Pernahkah kalian membaca cerita "The Ugly Duckling"? Seekor bebek buruk rupa, mungkin kalian mengira jika itu hanyalah sebuah dongeng. Sayangnya, dongeng itu nyata bagiku. Inilah kisah ku.
Ini aku, Cendrawati Sarah Wicaksono. Namaku sangat bagus, tapi tidak dengan wajah dan tubuhku.
Salahkah ibuku jika aku begini? Tidak!
Salah Ayahku? Tidak!
Apakah aku akan menyalahkan Tuhanku? Tentu saja tidak!
Salahku sendiri, jika aku tidak dapat bersyukur atas karuniaNya.
Ibu dan Ayahku tentu saja memberikan yang terbaik untukku, anak satu-satunya.
Ya, Aku anak tunggal.
Aku Sarah, usiaku 16th yang baru saja akan menjejakkan kaki di Sekolah Menengah Atas. Kehidupan nerakaku dimulai sejak saat ini, sebab aku masuk kedalam sekolah yang sangat populer di kotaku.
Ibuku bekerja sebagai buruh cuci, sedangkan ayahku bekerja sebagai tukang bangunan.
Beruntungnya aku, punya keluarga yang masih lengkap dengan kasih sayang tulus.
Ibuku sama seperti wanita asia pada umumnya, kulitnya kuning langsat dan wajahnya khas asia, cantik manis.
Ayahku pun sama seperti lelaki asia pada umumnya, tinggi, kulitnya coklat dengan wajah yang rata-rata. Bagiku, ayah adalah super hero. Beliau selalu berusaha keras membanting tulang untukku.
Lain halnya aku yang mempunyai tubuh besar, kulit coklat, mata besar, rambut seperti ombak mengamuk, dan bibir hitam.
Tak ada hal yang membuatku sedih hingga hari ini, hari pertamaku masuk sekolah.
"Semuaaaaa ... Istirahat ditempaaaatttt GRAK!!" teriak kakak pembina yang saat itu memimpin MOS.
Kakak-kakak yang lain segera mengecek kelengkapan sekolah kami.
Mereka memutariku berkali-kali. Aku tidak tampak seperti murid lainnya yang terlihat bersih, tidak berkeringat dan memakai aksesoris mahal.
Aku pun mengeluarkan senyuman khasku yang sangat digemari para warga di kampungku, karena aku sangat suka menyapa mereka dengan ceria.
Tapi ...,
"Eh b**i, ngapain loe senyum-senyum ke gue?" ucap salah seorang kakak pembina perempuan.
"Busuk banget sih, loe udah mandi belom?" tanya yang lainnya.
Aku paham, jika aku tidak seperti murid beruntung lainnya dengan kehidupan yang baik.
Semua siswa menaiki mobil, motor atau antar jemput, sedangkan aku naik sepeda yang jaraknya juauuhhh bet dah.
"Em ... maaf kak, saya tadi abis olahraga pagi. Kayuh sepedah dari rumah sampai kesini." ucapku dengan cengiran khas-ku.
"Emang rumah loe dimana sih?" ketua pembina bertanya.
"Woiii bubarin kami dulu, panas nih. Ntar loe introgasi ampe puas dah tuh ba*i." ucap salah seorang siswi baru yang berada di salah satu barisan.
"Eh bener juga."
"Siap grak! bubar barisan jalan!" ucap kakak pembina memberi perintah.
Saat aku akan berbalik menuju kelas, kakak pembina memanggilku dan memintaku untuk tinggal.
"Sarah? ya, nama loe Sarah kan?" panggilnya.
Seneng banget dong pastinya ada yang paham namaku.
"Iya kak, itu aku." ucapku sambil mengangkat tanganku tinggi.
"Wuekkk." kakak yang lain membungkuk, berpura-pura muntah karna mencium bau busuk dari badanku.
"Turunin tangan loe! cepet!" ucapnya.
"Eh maaf kak." ucapku dan segera mengecek bau badanku. Bagiku biasa saja, tidak ada bau menyengat.
"Loe udah baca peraturan sekolah belom?" tanya kakak pembina.
"Udah kak." jawabku
"Terus, kenapa loe bau badan?"
"Nah, kan tadi udah aku bilang kak, berangkat sekolahnya aku naik sepeda gitu." ucapku sambil memajukan bibirku.
Saat itu aku tidak tahu kejamnya dunia high class.
"Kagak usah monyong-monyong tuh bibir. Gua tabok baru tau rasa loe!" bentak kakak pembina yang lain.
"Gini ya, dengerin baik-baik aturan disini:
1.Tidak boleh bau badan, karena bau badan dapat mengganggu kenyamanan belajar.
2.Tidak boleh gendut, karena gendut dapat merusak pemandangan.
3.Tidak boleh naik sepeda."
"Kenapa?" tanyaku polos.
"Loe nggak liat tuh, mana ada tempat parkir sepeda? mang Dadang aja pake motor noh." jelas kakak pembina.
"Mang Dadang?" tanyaku.
"Ya elah Summm ... Mang Dadang tuh, tukang kebun sekolah ini. Loe baca nih, Daftar Guru dan Pekerja yang ada di sini." ucap kakak pembina seraya menyodorkan kertas itu ke dadaku sedikit keras.
"Makasih kak, tapi nama saya Sarah bukan Sum." ucapku polos.
"Polos banget dah nih anak." ucapnya.
"Udah, mending sekarang loe masuk kelas". Titah ketua pembina.
Sekolah ini sangat luas, berjalan berkeliling mencari kelas sangat melelahkan. Membuat lemak dibadanku pun meleleh kembali.
Setelah 30 menit bertanya dan mencari kesana kemari, baru aku tahu dimana kelasku, kelas XA.
Tok ... tok ... tok ....
"Permisi bu." ucapku.
Bu guru itu menurunkan kacamatanya sedikit, melihatku dengan tatapan tak enak dari atas hingga ke bawah.
"Kamu murid sini?" tanyanya.
"Iya bu, saya Sarah murid XA." jawabku.
"Kamu yakin tidak salah kelas?" tanyanya lagi.
Aku membuka surat penerimaan murid baru dari sekolah ini dan membacanya lagi dengan seksama.
"Iya bu betul, ini kelas XA." ucapku seraya menunjukkan padanya.
"Mulai besok, saya tidak mau kamu terlambat apapun alasannya." ucap Guru itu angkuh.
"Baik bu." jawabku dengan melangkah memasuki kelas.
"Dan ingat, untuk memakai deodorant dan pakaian kering bersih." ucapnya lagi.
"Baik bu." ucapku lesu.
Aku mendapat tempat duduk paling depan yang pastinya dihindari oleh anak-anak lain, tapi aku justru senang mendapat tempat ini.
Setidaknya, aku mendapat tempat favorit ku. ucapku dalam hati.
Perkenalan berlangsung hanya 30 menit, sebab aku terlambat.
Semua anak bubar, hanya tinggal aku dan seorang siswi cantik tapi pemalu yang duduk dibelakangku.
"Maaf, ini adalah catatan hari ini jika kau ingin meminjamnya." ucapnya sopan.
"Oh baiklah, terimakasih." akupun tersenyum cerah.
"Aku Nia. Maharania Putri." ucapnya memperkenalkan dirinya.
"Aku Sarah." ucapku dengan menyambut jabatan tangan miliknya.
Terimakasih Tuhan, masih ada yang mau berteman denganku. doa syukurku dalam hati.
Akupun menyalin catatan dari Nia, tak banyak yang dicatat, hanya jadwal 1 minggu kedepan dan nama guru kami adalah Bu Ratna.
"Terimakasih Nia." ucapku seraya mengembalikan bukunya.
"Sama-sama, besok ketemu lagi ya." Ucap Nia seraya melambaikan tangannya.
Masih terasa canggung mempunyai teman baru.
Aku melangkah keluar dari kelas, lalu menuju tempat parkir. Ku ambil sepedaku yang sangat antik, karena memang hanya satu-satunya di sekolah ini. Hehehehe
Aku pun mulai mengayuh sepeda ku, menuju rumah tempat dimana aku merasa paling nyaman.
"Sarah pulang bu." Salamku.
"Lekas ganti pakaian, lalu makan siang nak." teriak ibuku dari belakang rumah.
Ibu sedang mengangkat pakaian yang sudah kering, kemudian beliau akan merapikannya.
Akupun bergegas masuk kedalam kamar dan berganti pakaian.
"Gimana sekolahmu hari ini nduk?" tanya ibu.
"Baik bu, sekolahnya gedeee banget. Sarah seneng sekolah di sana bu. Gurunya baik-baik." ucapku bohong.
"Baguslah kalau kamu senang."
"Sarah janji akan belajar dengan rajin dan menjadi orang sukses bu. Kelak, ibu nggak usah susah-susah kerja beginian." jelasku.
"Iya, yang penting sekarang Sarah makan yang banyak. Ini, udah ibu masakain jengkol kesukaan Sarah." ucap ibu.
"Makasih bu." Jawabku dan segera makan dengan lahap.
Perempuan mana yang mau mempunyai tubuh sepertiku.
Jelek, gendut, hitam, miskin, bau bawang.
Apakah aku menangis? pastinya.
Anak mana yang tidak menangis jika mendapat hinaan seperti ini? Tapi, lebih sakit hati ibuku yang melahirkanku, jika mendengar orang mencibirku.
Itu sebabnya aku tidak memberitahu ibuku hinaan yang aku dapat hari ini. Aku hanya berdoa semoga hari esok lebih baik.
Pagi ini aku berangkat dengan wajah cerah, secerah mentari pagi ini. Kukayuh sepeda mini ku sambil sesekali kusapa para tetanggaku.
Akupun terus mengayuh sepeda kesayanganku, hingga sampai didepan gerbang sekolah yang bagiku adalah gerbang neraka.
Aku memarkir sepedaku di tempat biasanya. Tapi,
"Heh! Bukannya loe udah diperingatin berkali-kali ya, ini tuh tempat parkir motor bukannya sepeda." ucap Sherly ketua genk Barbie.
Sherly merupakan anak kelas X yang sialnya sekelas denganku, XA. Dia datang bersama-sama dengan 3 temannya, Laura, Celine dan Jesica.
"Tapi, nggak ada larangan buatku naik sepeda kesekolah dan parkir disini." bantah Sarah.
BRAK!!
Celine menendang sepeda kesayanganku hingga jatuh. Akupun bergegas membetulkan letak sepeda ku, tiba-tiba saja Laura menendangku hingga aku tersungkur.
"Denger baik-baik ya." ucapnya sembari mencubit pipi chubby ku.
"Loe nggak pantes ada di sekolah ini!" Ucap Laura dengan lambat.
Dirinya pun mengelap tangannya di bajuku.
"Yuk genks, kita masuk." ajak Sherly selaku ketua Genk.
Aku menunduk tak berdaya, menerima nasibku yang buruk.
Aku berjalan jauh dibelakang mereka, genk Barbie yang sangat dikagumi oleh siswa siswi satu sekolah. Entah apa pekerjaan Ayah Ibu mereka, hingga bisa jadi begitu sombong.
Mereka berjalan berlenggak lenggok melewati lorong sekolah dengan pesona, seolah-olah sedang berada di atas panggung.
Banyak cowok yang meleleh dan tersihir saat mereka lewat.
Tubuh sexy, kulit putih, tinggi, kaki jenjang, badan wangi. Sempurna. At least kata mereka, tapi tidak untukku.
Mereka seperti serigala berbulu domba. Cantik, tapi hatinya busuk.
Sangat berbeda dengan mereka. Alangkah malangnya aku, ketika berjalan melewati lorong sekolah.
"Ihhh ... bau busuk apaan nih." ucap seorang siswa sembari menutup hidungnya.
Kucium ketiakku ... nggak bau.
Kulihat sepatuku ... nggak ada t*i kucing.
Akupun mengangkat bahu sambil lalu.
"Minggir ... minggir ... ada gajah lewat nih, gua kegencettttt." ucap siswa lainnya, sambil berpose layaknya seseorang yang tubuhnya tertindih sesuatu.
Akupun mempercepat langkahku, malas dengan ocehan mereka.
"Wihhh, itu muka ato tanah kerikil?" gelak tawa memenuhi lorong.
Aku menundukkan mukaku malu sambil berlari.
"Woooww ... gempa bumiii ... " teriak seorang siswi.
Gelak tawa terdengar di seluruh lorong sekolah, aku terus berlari dengan menahan sakit hati dan air mata.
BUKKK!!!
Aku menabrak sesuatu, oh seseorang yang sialnya dia terjengkang karena menabrakku.
Pria tertampan dan terkaya disekolah ini.
KENJIRO.
Kenjiro Bagaskara.
"Mmaafkan aku." ucapku seraya mengulurkan tangan memberi bantuan.
"Woi b*bi, mata loe dimana?!" Marahnya sambil berdiri di bantu genk barbie.
"Aduh ... sayangku, kamu gak papa kan?" ucap Sherly sambil memutar mutar tubuh Kenjiro.
"Kalo jalan lihat-lihat donk! jangan gedein jerawat! Buka tuh mata!" ucap Laura sambil mendorong kepalaku.
Banyak siswa yang menyudutkanku, hingga kulihat dari kejauhan bu Ratna sedang berjalan menuju ke arah kami dan Nia berada di sampingnya.
Langkahnya memecah kerumunan hakim masal itu.
"Ayo." ucap Nia cepat dengan menarik tanganku untuk bergabung berjalan bersama mereka.
Tak berhenti disini, didalam kelaspun masih banyak cemoohan dan candaan yang menyayat hati dari mereka.
"Bu, bunga Rafflesia itu tumbuh dimana?" teriak salah seorang siswa.
"Rafflesia tumbuh di daerah kalimantan, sumatra dan beberapa pulau lain di indonesia." jelas bu Ratna.
"Tapi, kenapa baunya kecium sampe di sini bu?" timpal Jesica sembari menutup hidungnya dan menunjuk ke arahku.
Bu Ratna hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka, sedangkan aku menunduk malu.
Tettt ... Tetttt ... Tettttt.
Bel tanda sekolah telah usai.
Aku bermaksud untuk berdiri setelah mengemas barangku.
KRAKKK!!!
Suara sobekan itu terdengar begitu merdu. Aku menoleh kebelakang.
Yup, itu suara rok ku yang sobek. Ada yang dengan sengaja memberi lem pada kursiku.
Seluruh siswa di dalam kelas tertawa, Bu Ratna tak mau tahu. Dia hanya memalingkan wajahnya sambil berlalu keluar ruangan.
"Kentut loe sakti banget!!" Teriak Laura.
Seisi kelas semakin riuh dengan tawa hinaan.
Sherly bergegas mengambil ponsel nya. Merekam kejadian ini dan memposting video aib ku.
Nia tak tega melihatku dipermainkan, dengan segera dirinya melepas jaket berwarna hijau muda itu, memasangnya pada bagian belakang tubuhku yang sudah pasti terekspose tanpa sensor.
Tak butuh waktu lama, bunyi ponsel bersahutan. Notifikasi pesan masuk dari seluruh siswa di kelas, aku rasa satu sekolah sudah tahu berita ini.
Aku menunduk malu. Nia memegang pundakku dan menuntunku keluar dari kelas.
Entah mengapa tak ada yang berani berbuat usil pada Nia, dia selalu membantuku.
Tak cukup itu, sampai di parkiranpun mereka masih membully ku.
Sepeda kesayangku, alat transportasiku dan harta bendaku satu-satunya pun mereka hancurkan.
Rodanya tak berbentuk, setirnya lepas, pedalnya rusak.
"AAAAAAAAARGHHHH!!!!!" Marahku saat itu.
Pasalnya, aku memikirkan alasan apa yang akan aku sampaikan pada ibuku.
Aku terjatuh di halaman sekolah dan menangis. Berbulan-bulan aku menahan siksaan dari mereka.
"Apa salahku Nia? Aku tidak meminta bersekolah disini, di neraka jahanam ini!" teriakku marah.
Nia tak bersuara, dirinya memapahku untuk masuk ke dalam mobil antar jemput nya.
Di dalam perjalanan aku bercerita padanya.
"Sebenarnya, aku memang tidak pantas bersekolah disana."jelasku.
"Aku ini orang sederhana, nggak tau kenapa Tuhan taruh aku di SMA ini. Awalnya, aku pikir jika SMA ini adalah mimpi semua anak. Ternyata aku salah, ini adalah neraka." tangisku pecah.
Nia hanya menepuk-nepuk pundakku pelan.
"Sudah atau belum nih nangisnya? kita udah keliling kota loh dari tadi." ucap Nia.
"Keliling kota? kok bisa?" tanyaku ling lung sambil menghapus air mata.
"Nah, aku mana tahu alamat rumahmu." ucap Nia dengan senyum manisnya.
"Huaaaaa ..." tangisku kembali pecah.
"Cuma kamu sahabatku Niaaaa ..." aku memeluk Nia erat.
"Ekkhh ... Sarr ... Sarah ... ak ... aku ..." Ucap Nia terbata-bata.
"Ups ... maaf Nia. Rumahku ada di jl.Duku."
"Baiklah, kita berangkat." ucap Nia.
Tak lama sudah sampai di Jl.Duku.
"Yang mana nih rumahmu?" tanya Nia lagi.
"Masih agak jauh sih, ujung jalan ini." ucapku dengan cengiran khas ku.
"Kamu naik sepeda setiap hari dari sini ke sekolah?" tanya Nia tak percaya.
"Iyaa ..." jawabku.
"Astagaaa ... ini jauh banget loh Sarah." ucap Nia.
Aku mengangkat bahuku.
"Bapak sama Ibu sanggupnya beli tanah di belakang sana, yang membangun rumah juga bapak sendiri dibantu ibu." Jelasku.
Sampai di depan rumah, aku pun melihat banyak orang berkumpul yang membuatku penasaran.
Aku turun dari mobil dan memecah kerumunan orang banyak ini, banyak yang menghalangiku tapi aku tetap maju mencari Bapak dan Ibuku.
Betapa kagetnya aku melihat tubuh Ayahku dan Ibuku terbaring kaku, sedang di basuh dengan air kembang.
"Bapak? Bapak?! Bu ... ibu!!" panggilku.
"Bapak? pak? Bapak?!" panggilku kepada Ayahku yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.
"Bu ... Ibu ... Ibu bangun bu ..." tangisku menggoyang tubuh ibuku.
"Apa yang terjadi pak?" tanyaku pada Pak Kadir selaku ketua RW kami.
"Yang sabar ya Sarah, Bapak Ibu mu korban tabrak lari." Jelas Pak Kadir.
"Tabrak lari?! emang ibu sama bapak dari mana pak?" tanya ku meminta penjelasan lebih lanjut.
"Tadi, bapakmu nganter ibu keliling kompleks antar cucian. Menurut orang-orang disana, ada sekelompok anak yang naik mobil sangat kencang lalu terjadilah hal itu." jelas Pak Kadir.
Ya Tuhan ... cobaan apalagi ini? kenapa kau juga ambil kedua orang tuaku? Tidak cukupkah hinaan yang aku alami ini?!! Aku menangis duduk bersimpu.
"Sarah, sekarang yang penting kita mandikan jenazah Ayah dan Ibu mu dulu." ucap Nia menyadarkanku.
Aku memeluknya erat, kemudian beranjak berkumpul bersama tetanggaku untuk memandikan Ayah dan Ibuku.
Aku tidak mempunyai saudara ataupun kerabat, tapi untungnya para warga sangat perhatian kepada keluargaku.
Nia menemaniku sepanjang hari hingga malam tiba.
"Terimakasih Nia, kamu memang sahabat terbaikku." ucapku memeluknya.
"Entah apa yang terjadi padaku, kalau nggak ada kamu." lanjutku.
"Nggak apa-apa Sarah, aku sangat senang bisa membantumu. Kamu itu benar-benar cantik didalam." Ucap Nia menguatkanku.
"Aku nggak bisa masuk sekolah dengan video seperti itu." keluhku.
"Kamu kan cewek tangguh, mereka sih bukan siapa-siapa buatku." ucap Nia.
"Iya betul, kenapa mereka nggak pernah ganggu aku kalau kamu ada di dekatku?" tanyaku.
"Itu ... ehhh ... udah malem nih, aku pulang dulu ya." pamit Nia tergesa-gesa.
"Makasih Nia." Ucapku sendu merasa sepi sendiri.
Aku merebahkan tubuh besarku dengan menatap langit-langit kamar.
Ya Tuhan ... bagaimana aku bisa membayar biaya sekolahku ini? Bagaimana aku bisa hidup? Aku tahu Tuhan nggak mungkin kasih aku cobaan yang sangat berat, tapi aku sudah nggak tahan lagi Tuhan. Aku rindu Ibu Bapakku.
Aku menangis semalaman sambil memeluk foto almarhum Bapak dan Ibuku, hingga akhirnya akupun terlelap.
Cuitt ... cuit ... suara kicau burung merdu memekakkan telingaku.
Aku meregangkan tubuhku dan ku panggil ibuku.
"Buk ... hoamm ... ibuk tumben belum masak?" tanyaku yang masih belum sadar.
Aku membuka kamar ibu dan bapak.
Kosong.
Saat itu juga aku teringat dengan kejadian kemarin.
Aku duduk di meja makan sembari berpikir.
Aku akan bekerja sementara, ijin dua-tiga hari nggak masalah kan? Aku butuh uang untuk hidup.
Akupun mulai dengan mencari cucian kotor dari para tetangga, banyak yang iba dan memberikan sumbangan kepadaku tapi aku tak mau berhenti berusaha.
Aku mengayuh sepeda ibuku, harta terakhir dan peninggalan ibu untukku. Dari pintu ke pintu ku ketuk untuk menawarkan jasa cuci kering serta bimbingan belajar untuk anak-anak mereka tingkat SD.
Lumayan untuk hari ini. ucapku dalam hati
Aku mulai mencuci pakaian kotor itu.
Ternyata, begini rasanya menjadi buruh cuci. Sangat melelahkan, ibu pasti sangat capek saat itu. Ucapku dalam hati dengan air mata mengalir.
Tak terasa hari sudah siang, akupun bergegas membeli makanan favoritku. Ayam geprek jumbo dengan segelas soda. Akupun mengisi amunisiku, dan segera kembali ke rumah.
Aku melihat mobil Nia sudah terparkir di depan rumah.
"Halo Sarah, nih aku bawain buku catatan hari ini dan beberapa makanan." ucapnya.
"Makasih, ayo masuk." ajakku.
Nia bercerita banyak hal mengenai kejadian disekolah hari ini. Begitu heboh karna aku tidak masuk sekolah, untungnya Nia sudah mengijinkanku kepada kepala sekolah.
"Apa? kamu ijinin aku langsung ke kepala sekolah?"
"mm." jawabnya dengan anggukan mantap.
"Bukan hanya itu, kepala sekolah setuju untuk memberikanmu bantuan uang sekolah." terang Nia.
"Terimakasih ya Tuhan ... Terimakasih Nia ..." aku memeluknya erat sekali.
"Sar ... ah ... sssu dah kubilang jjangan ..."ucap Nia terbata bata.
"Ops, maaf kelepasan." Ucapku dengan cengiran.
"Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu Nia." ucapku lagi.
"Eh, kamu mau minum apa?" tanyaku
"Nggak usah, aku udah kenyang."
"Kita ngobrol sambil beresin cucian nggak papa ya?" tanyaku yang saat itu harus menyelesaikan setrikaan yang menggunung agar besok dapat diantar.
"Kamu kerja beginian?" tanya Nia.
"Hmm ... iya, aku juga buka kelas bimbel untuk anak SD. Sebentar lagi mereka datang." jelasku.
"Jangan menatapku seperti itu, aku hanya bertahan hidup dengan melanjutkan pekerjaan ibuku." ucapku.
"Permisiii." suara beberapa anak terdengar dari depan rumah.
"Eh adik-adik, ayo masuk."ajakku.
Akupun membuat beberapa kelompok sesuai dengan usia dan tingkat mereka. Aku mulai mengajar hingga membantu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Nia ikut membantuku mengajar mereka.
"Hhh, lelahnya." ucapku sambil memijit-mijit kaki dan lenganku.
"Sudah malam nih Sarah, aku pulang duluan ya." ucap Nia.
"Ok, maaf ya aku ngerepotin kamu hari ini."
"Nggak kok, aku senang dapat membantu kamu. Ketemu lagi besok ya." ucapnya.
"Eh, besok kalau kamu capek nggak usah datang nggak apa-apa kok." Teriakku saat Nia sudah ada didalam mobil dan melambaikan tangannya.
Kulirik jam kuno yang ada dirumah sudah menunjukkan angka 8 malam. Akupu berniat untuk makan malam sebelum kemudian tidur.
Kegiatan baruku ini sudah berlangsung selama 1 minggu, aku mulai terbiasa untuk melakukannya.
Aku memutuskan untuk mengunjungi makam kedua orang tuaku sebelum kemudian mengumpulkan pakaian kotor.
"Bapak, ibuk ... maafkan Sarah. Sarah sudah jadi anak pengecut. Sarah nggak berani masuk sekolah. Sarah nggak bisa buat bapak ibu bangga. Sarah benci diri Sarah sendiri." tangisku didepan makam kedua orang tuaku.
Tiba-tiba aku melihat sebuah gundukan tanah yang masih basah bergerak-gerak,membuatku terjatuh duduk dan mundur.
Ya Tuhan ... apalagi ini? masa pagi-pagi gini ada hantu? keluar dari tanah lagi?! ucapku dalam hati.
Tanah itu tak berhenti bergerak, kulihat tidak ada batu nisan dan tidak ada bunga.
Aku memberanikan diri untuk membuka gundukan itu perlahan.
Sebuah kaki!
Akupun mundur lagi, tapi kaki itu bergerak-gerak terus seperti orang yang meminta bantuan.
Dengan cepat kugali gundukan itu.
Seorang wanita tua dengan keadaan yang babak belur dan sangat memprihatinkan keluar dari sana.
Dia tidak dapat berbicara. Dengan cepat ku gendong nenek itu, kutaruh didalam keranjang cucian yang kira-kira masih muat jika nenek diletakkan tidur memeluk lutut.
Aku mengayuh sepedaku cepat hingga sampai dirumah.
"Ayo nek, pegangan Sarah ya." ucapku sebelum kemudian menggendongnya di punggungku.
Aku meletakkannya dikamarku. Kuberi segelas air minum, lalu kuseka wajahnya. Sangat oriental, sepertinya orang jepang.
"Nek, nenek tunggu dulu ya, biar Sarah masak bubur untuk nenek." ucapku.
Nenek itu tak menjawab.
Aku bergegas membuat semangkok bubur, telur dadar rebus dan segelas teh hangat.
"Buburnya matang neekkk, hm baunya harum loh. Ayo nenek makan sedikit ya." rayuku.
Nenek mengangguk tanda setuju. Aku meninggikan posisinya, kemudian menyuapinya.
"Nek, nama nenek siapa? nenek bisa bahasa Indonesia kan?" tanyaku di tengah-tengah acara makannya.
"Tidak berbicara saat makan." ucap nenek singkat.
Ihhh si nenek udah ditolong,disuapin nggak bilang terimakasih malah marahin aku. Gerutuku dalam hati.
Akupun menutup rapat mulutku dan menyuapinya hingga tandas.
"GOCHISOUSAMADESHITA." ucap nenek sambil mengatupkan kedua telapak tangannya dan tersenyum cerah.
"Eh..he..he..i..iya.." jawabku yang sama sekali nggak paham bahasa jepang.
"Terimakasih makanannya." ucapnya
"Oh, sama-sama nek. Nenek belum jawab pertanyaan Sarah tadi. Namaku Sarah, nama nenek siapa?"
"Panggil saja nenek Megumi." ucapnya.
"Ok nek, sebentar Sarah rebus air untuk nenek mandi ya." Akupun meninggalkannya dikamarku sendiri.
Setelah air mandi siap, aku memapahnya menuju kamar mandi.
"Nenek mau di bantu atau mandi sendiri?" tanyaku.
"Kalau Sarah mau, nenek dengan senang hati dimandikan." ucapnya.
Senyumnya sangat manis.
"Nek, nenek kenapa bisa ada di dalam tanah tadi?"
"Ada orang jahat yang ingin mencelakai nenek."
"Ohh, nenek orang jepang, tapi kok bisa paham bahasa Indonesia?"
"Iya, nenek orang jepang tapi sudah lama tinggal disini."
"Berarti nenek ingat dong rumah nenek." tanyaku.
"Nenek tidak mau pulang, masih ada orang jahat." ucapnya.
"Terus, nenek mau Sarah antar kemana setelah ini?" tanyaku lagi penasaran.
"Tidak ada, nenek ingin tidur saja jika boleh."
"Ya udah, ini pakaian ibuku dan nenek dapat tidur di kamar ibuku." ucapku.
"Kemana ibumu?" tanyanya sembari memakai pakaian ibuku.
"Ibu dan bapak sudah ... meninggal dunia." ucapku sedih.
"Tidak usah sedih, ada nenek disini." ucapnya sambil menepuk-nepuk kepalaku.
"Nenek tidur aja dulu, Sarah mau ambil cucian." pamitku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!