Prang ...
Terdengar suara seperti barang pecah ketika semua orang masih berada di dalam kamar masing-masing. Terlihat seorang anak perempuan berlari untuk bersembunyi.
"Kamu kenapa malah bersembunyi Dek? Ayok bereskan, kamu tadi yang memecahkannya bukan?" tanya seorang anak perempuan yang satunya lagi menghampiri adiknya yang sedang bersembunyi.
"Ih, Mbak sok tahu, bu ... bukan aku yang memecahkannya, Mbak jangan asal menuduh ya!" jawab anak perempuan yang sedang bersembunyi dengan suara gugup karena perbuatannya ternyata diketahui oleh kakaknya sendiri.
"ADA APA? TADI APA YANG PECAH!" Terdengar teriakan seorang perempuan paruh baya yang baru keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapih seperti hendak mau pergi.
"Hai ... kalian berdua kenapa disitu? Suara apa tadi?" tanyanya lagi kepada kedua anak perempuannya.
"I ... itu bu!" Jumirah menunjuk vas bunga milik ibunya yang sudah berserakan di lantai.
"Hah ... Siapa yang sudah memecahkan vas bunga ibu, ayok ngaku!" bentak perempuan yang ternyata bernama Bu Lasmi.
"Dia," jawab kedua anak perempuan itu bersamaan sambil menunjuk kearah yang berbeda, Jumirah menunjuk ke adiknya sedang adiknya yang bernama Dewi menunjuk kearah Jumirah.
"Yang benar siapa yang sudah memecahkan vas ibu, kalau begitu kalian berdua ibu hukum." bentak Bu Lasmi nampak marah.
"Sudahlah Mbak Jumi ngaku aja kalau Mbak Jumi yang sudah memecahkan vas bunganya." kata Dewi malah menyuruh sang kakak untuk mengakui kesalahannya.
"Kok kamu bicara seperti itu sih Wik? Bukannya kamu yang sudah memecahkan, aku lihat kamu yang tadi menyenggolnya 'kan? Kenapa kamu malah memfitnahku? Menuduh aku yang melakukannya?" Protes Jumirah tidak terima dirinya malah disuruh mengakui apa yang tidak pernah ia lakukan.
"Jangan percaya sama Mbak Jumi Bu, Mbak Jumi yang sudah pecahin vas bunga Ibu."
"Enggak Bu itu bohong, bukan aku Bu." Jumirah membela diri.
"Hua ... Ibu, bukan aku yang mecahin vas bunga milik Ibu, Mbak Jumi yang memecahkannya, hua ... ibu percaya sama Dewi kan." Dewi memeluk tubuh Ibunya sambil menangis, ia berakting pura-pura sedih untuk mengambil hati ibunya.
"Sudah kalian jangan saling menyalahkan, Jumirah, kamu jangan suka menyalahkan adikmu,dia masih kecil." bentak Bu Lasmi menatap tajam kearah Jumirah.
"Mulai besok, selama satu minggu kamu tidak Ibu kasih uang jajan karena kamu sudah memecahkan vas bunga kesayangan Ibu." Lanjut Bu Lasmi berbicara dengan suara keras dan tegas.
"Enggak bisa dong Bu, ibu jangan lakukan itu ke aku Bu, Ibu gak adil." Protes Jumirah.
"Kamu gak usah protes, itu hukuman yang harus kamu terima karena kamu sudah memecahkan vas bunga kesayangan Ibu, jadi kamu harus dihukum."
"Tapi Bu ...!"
"Ada apa sih Bu? Pagi-pagi sudah ribut aja." Kata Pak Sutejo, suami Bu Lasmi.
"Biasalah Pak, anak ini berulah lagi."
"Kamu lagi-kamu lagi, dasar anak pincang, nggak punya telinga." Pak Sutejo malah menghina Jumirah.
"Bapak! Bapak nggak boleh bicara seperti itu ke Jumirah." teriak Farel sambil berjalan menghampiri kedua orang tuanya dan kedua adik perempuannya.
"Hiks." Jumirah langsung berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis.
"Gak usah ikut campur kamu, sana bilangan tuh Adik kesayangan kamu jangan bikin ulah terus." bentak Pak Sutejo ke anak laki-lakinya.
"Seharusnya dulu kita biarkan saja dia mati kedinginan di luar sana Bu." Ucap Pak Sutejo langsung dipelototi oleh Bu Lasmi. Dewi menyipitkan mata merasa bingung dengan ucapan Bapaknya.
***
Lima belas tahun yang lalu.
Pagi hari jalanan sangat sepi, semua orang sepertinya enggan untuk keluar rumah, karena semalaman turun hujan dengan derasnya membuat udara menjadi sangat dingin.Tiba-tiba terdengar suara tangis bayi mengagetkan sepasang suami-istri yang sedang bermalas-malasan di atas ranjang.
Mereka langsung turun dari ranjang dan bergegas keluar rumah untuk melihat bayi siapa yang sedang menangis di pagi hari yang masih sedikit gelap dan sepi.
Tangis bayi itu ternyata berasal dari gubuk tua yang sudah tampak reot sudah lama dit tinggalkan oleh pemiliknya.
Cepat-cepat mereka membawa bayi mungil itu yang di perkirakan baru berusia satu bulan untuk dibawa masuk ke dalam rumah mereka.
Di dalam, sepasang suami-istri itu terlihat sedang berdebat, si perempuan ingin merawat bayi malang itu tapi suaminya merasa keberatan, namun, akhirnya mereka sepakat untuk merawatnya. Bayi malang itu kemudian diberi nama Jumirah oleh sepasang suami-istri yang menemukannya, yaitu Pak Sutejo dan Bu Lasmi yang baru memiliki satu anak laki-laki baru berusia lima tahun.
Ketika usia Jumirah 4 tahun, Bu Lasmi hamil lagi dan melahirkan anak perempuan berwajah cantik.
Kasih sayang kedua suami-istri itu pun akhirnya hanya di berikan untuk putri kandungnya sendiri, sedangkan Jumirah yang sangat kecil sering di suruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah, salah sedikit mereka langsung memarahi Jumirah.
Di sekolah Jumirah juga sering di ejek dan di tertawakan oleh teman-temannya karena keadaan fisiknya yang tidak sempurna dan juga karena ia memiliki nama yang terdengar aneh bagi anak di jaman modern seperti sekarang.
"Huuuu ... Jumirah nggak punya telinga, Jumirah pincang ...!" Ejek teman-teman Jumirah saat mereka ada di sekolah.
"Ha... ha... Jumirah pincang." Ucap mereka lagi sambil memeragakan cara berjalan Jumirah yang sedikit pincang karena kakinya panjang sebelah dan hanya memiliki satu telinga.
"Hiks...." Jumirah hanya bisa menangis mendengar ejekan dari teman-temannya.
"Ih ... nangis, hahaha ... ciwek ... Jumirah cengeng ...!" Mereka kembali menertawakan Jumirah yang sedang terisak seorang diri.
"Kenapa kalian menghinaku? Hiks ...." Jumirah hanya bisa diam tanpa berani melawan.
"Hai ... kalian, jangan berani-berani mengejek Adikku, awas kalian," Farel yang mengetahui adiknya sedang di ejek dan di tertawakan oleh teman-temannya langsung berlari dan menghajar sekelompok anak laki-laki yang berjumlah empat orang sedang tertawa mengejek.
Ke empat anak laki-laki itu pun langsung lari kocar-kacir takut melihat Farel yang memiliki badan lebih tinggi dari mereka dan memiliki otot yang kuat.
"Awas kalau kalian berani mengejek Adikku lagi!" teriak Farel lalu ia berlari menghampiri adiknya yang sedang menangis.
"Hua ... Mas Farel," tangis Jumirah langsung pecah ketika sang kakak memeluk dirinya.
"Tenanglah Dek, kamu nggak usah takut, ada Mas yang akan selalu ada buat kamu, kamu nggak boleh cengeng, kamu harus menjadi perempuan yang kuat agar tidak ada lagi orang yang berani menertawakan kamu.
Kalau kamu cengeng seperti ini, mereka malah kesenangan, kamu bakal terus di ejek.
Tutupi kekuranganmu dengan kelebihan yang kamu miliki, lama-kelamaan orang akan melupakan dan tidak memperdulikan kekurangan kamu berkat kebaikan dan kelebihan yang kamu miliki. Kamu pintar, baik, cantik, maka tunjukkan semua itu ke mereka." nasehat Farel untuk adiknya.
"Tapi aku cacat Mas!" ucap Jumirah dengan wajah sendu.
"Sudahlah ayok kamu masuk kelas, sebentar lagi bel berbunyi," ajak Farel menggendong adiknya yang masih kelas satu SD
"Terimakasih ya Mas, Mas Farel begitu baik," kata Jumirah melingkarkan kedua tangan dia dileher Farel yang sedang menggendongnya, ia menempelkan kepalanya diatas punggung Farel.
Jumirah diturunkan dari gendongan setelah mereka sudah sampai di depan pintu kelas 1 SD.
"Mas Farel tidak masuk kelas?" tanya Jumirah karena kakaknya masih berdiri didepan pintu kelas satu.
"Sebentar lagi Dek, Mas tunggu guru kamu datang, Mas gak mau mereka mengganggu kamu lagi." Kata Farel menatap tajam ke arah empat bocah laki-laki yang sedang duduk di kursi kayu deretan paling belakang, ke-empat bocah laki-laki itu menundukkan kepalanya merasa takut dengan tatapan Farel.
Farel yang sudah kelas 6 SD pun kembali ke kelasnya saat melihat guru kelas satu datang.
*****
Kembali ke Jumirah umur 15 tahun.
Tok tok ...
"Dek, bukain pintunya. Ini Mas Farel," kata Farel sambil mengetuk pintu kamar Jumirah.
"Buka aja Mas, pintunya nggak Jumi kunci kok," jawab Jumirah dari dalam kamar.
Ceklek ...
Pintu kamar Jumirah dibuka oleh Farel, terlihat adiknya yang sedang rebahan di atas kasur dengan posisi tengkurap sambil menyembunyikan wajahnya di atas bantal.
"Dek!" Farel memegang punggung sang adik, Jumirah membalikkan badan, ia pun bangun dari rebahan. Kedua matanya nampak merah dengan cairan bening keluar dari kedua matanya yang indah.
"Mas Farel ... bukan aku yang sudah memecahkan vas bunga Ibu mas, aku berani sumpah Mas, sungguh bukan aku Mas, tapi Dewi, aku lihat sendiri Dewi yang baru keluar dari dalam kamar berjalan sambil sempoyongan mungkin karena masih ngantuk, dia tidak sengaja menyenggol vas bunga Ibu dan akhirnya vas bunga Ibu pecah, hiks ...." Jelas Jumirah sambil terisak menatap wajah Farel.
"Mas percaya Dek. Sekarang kita keluar yok, jangan nangis lagi." Farel mengusap lembut rambut Jumirah.
"Tapi Ibu tidak percaya sama Aku Mas, Ibu malah menghukum Aku tidak memberi uang jajan selama satu minggu. Kalau Ibu nggak memberi aku uang jajan, aku gak bisa bayar angkot. Bagaimana caranya aku pergi kesekolah Mas, nggak mungkin aku jalan kaki karena sekolah aku kan jauh banget Mas, aku gak bisa pergi ke sekolah kalau tidak naik angkot," keluh Jumirah.
Jumirah saat ini sudah kelas 1 SMA, jarak antara rumah dan sekolahnya sangat jauh, harus naik angkot untuk sampai ke sekolahannya yang berada di kota sedangkan ia tinggal di desa.
Jumirah yang hanya anak dari seorang petani yang kehidupannya pas-pasan bisa sekolah di sekolah itu karena berkat beasiswa yang ia dapatkan dari pemerintah karena kecerdasannya.
"Kamu nggak usah khawatir Dek, kamu lupa kalau masih ada Mas, nanti Mas yang antar kamu ke sekolah," kata Farel.
"Hua ... Mas Farel makasih Mas, hiks ...." Jumirah langsung memeluk tubuh Farel dengan erat sambil menangis.
Deg....
Perasaan aneh muncul pada diri Farel saat sang adik memeluk dirinya dengan begitu erat membuat jantung dia berdebar-debar tidak karuan.
Farel yang saat ini sudah berusia 20 tahun, diam-diam menyukai Jumirah. Sabenarnya Farel sudah tau dari dulu kalau Jumirah bukanlah adik kandungnya.
"Ya sudah aku mau pergi ke sawah bantuin bapak dulu ya, sudah ... kamu jangan nangis lagi, besok Mas yang antar kamu ke sekolah." Farel mengusap lembut rambut Jumirah, ia berusaha menenangkan adiknya yang sedang sedih.
"Hiks ... Mas Farel hati-hati ya," Jumirah melepas pelukannya, ia mengusap air mata dia sendiri dengan menggunakan jarinya.
Satu menit kemudian setelah Kakaknya pergi ke sawah dengan bapak mereka, dan sang ibu juga sudah pergi ke kondangan, Jumirah kembali melanjutkan pekerjaannya yaitu melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel lantai, cuci baju milik kedua orang tua dan juga kedua saudaranya, setelah selesai mencuci baju, Jumirah lanjut masak, sedangkan sang adik yaitu Dewi malah pergi bermain bersama teman-temannya.
Jumirah kembali kedalam kamar setelah pekerjaannya selesai.
"JUMIRAH!" Terdengar teriakan seseorang memanggil namanya membuat Jumirah yang sedang berada di dalam kamar langsung keluar kamar untuk melihat siapa yang memanggil, terlihat sang bapak yang ternyata sudah pulang dengan kakak laki-lakinya sambil menenteng ember berukuran sedang, berisi singkong yang baru mereka ambil dari sawah. Selain ditanami padi, mereka juga menanam pohon singkong di tanggul-tanggul sekitar sawah.
"Ini, kamu bersihkan lalu nanti direbus beberapa saja, sisanya kamu bikin keripik besok!" perintah Pak Sutejo yang baru pulang dari sawah ketika hari sudah sore.
"Baik Pak." jawab Jumirah membawa ember yang berisi singkong yang masih kotor dipenuhi tanah ke belakang untuk dikupas dan dibersihkan lalu ia rebus sebagian sesuai dengan perintah bapaknya.
"SUTEJO ... LASMI ... KELUAR KALIAN !" Terdengar teriakan seorang laki-laki dari luar rumah.
Pak Sutejo yang baru pulang dari sawah langsung keluar rumah untuk melihat siapa yang berteriak diikuti oleh Farel dan Jumirah karena penasaran.
"Tejo... bayar utang-utang kamu cepet!" bentak orang yang ada di luar rumah setelah Sutejo sudah keluar dari dalam rumah.
"Waduh tuan tanah maaf tuan, aku belum punya uang," jawab Sutejo sambil membungkukkan badannya.
"Hah ... tidak bisa, pokoknya kamu harus membayar hutang kamu sekarang juga karena hutang kamu sudah bertambah banyak beserta bunganya."
"Maaf tuan, beri Aku waktu beberapa minggu lagi menunggu panen."
Tidak bisa," jawab tuan tanah tegas, lalu ia melirik kearah Jumirah yang baru keluar dari dalam rumah.
"Oke ... utang kalian akan aku anggap lunas asal kamu menyerahkan anak gadis kamu itu kepadaku." kata tuan tanah sambil tersenyum licik ke arah Jumirah.
"Hah ...." Jumirah langsung bersembunyi di belakang Farel.
"Hai manis, jangan takut sama Abang Sayang," kata tuan tanah hendak menarik tangan Jumirah tapi langsung ditepis oleh Farel menghalangi tuan tanah itu mendekati Jumirah.
"Oh ... jadi tuan tertarik dengan anak itu, oke bisa diatur tuan." ucap Pak Sutejo tanpa ada beban.
"Apa maksud Bapak?" tanya Farel curiga.
"Sudah kamu diam saja ini urusan orang tua," jawab Pak Sutejo ketus.
"Oke, aku pegang omongan kamu Sutejo." tuan tanah itu pun pergi berlalu meninggalkan rumah Sutejo.
Ketika malam hari terjadi perdebatan antara Sutejo dengan istrinya, Pak Tejo ingin Jumirah menikah dengan tuan tanah agar utang-utangnya lunas, sedangkan Bu Lasmi merasa keberatan jika Jumirah harus menikah dengan Tuan tanah yang sudah tua dan sudah memiliki 6 istri, walaupun Bu Lasmi sering memarahi Jumirah tetapi sesungguhnya ia sangat menyayangi Jumirah walaupun Jumirah bukan anak kandungnya, anak yang sudah ia rawat dari bayi.
"Buat apa kamu mempertahankan anak itu Bu, dia toh bukan anak kandung kita," ucap Pak Tejo nampak marah karena istrinya tidak mengizinkan Jumirah untuk diserahkan kepada tuan tanah untuk melunasi utang-utangnya yang ia pinjam untuk berjudi dan untuk modal bertani.
Jumirah yang tidak sengaja mendengar ucapan bapaknya sungguh merasa syok, ia langsung berlari masuk ke dalam kamar dan mengunci kamarnya, di dalam kamar ia menangis sejadi-jadinya.
Setelah mengetahui siapa dirinya, akhirnya Jumirah pergi dari rumah kedua orang tua yang sabenarnya bukan orang tua kandung dia sendiri untuk menghindari pernikahannya dengan tuan tanah.
Jumirah pergi untuk mencari keberadaan kedua orang tua kandungnya yang ia sendiri tidak tahu siapa dan dimana keberadaan mereka.
Jumirah hanya mengikuti kemana bus yang ditumpangi akan membawanya.
Setelah semalaman bus berjalan membawa penumpang yang jumlahnya cukup banyak, bus itupun berhenti di tempat pemberhentian yang terakhir.
"Neng... bangun neng, sudah sampai!" Panggil seorang perempuan paruh baya berusaha membangunkan Jumirah yang masih tertidur pulas.
"Em...." Jumirah menggeliat dan membuka matanya berlahan.
"Eh ... sudah sampai ya Bu? Ini dimana Bu?" tanya Jumirah kaget ternyata bus yang ia tumpangi sudah sampai ditempat tujuan.
"Ini sudah sampai Jakarta Neng, memangnya si Eneng mau kemana?" tanya balik perempuan paruh baya itu.
"Em ...." Jumirah tampak bingung.
"Lha ... kok malah bingung?" tanya perempuan paruh baya itu heran.
"Ya sudah Ibu turun dulu ya Neng, suami ibu sudah menunggu di luar." lanjut perempuan itu bergegas turun dari bus Pariwisata karena suaminya sudah menunggu di luar.
Tidak lama Jumirah juga ikut turun, ia nampak kebingungan setelah berada di luar sambil memperhatikan keadaan disekitarnya.
"Em ... Jakarta, jadi aku sekarang sudah berada di kota Jakarta, inikah Jakarta yang suka di puja-puja dan diagung-agungkan oleh banyak orang? Semoga aku bisa bertemu dengan kedua orang tua kandungku di kota ini." Gumam Jumirah dalam hati.
Jumirah berjalan tanpa tujuan dengan menenteng tas besar yang di dalamnya terdapat baju dan juga sejumlah uang hasil tabungannya dan juga uang pemberian Farel.
Berkat bantuan Farel akhirnya Jumirah sampai di kota Jakarta.
Saat Jumirah sedang berjalan tiba-tiba tas yang ia bawa ada yang menarik dari belakang.
"Hah... JAMBRET !" Teriak Jumirah.
Terlihat seorang laki-laki berlari sambil membawa tas miliknya.
"Ada apa Neng?" tanya laki-laki cukup umur menghampiri Jumirah.
"Ja... jambret, orang itu membawa tasku Kek." jelas Jumirah panik. Ia melihat kearah laki-laki yang tadi membawa tas miliknya ternyata sudah menjauh dengan naik sepeda motor.
"Hua ... hiks ... tasku ...." Ucap Jumirah sambil terisak, ia langsung menjatuhkan badannya di atas tanah, harapan dia untuk mencari orang tua kandungnya kandas sudah karena semua miliknya sudah dibawa kabur oleh si jambret.
"Memangnya Eneng mau kemana?" tanya kakek merasa kasihan.
"Em ...!" Jumirah terlihat bingung.
"Eneng baru ke Jakarta ya?" tanya kakek lagi.
"Iya kek, hiks ... sabenarnya aku juga bingung mau kemana, sabenarnya aku kesini ingin mencari kedua orang tua kandungku, tapi aku gak tahu siapa dan di mana keberadaan mereka." Jelas Jumirah dengan polosnya, ia juga menceritakan tentang dirinya hingga membuat ia akhirnya nekat pergi ke Jakarta seorang diri.
"Aku cuma dikasih alamat oleh kakakku, aku disuruh pergi ke alamat itu, kata kakakku dia yang akan membantu aku nanti, tapi alamat itu juga sudah dibawa oleh jambret tadi kek, hua ... aku harus bagaimana kek, hua ...!"Jumirah terus menangis tidak tau harus berbuat apa.
"Oalah Neng, ini Jakarta lho Neng, banyak orang menghalalkan segala cara demi untuk bisa bertahan di kota ini, akan sangat berbahaya buat orang seperti si Eneng tinggal sendirian di kota ini, di sini tidak seperti di kampung lho Neng, orang-orang di sini kebanyakan ya siapa lo siapa gue, tidak seperti di kampung yang suka saling berbagi, saling bantu membantu." jelas kakek.
"Sudah, kamu jangan nangis, kalau kamu mau tinggallah bersama Kakek, kebetulan Kakek cuma tinggal sendirian, tapi rumah Kakek sangat kecil dan berantakan seperti sebuah gudang, hehe ..., nama Eneng siapa? Kalau nama Kakek..., Sebastian, orang-orang biasa memanggil Kakek Bas.
Kamu gak usah khawatir, Kakek bukan orang jahat." jelas Kakek yang mengerti dengan apa yang saat ini sedang difikirkan oleh gadis kecil yang ada di depannya.
"Hiks ... makasih Kek, apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikan Kakek, hiks, oh iya, namaku Jumirah Kek!" Jumirah memperkenalkan diri.
Semenjak peristiwa itu, Jumirah akhirnya tinggal bersama Kakek Sebastian yang ternyata adalah seorang pelukis jalanan.
Kakek Sebastian suka melukis dan memamerkan hasil karyanya dipinggir jalan dengan harapan ada yang tertarik dan membelinya.
Jumirah yang dari kecil memang suka menggambar, melalui Kakek Sebastian ia mulai belajar melukis.
Mereka bersama-sama memasarkan hasil karya mereka dipinggir jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Jumirah selalu mengikuti kemana Kakek Sebastian pergi.
Jumirah yang terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya karena ia harus pergi agar tidak dinikahkan dengan Tuan tanah yang sudah tua dan memiliki 6 istri. Tapi ia tetap belajar melalui buku-buku yang ia beli dari hasil penjualan lukisan.
Semangatnya untuk menjadi orang hebat tidak pernah luntur meskipun ia terpaksa berhenti sekolah karena keadaan.
Nama Jumirah mulai dikenal oleh banyak orang berkat karya-karya lukisannya yang sangat indah dan menakjubkan.
Lima tahun kemudian.
"Kek, Jumirah pergi dulu ya Kek, do'akan Jumirah semoga lukisan kita laris manis hari ini." ucap Jumirah menatap sebuah foto seorang laki-laki saat dirinya hendak pergi untuk memamerkan hasil karyanya ditempat biasa ia mangkal, dia adalah Kakek Sebastian yang telah meninggal dua tahun dalam sebuah kecelakaan, saat baru pulang dari tempat biasa Kakek Sebastian memamerkan hasil karyanya di pinggir jalan sambil melukis.
Jumirah akhirnya bisa membeli rumah sendiri tiga tahun yang lalu dengan menggunakan uang hasil penjualan lukisan yang berhasil ia kumpulkan bersama Kakek Sebastian. Sedikit demi sedikit mereka kumpulkan uang hasil penjualan lukisan hingga akhirnya mereka bisa membeli sebuah rumah berukuran lumayan besar sebagai tempat tinggal dirinya dan Kakek Sebastian, karena rumah Kakek Sebastian yang sabenarnya adalah milik mendiang istri Kakek yang telah lama tiada, rumah itu di minta dengan paksa oleh keluarga dari mendiang istri Kakek Sebastian, baru beberapa bulan menikmati rumah yang baru dibelinya, Kakek Sebastian pergi untuk selamanya meninggalkan Jumirah seorang diri.
Saat Jumirah sedang melukis di pinggir jalan dengan dikelilingi banyak lukisan berbagai ukuran yang sudah dibingkai dengan indah.
Tanpa ia sadari ada sepasang mata yang dari tadi terus memperhatikan dirinya yang sedang melukis di atas kanvas.
"Kak, ayok pulang." Ajak seorang gadis remaja menyadarkan lamunan seorang laki-laki yang dari tadi terus memperhatikan gerak-gerik pelukis wanita yang sedang melukis di pinggir jalan.
"Kakak lihat apaan sih?" Tanya gadis remaja itu melihat ke arah yang sedang dilihat oleh kakaknya.
"Em ...." Gadis remaja itupun tersenyum saat melihat seorang perempuan berpenampilan seperti anak laki-laki, rambut panjangnya dibiarkan terurai menutupi kedua telinganya dengan sebuah topi kain menutupi kepala dan kedua telinganya.
"Lho ... Margaretha, kok kamu malah bengong." kata laki-laki itu kepada adik perempuannya.
"Kita kesana dulu yok kak!" Ajak gadis remaja yang memiliki nama Margaretha.
Sabenarnya Margaretha tahu kalau kakaknya setiap kali menjemput dirinya diam-diam selalu memperhatikan pelukis jalanan yang ada di seberang jalan, depan gedung tempatnya mengikuti les piano.
"Mau ngapain Dek?" tanya laki-laki itu yang ternyata adalah seorang pengusaha muda bernama Muhammad Aden Mahendra atau sering dipanggil Aden.
"Mau nyari lukisan 'lah." jawab Margaretha.
"Ayok Kak, sebelum dia pergi membawa semua lukisannya." rengek Margaretha saat melihat si pelukis perempuan itu sedang mengumpulkan alat-alat lukisnya untuk dibawa pulang kembali karena hari sudah sore.
"Oke." jawab Aden mengikuti keinginan adik kesayangannya.
"Ye ...!" Margaretha bersorak gembira sambil mengikuti langkah kaki kakaknya yang sedang berjalan menghampiri mobilnya.
Aden memutar mobilnya untuk pergi ke tempat pelukis jalanan itu berada.
"Kak ... tunggu Kak!" teriak Margaretha saat mereka sudah sampai di depan pelukis jalanan yang sedang mengumpulkan dan memasukkan lukisan-lukisannya ke dalam keranjang berukuran besar terbuat dari kayu, yang ia letakkan di atas motornya sebagai wadah atau tempat semua lukisannya yang belum laku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!