Kriiinggg...
Alarm pagi berbunyi begitu nyaring. Menusuk gendang telinga bagi siapa saja yang mendengarnya.
Andita menggapai-gapaikan tangannya untuk meraih jam yang sedari tadi berbunyi diatas nakas. Matanya masih terpejam.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka oleh seseorang.
Ceklek..
Nazwa, adik satu-satunya Andita menyembulkan kepalanya kedalam kamar sang Kakak. Matanya melihat bagaimana Kakak perempuan satu-satunya itu masih nyaman bergelung diatas tempat tidur.
"Ya ampun, Kakak! Kenapa belum bangun juga?! Ini sudah jam 7. Bukankah hari ini adalah hari pertama Kakak bekerja?!" Nazwa berjalan kearah tempat tidur, lalu mematikan alarm yang sedari tadi berdering diatas nakas. Kemudian ia menggoyang-goyangkan tubuh sang kakak dengan sedikit kasar.
Andita yang samar-samar mendengar ucapan adiknya spontan membuka mata.
"Kau bilang jam berapa Naz?! Jam 7?!!"
Nazwa mengangguk.
Andita mengucek-ngucek matanya. Ia meraih jam weker diatas nakas untuk memastikan. Dan seketika rasa kantuk yang masih menderanya tiba-tiba menghilang begitu saja.
"Ya Tuhan, kenapa aku memasang alarm jam 7?! Bagaimana ini Nazwa?! Ini hari pertama Kakak bekerja!" Raut wajah Andita terlihat panik.
"Aku pikir Kakak sudah bangun dan sedang bersiap-siap. Tidak tahunya masih tidur." Ucap Nazwa yang juga ikut panik.
"Kalau begitu cepat mandi Kak! Aku akan menyiapkan sarapan dan baju untuk Kakak!"
"Ah iya baiklah. Terimakasih Naz!"
Andita langsung bangkit dari tempat tidur dan bergegas kekamar mandi. Secepat kilat ia menyelesaikan ritualnya.
Waktu sudah menunjukan pukul 7.15 . Andita sudah rapih dengan pakaian formal dan riasan make up tipis diwajahnya. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai. Andita sudah siap untuk pergi bekerja.
Sebelum berangkat, Andita melangkahkan kakinya kekamar sebelah. Ia menghampiri sang Ibu untuk berpamitan.
Ibu yang masih terbaring lemah diatas kasur tersenyum pada putri sulungnya.
"Bu, Andita berangkat kerja dulu ya! Ini hari pertama Andita bekerja di kantor. Doakan Andita semoga betah ditempat kerja." Andita menggenggam tangan sang Ibu, lalu mengecupnya dengan penuh kasih sayang.
Ibu mengangguk pelan.
"Iya nak. Pergilah dan hati-hati dijalan. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Andita mengusap pucuk rambut Ibu yang mulai terlihat memutih lalu menciumnya.
"Terimakasih Bu. Andita sayang Ibu. Jangan lupa makan dan minum obatnya ya Bu!" pesan Andita penuh perhatian.
Ibu kembali mengangguk pelan.
Setelah berpamitan pada Ibu dan adiknya, Andita pun meninggalkan rumah tanpa sarapan.
Nazwa yang melihat kakaknya pergi dengan terburu-buru hanya bisa berdoa dalam hati. Semoga sang kakak tidak terkena masalah dihari pertamanya bekerja.
Nazwa sebenarnya tidak tega melihat kakaknya bekerja. Dulu sewaktu Ayahnya masih hidup mereka selalu hidup serba berkecukupan.
Namun takdir ternyata tidak selalu mulus. Mereka harus menerima kenyataan pahit ketika sang Ayah mengalami sebuah kecelakaan maut yang merenggut nyawanya.
Sepeninggal sang Ayah, kehidupan mereka berubah drastis. Mereka harus hidup berhemat dan mengandalkan sisa tabungan yang ada.
Ditambah lagi sudah hampir satu tahun ini ibu mereka menderita penyakit gagal ginjal. Otomatis pengeluaran mereka semakin bertambah.
Namun kehabisan uang bukanlah masalah bagi Andita dan Nazwa jika demi kesembuhan sang Ibu.
Berkali-kali Andita dan Nazwa membujuk Ibunya untuk dirawat di rumah sakit. Namun Ibu bersikukuh tidak mau, dengan alasan Ibu baik-baik saja dan akan segera sembuh. Padahal Ibu hanya tidak mau merepotkan kedua putrinya.
Ibu tahu semua peninggalan sang Ayah bahkan sudah habis terpakai untuk berobat dirinya. Dari mulai tabungan dan beberapa barang-barang berharga pun telah dijual. Semua itu untuk membiayai keperluan Ibu, yang mengharuskannya melakukan cuci darah seminggu 2 kali. Dan biayanya juga tidak murah.
Belum lagi ditambah biaya keperluan sehari-sehari dan biaya kuliah Nazwa. Untung saja Nazwa mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Jadi biaya yang harus dikeluarkan tidak terlalu besar.
Tanpa disadari ketika mengingat semua itu, Nazwa menitikkan air matanya. Ia bertekad kelak ia akan membahagiakan Ibu dan Kakaknya.
*****
Beberapa kali Andita melirik jam dipergelangan tangannya dengan gusar. Saat dirinya sedang berdiri dipinggir jalan untuk menunggu angkutan umum.
Waktu sudah menunjukan pukul 7.25. Belum ada satupun angkutan umum yang lewat. Andita benar-benar merasa frustasi. Kenapa dihari pertamanya masuk kerja ia harus mengalami masalah keterlambatan.
Jarak dari rumah kekantornya memakan waktu kurang lebih sekitar 45 menit. Sedangkan jam masuk kantor pukul 8 pagi. Andita sungguh tidak bisa membayangkan hukuman apa yang akan diterimanya saat sampai ditempat kerja.
Ketika ia sedang larut dalam kekhawatirannya, tanpa sengaja Andita mendengar seorang wanita paruh baya berteriak minta tolong.
"Tolong.. toloong..rampokk...rampokk.. toloong..rampokk.. tolong!!!" Teriak wanita itu histeris.
Kebetulan sekali perampok yang diteriaki Ibu itu melintas kearah Andita. Secepat kilat Andita menghadangnya dengan kaki, hingga membuat perampok itu tersandung lalu tubuhnya tersungkur ke aspal.
Perampok itu bangun dan hendak membalas perbuatan Andita dengan menodongkan pisau. Untung saja Andita bisa menghindar. Ia berani melawan perampok itu karena sewaktu kecil dirinya pernah belajar ilmu bela diri.
Tidak butuh waktu lama, perampok itu pun berhasil Andita lumpuhkan.
Beberapa warga ikut membantunya untuk meringkus perampok itu lalu membawanya ke kantor polisi.
Kini tinggal Andita dan Ibu yang dirampok tadi yang tertinggal dipinggir jalan. Andita menyerahkan tas yang dirampok tadi pada Ibu itu.
"Ini tas anda Nyonya."
Ibu itu pun menerimanya.
"Terimakasih Nak atas bantuannya! Untung saja perampok tadi berhasil ditangkap, kalau tidak.."
"Sama-sama Nyonya. Lain kali Nyonya harus berhati-hati. Disini rawan sekali perampok. Tapi sepertinya perampok tadi belum mengambil apapun dari tas Nyonya." Andita memotong ucapan Ibu itu sambil menunjuk tasnya.
"Ah iya. Semuanya masih lengkap." Jawab si Ibu setelah mengecek isi tas. Wanita paruh baya itu pun mengeluarkan sejumlah uang untuk Andita sebagai rasa terimakasihnya.
"Ambil ini Nak. Terimakasih atas bantuannya tadi."
Namun dengan cepat Andita menggelengkan kepalanya seraya mendorong pelan tangan Ibu itu.
"Tidak perlu Nyonya. Saya ikhlas menolong anda." Andita tersenyum, membuat Ibu itu terpana.
"Oh iya mohon maaf, sepertinya saya harus segera pergi, karena saya sudah sangat terlambat untuk ke kantor. Saya permisi Nyonya." Ucap Andita. Ia melirik kearah jam tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul 7.45.
Habislah aku!
Tanpa menunggu persetujuan ibu itu, Andita pun segera berlari menjauh meninggalkan Ibu itu sendiri.
Wajah Andita terlihat panik. Ia benar-benar takut jika sampai dirinya dipecat. Untung saja ada tukang ojek yang lewat. Andita memberhentikan tukang ojek itu kemudian ia segera naik dengan tergesa-gesa.
Sementara Ibu tadi menatap kepergian Andita dengan perasaan kagum.
Ia berharap semoga kelak bisa bertemu lagi dengan gadis yang menolongnya.
.
.
Bersambung...
Sesampainya dikantor, Andita bergegas masuk kedalam lift menuju ruangannya yang berada dilantai atas.
Ia benar-benar takut kalau dirinya dihukum atau lebih parahnya lagi ia akan dipecat. Begitu lift berhenti, Andita pun segera keluar dan berjalan cepat menuju meja kerjanya.
Namun langkahnya terhenti saat kepala divisi memanggilnya.
"Andita!"
Dalam sekejap suara panggilan itu mampu membekukan tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar dari dahinya. Andita memejamkan mata berusaha menetralkan rasa gugupnya.
Kemudian perlahan ia membalikkan badan dan mencoba tersenyum.
"I-iya saya, Bu."
"Dari mana saja kau? Kau tahu ini sudah jam berapa?"
"Ehm.. Maaf Bu, saya terlambat." Hanya itu yang bisa Andita ucapkan sambil menundukan kepalanya.
Semoga aku tidak dipecat.
"Maaf katamu? Kau ini karyawan baru, harusnya kau bisa mengatur waktu agar tidak terlambat." Kepala divisi itu lalu menelisik penampilan Andita yang sedikit berantakan.
"Rapihkan pakaianmu! Dan cepat keruanganku untuk mengambil berkas-berkas yang harus kau kerjakan!" Titahnya lagi.
"Baik Bu."
Syukurlah aku tidak dihukum.
******
Andita menaruh setumpuk berkas diatas meja kerjanya dengan lesu. Ia mendesah. Ternyata kesalahannya hari ini tidak begitu saja membuatnya lepas dari hukuman.
"Dia benar-benar sangat baik padaku sehingga memberiku hukuman sebanyak ini." Gumam Andita saat netranya menatap seluruh berkas yang menggunung diatas mejanya.
Namun ia masih bersyukur dirinya tidak sampai dipecat dari perusahaan yang baru saja menerimanya hanya karena terlambat datang.
Jika sampai ia dipecat karena hal sepele, entah apa yang akan dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan Ibu dan adiknya kedepan.
"Andita!" Suara seseorang membuyarkan lamunan gadis itu.
Andita menoleh kesamping tempat dimana suara itu berasal.
"Ferdy!" Seru Andita. "Kau bekerja disini?"
Lelaki itu mengangguk.
Andita seperti mendapat angin segar saat mengetahui sahabat SMA nya dulu, bekerja ditempat yang sama dengannya.
"Wah senang sekali bisa bertemu denganmu!" Andita mengulurkan tangannya untuk menjabat Ferdy. Ferdy pun membalas uluran tangan Andita.
Mereka pun sedikit berbincang karena sudah lama tidak bertemu. Ferdy mengajak Andita untuk melanjutkan obrolannya nanti saat jam makan siang tiba. Andita mengangguk setuju.
Jam makan siang pun telah tiba. Andita dan Ferdy duduk dimeja yang sama. Mereka melanjutkan obrolan yang tertunda tadi dengan suka cita, sambil ditemani dua mangkok bakso dan dua gelas minuman dingin.
"Aku tidak menyangka kau akan diterima diperusahaan besar ini. Mengingat perusahaan ini sangat ketat sekali dalam menyeleksi calon karyawannya." Ucap Ferdy.
"Ya, aku juga tidak menyangka bisa diterima disini. Mungkin ini rezeki Ibu dan adikku." Jawab Andita.
"Oh iya bagaimana keadaan keluargamu? Ayah, Ibu dan adikmu?" Tanya Ferdy.
Sejenak Andita terdiam saat Ferdy menanyakan kabar Ayahnya. Ferdy tidak tahu jika ayah Andita sudah meninggal.
"Kabar Ibu dan adikku baik. Kalau Ayah, beliau sudah pergi 3 tahun yang lalu." Jawab Andita, ia berusaha tersenyum. Sementara Ferdy mengernyitkan keningnya.
"Ma-maksudmu pergi, Ayahmu..."
"Ya. Ayahku telah tiada. Beliau meninggal dalam sebuah kecelakaan."
Deg.
Pernyataan Andita membuat Ferdy terkejut dan diliputi rasa bersalah.
"Maaf Ta, aku tidak tahu kalau Ayahmu sudah..."
"Tidak apa-apa."
Melihat raut wajah temannya berubah sedih, Ferdy berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya, darimana kau tahu kalau perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan?" tanya Ferdy.
"Aku melihatnya dimedia online."
"Oh begitu rupanya." Ferdy menyendokan bakso kedalam mulutnya.
"Apa kau tahu siapa pemilik perusahaan ini?"
Andita menggeleng. Dia sama sekali tidak peduli siapa pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Yang ia pikirkan hanya mendapatkan uang, uang, dan uang.
"Aku tidak peduli dengan pemilik perusahaan ini, yang penting aku bekerja dan mendapatkan gaji." Jawab Andita lugas. Ferdy terkekeh.
"Ya kau benar juga. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa pemilik perusahaan ini adalah pria berhati dingin. Dia tidak segan-segan memecat bawahannya jika terjadi kesalahan sedikit saja dalam bekerja. Dan dia adalah pemimpin yang disiplin. Dia tidak suka dengan karyawan yang sering terlambat."
Tiba-tiba wajah Andita memucat. Ia menelan salivanya dengan susah.
"Benarkah?"
"Hemm.."
Andita langsung teringat kesalahannya hari ini. Baru masuk dihari pertama saja dia sudah telat. Tanpa disadari tubuhnya bergidik. Ia sedikit takut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ferdy.
Dalam hati Andita berharap semoga kesalahan ini hanya sekali dan dia tidak akan pernah bertemu dengan bosnya itu.
Disaat Andita tengah melamun, tiba-tiba dia dikejutkan dengan ponselnya yang berdering. Seketika wajah Andita berubah cerah.
Ternyata Dirga, sang kekasih yang menelpon. Andita meminta izin pada Ferdy untuk mengangkat teleponnya sebentar. Ferdy mengangguk.
Ternyata dia masih berhubungan dengan Dirga. Lelaki brengsek itu.. Batin Ferdy.
"Hallo Dirga. Bagaimana kabarmu? Kenapa beberapa hari ini kau susah sekali dihubungi. Bahkan pesanku tidak kau balas." celoteh Andita.
Diseberang sana, Dirga tidak menjawab pertanyaan Andita. Dia hanya mengabarkan bahwa dirinya sedang sibuk dan tiga hari lagi dia akan pulang dari luar kota untuk membahas hubungan mereka.
Tentu saja hal itu membuat Andita tersenyum senang. Empat tahun menjalin kasih sudah pasti Dirga akan memberinya kepastian.
Meskipun dulu kedua orang tua Dirga tidak merestui, namun ia yakin lelaki itu sekarang sudah berhasil meluluhkan hati Ayah dan Ibunya.
Andita menutup telepon dengan wajah berseri-seri. Membuat Ferdy merasa penasaran.
"Jadi kau masih berhubungan dengan Dirga?"
Andita mengangguk.
"Dia akan segera pulang Fer. Aku yakin setelah dia kembali dia akan melamarku." Ucap Andita dengan raut wajah penuh harap.
Ya, setelah satu tahun kelulusan mereka Ferdy memang tahu jika Andita menjalin hubungan dengan Dirga. Saat itu mereka bertiga tidak sengaja bertemu disebuah kafe. Dan Andita memberitahu dirinya, jika saat ini Dirga telah menjadi kekasihnya.
Betapa hancurnya hati Ferdy saat itu, karena dirinya pun memiliki perasaan yang sama pada Andita. Hanya saja dirinya tidak memiliki keberanian seperti Dirga untuk mengutarakannya pada Andita. Namun yang Ferdy sayangkan kenapa Andita harus memilih Dirga? Apalagi setahu Ferdy, Dirga bukanlah lelaki baik.
Sejak masih duduk dibangku SMA , Dirga dikenal sebagai lelaki yang selalu menebar pesona. Lelaki itu hanya manis didepannya saja hanya untuk mengesankan dan menaklukan hati para gadis-gadis.
.
Bersambung..
Melihat wajah bahagia temannya, Ferdy pun ikut tersenyum walau berat. Padahal ia berharap Andita sekali saja mau melihatnya, melihat hatinya.
Namun sepertinya itu tidak mungkin. Bertahun-tahun memendam rasa pada Andita membuatnya tidak pernah menjalin hubungan dengan gadis lain.
Ferdy sudah berusaha untuk melupakan Andita, tapi ternyata tidak bisa. Gadis itu punya tempat sendiri dihatinya.
"Sepertinya kau sangat mencintai Dirga?" Ferdy berusaha meredam gejolak rasa yang kembali hadir.
Andita mengangguk. "Ya. Aku sangat mencinta Dirga. Dia cinta pertamaku Fer. Aku berharap, saat dia pulang nanti dia segera menemui Ibu untuk meminta doa restu. Dan kami segera menikah."
Deg
Kata-kata Andita bagaikan sebilah pisau yang menyayat hati Ferdy. Begitu berharapnya gadis ini pada seorang Dirga. Padahal Ferdy tahu bahwa Dirga bukanlah lelaki setia.
Beberapa bulan lalu Ferdy yang sedang mengunjungi salah satu kerabatnya dikota yang sama tempat Dirga menetap, tanpa sengaja memergoki pria itu sedang berkencan dengan seorang wanita.
Dan parahnya wanita itu bukanlah Andita. Ferdy pikir Andita dan Dirga telah putus, ternyata dugaannya salah.
Ferdy menjadi bingung, haruskah ia mengatakan yang sebenarnya soal Dirga? Tapi ia takut kalau Andita akan mencapnya sebagai pembual dan perusak hubungan orang. Akhirnya ia memilih diam agar tidak merusak kebahagiaan temannya itu.
******
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam. Andita baru saja menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepala divisi tadi pagi. Hari ini ia benar-benar lelah sekali.
Untung saja ada Ferdy yang membantunya. Kalau tidak dia bisa lembur sampai tengah malam. Dengan baik hati Ferdy juga mengantar Andita pulang kerumah.
Awalnya Andita menolak, tapi karena Ferdy memaksa akhirnya Andita menurut. Lagipula di jam segitu juga sudah jarang ada angkutan umum yang lewat.
"Terimakasih ya Fer." Ucap Andita setelah mereka sampai di sebuah gang kecil. Ia akan turun disini karena gang itu terlalu kecil untuk dimasuki mobil.
"Memangnya rumahmu sudah pindah Ta?" Mata Ferdy melihat-lihat sekitar. Ia baru pertama kali melewati daerah ini. Setahu Ferdy rumah Andita tidak masuk gang kecil. Karena beberapa tahun lalu saat masih sekolah ia juga pernah main kerumah Andita.
Andita tersenyum mengangguk.
"Ya, kami sudah pindah rumah Fer. Rumah lama kami sudah dijual untuk menutupi biaya pengobatan Ibu."
Ferdy terdiam menatap Andita. Tiba-tiba ada perasaan iba yang menyusup kedalam hatinya.
Kenapa kehidupan Andita berubah drastis. Meskipun Andita bukan anak orang kaya setidaknya dulu hidupnya benar-benar serba kecukupan.
Rumah lamanya pun terletak dikawasan perumahan yang bisa dibilang elite. Tapi sekarang gadis itu harus tinggal disebuah perkampungan. Sungguh dalam hati Ferdy bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi pada gadis yang disukainya itu.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" pertanyaan Andita membuat Ferdy tersadar.
"Apa aku terlihat menyedihkan?" Andita tersenyum getir. Tentu saja, dirinya pasti kini terlihat menyedihkan dihadapan teman lamanya itu.
"Ti-tidak, bukan seperti itu.." Ferdy mengusap tengkuknya dengan canggung.
"Oh iya Ibumu sakit apa? Tadi siang kau bilang padaku kalau Ibumu baik-baik saja." Akhirnya Ferdy berhasil mengalihkan pembicaraan.
Andita menyandarkan punggungnya pada kursi mobil. Ia menghela nafas berat. Matanya menatap lurus kedepan.
"Sudah hampir satu tahun ini Ibu menderita gagal ginjal."
"Apa?! Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Untuk sekarang Ibu baik-baik saja. Hanya kondisi tubuhnya saja yang lemah. Aku dan Nazwa sudah membujuknya untuk dirawat dirumah sakit tapi Ibu tidak mau."
"Kenapa?"
"Ibu tidak mau merepotkan anak-anaknya."
Ferdy dan Andita sama-sama terdiam.
"Aku turut prihatin dengan keadaan Ibumu Ta." Lirih Ferdy.
Andita menoleh kesamping melihat Ferdy.
"Terimakasih Fer. Kalau begitu aku turun dulu ya ini sudah malam. Kau juga harus pulang dan beristirahat. Terimakasih atas tumpangannya."
"Biar aku antar sampai kedepan rumah."
"Tidak usah, rumahku tidak jauh dari sini." Tolak Andita, jarinya menunjuk kearah gang kecil disampingnya.
"Tidak Ta. Biarkan aku mengantarmu. Aku juga ingin tahu rumahmu."
Akhirnya Andita pasrah menerima tawaran Ferdy.
"Baiklah. Tapi maaf aku tidak bisa menyuruhmu mampir karena ini sudah malam." Andita menunjukan jam dipergelangan tangannya.
Ferdy yang mengerti menganggukan kepalanya.
"Oke. Tapi lain kali biarkan aku mampir ya."
Andita mengangguk setuju. Setelah mengantar Andita sampai kedepan rumahnya, Ferdy pun langsung melajukan mobilnya untuk pulang dan beristirahat.
*****
Tiga hari berlalu.
Andita sangat bersemangat pagi ini. Karena hari ini ia akan bertemu sang pujaan hati.
Nazwa yang melihat kakaknya sedari tadi tersenyum, mendelik keheranan. Untuk mengusir rasa penasarannya, akhirnya Nazwa bertanya pada Andita.
"Kak, apa ada hal yang membuatmu senang?"
Andita yang sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja, sekilas melihat kearah Nazwa.
"Ya Naz. Hari ini aku sangat senang, karena Dirga akan segera pulang."
"Sungguh Kak?"
"Hemm."
"Apa Kak Dirga akan melamar Kak Dita? Mengingat hubungan kalian sudah lama terjalin."
"Kuharap begitu. Kemarin Dirga mengatakan bahwa dia akan membahas tentang hubungan kami."
Nazwa hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar cerita Kakaknya. Sebenarnya kalau boleh jujur, Nazwa kurang suka dengan sosok kekasih kakaknya itu.
Ia juga tahu selama ini Kakaknya berhubungan secara sembunyi-sembunyi.
Keluarga Dirga tidak pernah merestui hubungan Dirga dengan Andita. Entah apa sebabnya Nazwa juga tidak mengerti.
Namun saat melihat ekspresi bahagia diwajah kakaknya kali ini, Nazwa pun turut bahagia. Setidaknya Andita akan mendapatkan kepastian dari hubungan jarak jauh mereka.
*****
Andita masuk kedalam kantor dengan tergesa-gesa. Hari ini kedua kalinya ia datang terlambat.
Padahal tadi dari rumah ia sudah berangkat lebih awal. Namun sialnya , ia harus terjebak macet dan ditambah lagi angkutan yang ditumpanginya juga mogok.
Arrgghhh...
Rasanya Andita ingin berteriak sekencang-kencangnya.
Gadis itu langsung berlari kearah lift. Ia menahan lift dengan satu tangannya, sedangkan tangan lainnya memegang map. Lalu ia menerobos masuk tanpa melihat siapa penghuni didalamnya. Nafasnya masih terengah-engah.
Andita langsung menekan tombol angka yang menuju lantai ruang kerjanya. Berharap kali ini ia terbebas dari hukuman, meskipun mustahil.
"Nona anda.." Suara seorang pria terdengar dari belakang. Namun satu pria lagi menghentikannya bersuara dengan memegang pundaknya.
Andita menoleh keasal suara. Pandangannya bertubrukan dengan mata kedua pria yang berada tepat dibekangnya.
Ya Tuhan, mereka tampan sekali.
Andita berdecak kagum melihat ketampanan kedua pria dibelakangnya. Namun ia segera tersadar.
"Apa anda memanggil saya Tuan?" Dengan wajah polos Andita bertanya.
Kedua pria itu menatap datar gadis dihadapannya. Karena pria yang memanggilnya tidak menjawab. Akhirnya Andita memilih diam.
"Semoga saja CEO dingin itu belum datang. Huff!" gumam Andita pelan sambil menggigit bibirnya.
Pagi tadi Ferdy mengabari Andita, bahwa CEO mereka pagi ini akan datang setelah melakukan perjalanan bisnis untuk mengurus salah satu proyeknya diluar kota.
Ia juga teringat ucapan Ferdy beberapa hari lalu yang mengatakan bahwa pemilik perusahannya adalah CEO yang dingin dan disiplin. CEO mereka tidak akan segan-segan memecat karyawannya jika membuat kesalahan.
Tanpa Andita sadari, gumaman kecilnya terdengar jelas ditelinga kedua lelaki yang berada satu lift dengannya.
Lelaki yang awalnya menegur Andita tersenyum. Sementara lelaki satunya menatap sinis kearah Andita.
.
.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!