Prolog
Sebuah kenangan akan terukir di setiap insan manusia
Entah itu adalah kenangan indah atau buruk
Namun
Kenangan itu akan terukir dan membekas di hatinya
Begitu juga dengan ku
Semua yang aku jalani hingga saat ini telah mengisi relung hati yang paling dalam
Terlebih perlakuan seseorang yang memberiku trauma
Hingga aku tanpa sadar membangun dinding besar dalam diri
Bisakah aku meruntuhkan dan merasakan kembali hangatnya sang mentari?
Atau aku memang ditakdirkan untuk sendiri?
(Wina)
...*...
...*...
...**...
Ini adalah jalan yang aku pilih
Apapun konsekuensinya harus aku tanggung sendiri
Meskipun itu akan membuatku terpuruk
Sesakit apapun itu nantinya
Aku harus tetap melangkah
Hingga
Aku melihat sosok bidadari tanpa sayap
Dengan wajahnya yang teduh
Membuatku merasa nyaman, meski hanya melihatnya
Dan perjalanan cerita hidupnya yang tangguh
Membuatku untuk bertahan
Salahkah aku jika aku menaruh hati untuknya?
(Liu Xinghai)
...*...
...*...
...**...
Akhirnya aku bisa berkarya lagi
Meskipun banyak rintangan di awal
Akhirnya membuahkan hasil
Jerih payah yang selama ini aku perjuangkan akhirnya terbayar sudah
Tingga mencari kebahagiaan jiwa
Dan saat aku itulah doaku terjawab
Disanalah kamu hadir
Hanya aku merasa sulit untuk menggapaimu
Seperti ada jarak dan tembok tinggi diantara kita
Ada apa denganmu?
Ataukah ini hanya perasaanku saja?
(Kun Wang Zhao)
...*...
...*...
...**...
Setiap hidup manusia memiliki cerita
Mereka juga memiliki mimpi
Hingga waktu mempertemukan mereka
Menjadikannya tujuan hidup
atau
Menjadikannya pelajaran hidup
Tidak ada yang tahu
Karena semuanya sudah tercatat
Dalam buku takdir
Jadi bagaimana denganmu?
...*...
...*...
...**...
“Aku lelah. Lelah berjuang sendiri. Lelah berdiri sendiri. Lelah melangkah sendiri. Ya, aku lelah “
– Wina–
Wina POV
Istilah ”kehidupan itu tidak semulus jalan tol” ternyata benar adanya. Bukan hanya isapan jempol semata, karena itu yang sedang aku alami saat ini. Banyak tikungan, tanjakan yang bahkan tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku pikir dengan memilih jalan baru, aku berharap akan jauh lebih mulus dari sebelumnya, ternyata SALAH BESAR. Ibarat jarum dalam tumpukan jerami, nah jarum itu adalah aku. Banyak kejadian diluar ekspektasi ku selalu hadir tanpa henti. Sangking banyaknya, badan terasa amat berat. Bukan hanya berat badan yang aku pikul, beban hidup pun harus aku panggul.
Bertahan … bertahan … dan bertahan …
Entah sampai kapan.
Putri Wina Bagaskara, itu nama yang aku bawa hingga sekarang. Anak pertama dari tiga bersaudara. Dari kecil aku tidak bisa memilih jalan hidupku sendiri, entah apakah ini takdir sebagai anak pertama. Beberapa orang pernah berkata padaku bahwa “ orang tua itu lebih tau apa yang terbaik untuk anaknya. Mereka begitu karena sayang pada anaknya. Mereka begitu karena tidak ingin anaknya tidak sukses dan bahagia” dan masih banyak lagi. Tampaknya hanya aku saja yang merasakan hal seperti ini atau kalian juga merasakannya hal yang sama? Entahlah … Tapi saat itu, aku merasa hanya aku saja mengalaminya.
Jika dirunut ke belakang, sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah memiliki hasrat untuk pergi dari rumah. Seperti dalam film dimana mereka kabur lalu hidup sesuai keinginannya sendiri dan berakhir bahagia. Ingin rasanya seperti dalam film, tapi apa daya nyaliku terlalu kecil untuk keluar dari comfort zone ini. Jadinya, aku yang sudah duduk di pinggir bingkai jendela rumah, akhirnya menjauh. Hingga aku memasuki masa SMA, aku telah menjadi introvert person dalam keluarga. Pulang sekolah langsung masuk kamar dan keluar saat perut sudah berdendang. Hal itu setiap saat aku jalani hingga sekarang. Ada kalanya aku merasa ingin pulang ke rumah, padahal aku sudah ada di dalam rumah. Namun rasanya bukan rumah yang seperti ini yang aku rindukan.
Hari demi hari aku jalani hingga memasuki ujian sekolah. Kesibukan sana sini aku ambil untuk menutupi kekosongan jiwa. Stress pun tak luput dalam perjalanan sekolahku hingga entah dari kapan pikiran itu muncul, Suicide.
Ya, hasrat itu muncul begitu saja. Saat itu, aku sudah mulai melirik pergelangan tangan kiriku. Ku sentuh perlahan, ku cari posisi nadinya dan tampaklah berbagai macam warna didalamnya. Namun warna gelap mendominasi, tampak seperti akar yang menjalar. Hingga saat aku ingin memutus akar itu, tiba-tiba nyaliku menciut. Rasa takut dan sakit timbul sebelum aku mengeksekusinya. Pada akhirnya aku kembali ke dalam rutinitas sebelumnya.
“Kamu tidak sendiri, ada aku disini “
– Lio –
Lio POV
“Kenapa juga mereka harus ikut campur! Hidup juga hidup aku, kenapa mereka yang rungsing! Ribet !!” keluh Lio.
Liu Xinghai, atau biasa dipanggil Liu, cewek tomboy, rambut cepak, wajah cantik sekaligus tampan menjadi jati dirinya. Siapa sangka, ketomboyannya membuat beberapa orang iri hati padanya. Dengan badan tinggi berisi, rambut cepak, selalu berpakaian cowok masa kini dan jangan lupa wajahnya yang cantik plus tampan bak pangeran yang akan naik kuda putih. Meskipun lingkungan disekitarnya tidak ada yang mendukungnya, namun dia masih bersyukur karena orang tuanya selalu mendorong dan support di sepanjang jalan yang dia ambil.
Sepanjang jalan, jatuh bangun Liu lalui, menjadikannya sosok tangguh sekaligus memiliki sifat dingin pada orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Dibalik sifat dinginnya, Liu adalah sosok yang hangat dan perhatian. Dan disaat Liu sudah nyaman dan sayang pada seseorang, maka dia tidak akan pernah melepaskannya.
Kesehariannya selalu dihiasi dengan tumpukan buku pelajaran, les menari dan menyanyi. Hasilnya dia memiliki suara bak dewa dewi yang dapat menghipnotis siapa saja yang mendengarkannya. Begitu juga tariannya, orang-orang akan langsung jatuh hati dibuatnya. Meskipun Liu memiliki banyak keahlian, tidak menjadikan Liu orang yang sombong. Liu selalu membantu tanpa pamrih pada semua orang yang membutuhkan bantuannya.
Berbagai kompetisi dia ikuti. Kegagalan demi kegagalan sudah menjadi makanan sehari-hari. Hingga dia diterima dan bergabung dalam acara pencarian bakat girl band di Tiongkok. Bukan hidup namanya jika tidak dilengkapi dengan tantangan. Saat Liu bergabung pun, kerikil-kerikil itu telah menunggu sang penghuni baru.
Tiap hari, tiap jam, tiap detik selalu dia habiskan di ruang latihan dengan harapan memperoleh pengakuan sang pelatih merangkap juri. Jika ada yang tanya, “kamu nggak capek?”, Liu hanya tersenyum sebagai jawabannya.
Disaat Liu berada pada tahap down, dia akan pergi ke rooftop untuk menenangkan diri. Kadang hembusan angin menemaninya sekaligus sebuah kesunyian. Hingga terkadang sebutir air bisa lolos dari netranya. Seperti sekarang.
“Aku harus kuat. Aku pasti bisa. Ini hanya cobaan. Aku yakin bisa. SEMANGAT!!!!” teriaknya menyemangati diri.
Saat Liu hendak kembali ke ruang latihan, tanpa sengaja dia melihat sosok wanita cantik berdiri tak jauh dari posisinya sekarang. Tampak pipi wanita itu basah karena air mata yang terus keluar dari mata sendunya.
“Siapa dia? Kenapa dia menangis?” batin Liu.
Seperti terhipnotis, kaki jenjangnya melangkah mendekati wanita itu. Dirogohnya kantong celana dan diambilnya secarik kain putih berhias inisial namanya di ujungnya yang selalu dibawanya. Disaat jarak mereka kurang dari satu jengkal, Liu pun menyodorkan kain itu. Sang wanita tertegun. Mata sembabnya menatap Liu yang tersenyum tulus untuknya, “ini…”.
“Terimakasih”, lirihnya.
“Are you ok?”
“Yes, i’m”. Suaranya bergetar masih terdengar jelas oleh Liu. Mata indahnya masih menahan gerombolan air yang mencoba menerjang.
Melihat wanita itu menangis dalam diam membuat hati Liu terasa sesak. Reflek Liu mendekat, diambilnya kepala sang wanita dan direngkuhnya dalam tubuhnya. Liu pun membelai rambutnya, berharap bisa meringankan beban sang wanita. Namun dia salah. Liu merasakan baju depan yang dikenakannya bertambah basah.
“Hei, kamu tidak sendiri disini. Masih ada aku … “ ucapnya. Hanya isak tangis dan tubuh yang bergetar sebagai jawabannya.
Ada apa denganmu?, batin Liu.
“Sangat indah, aku menyukainya”
— Wina —
Wina POV
Akhirnya aku sampai juga di tempat tujuan. Setelah sekian lama duduk diam dalam bangkupesawat, akhirnya aku dapat meregangkan badan dan menghirup udara segar. Saat ini aku berada di salah satu kota terbesar di negara China. Kota yang terkenal dengan City of Flower - nya. Menikmati pemandangan yang terpampang jelas di depan mata. Merasakan atmosfer yang berbeda dengan biasanya, tanpa sadar seutas senyum terukir di wajahku.
Semangat, perjalanan baru akan dimulai, batinku menyemangati.
Setiap langkah dengan iringan alunan roda koper di sampingku menemaniku siang itu. Gedung-gedung yang menjulang tinggi menghiasi perjalananku. Rasa kagum dan takjub tidak bisa hilang dari pandanganku. Sama seperti yang aku lihat di TV maupun laman google, hanya ini lebih indah jika dilihat langsung. Debar jantung yang terasa kencang membuatku lebih semangat sekaligus khawatir. Khawatir akan ada kejadian yang tak terduga. Seperti sebuah firasat.
Aish… ada apa ini? Kenapa sampai sesak begini? Semoga bukan firasat buruk”, batinku sambil memegang dada yang terasa tidak nyaman.
Aku pun memilih untuk duduk di bangku taman untuk meredakan sakit di dada. Udara bersih dan hamparan taman bunga nan indah membantu menetralisir keadaanku saat ini. Senang rasanya aku bisa menikmati suasana seperti ini. Pikiran semrawut , sakit dada hingga keadaan depresi sebelumnya seakan-akan hilang sudah.
Kesampean juga bisa duduk di taman bunga seperti ini. Kenapa gak dari dulu aja ya? Kenapa juga harus di negara orang baru kesampean?, batinku mengingat masa-masa sulitku.
Sudahlah, aku harus tetap semangat. Tidak boleh menggerutu terus. Pasti ada alasan dibalik semua ini. Ayo semangat!!!
Ku ambil tumblr yang aku bawa dari rumah, ku buka dan ku teguk hingga tandas. Setelah membasahi kerongkongan, aku memutuskan untuk mencari taxi yang akan mengantarkanku ke penginapan.
***
Pagi ini ku langkahkan kaki ke arah calon tempat kerja dengan semangat. Hembusan angin menyambut ku selama perjalanan. Beberapa helai rambutku menari tanpa arah karenanya. Kekaguman terpancar jelas sejak kemarin aku pijak kakiku di negara ini. Banyak gedung tinggi yang berdiri indah dan kokoh di sepanjang mataku memandang. Meskipun bukan bangunan dengan arsitektur modern, namun keunikan yang tetap terjaga inilah yang menjadi ciri khas dari perusahaan-perusahaan itu. Hingga aku sampailah di tempat tujuan. Perusahaan ini memiliki keunikan sendiri. Dinding yang bercorak batu bata merah dengan jendela-jendela yang memiliki rangka tengah menghiasi setiap bagian dinding itu. Tak lupa, anak tangga berwarna putih gading berjajar rapih seakan-akan menyambut. Sekilas aku kira salah alamat, karena tampak seperti kampus tua yang ada di negara-negara Eropa dengan hamparan rerumputan yang membentang luas di depannya dan beberapa pohon rindang yang berjajar di sepanjang jalan menuju gedung ini. Tak lupa dengan tambahan bangku panjang berbahan kayu yang melekat tepat dipinggirnya seolah-olah siap menemani siapa saja, menghantarkan sang mentari menuju rumah sang bulan.
Angin berhembus sedikit kencang membuatku reflek memeluk diri sendiri. “Brrr… dinginnya. Padahal sudah rangkap 2”, gumamku.
Ya, aku melupakan hal yang paling krusial saat masuk ke negara orang. Jika di Indonesia hanya ada 2 musim, tapi disini ada 4 musim.
“Sepertinya mau masuk musim dingin. Harusnya aku tidak meninggalkan syal itu dikamar”, keluhku. Saat aku masih bergelut dengan rasa dingin yang menempel pada tubuh, smartwatch ku berbunyi, menginformasikan bahwa waktu janji meeting tinggal 15 menit.
“Ya ampun, 15 menit lagi!” ucapku sambil berlari menaiki anak tangga. Sangking banyaknya, aku selalu melewati satu anak tangga di depannya. Aku yang notabene sangat disiplin dan menghargai waktu, sebisa mungkin aku tidak boleh terlambat barang 1 menit pun. Namun hari ini aku sangat ceroboh hingga hampir terlambat hingga …, “ Eh… aaagh…”
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!