minum susu. Aku berjalan melewatinya menuju ke lantai dua. Kuharap raut wajahku tidak berlebihan

"Actually, yes,"

Sialan.

"Good. Atur pertemuan kami. Kupikir aku akan belajar banyak dengannya,"

William terkekeh dengan reaksiku. Dia merangkulku sambil mencuri cium di bibirku. Oh! Tak sadar aku memejamkan mataku. Aku harus menahan diriku agar tidak berteriak pada William mengingat ada Camilla dalam gendonganku. Jika William terus menerus menciumku seperti ini maka aku akan mulai terbiasa. Ini berbahaya. Aku tidak boleh terlalu terbiasa atas hal ini

"Dia tahu semua tentangmu."

"Maksudmu?"

"Tentang hubungan kita."

Sebelah alisku terangkat. Aku tertarik dengan arah pembicaraan kami tetapi aku harus membaringkan Camilla di boks bayi terlebih dahulu sebelum kami melanjutkan perbincangan vulgar kami. Bagus. Camilla tidur kembali. Aku menghembuskan napas lega

"Bisakah kamu menjelaskan denganku apa maksud tentang hubungan kita?" tanyaku sambil melipat tanganku di dada setelah menutup pintu kamar Camilla

"Kamu adalah sahabatku dan.. tidak ada perasaan emosional diantara kita. Kita adalah pasangan suami istri tapi bukan sungguhan,"

Aku merasa pukulan telak pada jantungku. Rasanya perih namun aku masih harus berpura-pura memasang raut wajah datar sambil menganggukkan kepalaku. Kedua pasang mata kami beradu. Aku harus menerima kenyataan bahwa memang tidak ada sedikitpun ruang bagiku di hati William selain sebagai sahabat

Aku berdeham pelan

"Kamu mengatakan itu kepada semua patnermu?"

"Kecuali kamu."

"Kenapa begitu?"

"Tidak ada wanita yang mau melakukan hubungan badan dengan laki-laki yang sudah menikah. I mean.. ya mungkin ada. Tapi tidak semua,"

"I see. Then, all of your patner must have already known about us."

William mengangguk tanpa raut wajah bersalah sama sekali sementara aku harus mencoba menerima.

Bukankah ini resiko yang harus kuterima?

"Apakah kamu keberatan?" tanya William sambil merapikan rambutku

Geez… aku baru sadar posisi kami terlalu dekat. Aku melangkah mundur dengan refleks supaya William tidak menyentuh rambutku. Rasanya sangat tidak tepat jika kami berdiri sedekat ini setelah ia

‘menghancurkan’ hatiku, setidaknya untuk hari ini saja

"Tidak. Itu adalah hakmu dan hakku."

"Kamu tidak akan menggunakan hakmu. Aku yakin,"

"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"

"Kamu tidak menggunakan hakmu selama dua tahun pernikahan kita."

"Tetapi bukan berarti aku tidak bisa menggunakannya bukan?"

William mengangkat bahu sambil memasukkan tangannya di saku celananya. Tatapannya penuh menyelidik, persis seperti saat William tahu aku menyukai Didi sewaktu SMA dulu. Aku mengangkat daguku tinggi-tinggi, menolak untuk merasa terintimidasi karena tatapan matanya. Lagian kami telah mendiskusikan ini sejak awal. Kami memberikan satu keistimewaan hak atas hubungan ini, yaitu berhubungan dengan lawan jenis. Aku tidak tahu mengapa aku segila itu menerima persyaratan ini atas pernikahan kami. Well, aku memang bodoh

"Kamu lagi dekat dengan laki-laki lain?" tanya William hati hati. Ia menatapku dengan tatapan menyelidik

"Iya. Em, tidak. Mungkin. Aku ..."

*S**t! *Aku berencana berbohong namun mengapa aku bahkan tidak dapat berbohong tanpa gugup?

"Jangan gugup. Ini tidak disebut dengan perselingkuhan."

William meremas bahuku pelan. Ia mengukir senyum tipis di sudut bibirnya,"I will always support you,Kat. Kita hanya perlu merayakan hari dimana kamu menggenapi hak kamu itu. Okay?"

William menepuk bahuku sekali lagi sebelum kemudian langsung melarikan diri ke kamar. Well, just like another bastard guy,right?

Aku kembali ke kamar Camilla setelah itu. Perasaan sedihku berganti dengan kehangatan saat melihat

Camilla. Sejenak, aku melupakan persoalan hak kami. Tidak lama kemudian, William bergabung dengan kami. Aroma wangi sabunnya membuatku melirik William dengan refleks. Laki-laki tampan itu terlihat begitu dekat namun entah mengapa aku merasakan jarak yang tercipta semakin besar diantara kami

Jantungku bergejolak ketika William mendapati aku tengah menatapnya. Aku bergegas memalingkan wajahku. Huh! Aku berusaha semaksimal itu untuk mengabaikan perasaanku namun rupanya itu merupakan hal tersulit yang dapat kulakukan setidaknya untuk saat ini

Aku memutuskan untuk mandi. Aku butuh menyegarkan pikiranku yang telah berantakan. Aku berusaha mencoba menyakinkan diriku sendiri berkali kali bahwa kami adalah sahabat. Kami bukanlah pasangan suami istri. Ya, benar. 'Bestfriend' forever. It does sounds better than a spouse,right? At least, untukku. Aku harus berhenti berharap pada William. Semoga aku berhasil

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!