“Auudzubillahiminassyaitoonirrojim… Bismillaah..” Terdengar suara merdu seorang gadis di penghujung dini hari, sayup-sayup. “Hiks… Hiks… Mama, Mita mau pulang.” Dari balik dinding kamar terdengar perlahan suara rengekan gadis lainnya. Gadis pelantun bacaan kitab suci itu pun menghentikan aktivitasnya. Ia terdiam, memastikan kembali apa yang baru saja didengarnya.
Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu kamarnya. “Nurul, itu si Mita…” ucap seorang gadis berkerudung lainnya di depan pintu yang baru saja dibuka. Lantas gadis yang dipanggil sebagai Nurul itu segera mendatangi suara rengekan itu bersama teman-temannya.
“Kamu kenapa, Mita?” tanyanya. Teman sekamar Mita pun langsung membisiki Nurul dilanjutkan dengan anggukan dari Nurul. “Ini yang pertama kali?” tanya Nurul. Kemudian, pertanyaan itu dijawab dengan anggukan pula.
Tak tega dengan ekspresi meringis juniornya, Nurul langsung menghampiri sebuah termos air panas di atas meja di kamar itu. Ia mengguncang-guncangnya untuk memastikan termos itu berisi. “Handuk kecil! Handuk kecil!” ucap Nurul kepada teman sekamar Mita sambil menuangkan isi termos ke mangkuk yang tak jauh berada. Dengan sigap temannya itu memenuhi permintaan Nurul.
“Kamu bantu kompres perut Mita, ya? Saya mau ke dapur dulu,” pamit Nurul dengan terburu-buru. Tak seberapa lama, Nurul pun datang kembali dengan membawa secangkir jamu buatannya. Ia memberikannya kepada Mita. “Cepat habiskan mumpung masih hangat. Jangan dirasa-rasa, langsung teguk aja,” ucap Nurul.
“Pleh! Pahit, Kak,” ucap Mita. “Saya sudah bilang jangan dirasa-rasa,” ucap Nurul tegas. Beberapa saat setelah Mita meneguk habis jamu itu kemudian wajahnya berubah. Ia kembali berseri dan merasa lega. “De remmah, Mit? Sudah baikan?” tanya teman sekamar Mita. “Sudah, Kak. Sakaklangkong, Kak Nurul. Terima kasih,” ucap Mita yang mengalihkan pandangannya ke Nurul. “Kamu ga perlu mikir yang aneh-aneh, ya? Semua perempuan mengalami ini. Semua akan baik-baik aja,” ucap Nurul sembari mengusap-usap kaki Mita.
“Tapi aku ga habis pikir, Rul. Sudah umur segini baru menstruasi sekarang?” ucap temannya yang lain. “Sst… Udah saya bilang jangan mikir yang aneh-aneh. Setiap perempuan itu ada masanya. Baru juga lima belas tahun. Beda setahun dua tahun itu masih normal,” ucap Nurul. “Jadi saya ga kenapa-kenapa kan Kak?” ucap Mita. Nurul mengangguk sambil tersenyum menjawab pertanyaan itu. “Alhamdulillah… Untung ada kami di sini, Nurul. Thabib paling jitu yang selalu bisa diandalin,” ucap temannya yang lain.
Dia adalah Nurul. Santriwati terbaik yang ada di Pesantren Darul Ulum, Pamekasan, Madura. Selain baik hati, cantik dan cerdas, Nurul juga terkenal dengan keahliannya meramu herbal sebagai upaya pengobatan alternatif orang-orang di sekitar. Ia mempelajarinya dari mendiang neneknya lalu ditambah dengan kursus-kursus Thabibun Nabawi di luar pesantren. Nurul adalah dokter bagi kalangan para santriwati.
*
Waktu pun berlalu. Suatu siang di lapangan upacara, para santriwati berbaris. Seorang guru perempuan tengah mengomel-ngomel dengan sangat berapi-api, seakan mengalahkan panasnya matahari yang menyorot hampir searah tegak lurus ubun-ubun itu. Para guru perempuan lainnya tampak mendampingi dan sedikit-sedikit berujar memperkuat perkataan pembicara utama.
“Kalian ini bukannya memanfaatkan waktu dengan belajar, muroja’ah hafalan dan lainnya, ini malah membaca buku-buku seperti ini. ‘Cinta Sedingin Malam’, ‘Memendam Rasa dan Curiga’, ‘Cintaku Ketua Osis’. Apa ini?” ucap guru itu lalu melempar buku-buku yang semula diangkatnya tinggi-tinggi.
Hampir seluruh santriwati yang berbaris menahan wajah suram mereka. Tak jarang pula yang matanya berkaca-kaca lalu meneteskan air mata. Di depan mata mereka melihat kobaran api melahap serakan buku-buku mereka.
“Saporannah, Maaf, Ustadzah. Saya ijin bertanya. Apakah ini tidak jadi mubazir, Ustadzah? Mungkin bila buku-buku ini disumbangkan atau dijual lagi bisa lebih baik,” ucap Nurul yang maju keluar dari barisan. “Mau disumbangkan lalu dibaca remaja-remaja putri lainnya agar penyakit zina hati kalian berpindah ke mereka? Dijual? Lalu kalian gunakan hasil pemasukan haram itu?” protes guru tersebut.
“Tapi, Ustadzah... “ ucap Nurul. Melihat Nurul berani berbicara di depan, barisan para santriwati tak lagi rapi. Mereka saling berpelukan, menunjukkan kesedihan dan ada yang berjongkok menutupi wajah mereka yang sedang menangis.
“Nurul! Kamu adalah santriwati teladan di sini. Apakah kamu tidak paham dengan kekacauan yang sedang terjadi di sini? Para remaja putri lebih suka menghabiskan waktu dengan hiburan yang menyisipkan pikiran-pikiran liberal! Mereka menyibukan diri dengan lawan jenis yang bukan mahram! Pacaran, zina hati, lalu zina mata, kemudian melupakan peran sebagai calon pembangun generasi. Calon ibu! Lalu semakin banyak wanita yang menelantarkan keluarga hanya demi hawa nafsu pribadi dengan prinsip-prinsip liberal. Apalagi berniat mendidik generasi penerus, ilmu pun tak punya. Kau dengar itu, Nurul? Juga kalian semua di sini!” ucap guru tersebut.
“Tapi, maaf, Ustadzah. Apakah perempuan tidak butuh wawasan sebagai upaya mengantisipasi contoh buruk?” ujar Nurul. “Kamu jangan mentang-mentang anak ketua yayasan bisa asal bicara seperti ini!” ucap guru tersebut. “Sa-saya…” ucapan Nurul terpotong. “Tugas kalian sekarang adalah belajar!” tegas guru tersebut. “Saya! Saya tidak pernah membawa-bawa nama ketua yayasan, Ustadzah. Saya hanya bertanya apakah perempuan tidak butuh wawasan!” lanjut Nurul.
Guru perempuan lainnya membawa Nurul menjauh dari hadapan guru galak itu. Ia membujuk Nurul dengan lemah lembut agar Nurul menghentikan ucapan-ucapannya. Demikian pun guru galak itu, ada guru lainnya yang coba menenangkannya.
Di kesempatan lainnya, di sebuah ruang ketua yayasan, Nurul duduk bersama beberapa orang guru dan ketua yayasan. “Nurul hanya tidak sependapat dengan cara Ustadzah Zia, Ayah! Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, perempuan pun punya hak untuk berpendapat. Soal buku-buku itu kenapa tidak dibicarakan dengan baik-baik dulu? Bukannya asal bakar-bakar seperti itu,” protes Nurul.
Yah, demikianlah seorang Nurul binti Arif. Ia adalah gadis cerdas berpemikiran kritis. Ia selalu punya alasan untuk berargumen dengan cara yang pantas. Selama ini di lingkungan pesantren selalu menekankan pendidikan tingkah laku, akhlak, tapi Nurul merasa dididik dengan otoriter. Menurutnya, ada cara yang lebih baik dari sekedar bersikap otoriter saja untuk menghasilkan akhlakul karimah, akhlak baik, bagi para santriwati.
**
Kecerdasan dan karakter Nurul membuatnya dapat menghadiri acara di luar daerah. Acara yang membuatnya mewakili yayasan dalam ajang penghargaan santriwati. Di suatu malam, Nurul dan temannya baru saja usai menghadiri acara penghargaan Tahfidz Quran di kota seberang, Kota Jember. “Duh, mana sih jemputan kita?” keluh teman Nurul. “Sabar… Bukannya tadi driver sudah telepon kalau telat jemput?” ucap Nurul. “Iya, tapi ini udah jam berapa, Nurul?” lanjut teman Nurul.
Seseorang dari dalam gedung menghampiri mereka. “Jemputannya belum datang juga?” tanyanya. “Belum, Ustadz,” jawab Nurul. Tiba-tiba sebuah mobil MPV mewah berwarna hitam datang kemudian berhenti tidak jauh dari pintu tempat Nurul dan lainnya menunggu. “Eh, bukannya itu jemputan kita, ya?” ucap teman Nurul. “Alhamdulillah. IYAAA, USTADZ… Kalau begitu saya masuk dulu. Saya sedang ada perlu di dalam,” pamit laki-laki yang mendatangi Nurul dan temannya itu.
Tanpa menunggu lama, teman Nurul menarik tangan Nurul dan langsung membuka pintu mobil. “Eh, wait! Wait! Aku kebelet pipis. Bilangin driver suruh tunggu bentar ya!” ucap teman Nurul yang langsung meninggalkannya begitu saja. “Haduu… Ngapa malah bengong sih?” keluh pengendara mobil yang wajahnya sebagian tertutup topi itu.
“Itu, teman saya, Mas. Dia…” ucap Nurul. “Masuk gih buru!” ucap pengendara mobil. Nurul pun masuk sambil menggerutu di dalam hati. “Kok pintunya ga ditutup?” protes lelaki itu. BRUUUK… Lelaki itu menarik pintu dari dalam dengan tangannya yang melalui depan tubuh Nurul. KLEEK… Pintu terkunci secara otomatis.
“Loh, kok…” Nurul bingung. “Gua males ya buat nunggu teman lu itu! Gua udah capek-capek gini malah masih aja disuruh-suruh ngejemput elu!” protes lelaki itu. Aroma minuman beralkohol semakin terasa menyengat di hidung Nurul. Sewaktu awal nada suara lelaki ini mirip dengan driver teman Nurul, tapi setelah ia membuka topinya jelas laki-laki ini bukan driver yang dimaksud. Laki-laki ini begitu muda, tampan dan tegap.
Pemuda itu langsung melajukan mobilnya begitu saja tanpa menghiraukan ucapan-ucapan Nurul. Nurul memaksa membuka pintu karena panik dan mengira dirinya baru saja terlibat penculikan. Hingga pada jalanan sepi di tepi hutan pemuda itu menghentikan laju mobilnya. Pintu itu tidak berhasil dibuka oleh Nurul karena dikunci secara otomatis dengan tombol kendali ada di sisi pemuda itu.
Nurul dan pemuda itu beradu mulut. Lama-lama Nurul menyadari percekcokannya tidak akan berhasil mengeluarkannya dari situasi ini. Pemuda ini sedang dalam pengaruh minuman beralkohol. Ia telah salah menjemput orang dan Nurul pun telah salah naik kendaraan.
Keheningan terjadi di antara mereka. Ocehan-ocehan pemuda itu tak lagi ditanggapi oleh Nurul. Ia kini bingung dan hanya bisa berdoa di dalam hati agar mendapatkan jalan keluar. Mata liar pemuda itu berkelana ke tubuh Nurul. “Tumben sepupu si Pur jilbapan?” ucap pemuda itu. “Udah saya bilang, saya bukan orang yang Anda maksud!” protes Nurul pelan.
Tangan pemuda itu tiba-tiba saja meraba lengan Nurul. dengan segera Nurul mengelak dan menepisnya. “Tahu ga sih, lu tuh sebenarnya cantik loh?” ucap pemuda itu. Nurul ketakutan. Ia bisa mencium gelagat pikiran kotor pemuda itu. “Kalau Anda berani macam-macam, saya akan teriak!” ancam Nurul dengan pikiran yang sangat tertekan. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Walaupun ancaman Nurul begitu dangkal, tapi ia tetap mengucapkannya. Di tempat sepi dan gelap seperti ini siapa yang akan menghampiri mereka? Lagi pula mobil dalam keadaan tertutup penuh. Suara teriakan akan tertahan di dalamnya.
“Kalau Anda berani macam-macam, saya akan teriak!” ancam Nurul. “Hahaha… Teriak? Ehem… Ehem… HAALOO… APA ADA ORANG DI SIINII…? SPAADAA…?” Seusai pemuda itu meninggikan suaranya ia pun diam sejenak lalu mengangkat kedua bahunya sambil menatap Nurul. “See?” ucap pemuda itu meledek Nurul.
“Saya mohon, lepaskan saya,” ucap Nurul dengan putus asa. “Lu kenapa sih? Muna banget. Lihat gua baik-baik, lihat sekeliling. Ga ada kan yang merhatiin kita? Apa lu belum pernah sedikitpun bersenang-senang?” ucap pemuda itu dengan wajah yang semakin mendekat dan suara semakin pelan. Nurul belum pernah ada di posisi seperti sekarang. Nurul belum pernah punya teman laki-laki yang sedekat ini posisinya, bahkan berpegangan tangan pun tidak pernah.
Di bawah remang cahaya bulan, Nurul melihat sepasang mata itu mendekat, tempat keluarnya suara itu bergerak dan pusat dengusan dengan bentuk memuncak. Nurul memicingkan mata, menghindari penglihatannya dari menikmati semua ketampanan itu sambil memundurkan kepalanya. Jantung Nurul berdebar kencang, karena jelas-jelas wajah pemuda ini begitu tampan baginya.
Napas Nurul mulai tak terkendali oleh perasaannya sendiri. Penyakit lama yang sudah mulai jarang kambuh kini timbul kembali. Asma Nurul kambuh. Melihat ketidakberdayaan dan gelagapannya Nurul, pemuda itu merasa simpati. Ia jadi ikut mengkhawatirkan kondisi gadis yang tak dikenalnya itu. “Aduh, aduh… Dek? Lu ga apa-apa kan? Duh, gimana ya… Air mineral! Air mana air!” ucap pemuda itu sembari membuka tutup laci di dasbor lalu memalingkan tubuhnya ke ruang tengah.
Nurul spontan menggenggam erat tangan pemuda itu dan tangannya yang lain mengipas-ngipaskan jemarinya di depan wajahnya.
Pemuda itu langsung membuka kaca mobil lalu mencoba menenangkan Nurul. Ia memberikan instruksi-instruksi pengaturan nafas agar Nurul dapat mengatur nafasnya. Belum berhasil dengan itu, pemuda itu mencoba mencopot peniti yang menautkan kerudung Nurul di bawah dagunya agar Nurul tidak semakin sesak di bagian itu.
Belum berhasil dengan berbagai cara tersebut, pemuda itu keluar dari mobil dan membukakan pintu Nurul dari luar. Ia kemudian berjongkok di hadapan Nurul. “Coba tenangkan diri kamu lagi. Gua, eh, Kakak ga akan macem-macem kok sama kamu, Dek. Hirup udara bebas ini. Coba kamu lihat, saya udah bukain kamu pintu. Saya akan antar kamu balik atau kalau kamu mau kita ke rumah sakit aja boleh,” ucap pemuda itu dengan lembut.
Nurul menatap pemuda tampan itu dalam-dalam. Pemuda itu baru saja mendapatkan rasa percaya dari Nurul dan perlahan asma Nurul mereda. “Bener ya, kita balik?” Nurul sudah dapat bicara, nafasnya normal kembali.
TAAAR… Tiba-tiba terdengar sesuatu meledak di belakang mobil mereka. Sepertinya itu adalah ban yang pecah. “Eeehikhikhik.. Hikhikhik..” Terdengar suara seperti wanita sedang tertawa geli.
Nurul dan pemuda itu saling beradu tatap dengan bola mata membulat. “AAAAA…” Nurul berteriak keluar dari mobil lalu berlari menjauh. Pemuda itu berlari menyusulnya. “Hei, Dek… DEEEK…” panggil pemuda itu. Arah Nurul berlari justru menuju ke dalam hutan. Pemuda itu semakin khawatir sebab di depan akan lebih berbahaya bagi Nurul. Bagaimana kalau gadis itu terpatuk ular? Nurul yang terlanjur ketakutan tak sempat berpikir jernih untuk menentukan kemana arahnya berlari.
Langkah kaki pemuda itu lebih lebar dan lebih cepat daripada Nurul sehingga ia berhasil menggapai Nurul dan menariknya. “Dek! Dek! Lu sadar ga lu mau lari kemana?” ucap pemuda itu. Nurul lalu melihat ke sekeliling, baru menyadari tindakannya itu. “OOWK..OOWK…” Suara aneh lainnya muncul. “Aaa!” Nurul dengan spontan memeluk erat tubuh pemuda itu. Pemuda itu menenangkannya dan mengusap-usap kepala Nurul yang sudah tak tertutupi kerudung lagi. Kini sehelai kain itu hanya tertambat di sekitar lehernya saja.
Menyadari kedekatannya dengan pemuda itu, Nurul melepaskannya. Dengan terburu-buru ia pasang kembali kerudung di kepalanya. “Maaf, maaf. Sekarang ayo kita balik,” ajak pemuda itu. “Ta-tapi… Kutilanaknya…” ucap Nurul. Pemuda itu menggaruk-garuk punuknya sendiri. Ia bingung akan bergerak kemana. Suasana di sekitar hening kembali, hanya ada suara jangkrik dan serangga kayu pohon.
Sama-sama dalam keadaan bingung, pemuda itu pun duduk di sebuah undakan di sisinya. Nurul pun mengikutinya. Ia berjongkok untuk meredakan lelah. “Duduklah di sini. Capek kalau jongkok-jongkok begitu,” ucap pemuda tampan itu yang menggeser tubuhnya untuk menyisakan tempat untuk Nurul duduk. Nurul menggeleng. Lama kelamaan Nurul capek dengan jongkoknya. Ia meregangkan kakinya dengan kembali berdiri dan pemuda tampan itu kembali mempersilahkannya duduk di sisinya. Kali ini pemuda itu duduk membelakangi Nurul. Nurul lalu duduk dengan ragu-ragu. Mereka saling memunggungi.
“Ngomong-ngomong, jadi kamu belum pernah pacaran ya?” ucap pemuda itu memecah keheningan di antara mereka. “Ngapain pacar-pacaran? Ga penting,” jawab Nurul. “Saya baru tahu ada perempuan sepolos kamu,” ucap pemuda itu. “Memangnya Kakak tinggal di planet mana sih?” ucap Nurul. “Saya tinggal di Jakarta. Di lingkungan saya sangat jarang ada perempuan polos seperti kamu. Bahkan anak-anak SMP saja kebanyakan sudah mahir ML,” jelas pemuda itu.
“ML? Apaan ML?” gumam Nurul. Pemuda itu tak ingin membahasnya lebih lanjut. “Emh, Kakak dari Jakarta? Bukan orang sini? Saya kira Kakak orang Jember,” ucap Nurul. “Bukan. Saya kebetulan sedang ada pertemuan keorganisasian mahasiswa di sini. Oh iya, kita belum kenalan loh?” ucap pemuda itu lalu memutar tubuhnya sehingga mereka saling bersisian menyamping.
“Saya Tommy,” ucapnya sambil menyodorkan tangan. Nurul tidak menyambut tangan Tommy. “Saya Nurul,” balasnya. “Padahal tadi ngeremes-remes tangan gua kenceng banget,” gumam Tommy. “Hah? Apa?” ucap Nurul. “Enggak. Bukan apa-apa,” jawab Tommy. Tommy dan Nurul pun saling bercakap-cakap. Mereka bertukar pendapat mengenai pacaran. Sesekali ada tawa yang terselip di antara keduanya.
Tiba-tiba… “Eh, bentar deh itu di atas kepala kamu ada yang uget-uget nyala gitu,” ucap Tommy. “Hah? Cacing api? Ulat bulu? Astaghfirullah... “ Nurul mulai panik. “Sebentar-sebentar…” Tommy mengambilnya dengan bantuan sebatang ranting. “Eh, malah jatuh. Kamu jangan gerak-gerak dong!” ucap Tommy. “Haa.. gak maauuu..” ucap Nurul yang mengetahui hewan melata itu berada di kerudung bagian belakang tubuhnya.
Tommy lalu melingkarkan tangannya, sikap tubuh yang hampir memeluk Nurul. Tommy langsung melemparkan ranting beserta hewan melata itu tapi dengan posisi tubuh yang belum berubah. Lagi-lagi jantung mereka berdua berdegup lebih kencang. Kedekatan ini membuat mereka membeku, terutama Nurul. Perlahan Tommy bergerak memindahkan wajahnya ke depan wajah Nurul.
Keakraban yang telah lumayan terjalin di antara keduanya membuat Nurul kali ini tidak menolak kedekatan posisi itu. Hingga pada akhirnya kedua titik di ujung-ujung hidung mereka pun bertemu. Tommy meletakkan mulutnya dengan lembut di atas mulut Nurul. Pergerakan yang lembut dan berulang-ulang membuat Nurul memejamkan matanya. Semua prinsip yang ada di kepala Nurul hilang seketika. Ia hanyalah gadis biasa yang bisa tergoda dengan pengalaman seindah ini. Pengalaman pertama yang mungkin tak akan pernah Nurul lupakan nantinya.
Tommy melepaskannya. Ia ingin memandangi wajah Nurul yang samar-samar oleh karena sinar bulan yang terlampau sedikit menyinarinya. Nurul membuka matanya ketika sadar pengalaman pertamanya itu baru saja berakhir. Ia memandangi Tommy sambil menggigit sebagian bibirnya. Raut wajah Nurul tiba-tiba berubah dan sontak menutup mulutnya dengan tangannya dan meneteskan air mata.
“Ada apa?” tanya Tommy. “Kita melakukan kesalahan,” ucap Nurul sambil memalingkan wajahnya. “Tidak ada… Hei, Nurul…” Tommy mengarahkan wajah Nurul kembali kehadapannya. “Tidak ada hal yang akan lebih jauh terjadi. Kamu harus percaya kepadaku,” bujuk Tommy. “Tapi ini dosa, Kak,” ucap Nurul. “Kau akan segera mengetahuinya bahwa aku benar-benar akan ‘menjaga’ bukan justru sebaliknya. Ini hanya sebuah pengalaman biasa, aku berjanji tidak akan lebih,” bujuk Tommy sekali lagi. “Kakak harus menghormati prinsip yang kuanut, Kak!” ucap Nurul tegas.
Tommy terdiam. “Maafkan aku, Nurul. Aku tidak paham dengan prinsip yang seperti itu. Sekali lagi aku minta maaf. Aku menghargai kereligiusanmu, Nurul,” ucap Tommy sambil membenahi posisi duduknya. Suasana hening kembali membuat mereka berjarak.
“A-apa kita tidak akan bertemu lagi?” ucap Nurul memecah keheningan di antara mereka. “Sepertinya begitu. Aku akan kembali ke Jakarta dan kamu akan kembali ke Madura. Kita ada di sini sama-sama hanya singgah,” ucap Tommy. Mendengar hal itu Nurul kembali terdiam. Ia baru saja mendapatkan sebuah pengalaman yang mungkin tak akan pernah dilupakannya. Nurul berulang-ulang menafikan bahwa ia baru saja jatuh cinta, tapi perkataan terakhir Tommy membuatnya merasakan kepiluan di dadanya.
“Bolehkah… Bolehkah untuk yang terakhir kali… Maksudku sebuah perpisahan…” ucap Tommy. Menatap dalam-dalam mata Nurul, ia tidak mendapatkan jawaban apapun yang keluar dari bibirnya. Ia justru menangkap rasa kehilangan dari sorot mata gadis itu terhadapnya. Sekali lagi Tommy mendekatkan wajahnya perlahan dan Nurul tidak menolaknya, justru memejamkan matanya lebih cepat.
Kali ini pertemuan mulut itu tidak sebeku tadi. Tommy mulai memainkan lidahnya dan Nurul masih terpaku, mengeras seperti patung semen yang kaku. Hingga pada akhirnya seluruh bagian mulut Nurul sudah terjelajahi, tahu-tahu tangan Tommy sudah mendekap erat tubuh Nurul dan lagi-lagi kerudung Nurul sudah merosot tak lagi menutupi kepalanya.
Hai teman-teman 🌹🌹🌹
Gimana kesan kalian membaca awal cerita "Jangan Nackal, Nurul?"
Seru dong? Ga kapok dong buat lanjut ikutin terus ceritanya? Sebenarnya ini cerita tentang apa sih? Ada yang bisa tebak? Tahu genre cerita ini sebenarnya apa?
🤗🤗🤗
Sambil tebak-tebakan asik, di sini aku mau nginfoin ke teman-teman kalau ada novel bagus lainnya punya teman aku author Sun_flower95 yang judulnya "Bukan Sekedar Ibu Susu".
🌹🌹
Juga cerita dari author Jika Laudia berjudul "Rahasia Sang Mantan (Cinta Tertinggal)". Yuk kepoin.
Juga ceritanya Kak Age Nairie yang berjudul "Samudra Nayna". Yuk Kepoin 🤗
Ada juga novelnya Kak Emmy berjudul "Pernikahan Kedua". Cus kepoin.
Novel Kak Faiz Bellz juga asik. Judulnya "Cinta Kedua". Kepoin yuk.
Ada cerita dari Kak Julia Fajar juga. Kepoin yuk!
Cerita dari Kak Phopo Nira juga ga kalah asik.
Ada cerita "Cinta Sesuci Salju" punya Kak Ramanda. Yuk kepoin!
Juga cerita dari Kak Mayya_zha berikut.
Ada punya Kak Yayuk Triatmaja juga. Yuk kepoin novel berikut.
Ada novelnya Kak Erma_roviko juga.
Ada Novel Momy Ida juga nih.
Ada juga novel Kak Dini Ratna berikut.
Ada juga novelnya Kak Bhayu Indah Lestari. Kepoin yuk.
Nah temen-temen bisa kepoin aja langsung dengan mengetik nama penulis atau judul ceritanya di kolom pencarian di menu beranda.
Jangan lupa tinggalkan jejak ya.
Akhir kata, selamat menikmati kelanjutan ceritaku berikutnya 🤗. Yuk ke next chapter! 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!